Disusun Oleh :
2022/2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Kami haturkan terima kasih banyak kepada bapak Saiful Aziz, S.H., M.H.
selaku dosen pengampu mata kuliah Muamallah. Kami berharap dengan adanya
makalah ini dapat bermanfaat dalam memahami sumber fikih muamalat maliyah.
Namun dalam pembuatan makalah ini tentu saja masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan makalah ini
dimasa yang akan datang.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat untuk kita semua.
Aamiin ya rabbal alamiin
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian Fikih Muamalah Maliyah………………………………………………….. 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Fikih Muamalah Maliyah …………………………………………......... 3
1. Al-Qur’an………………………………………………………........................... 3
2. Hadit …………………………………………………………………………...... 4
3. Ijma’……………………………………………………………………………... 8
4. Qiyas……………………………………………………………………………... 12
BAB III
KESIMPULAN…………………………………………………………………………. 15
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Kata fiqh secara etimologi berasal dari kata faqiha, yafqahu, dan fiqhan berarti
mengerti dan memahami 1. Definisi fiqh secara etimologi dapat dipahami dalam firman
Allah surat Hud ayat 91 dan al-An’aam ayat 65:
َا م َّما تقُ ْولُ واَِنَّا لـن ٰرٮك فِيْنا ض ِع ْيفًا َََۚولَ ْوَل ر ْهطُك لرج ْم ٰنكَ َََۖوَم ۤا ا ْنت عليْنا بِع ِز يْز ُ قَاَلُ ْوا ٰيشُعي
ِ ْب ما ن ْفقهُ كثِي ًْر
"Mereka berkata, Wahai Syu'aib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau
katakan itu, sedang kenyataannya kami memandang engkau seorang yang lemah di
antara kami. Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang
engkau pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami." (QS. Hud[11]: 9)
ۤ
َّ القا د ُِر ع ٰلى ا ْن يَّبْعث عل ْيكُ ْم عذاَبًا م ِْن ف ْو ِقكَُ ْم ا ْو م ِْن ت ْحتِ ا ْر ُج ِلكُ ْم ا ْو ي ْل ِبسكُ ْم شِيَـ ًع
َا ويُ ِذيْق ب ْعضكُ ْم ْ َقُل هُو
ْٰ ف
َ اَل َٰيتِ لعلَّ ُه ْم ي ْفق ُه ْون ُ بأْس ب ْعضَ ََۗ َا ُ ْنظُ ْر كيْف نُص ِر
Fiqih merupakan bidang ilmu yang memiliki ranah kajian yang sangat dekat
dengan kehidupan seorang muslim. Pada dasarnya fiqih merupakan pengetahuan
mengenai hukum-hukum syar’i amaliyyah, dimana suatu perbuatan dilihat dari sisi
hukumnya menggunakan dalil-dalil yang terperinci (Chaq, 2019). Menurut Al-Imam
Abd. Hamid Al-Ghazali, fiqih merupakan ilmu yang menerangkan mengenai hukum-
hukum syaraَ ’bagi mukallaf (orang yang telah dibebani hukum dan tanggung jawab
1
Farida Arianti. Muamalah Kontemporer. (Jakarta: Penerbit Prenadamedia Group,2019), hal.1-2
1
atas perbuatannya) seperti hukum wajib, sunnah, halal, haram, mubah, makruh, shahih,
dan lain-lain (Mansir & Purnomo, 2019).2
Muamalah secara bahasa berasal dari bahasa Arab ()المعاملة, yakni shigat dari
( )المفاعلةyang berarti saling berbuat. Penggunaan kata ini biasa digunakan untuk
menggambarkan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara terminologi menurut Muhammad Yusuf Musa
yang dikutip oleh Abdul Rahman Ghazaly et al., “Muamalah adalah peraturan-peraturan
Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat dan untuk kepentingan
manusia.” Namun, dalam konsepsi dasar hukum Islam yang tercakup didalamnya tidak
terlepas di dalam masalah ketuhanan. Hal ini ditekankan oleh Allah di dalam QS. al-
Dzariyat ayat 56:
ْ َُوما خل ْقت
َِ ْ ال ِج َّن و
اََلَ ْنس ا ََِّل لِي ْعبُد ُْون
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
Dari berbagai definisi di atas, muamalah dapat dipahami secara umum dan
khusus. Secara umum, muamalah adalah segala bentuk hubungan hukum antara satu
orang dengan perorangan lainnya (mukallaf) mengenai urusan duniawi. Adapun secara
khusus muamalah adalah suatu hubungan hukum antar mukallaf yang berhubungan
dengan hal kebendaan. 3
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”
2
Ghulam Akhyar Rikza, Pelatihan Memahami Fiqih Praktis Melalui Pembelajaran Kitab Fathul Qarib,
Jurnal Pengabdian Masyarakat, Vol. 3 No. 1 Hal. 26-29
3
Arianti. Op.Cit. Muamalah Kontemporer. hal. 9-10
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Al-Qur’an
Salah satu fungsi turunnya Al-Qur’an adalah sebagai hudan (petunjuk), yaitu
petunjuk Al-Qur’an dalam bentuk sumber pokok dalam perumusan hukum Islam. Al-
Qur’an merupakan sumber hidayah yang di dalamnya terkandung norma dan akidah
yang dapat diformulasikan dalam bentuk hukum dan undang-undang. Dalam
menjelaskan suatu hukum, Al-Qur’an menggunakan berbagai cara dan ibarat, yaitu
dalam bentuk tuntutan untuk melakukan sesuatu yang dikenal dengan perintah/amr, atau
tuntutan untuk meninggalkan sesuatu yang dikenal dengan larangan nahiy. Salah satu
contoh bentuk suruhan menunjukkan keharusan berbuat sesuatu, seperti contoh
keharusan dalam melakukan shalat, sedangkan larangan adalah keharusan untuk
4
Sumber Hukum Islam, https://www.gramedia.com/literasi/sumber-hukum-islam/
3
meninggalkan sesuatu perbuatan yang dilarang seperti larangan membunuh jiwa yang
diharamkan Allah5.
Para ulama’ tidak hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam,
tetapi juga rumusan yang memiliki unsur dasar yang penting, yaitu : Al-Qur’an yang
berbentuk lafadz yang mengandung makna dalam dan penuh arti. Lafadz yang tertulis
bukan sekedar lafadz biasa, tetapi juga lafadz istimewa karena disampaikan Allah
melalui Jibril ke Nabi Muhammad. Kemudian Nabi Muhammad sallallahu alaihi
wassalm melafadzkannya.
ياءيهاَالذينَءامنواَاذاتداينتمَبدينَالىَاجلَمسمىَفاكتبوه
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (Q.S. Al-Baqarah : 282)
2. Hadist
Secara etimologi berarti perjalanan, dan metode atau cara yang berkaitan dengan
apakah sesuatu itu baik atau buruk. Adapun secara terminologi menurut ahli Hadis
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Sallallahu Alaihi Wassalam. dari
5
Syarifuddin, 1997: 66
6
Sumber Hukum Islam, https://www.gramedia.com/literasi/sumber-hukum-islam/
4
perkataan, perbuatan, ketetapan, ataupun sifatnya sebagai manusia biasa, serta
akhlaknya, baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Rasulullah 7.
Menurut ahli fiqih, hadits adalah segala perkataan, perbuatan, ketetapan Nabi
Muhmmad SAW. Sedangkan menurut Al-Hafidzh dalam Syarh al Bukhary dan Al-
Hafizh dari Shakhawy ialah “segala ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi SAW.
Termasuk dalam “keadaan beliau” segala yang diriwayatkan dalam kita sejarah, seperti
kelhiran, tempatnya dan bersangkut paut dengan itu, baik sebelum dibangkit sebagai
rasul maupun sesudahnya8.
Jadi, sumber hukum islam yang kedua adalah hadist, seperti yang kita tahu selama ini
bahwa hadis sebagai sunnah Rasulullah. Isi hadis itu sendiri juga tidak lain perkatan dan
ucapan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam yang masih ada kaitannya dalam
kehidupan manusia. Dimana setiap apa yang diucapkan Nabi Muhammad akan menjadi
sunnah.
Menyinggung tentang sunnah, sunnah pun memiliki cakupan yang luas. Ada
sunnah fi’liah, taqririyah dan sunah auliyah. Dari ketiga sunnah tersebut tetap berprinsip
pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum.
Terkait sifat hadist itu sendiri pun masih sangat luas jika di kaji. Jadi sumber
hadis tersebut juga perlu dan wajib dilihat dulu sanadnya (keseimbangan antar perawi),
dilihat juga dari segi matan (isi materi) dan dilihat rowinya (periwayatnya). itu sebabnya
ada yang disebut hadis lemah dan kuat. Ada tiga kelompok hadist dari segi perawinya.
Pertama, sunnah mutawir yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh banyak perawi. Kedua,
sunnah masyur atau yang disebut dengan sunnah yang diriwayatkan du aorang atau
lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawir dan terakhir adalah sunnah ahad, atau
sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
7
Wahab al-Zuhyliy, hlm. (35)
8
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, (Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits). Semarang: Rizki Putra,
hlm. 5.
5
Kemudian jika ditinjau dari sudut periwayatannya maka hadist juga akan dibagi
menjadi empat tingkat golongan. Ada yang disebut dengan hadist mutawir, hadis masur,
hadist ahad dan hadis mursal.
Ulama sepakat bahwa hadis Rasulullah dalam bentuk qauliyah, fi’liyah, dan
taqririyah merupakan sumber asli hukum-hukum syara’ dan menempati posisi kedua
setelah Al-Qur’an9. Adapun alasan yang dipakai untuk menguatkan pernyataan di atas,
yaitu QS. Al-Hasyr [59]: ayat 7
اَلغنياءمنكمالرسولَفخذوهَومانهاكمَعنهَفانتهواَواتقواَهللاَانَهللاَشديدالعقاب
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah”
Pemberlakuan sunnah sebagai sumber hukum Islam dan dalil menempati urutan
kedua setelah Al-Qur’an. Sunnah sebagai sumber hukum Islam diberlakukan sebagai
penjelas hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an, untuk mengisi kekosongan hukum
yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, dan memperkuat hukum yang telah dijelaskan
oleh Al-Qur’an. Sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-
Qur’an ada beberapa bentuk yaitu:
1. Menjelaskan dengan perinci hukum global (mujmal) yang ada di dalam Al-
Qur’an, seperti kehalalan transaksi jual beli dan keharaman riba. Transaksi jual
beli masih bersifat global, karena tidak dijelaskan tentang macam-macamnya,
larangan di dalam transaksi jual beli, rukun dan syaratnya yang secara substansi
terdapat di dalam Sunnah Nabi, seperti larangan jual beli sesuatu yang belum
sampai di tangan.
2. Menjelaskan maksud hukum mutlak yang ada di dalam AlQur’an, seperti
perintah potongan bagi pelaku tindak pidana ekonomi pencurian. Perintah Allah
untuk memotong tangan tersebut tidak menjelaskan ukuran yang dipotong, dan
nisab harta yang dicuri. Fungsi Rasullulah adalah mengakadkan hukum yang
bersifat mutlak tersebut, sehingga hukum tersebut menjadi sejelas-jelasnya.
Dalam permasalahan ini, Rasulullah mengaitkan hukum potong tangan di dalam
9
Nasrun Haroen, 1996:47
6
Al-Qur’an, yang dipotong hanya sampai pergelangan tangan (H.R. al-Bukhāriy,
Muslim).
3. Mengkhususkan hukum yang bersifat am di dalam Al-Qur’an, seperti contoh
pembagian harta warisan/tirkah.
يُوصيكم هللا في أوالَ دكُم لِلذَّ كَر
“Allah mengisyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu” (QS. An-Nisaa’ [4]: 11)
Kalimat “anak-anakmu” dalam firman Allah di atas masih bersifat am
(umum), yaitu setiap anak-anak baik yang berakhlak baik atau buruk. Akan
tetapi, apabila anak tersebut berakhlak tercela dengan menghabisi nyawa
orangtua demi mengharapkan warisan, apakah ia mendapatkannya. Dalam
permasalahan ini Rasulullah menjelaskan “Pembunuh tidak mendapatkan
warisan” (H.R. Muslim)
Para ahli ushûl al-Fiqhiy berbeda pendapat dalam memahami makna
posisi Rasulullah sebagai pembuat hukum baru yang tidak terdapat di dalam Al-
Qur’an, di antaranya sebagai berikut.
a. Jumhur Ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa Rasulullah dibolehkan membuat
hukum-hukum baru, karena pada dasarnya hukumhukum tersebut tidak
dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Ini ditekankan bahwa ketaatan seorang
Muslim kepada Rasulullah, dikaitkan dengan ketaatan kepada Allah.
Contohnya larangan mengonsumsi daging himar kampung.
b. Sebagian Ahli Ushûl al-Fiqhiy.
Bahwa Rasulullah tidak dibolehkan menetapkan hukum yang tidak ada
dasarnya di dalam Al-Qur’an. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah
adalah hasil interpretasi Rasullah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui metode
qiyās, metode mashlahah, atau kaidah-kaidah yang terdapat di dalam AlQur’an.
Maka hukum-hukum yang berasal dari Rasulullah yang berbentuk tambahan,
merupakan hasil Ijtihad beliau dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, yang
tidak terlepas dari kandungan Al-Qur’an. sehingga secara tidak langsung
Rasulullah bukanlah menetapkan hukum baru, tetapi hasil ijtihad beliau
berdasarkan Al-Qur’an.
7
3. Ijma’
فأجمعُواَأمركُمَوشُركاءكُم
2. Ijmā’ dengan arti kesepakatan. Ijmā’ dalam arti kesepakatan dapat dilihat dari
firman Allah QS. Yûsuf [12]: 15.
10
Nasrun Haroen, 1996:52
11
Nasrun Haroen, 1996:52
8
terlibat melainkan orang-orang tertentu yakni ahlul halli wa aqdi sehingga orang awam
tidak dalam cakupan ijma’.
Dasar-dasar ijma’ adalah dari Al-Qur’an, Hadits, dan Akal pikiran. Adapun
dalam Al-Qur’an:
ْ واَالرسُ ْولَواُول
ِىَاَل ْم ِرَ ِم ْنكُم َّ ٰ ٰٓيايُّهاَالَّ ِذيْن َٰامنُ ْٰٓواَاطِ ْيعُ ه
ُواَّٰللاَواطِ ْيع
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu….” (Q.S. An-
Nisa:59)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa jika para ulil amri sudah sepakat
tentang penentuan hukum dari suatu peristiwa. Dalam Hadits juga disebutkan
bahwasannya ijma’ yaitu konsesus yang memiliki nilai keberadaan yang benar dan
terhindar dari kesesatan. Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya.,
Artinya: “Siapa yang menginginkan tempat yang mulia di surga, maka ikutilah
al-jama’ah.” (HR. Tirmidzi no. 2165. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits
ini shahih).
Sumber hukum Al-Ijtima sebenarnya buah dari kesepakatan dari para ahli
istihan (mujtahid) setelah masa Rasulullah. Tentu saja konteks dari ijtima’ ini masih
seputar tentang hukum dan ketentuan yang berkaiatan dengan syariat.
Al-ijtima’ hadir sebagai ikhtiar untuk isthad umat islam setelah qias. Dari segi
definisi, ijtima’ itu sendiri dapat diartikan sebagai pengatur sesuatu yang tidak teratur.
Dapat pula diartikan sebagai kesepakatan pendapat dari para mujtahid dan sebagai
persetujuan para ulama fiqih terhadap masalah hukum tertentu yang telah disepakati
bersama.
Sumber hukum ijtima’ dibagi menjadi dua, yaitu ijtima shoreh atau ijtimak yang
menyampaikan pesan aau aturan secara tegas dan jelas. Ada juga ijtima’ sukuti (diam
atau tidak jelas) kebalikan dari shoreh. Nah jika ditinjau dari kepastian hukum, ijma’
9
pun dapat digolongkan menjadi ijtma’ qathi (memiliki kejelasan hukum), dan ijma’
dzanni (menghasilkan ketentuan hukum pasti).
Unsur utama dalam pengamalan ijma’ adalah kesepakatan yang dilakukan oleh
mujtahid. Kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid dari berbagai
golongan, jenis dan berbagai negara. Dan apabila kesepakatan itu hanya disepakati oleh
mujatahid dalam golongan tertentu, maka ijma’ tidak dapat dilaksanakan. Kesepatan ini
tercapai apabila berbagai macam mujtahid saling berkonstribusi memberikan hasil
ijtihadnya masing-masing, dan apabila terjadi kesamaan pendapat, maka ijma’
terlaksana.
Pemberlakuan ijma’ sebagai dalil hukum Islam menempati posisi ketiga yakni
sesudah Al-Qur’an dan Hadis, oleh sebab itu ijma’ dapat menetapkan hukum, mengikat
seluruh Muslim, dan dipatuhi oleh setiap umat Islam, dan apabila permasalahan tersebut
tidak ada ketetapannya di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Firman Allah di dalam QS. An-
nisaa’ [4]: 115.
يرا
ً تَمص
ِ ََلَال ُمؤمِ نِينَنُو ِلهَِماَتولَّىَونُص ِلهَِجهنَّمَوَساء
َِ الرسُولَمِنَبعدَِماَتبيَّنَلهَُال ُهدىَويتَّبِعَغيرَسبِي
َّ َق
ِ ِومنَيُشاق
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itudan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam,
dan Jahanam itu seburukburuk tempat kembali” (QS. an-Nisaa [4]: 115).
12
Syarifuddin, 1997:117
10
Dalam surat al-Nisā ayat 115 makna jalan-jalan orang mukminin, diartikan
sebagai sesuatu yang disepakati oleh orang Muslim, hal ini yang dimaksud dengan ijma’
kaum Muslimin, ayat ini juga menunjukkan qarinah larangan mengikuti jalan, selain
jalan yang ikuti oleh kaum Muslimin.
Di samping itu, ulama ushûl al-Fiqhiy berpendapat bahwa dalam upaya para
mujtahid menetapkan sebuah kasus yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan
Hadis, ia harus memiliki landasan dari nash (Al-Qur’an dan Hadis), dan analogi (qiyās).
Dan apabila ijma’ tidak memiliki landasan, maka statusnya tidak sah. Landasan ijma’
menurut mayoritas ulama ushûl al-Fiqhiy berupa Al-Qur’an, Hadis mutawatir (adalah
Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak, yang menurut logika tidak mungkin
mereka sepakat untuk berdusta. Para sanad (penutur Hadis) yang dinilai tidak
bersepakat berdusta adalah generasi Muslim tiga pertama yakninya generasi sahabat,
tabi’in dan tabi’ tabi’in) dan Hadis ahad (Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua atau
tiga orang saja dan tidak mencapai tingkatan mutawatir) 13.
Adapun salah satu fungsi ijma adalah meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan
sandaran apabila dalil yang digunakan sebelumnya bersifat zhani. Melalui ijma’ dalil
yang pada dasarnya lemah menjadi dalil yang kuat qat’i, baik dalil itu berupa nash atau
qiyās. Misalnya seperti kisah hak kewarisan nenek atas peninggalan cucunya. Bermula
ketika seorang nenek menuntut haknya atas tirkah (harta warisan) cucunya kepada Abu
Bakar. Abu Bakar tidak menemukan dalilnya dari AlQur’an dan Hadis. Abu Bakar
menyuruh nenek tersebut menunggu jawabannya nanti14.
13
Nasrun Haroen, 1996:59
14
Syarifuddin, 1997:134
11
4. Qiyas
“Memasukan perlakukan hukum asal kepada hukum furu’ karena kesamaan íllat
yang tidak dapat dicapai dengan pendekatan bahasa saja.
2. Al-Ghazali
“Membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang sudah diketahui
dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi
keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun
sifat”.
3. Abu Zahrah
“Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada
perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya bersifat dalam ‘illat
hukum”.
Sumber hukum islam yang terakhir yang disepakati adalah qias. Qias digunakan
dan diterapkan ketika suatu masalah tidak ada hukum di Al-Qur’an, hadis dan ijma’.
Barulah menggunakan qiyas dengan cara mengambil perumpaan antara dua peristiwa
atau lebih. Dari persamaan inilah kemudian dibuat analogi deduksi atau analogical
deduction.
12
Qiyās adalah salah satu metode penggunaan akal/ra’yu dalam mengali hukum
syara’ yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Penggunaan akal dengan
merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis Nabi juga wajib memperhatikan antara hukum
dengan ‘illat keberlakuannya. ‘Illat adalah adalah alasan hukum yang rasional dengan
memperhatikan kesamaan atau kemiripan antara dua hal tersebut. Apabila hal tersebut
memiliki sifat yang sama tentu sama pula hukum yang menjadi sebab dan akibat dari
sifat tersebut. Apabila Allah menetapkan suatu hukum terhadap satu dari dua hal yang
bersamaan, tentu hukum yang berlaku pada hal yang satu juga berlaku sama pada hal
lainnya. Terhadap kasus-kasus yang telah Allah jelaskan hukumnya sering kali memiliki
kesamaaan dengan kasus lain yang Allah tidak sebutkan hukumnya, meskipun kasus
tersebut tidak dijelaskan hukumnya, akan tetapi memiliki sebab dan sifat yang sama
dengan kasus yang ditetapkan Allah hukumnya, maka hukum yang sama berlaku pada
kasus lainnya, walaupun Allah tidak menyebutkan hukum pada kasus ini.
Dengan konsep ini, maka perkara atau kasus-kasus terbaru dapat ditentukan
hukumnya apabila memiliki sebab dan illat yang sama dengan kasus terdahulu,
sehingga tidak ada permasalahan yang luput dari hukum-hukum Allah. Adakalanya
hukum itu dapat dilihat secara jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi, dan adakalanya
hukum tersebut tidak jelas terlihat. Di antara kasus-kasus yang tidak jelas terlihat
hukumnya, memiliki kesamaan sifat dengan kasus terdahulu yang hukumnya telah
dijelaskan oleh Allah, dengan menggunakan konsep mumatsala (menyamakan satu
kasus dengan kasus lainnya) dengan kasus yang ada hukumnya di dalam nash. Cara
penetapan hukum dengan mengunakan metode penyamaan ini dikenal dengan istilah
qiyās.
15
Nasrun Haroen, 1996:65
13
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orangorang yang
mempunyai wawasan”
Dan salah satu bentuk pengamalan qiyās dalam upaya menetapkan hukum
adalah larangan transaksi saling menukarkan dua benda sejenis, yang mana salah satu
benda tersebut memiliki dua nilai yang berbeda karena mengandung unsur riba
yakninya riba fadhl. Benda yang dimaksud di sini adalah beras dengan beras. Ulama
yang mengharamkan transaksi ini meng-qiyas-kan beras dengan gandum karena
merupakan makanan. Ulama berpendapat bahwa haram menukarkan dua benda yang
sejenis yang memiliki nilai yang berbeda, karena mengandung unsur riba, dan salah satu
bentuknya larangan saling menukarkan dua buah gandum yang memiliki kualitas yang
berbeda, tetapi hukum ini juga mencakup larangan saling menukar beras, karena
keduanya memiliki illat yang sama yaitu makanan, maka hukum yang berlaku pada
gandum juga berlaku pada beras.
Qiyas ini digunakan untuk menarik garis hukum baru dari garis hukum yang
lama. sebagai contoh qiyas terkait menentukan halal haram sebuah minuman. Dulu,
mungkin tidak ada narkotika atau apapun yang saat ini banyak minuman yang
memabukan. Jika dulu minuman yang memabukan adalah khamar, sekarang khamar
bentuknya mungkin sudah bertransformasi bentuk, rasa, dampak yang ditimbulkan dan
namannya.
Jika kita tetap menggunakan khamar sebagai minuman yang haram, maka
minuman dan obat narkotika tidak bisa diberlakukan sebagai barang haram. Itu
sebabnya hukum qias ini hadir, untuk menyegarkan dan tetap pada satu koridor yang
tidak menyimpang dari 3 sumber hukum islam yang sudah disebutkan di atas.
14
BAB III
KESIMPULAN
Para ulama menyepakati ada 4 sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an, Hadits,
Ijma’, dan Qiyas. Al-Qur’an merupakan sumber pertama hukum Islam, jumhur ulama
berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-
Quran. hadits merupakan pegangan umat muslim agar tidak kehilangan arah dan
mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Fungsi hadits sebagai sumber hukum Islam
tentunya dapat menambah pengetahuan manusia tentang pedoman dan pegangan
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, Di era kontemporer saat ini, potret ijma'
dapat dijumpai dalam forum-forum ilmiah seperti Majma’ a-Fiqh al-Islami, Majma’
Nuhuts al-Islamiyah, Dar al-Ifta’ dan Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’
Indonesia. Namun, dii zaman sekarang ini sebenarnya sudah sangat sulit dan langka
mendapati ulama yang menguasai semua bidang ke ilmuan apalagi yang masuk dalam
kategori mujtahid untuk mentapkan suatu hukum islam menggunakan ijma’. qiyas
adalah sebuah upaya yang dilakukan seorang mujtahid. Upaya yang dimaksud adalah
upaya dalam menghubungkan sebuah peristiwa. Peristiwa tersebut tidak ada nash
mengenai hukumnya, dan dihubungkan dengan suatu peristiwa yang sudah ada nash
hukumnya. Hal itu dilakukan jika terdapat persamaan ‘illat hukum di antara kedua
peristiwa tersebut
15
DAFTAR PUSTAKAN