Anda di halaman 1dari 10

PEMBENTUKAN HUKUM BERDASARKAN

MAQASHID SYARIAH

Tugas Kelompok Ushul Fiqih 2


Semester Ganjil Tahun Akademik 2022/2023

Disusun Oleh:
Kelompok 2 PM A
1. Afifatus Zahroh Zain 21103060007
2. Kamalul Khair 21103060008
3. Andreas Dogeru Prayoga 21103060010
4. Fatmawati Aulia Daud 21103060011
5. David Maulana 21103060012

Dosen Pengampun : Drs. Abd. Halim, M.Hum

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2022

1
A. PENDAHULUAN
Maqasid syariah merupakan konsep yang menjadi perbincangan menarik
dikalangan ulama. Konsep ini telah dikenal jauh sebelum syatibi namun konsep
ini sangat melekat padanya sebab dialah yang memperkenalkan pertama kali
secara lengkap sebagai metode pemikiran hukum. Secara substansis maqasid
syariah atau maksud ditetapkannya hukum adalah tidak lain kecuali kemaslahatan.
Dalam memahami maqasid syariah terdapat dua metode penetapan hukum yang
dapat dikembangkan yaitu metode ijtihad tatbiqi dan istinbati.
Kedua metode tesebut memperoleh dukungan dari corak penalaran ta’lili
serta corak penalaran istislahi penalaran ta’lili dengan metode qiyas dan stihsan
sementara penalaran istislahi dengan maslahah mursalah dan saddu zara’i. Hal
demikian semua itu memiliki keterkaitan dengan maqasid syariah. Selain dari itu
korelasinya adalah ada keterkaitan yang erat antara maqasid syariah dengan
metode dalam penetapan hukum, keterkaitan tersebut saling terhubung sehingga
tidak dapat dipisahkan. Maqasid syari'ah sebagai tujuan dan metode sebagai alat
untuk memahami makna serta tujuan dari Allah dan rasulnya dalam
memerintahakan dan melarang sesuatu.
Persoalan-persoalan baru yang status hukumya sudah jelas dan tegas yang
dinyatakan dalam Alquran dan hadis tidak akan menimbulkan pro dan kontra di
kalangan umat Islam. Akan tetapi, banyak persoalan baru yang tidak ditemukan
pemecahannya dalam Alquran maupun dalam hadis secara tekstual. Dalam
mengatasi hal ini, Alquran ataupun hadis sebagai sumber hukum Islam harus
ditafsirkan secara kontekstual. Penafsiran terhadap sumber hukum Islam tidak
cukup dengan pemahaman berupa kosa kata dan kalimat yang tertera dalam nas
Alquran atau hadis. Akan tetapi, diperlukan juga upaya pemahaman berdasarkan
kontekstual nilai-nilai yang terkandung di dalam Alquran maupun hadis itu.
Sebagian ulama menempatkannya dalam bahasan ushul fiqh, dan ulama
lain membahasnya sebagai materi tersendiri serta diperluas dalam filsafat hukum
Islam. Bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam Al-Qur'an, begitu
pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh,
akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-
sia. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu
yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat. Diterima akal mengandung
pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik
2
penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia,
baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Maqashid Syari’ah
Secara bahasa, Maqashid Syari’ah berasal dari dua kata yaitu maqashid
dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Sedangkan syariah secara bahasa artinya jalan
menuju sumber air, yang juga bisa diartikan jalan menuju sumber kehidupan.
Dengan demikian, Maqashid Syari’ah secara etimologis adalah tujuan
penetapan syariah. Pengertian ini dilandasi asumsi bahwa penetapan syariah
memiliki tujuan tertentu oleh pembuatnya (syar’i). Tujuan penetapan itu
diyakini adalah untuk kemaslahatan manusia sebagai sasaran syari’ah. Tidak
ada hukum yang ditetapkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadits melainkan
didalamnya terdapat kemaslahatan.
Hukum dan aturan yang diciptakan oleh Allah swt. sebagai syari’ (yang
menetapkan syariat) dengan tujuan dan maksud tertentu. Kata maqasid as-
syariah secara Bahasa adalah tujuan hukum syariat. Syariat yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw. merupakan rahmat untuk seluruh manusia.
Sebagaimana firman Allah swt. dalam Alquran Surah Al-Anbiya ayat 107
yang berbunyi:

َ‫س ْلنَاكَ إِ اَّل َر ْح َمةً ل ِْلعَالَمِ يْن‬


َ ‫َو َما أ َ ْر‬
“Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam”.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam,
menyatakan bahwa tujuan syariat adalah kemaslahatan hamba di dunia dan di
akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan semuanya
mengandung hikmah.1
2. Macam – Macam Maqashid Syari’ah

1
Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqh Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, (Jakarta: AMZAH,
2019), hlm. 2014.
3
Berdasarkan ayat di atas, maka terdapat 3 macam dari tujuan kehadiran
hukum Islam atau maqasid as-syariah, sebagai berikut:
a. Penyucian jiwa
Membina setiap individu menjadi sumber kebaikan bagi orang lain,
bukan menjadi sumber keburukan bagi masyarakat lingkungannya. Hal ini
ditempuh melalui berbagai ragam ibadah yang disyari’atkan, untuk
membersihkan jiwa dan memperkokoh kesetiakawanan social. Ibadah-
ibadah itu dapat membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran (penyakit)
dengki yang melekat di hati manusia. 2 Dengan demikian akan tercipta
suasana saling kasih mengasihi, bukan saling berbuat zhalim dan keji. Hal
ini sebagaimana firman Allah swt. dalam Surah Al-Ankabut ayat 45:
‫ص ََلة َ ت َ ْن َهى َع ِن ْالفَ ْحشَاءِ َو ْال ُم ْنك َِر َوالا ٍذ ْك ُر‬ ِ ‫ي إِلَيْكَ مِنَ ْال ِكت َا‬
‫ب َوأَق ِِم ال ا‬ ُ
‫ص ََلة َ ِإ ان ال ا‬ َ ِ‫اتْ ُل َما أو ح‬
‫صنَعُ ْو َن‬ ‫َّللا أ َ ْكبَ ُر َو ه‬
ْ َ ‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم َما ت‬ ِ ‫َو ا‬
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Alkitab
(Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang
lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ibadah shalat yang dikerjakan secara berjamaah memiliiki fungsi
membersihkan jiwa masyarakat, baik secara individual maupun kelompok.
Ibadah haji dengan amat jelas megandung implikasi ketertiban masyarakat
(al-tanzhim al’itima’y) Sedang zakat dalam pengertiannya yang lebih
dalam mengandung aspek ta’awun (kesetiawakanan sosial) antara si kaya
dan si miskin.
b. Menegakkan Keadilan
Adil baik menyangkut urusan di antara sesama kaum muslimin
maupun dalam berhubungan dengan pihak lain (non-muslim). Tujuan di
tegakkannya keadilan dalam Islam amatlah luhur. Ia mencakup berbagai
aspek kehidupan.
3. Tingkatan Maqashid Al-Syari’ah
Hakikat dan Maqashid adalah kemaslahatan. Kemashlahatan dalam taklif
dapat berupa dua bentuk, yaitu kemashlahatan hakiki dan kemashlahatan
majazi. Kemashlahatan hakiki yaitu kemashlahatan langsung dalam arti
2
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2017), hlm. 574.
4
kausalitas, sedangkan majazi adalah bentuk kemashlahatan yang merupakan
sebab yang membawa kepada kemashlahatan. Tujuan konsep Maqashid
Syariah adalah untuk menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan
kemashlahatan bagi manusia secara umum, khususnya umat islam. Menurut
Imam As Syatibi hasil penelitian para ‘ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum Islam di Syari’atkan Allah untuk
mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun
di akhirat kelak. Kemaslahatan yang akan di wujudkan itu menurut As Syatibi
terbagi kedalam tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat,
dan kebutuhan tahsiniyat.3
a. Kebutuhan Dharuriyat
Dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut
dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi,
akan terancam keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Menurut as-Syatibi, ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini
yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta. Untuk
memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Misalnya,
firman Allah dalam mewajibkan jihad, QS. AlBaqarah [2]: 193 yang
artinya “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) ketaatan itu sematamata hanya untuk Allah”. Dan
FirmanNya dalam mewajibkan qishash, terdapat dalam QS. Al-
Baqarah [2]: 179 yang artinya “Dan dalam qishash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa.”
Dari ayat pertama dapat diketahui tujuan disyariatkan perang
adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan
dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah. Dan dari ayat
kedua diketahui bahwa mengapa disyariatkan qishash karena dengan
itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.
b. Kebutuhan Hajiyat
Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, bilamana tidak

3
Suganda Ahmad, Urgensi dan Tingkatan Maqashid Syari’ah Dalam Kemashlahatan Masyarakat,
(Sukabumi: STAI Syamsul ‘Ulum, Gunungpuyuh, 2020), hlm 3
5
terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan
mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan
itu. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abd Al
Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam
terhadap kebutuhan ini. Dalam kelapangan ibadat, Islam
mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana
kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-
perintah taklif. Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana
dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari
yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit.
Kebolehan mengqashar shalat adalah dalam rangka memenuhi
kebutuhan hajiyat ini. 4 Dalam lapangan mu’amalat disyariatkan
banyak macam kontrak (akad), serta macammacam jual beli, sewa
menyewa, syirkah (perseroan) dan mudharabah (berniaga dengan
modal orang lain dengan perjanjian bagi laba) dan beberapa hukum
rukhshah dalam mu’amalat. Dalam lapangan ‘uqubat (sanksi hukum),
Islam mensyariatkan hukum diyat (denda) bagi pembunuhan tidak
sengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang
yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari
kelaparan. Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam syariat
Islam adalah ditarik dari petunjukpetunjuk ayat Al-Qur’an juga,
misalnya ayat 78 Surat Al-Hajj, yang artinya “ Allah tidak hendak
menyulitkan kamu...” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
c. Tahsiniyat
Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi
tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan
tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa
kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan as-Syatibi, hal-hal yang
merupakan kepatutan menurut adat-istiadat, menghindarkan halhal
yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang
sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak. Dalam berbagai bidang
kehidupan, seperti ibadat, mu’amalat, dan ‘uqubat, Allah telah
mensyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat.
4
Ibid, hlm 4
6
Dalam lapangan ibadah, kata Abd. Wahhab Khallaf, umpamanya Islam
mensyariatkan bersuci baik dari hadas maupun najis, baik pada badan
maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan berhias
ketika hendak ke masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah
sunnah. Dalam lapangan mu’amalat Islam melarang boros, kikir,
menaikkan harga, monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang ‘uqubat
Islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan
kaum wanita, melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam
peperangan). 5 Misalnya ayat 6 Surat Al-Ma’idah yang artinya “Tetapi
Dia (Allah) hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur.”(QS. Al-Maidah [5]: 6).6
4. Contoh Penerapan Maqashid Syariah

Ilmu maqashid Asy Syari’ah adalah suatu disiplin ilmu yang memiliki
peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa ilmu tersebut, manusia
akan kehilangan arah dalam menentukan tujuan disyari’atkannya suatu hukum
dalam kehidupan mereka. Tentunya akan mengalami kesulitan. Diantara peran
Maqashid Syari’ah dalam kehidupan adalah:

 Al Maqashid Asy Syari’ah dapat membantu mengetahui hukum hukum


yang bersifat umum( kuliyyah) maupun khusus( juz’iyyah)
 Memahami nash nash syar’i secara benar dalam tataran praktek.
 Membatasi makna lafadz yang dimaksud secara benar, karena nash yang
berkaitan dengan hukum sangatlah variatif baik lafadz maupun maknanya, maka
Maqashid Syari’ah berperan dalam membatasi makna tersebut.
 Ketika tidak terdapat dalil dalam Al Qur’an maupun As Sunnah dalam
perkara perkara yang kontemporer, maka para mujtahid menggunakan maqashid
syari’ah dalam istinbath hukum setelah mengkombinasikan dengan ijtihad,
istihsan, istihlah, dan sebagainya.
 Al Maqashid Asy Syari’ah membantu mujtahid unntuk mentarjih sebuah
hukum yang terkait dengan perbuatan seorang hamba sehingga menghasilkan
hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat.

5
Ibid, hlm 5
6
Ibid, hlm 6
7
Adapun contoh penerapan maqashid dalam hukum syari’at adalah ketika
Utsman bin Affan melakukan pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf. Itu
dilakukan karena suatu maslahat dan menurut maqashid syari’ah. Pada awalnya,
Rasulullah melarang penulisan Al Qur’an karena khawatir akan tercampur antara
ayat Al Qur’an As sunnah. Akan tetapi setelah illat itu hilang dan banyaknya para
huffadz yang wafat, akhirnya Utsman berinisiatif mengumpulkan ayat ayat
tersebut menjadi kesatuan utuh dalam satu mushaf. Selain contoh di atas, banyak
kejadian yang terjadi pada masa ulama’ terdahulu yang sesuai dengan maqashid
syari’ah serta mendatangkan maslahat bagi kehidupan. Tentunya masih banyak
lagi contohcontoh peranan maqasid syariah dalam kehidupan yang menjadi
pertimbangan dalam pembentukan hukum dalam kehidupan manusia.7

7
Sudirman Suparmin, Peran Maqashid Syariah Dalam Kehidupan.(UIN SU, Medan). Hal 12.
8
C. KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian-urain tersebut di atas, di akhir dari pembahasan
tulisan ini tentang maqasid syari’ah dan pengembangan hukum maka penulis
mengemukakan bahwa Maqasid Syariah adalah tujuan-tujuan hukum dan rahasia-
rahasia yang dimaksudkan oleh Allah swt untuk kemashlahatan umat di dunia dan
akhirat. Kemashlahatan bagi umat dan menghilangkan kemudharatan adalah salah
satu tujuan disyariatkan hukum dimuka bumi ini. Maqasih Syariah dan
kemashlahatan dharuriyah merupakan sesuatu yang penting untuk mewujudkan
kemashlahatan agama dan dunia. Maka bila kemashlahatan kersebut tidak
terwujud maka akan menimbulkan kerusakan bagi manusia dan bahkan dimuka
bumi ini, tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan maqasih syariah dan
bahkan akan menghilangkan kemaslahatan hidup dan kehidupan. Pada akhirnya,
bahwa maqashid al-Syari’ah adalah merupakan sebuah konsep yang sangat
relevan dipergunakan oleh Umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah
baru yang timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus
berkembang setiap saat.
Dalam pandangan Al-Syatibi, jika diteliti seluruh hukum dalam syariah,
maka semuanya dibuat untuk tujuan yang satu, yaitu kemaslahatan manusia
(mashalih alibad).Atas dasar inilah, Al-Syatibi dikenal sebagai salah satu tonggak
penting dalam sejarah hukum Islam yang paling menekankan pentingnya
“kemaslahatan” sebagai dasar pemahaman atas hukum Islam. Menurut AlSyatibi
ada 3 (tiga) tingkatan kemaslahatan; dharuriyyat (maslahatyang urgen), hajiyyat
(maslahat pendukung), dan tahsiniyyat (maslahat penyempurna/aksesoris).
Adapun lima maslahat paling dasar dalam agama adalah menjaga agama, menjaga
nyawa, menjaga keturunan, menjaga hak milik, dan menjaga akal.

9
D. DAFTAR PUSTAKA

Hayatudin,Amrullah. (2019)Ushul Fiqh Jalan Tengah Memahami Hukum


Islam.Jakarta: AMZAH.
Zahrah,Muhammad Abu. (2017) Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.

Suganda Ahmad, “Urgensi dan Tingkatan Maqashid Syari’ah Dalam


Kemashlahatan Masyarakat” Jurnal al-Tadbir:media hukum dan
pendidikan,30(1). Sukabumi: STAI Syamsul ‘Ulum, Gunungpuyuh, 2020.

Suparmin, Sudirman. Peran Maqashid Syariah Dalam Kehidupan. Medan:


UIN Sumatra Utara.

10

Anda mungkin juga menyukai