Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MASLAHAH MURSALAH DAN APLIKASINYA

Dosen Pengampu :
Dr. Syamsul Hadi, S.Ag., M.Ag

Disusun Oleh :
Agam Pebriansah 23203011130
Julman Hente 23203011135

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hukum-hukum syariat Islam, berdasarkan penelitian empiris (istiqra) dan

nash-nash Al-Qur’an maupun hadis meliputi diantaranya pertimbangan

kemaslahatan manusia, kemaslahatan di dunia maupun kemaslahatan diakhirat,

kemaslahatan kelompok maupun kemaslahatan perorangan. Dan bahkan dapat

dikategorikan bahwa kemaslahatan hidup manusia merupakan tujuan

diturunkannya syari’at dan semua hukum. Di sisi lain syari’at senantiasa menolak

segala kemadharatan.1

Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sebagai sumber hukum utama dalam

menetapkan suatu persoalan hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat.

Namun seiring berkembangnya zaman, maka persoalan hukum baru itu

bermunculan yang adakalanya tidak dapat diselesaikan dengan sumber hukum yang

ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), sehingga perlu adanya perkembangan metodologi

terbaru untuk menghadapi persoalan-persoalan baru tersebut, tentu saja tanpa

mengeyampingkan tujuan yang ingin dicapai oleh kedua sumber utama.

Persoalan hukum yang dimunculkan oleh kemajuan zaman dan

perkembangan teknologi serta perubahan sosial terus mengemuka sebagai dinamika

kehidupan manusia sepanjang masa. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis nabi

perlu penalaran dan kajian lebih mendalam untuk menyelesaikan permasalahan

umat manusia. Solusi dari penyelesaian dalam ijtihad merupakan proses berfikit

rasional secara optimal dalam menetapkan hukum Islam dengan tetap mengacu

pada kedua sumber hukum yaitu Al-Qur’an dan hadis, agar dapat ditemukan atas

1
Yusmita, ”Dinamika Pencatatan Pernikahan Di Indonesia dalam Kajian Maslahah
Mursalah”, (Journal of Islamic Civil Law, Volume 2, Nomor 1, 2023), h. 35.

1
2

jawaban dalam berbagai persoalan yang muncul ditengah-tengah umat manusia.

Ijtihad merupakan tugas penring dan kemampuan menjalankannya merupakan

tujuan ilmu asas yurisprudensi Islam (ilmu ushul al-fiqh).2

Menyadari bahwa tidak semua masalah kehidupan ini hukumya ditemukan

didalam al-Qur’an dan hadis, Islam meletakkan prinsip-prinsip umum dan juga

kaidah-kaidah dasar yang dapat dijadikan ahl az-Zikri (para mujtahid) untuk

mengembangkan hukum Islam dan memecahkan masalah-masalah baru melalui

ijtihad. Salah satu prinsip umum dan kaidah dasar yang diletakkan oleh islam ialah

bahwa tujuan pokok dari pensyari’atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan

kemaslahatan (jalb al-masalih).

Seluruh hukum Islam yang sudah ditetapkan Allah Swt. atas hamba-Nya

dalam bentuk perintah atau larangan mengandung maslahah atau manfaat. Konsep

maslahah tumbuh dan berkembang sejalan dengan berkembangnya hukum Islam.

Dalam perspektif pemikiran hukum Islam, maslahah dikaji dalam dua fungsi.

Fungsi pertama, sebagai tujuan hukum (maqashid al-syari’ah) dan yang kedua

sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri (adillat al-syari’ah).

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Mashlahah Mursalah?

2. Bagaimana Kehujjahan Mashlahah Mursalah?

3. Bagaimana relevansi Mashlahah Mursalah dengan sumber hukum Islam

lainnya?

4. Bagaimana contoh dan aplikasi Mashlahah Mursalah?

2
Hendri dan Mashudi, “Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Penentuan Hukum Islam”,
(Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Volume 4, Nomor 1, 2018), h. 64.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mashlahah Mursalah

Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan

yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam arti yang umum adalah setiap

segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau

menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti

menolak kemudaran atau kerusakan. Jadi setiap yang mngandung manfaat patut

disebtu mashalah. Dengan begitu mashalah itu mengandung dua sisi, yaitu menarik

atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindari kemudaratan.3

Kata mashalah berakak pada al-aslu, yang merupakan bentuk masdar dari

kata salaha dan saluha, yang secara etimologis berarti manfaat, faedah, bagus, baik,

kayak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu saraf (morfologi), kata mashalah satu pola

dan semakna dengan kata manfa’ah. Kedua kata ini (mashalah dan manfa’ah) telah

diubah kedalam bahasa Indonesia menjadi ‘maslahat’ dan ‘manfaat’.4

Adapun dalam mengartikan mashalah secara definitif terdapat perbedaan

rumusan di kalangan ulama yang apabila dianalisis ternyata hakikatnya adalah

sama, rumusan tersebut sebagai berikut:5

1. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashalah itu berarti sesuatu

yang mendatangkan manfaat (keuntungan)dan menjauhkan mudarat

(kerusakan), namun hakikat dari mushalah adalah:

َ ‫ا ْل ُم َحافَ َظةُ ع‬
ُ ‫َلى َم ْق‬
ِ‫ص ْو ِد الش َّْرع‬
Artinya:
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum).

3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 345.
4
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Amzah 2011), h. 127.
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh....., h. 345-347.

3
4

Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu;

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

2. Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi al-

Ghazali di ayas, yaitu :


ِ ‫ص ْو ِد الش َّْرعِ ِبد َْف ِع ا ْل َمفَا‬
ِ ‫س ِد ع َِن ا ْل َخ ْل‬
‫ق‬ َ ‫ا ْل ُم َحافَ َظةُ ع‬
ُ ‫َلى َم ْق‬
Artinya:
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara
menghindarkan kerusakan dari manusia.
Definisi ini memiliki kesamaan dengan definisi al-Ghazali dari segi arti dan

tujuannya, karena menolak kerusakan itu mengandung arti menarik

kemanfaatan, dan menolak kemashalahatan berarti menarik kerusakan.

3. Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam dalam kitabnya, Qawa’id al-Ahkam, memberikan

mashalhah dalam bentuk hakikinya dengan “kesenangan dan kenikmatan.

Sedangkan bentuk mazazi-nya adalah “sebab-sebab yang mendatangkan

kesenangan dan kenikmatan” tersebut. Arti ini didasarkan bahwa pada

prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu: kelezatan dan sebab-sebab nya

serta kesenangan dan sebab-sebabnya.

4. Al-Syatibi mengartikan mashlahah itu dari dua pandangan yaitu dari segi

terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan

syara’ kepada mashlahah.

a. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, berarti:

َّ ‫صافُهُ ال‬
‫شه َْوا‬ َ ‫شتِ ِه َونَ ْي ِل ِه َماتَ ْقت َ ِض ْي ِه ا َ ْو‬ َ ‫ان َوتَ َم ِام‬
َ ‫ع ْي‬ ِ ‫س‬َ ‫اْل ْن‬
ِ ْ ‫ِلى قِيَ ِام َحيَا ِة‬
َُ ‫تِ َما ُيَ ْر ِ ْج ُع ْ ا‬
‫ق‬ِ َ ‫ال‬ ْ
‫ط‬ ‫ْل‬
ِ ْ ‫ا‬ ‫َلى‬
َ ‫تِيَّة َوال َعق ِليَّة‬
‫ع‬
Artinya:
Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna
hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan
aklinya secara mutlak.
5

b. Dari segi tergantungnya tuntuntan syara’ kepada mashlahah, yaitu

kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hokum syara’. Untuk

menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat.

5. Al-Thufi menurut yang dikutip oleh Yusuf Hamid al-‘Alim dalam bukunya al-

Maqashid al-Ammah li al-Syari’ati al-Islamiyyah mendefinisikan mashlahah

sebagai berikut:

ً‫ص ْو ِد الش َِّارعِ ِعبَا َدةً ا َ ْوعَا َدة‬ َ ‫ب ا ْل ُم َؤدِى ا‬


ُ ‫ِلى َم ْق‬ َّ ‫ارةٌ ع َِن ال‬
ِ ‫س َب‬ َ َ‫ِعب‬

Artinya:
Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam
bentuk ibadat atau adat.
Definisi dari al-Thufi ini sesuai dengan definisi dari al-Ghazali yang

memandang mushlahah dalam artian syara’ sebagai sesuatu yang dapat

membawa kepada tujuan syara”.

Dari beberapa definisi di atas tetang mashlahah maka dapat disimpulkan

bahwa mashlahah itu adalah suatu yang dapat dipandang baik oleh akal sehat

karena dapat mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan (kerusakan) bagi

manusia, sejalan juga dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.

B. Jenis-Jenis Mashlahah

Menurut teori ushul fiqh, apabila ditinjau dari segi ada atau tidaknya dalil

yang mendukung terhadap suatu kemaslahatan, mashlahah terbagi menjadi tiga

macam:

1. Mashlahah al-Mu’tabarah yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’at.

Maksudnya, ada dalil yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.

Dalam kasus peminum khamr misalnya, hukuman atas orang yang meminum

minuman keras dalam hadis nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama
6

fiqh. Mashlahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maru’ah) dan akal.

Syara’ telah mensyaratkan jihad untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada

pezina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan maru’ah).6

2. Mashlahah al-Mulghah yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi

tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Hal

ini berarti akan menganggapnya itu baik dan sudah sejakan dengan tujuan

syara’, namun ternyata syara’ telah mentepakan hukum yang berbeda dengan

apa yang dituntut oleh mashlahah itu. Misalnya, di masa kini masyarakat telah

mengakui emansipasi wanita untuk menyamakan derajat nya dengan laki-laki.

Oleh karena itu, akal menganggap baik atau mashlahah untuk menyamakan hak

perempuan dengan laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Hal ini pun

sudah dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah

untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana yang berlaku

pada laki-laki. Namun, hak tersebut sudah jelas dan ternyata berbeda dengan

apa yang sudah dikira baik oleh akal itu, yaitu hak atas anak laki-laki adalah

dua kali lipat hak anak perempuan sebagaimana sudah ditegaskan dalam surat

an-Nisa’ (4): 11, dan penegasan Allah tentang hak waris saudara laki-laki

sebesar dua kali hak saudara perempuan sebagaimana ditegaskan dalam surat

an-Nisa’ (4): 176.7

3. Mashlahah al-Mursalah , atau yang juga biasa disebut Istishlah , yaitu apa yang

dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan

hukum namun tidak ada petunjuk yang memperhitungkannya dan tidak ada pula

petunjuk syara’ yang menolaknya. Jumhur ulama sepakat untuk menggunakan

6
Rizal Fahlevi. “Implementassi Maslahah Dalam Kegaiatan Ekonomi Syariah”, (Jurnal
Ekonomi Syari’iah, Volume 14, Nomor 2, 2015), h. 228.
7
Ibid.
7

mashlahah mu’tabarah, sebagimana juga mereka sepakat dalam menolak

mashlahah mulghah. Menggunakan motode mashlahah mursalah dalam

berijtihad ini menjadi perbincangan berkepanjangan di kalangan ulama.8

Menurut As-Syatibi, mashlahah dibagi menjadi tiga tingkatan yang

meliputi:9

1. Mashlahah Dhururiyyah (kebutuhan primer), yaitu segala sesuatu yang harus

ada demi tegaknya kehidupan manusia untuk menopang kemaslahatan agama

dan dunia dimana apabila maqasid ini tidak terpenuhi, stabilitas akan hancur

dan rusaklah kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Menurut As-Syatibi,

maqasid ini terdiri dari lima pokok, yakni agama, jiwa, keturunan, harta dan

akal. Dan untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan seperti

perlindungan terhadap hak milik ekonomi.

2. Mashlahah Hajjiyah (kebutuhan sekunder), adalah maqasid yang dibutuhkan

untuk memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Jika maqasid

hajjiyah ini tidak diperhatikan manusia akan mengalami kesulitan, selagi tidak

akan merugikan kemaslahatan umum.

3. Mashlahah Tahsaniyyah (kebutuhan pelengkap), adalah maqasid yang

mengacu kepada pengambilan apa yang sesuai dengan adat kebiasaan terbaik

dan menghindari cara-cara yang tidak disukai orang bijak, seperti menutup aurat

dalam ibadah shalat dan larangan menjual makanan yang mengandung najis.

Akan tetapi jika dilihat dari sisi watak akomodasinya terhadap kondisi

lingkungan dan sosial, mashlahah terbagi mejadi dua:10

8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 353-354.
9
Rizal Fahlevi. “Implementassi Maslahah.....”, h. 227-228.
10
Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), h.
165-166.
8

1. Mashlahah yang dapat beradaptasi dengan perubahan ruang, waktu, dan

lingkungan sosial, sebab objek utamanya adalah mu’amalah (masalah sosial

kemasyarakatan) dan hukum-hukum kebiasaan (adat).

2. Mashlahah yang bersifat konstan. Hal ini tidak dapat dirubah hanya karena

perubahan lingkungan, sebab ini berkaitan dengan persoalan-persoalan ibadah

madlah atau ritus keagamaan.

C. Kehujjahan Mashlahah Mursalah

Para ulama belum secara pasti mengenai kehujjahan mashlahah mursalah

ini sebagai metode untuk metenapkan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang

secara eksplisit tidak disebutkan didalam nash. Menurut ulama Hanafiyyah,

mashlahah mursalah dapat dijadikan sebagai metodr untuk menetapkan hukum

baru dengan syarat didukung oleh ayat, hadisatau ijma’ yang menunjukkan bahwa

sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu meruoakan ‘illat (motivasi hukum)

dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum

tersebur dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.11

Menurut Abdul Karim Bin Ali Bin Muhammad Al-Namlah dalam kitabnya

Al-Jami’ Lil Masail Ushul Al-Fiqh Wa Tatbiqatuha ‘Ala Al-Madzhan Al-Rajih,

mashlahah mursalah dapat menjadi hujjah dengan beberapa syarat, yaitu:12

1. Hendaklah mashlahah mursalah itu merupakan maslahat yang sifatnya dharuri

(kebutuhan primer), yaitu yang termasuk dalam kategori kebutuhan primer yang

lima, yang dapat dipastikan tentang manfaat yang diperoleh darinya.

2. Hendaklah maslahat itu merupakan kemaslahatan yang bersifat umum, karena

untuk kemanfaatan yang bersifat umum bagi keseluruhan kaum muslimin.

11
Rusdaya Basri, Ushul Fikih 1, (Pare-pare: IAIN Pare-pare Nusantara Press, 2019), h. 87.
12
Agus Miswanti, Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama, 2019), h. 174.
9

3. Hendaklah maslahat itu relevan dengan tujuan hukum Islam (maqasid al-

syari’ah) secara global, tidak menjadi maslahat yang asing (aneh).

4. Hendaklah kemaslahatan itu bersifat Qath’i, atau keberadaan maslahat itu

mengalahkan pengetahuan yang bersifat dhanniy, dan tidak ada yang

diperselisihkan tentang itu.

Mengenai kehujjahan mashlahah mursalah ini, para ahli hukum Islam

berbeda pendapat:13

1. Kelompik Syafi’iyyah, Hanafiyyah, sebagain Malikiyyah (seperti Ibnu Hajib),

dan kelompok al-Dhahiriy berpendapat bahwa mashlahah mursalah tudak

dapat dijadikan sebagai hujjah untuk ber-istinbathil hukm al-syar’iy.

2. Sebagian kelompok Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa mashlahah

mursalah dapat dijadikan sebagai hujjah dengan syarat harus memiliki semua

persyaratan yang sudah ditentukan oleh para ahlu hukum Islam, seperti Imam

Malik sendiri, dengan alasan tujun Allah mengutus seorang rasul adalah untuk

membimbing umat kepada kemaslahatan. Karena itu, mashlahah merupakan

salah satu yang pada hakikatnya dikehendaki oleh syara’ atau agama, sebab

tujuan utama diadakannya hukum oleh Allah hanyalah untuk kepentingan umat,

baik dunia maupun akhirat.

D. Relevansi Mashlahah Mursalah Dengan Sumber Hukum Islam Lainnya

Istislah merupakan suatu konsep pemikiran hukum Islam yang menjadikan

maslahah (kepentingan atau kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat

(mursalah) menjadi sumber hukum sekunder. Sehingga konsep ini lebih dikenal

dengan istislah atau maslahah musrsalah atau al-masalih al-mursalah. Adapun

dalam realitas historis, perlu disadari bahwa munculnya pelbagai ijtihad, di

Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu... , h. 166-167.


13
10

antaranya metode maslahah mursalah, berangkat dari adanya persentuhan antara

ajaran Islam di satu pihak dengan realitas sosial di pihak lain. Artinya, realitas sosial

dengan problematikanya yang semakin kompleks tidak semuanya terkover dan

termaktub dalam nash (Alquran dan Sunnah), sehingga perlu dicarikan langkah-

langkah konkrit untuk mengatasi hal tersebut.14

Adapun atas dasar itulah sejak dahulu sampai era post-modern ini, kalangan

pemikir hukum Islam, baik ortodoks maupun kelompok modernis, mencari dalam

tradisi Islam suatu prinsip (metode-teori) yang dapat membantu mereka dalam

mengatasi problematika masyarakat, terutama terhadap kasus yang belum

ditetapkan hukumnya atau terhadap suatu hukum yang tidak dapat diterapkan dalam

kasus lain karena tidak ditemukan persamaan illah (ratio legis). Sejak itu para

ulama-ulama terutama para teoretis hukum Islam berupaya dengan sekuat tenaga

dan sungguh-sungguh menetapkan metode dan teori komprehensif, agar persoalan

umat dapat diatasi dan hukum Islam senantiasa mendapat tempat di hati segenap

komunitasnya. Salah satu metode yang ditemukan itu adalah metode maslahah

mursalah, sebagai landasan teoretis mengatasi masalah hukum dengan

mengedepankan kemaslahatan manusia dan menepis ke mudaratan yang akan

ditimbulkannya.15

Konsep penalaran (maslahah mursalah) ini dalam perspektif historis untuk

pertama kalinya dimunculkan dan dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum

Islam penganut Mazhab Maliki. Pengembangan metode ini dilakukan karena

karena tidak adanya dalil yang memberikan legitimasi dan justifikasi tentang

diterima atau ditolaknya penerapan metode ini. Ditambah lagi, pola penerapan

14
Ahmad Jazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 23.
15
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1995), h. 7.
11

maslahah mursalah yang hanya didasarkan pada penalaran logika atau rasio,

berimplikasi pada munculnya sikap pro-kontra di kalangan intelektual hukum Islam

tentang eksistensi dan kapasitasnya sebagai metode dalam melakukan istinbat

hukum atau sebagai dalil hukum.16

Adapun di samping kelompok Malikiyyah, kelompok lainnya yang ikut

mendukung maslahah mursalah sebagai dalil huku adalah kelompok Hanabilah.

Sedangkan yang menolak maslahah mursalah adalah Imam Syafi’i, Hanafiyyah,

dan kelompok Zahiriyyah, yang terkenal sebagai kelompok skripturalisme Islam.

Paham tekstualisnya menafikan dan menolak semua pendekatan dan pelembagaan

hukum dengan jalan penalaran (kontekstual). Meskipun mayoritas ulama

menyatakan menolak, namun mereka tetap secara eksplisit menerapkan maslahah

mursalah, dan dengan prinsip kerja yang relative sama mereka memasukan dalam

metode atau dalil lain, seperti dalam qiyas atau istihsan.17

Abu Hanifa dan kelompok Hanafiyyah meskipun tidak mengakui eksistensi

maslahah mursalah, tetapi mereka menerapkan istihsan, yang salah satu baginya

adalah istihsan bi al-maslahat. Kemudian Imam Syafi’I pun menerapkan prinsip

kerja maslahah mursalah dalam metode qiyas (analogi), khususnya dalam

pembicaraan tentang masalik al-illah. Sedangkan kelompok Syi’ah dalam

melakukan istinbat hukum (legal theory) tidak menggunakan maslahah mursalah

sebagai salah satu dalil atau sumber hukum. Mereka tergolong kelompok yang

secara tegas menolak metode ini. Hanya saja, mereka menggunakan al-aql (akal,

logika) sebagai sumber (dalil) hukum keempat (di samping Alquran, Sunnah, dan

16
Ali Yafie, Konsep Istihsan-Istihsan, Istislah, Istishab, dan Maslahat al-Ammah, (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), h. 365.
17
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum di
Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 238
12

Ijmak). Sedangkan untuk dalil faqqahi mereka polarisasi lagu menjadi empat

bagian (kategori), yaitu al-istishab, al-bara’ah, al-ihtiyat, dan al-takhiyir.18

Adapun sebagaimana halnya kalangan ulama yang menerima maslahah

mursalah sebagai dalil hukum, kelompok yang menolak pun memberikan

argumentasi untuk mendukung argumentasi dan paham yang mereka anut. Adapun

argumentasi yang mereka kemukakan, yaitu:

1. Allah Swt. sebagai legislator, menolak sebagai maslahah dan menerika

sebagian yang lainnya. Sementara maslahah mursalah merupakan sesuatu yang

masih meragukan (wahm). Sebab, boleh jadi maslahah mursalah diterima atau

ditolak keberadaannya oleh legislator (sya’ri). Oleh sebab itu, maslahah

mursalah tidak dapat dijadikan dalil hukuk independen yang mengikat dalam

istinbat.

2. Sesungguhnya menggunakan maslahah mursalah dalam istinbat adalah

menempuh jalan berdasarkan ego dan hawa nafsu, dan hal ini tentu saja tidak

dibenarkan dalam Islam. Hukum Islam, harus steril dari pengaruh dan dominasi

hawa nafsu, karena ditetapkan untuk kepentingan seluruh umat manusia, bukan

untuk perorang ataupun kelompok tertentu saja.

3. Menggunakan maslahah mursalah berimplikasi kepada munculnya perbedaan

hukum, disebabkan oleh perbedaan zaman dan lingkungan. Karena,

kemaslahatan tersebut akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan

zaman dan situasi, tentu hal ini akan menghilangkan fungsi syari’at yang

universal dan nilainya berlaku sepanjang zaman dan dalam kondisi

bagaimanapun.19

18
Ibid., h. 240.
19
R Basri, Fiqh Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 49.
13

Adapun menurut Amir Syarifuddin, yaitu:

1. Bila suatu maslahah terdapat petunjuk nas (Alquran dan Sunnah) yang

membenarkannya (mu’tabarah) maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas.

Jika tidak terdapat petunjuk syar’a maka tidak mungkin disebut maslahah.

Mengamalkan sesuatu yang di luar petunjuk syara berarti mengakui kurang

lengkapnya Alquran dan Sunnah. Hal ini juga berarti tidak mengakui

kesempurnaan risalah Nabi Saw. Padahal Alquran dan Sunnah Nabi telah

menyatakan tentang kesempurnaan dan meliputi semua hal.

2. Menggunakan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash (Alquran

dan Sunnah) akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan

hukum yang dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal

itu menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu tidak boleh merusak,

juga tidak ada yang dirusak.

3. Seandainya dibolehkan berijtihad dengan maslahah yang tidak memperoleh

dukungan nash, akan memberi kemungkinan berubahnya hukum dengan alasan

berubahnya waktu dan berbedanya lokasi berlakunya hukum, juga karena

berbedanya antara pribadi seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan

demikian tidak aka nada kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip

hukum syara yang universal, lestari dan meliputi komunitas Islam secara

menyeluruh.20

Kontroversi yang muncul seputar validitas maslahah mursalah sebagai

salah satu sumber hukum, jika diteliti secara cermat, ternyata tidak menunjukan

perbedaan yang prinsipil. Tetapi karena kurang lengkapnya pemahaman mereka

terhadap konsepsi dan demarkasi yang diterapkan oleh mereka yang menerima dan

20
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 339.
14

menerapkan maslahah mursalah, sehingga langkah yang harus ditempuh adalah

konfirmasi dan kompromi. Hal ini dapat diamati, pada kelompok yang menerima,

yang ternyata tidak menerimanya secara mutlak, tetapi dibarengi dengan

persyaratan-persyaratan dan kriteria-kriteria yang cukup berat. Semua dilakukan

sebagai wujud kehati-hatian mereka dalam menetapkan hukum yang validitas dan

dan otensitasnya belum ditetapkan oleh legislator.21

Adapun sementara itu kelompok yang menolak, ternyata lebih didasarkan

pada sikap kekhawatiran dan kehati-hatian terhadap kemungkinan tergelincirnya

mereka dalam kesalahan dan kekeliruan jika sampai menetapkan hukum yang

hanya didasarkan pada pandangan spekulatif karena sikap ego dan menurutkan

hawa nafsu semata, dengan menegasikan pertimbangan yuridis lainnya yanjg lebih

valid dan legitimate. Namun, jika kekhawatiran ini dieliminasikan, mereka juga

akan menggunakan maslahah mursalah dalam menyelesaikan pelbagai

problematika melalui ijtihad. Abd al-Wahhab Khallaf dalam menyikapi kontroversi

ini lebih memilih kelompok pertama atau yang menerima maslahah mursalah

sebagai dalil hukum. Adapun lebih lanjut ia berpendapat bahwa jika jalan ini tidak

dibuka niscaya hukum Islam akan kaku dan mandek, karena akan sulit kalua tidak

dapat dikatakan tidak mampu mengikuti dan merespon perubahan situasi dan

kondisi masyarakat dan lingkungannya.22

Adapun Abd al –Wwahhab Khallaf juga tidak sepakat dengan pandangan

yang mengatakan pandangan yang mengatakan bahwa kemaslahatan selalu

dipelihara syara di segala situasi dan kondisi, sekaligus telah diisyaratkan dalam

nash (Alquran dan Sunnah) dan prinsip-prinsip dasar lainnya, terhadap segala

sesuatu yang relevan. Berdasarkan analisis kenyataan faktual tidak dapat dipungkiri

Nasrul Rusli, Konsep Ijtihad….., h. 167.


21

22
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushulu Fiqh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 88.
15

bahwa kemaslahatan yang tidak memperoleh legalitas syara tentang validitasnya

sangat tinggi persentasenya. Sedangkan kekhawatiran munculnya pelembagaan

hukum berdasarkan hawa nafsu, disebabkan kemaslahatan yang tidak terikat

(mutlak) dan bebas (liberal) dapat dieliminasi. Kemaslahatan yang tidak dinyatakan

validitasnya secara tekstual oleh nash (Alquran dan Sunnah) yang selanjutnya

disebut maslahah mursalah tidak diterapkan, kalua tidak memenuhi kriteria-kriteria

atau persyaratan yang telah ditentukan, yaitu kemaslahatan itu harus hakiki,

universal dan tidak menyalahi nash syar’i dan prinsip-prinsip dasar pelembagaan

hukum Islam lainnya.23

Adapun untuk itu, Zaki al-Din Sya’ban, memandang bahwa maslahah

mursalah merupakan salah satu dasar penetapan hukum Islam yang penting dan

signifikan yang memungkinkan untuk melahirkan nilai-nilai kebajikan jika para

ahli mampu mencermati secara tajam dalam kaitannya dengan ilmu syariat.

Zakariyah al-Biri menambahkan bahwa berpegang pada maslahah mursalah tidak

akan menghilangkan kesempurnaan syariat, tetapi sebaliknya justru merealisasikan

kesempurnaan tersebut dan menerapkannya bagi kepentingan manusia secara

keseluruhan (universal), meskipun mereka berada pada lingkungsn yang saling

berbeda antara yang satu dengan lainnya.24

E. Contoh Dan Aplikasi Mashlahah Mursalah

Contoh dan aplikasi mashlahah mursalah menurut ulama yang

menggunakannya itu menetapkan batas wilayah penggunaannya, yaitu hanya

berupa untuk masalah di luar wilayah ibadah, seperti muamalah dan adat. Adapun

dalam maslah ibadah (dalam arti khusus) sama sekali mashlahah tidak dapat

23
Ibid.
24
Ibid.
16

dipergunakan secara keseluruhan. Alasannya karena mashlahah iti didasarkan pada

pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat

melakukan hal itu untuk masalah ibadah. Adapun secara luas perspektif ekonomi

atau bisnis seiring diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan

oleh orang atau badan secara teratur dan terus-menerus, yaitu berupa kegiatan

mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk

diperjualbelikan, dipertukarkan, dan disewa gunakan dengan tujuan untuk

mendapatkan keuntungan.25

Adapun berdasarkan pengertian tersebut bahwa nampak kegiatan ekonomi

dan bisnis merupakan suatu kegiatan perdagangan yang meliputi unsur lebih luas,

yaitu pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencaharian, dan keuntungan. Jadi,

definisi kegiatan ekonomi atau bisnis mencakup usaha yang dilakukan pemerintah

dan swasta yang menyediakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan

masyarakat, baik mengejar keuntungan atau tidak. Tujuan utama dari kegiatan

ekonomi atau bisnis adalah mencari keuntungan, mengejar pertumbuhan,

meningkatkan efisiensi, dan melindungi masyarakat (bagi kegiatan bisnis yang

tidak mengejar keuntungan). Adapun lingkup aktivitas ekonomi dan bisinis sendiri

sangat luas, namun pada dasarnya aktivitas tersebut terdiri dari produksi, distribusi

dan konsumsi, yaitu:

1. Produksi, yaitu aktivitas untuk memuaskan kebutuhan manusia. Produksi dapat

dibedakan atas produksi primer, sekunder, dan tersier.

25
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003),
h. 7.
17

2. Distribusi, yaitu pemindahan material dari permulaan ke produksi yang meliputi

penyimpanan, pengepakan, pengawasan, persediaan dan transportasi kepada

pemakai akhir.

3. Konsumsi, yaitu keberhasilan seorang produsen terlihat dari permintaan akan

barang dan jasa yang ditunjukan oleh volume penjualan barang dan jasa.26

Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai guna, jika

dan hanya jika mengandung kemaslahatan, dengan demikian maka seorang muslim

termotivasi untuk memproduksi setiap barang dan jasa yang memiliki mashlahah

tersebut. Begitu pun dengan makna suatu merek bagi suatu produk barang atau jasa

kini menjadi sangat dominan dan telah menjadi pedoman bagi masyarakat dalam

mengonsumsi barang atau jasa. Adapun selain karena jaminan kualitas yang

dijanjikan, persepsi orang yang sangat kuat terhadap merek tertentu menjadi pijakan

seseorang dalam berperilaku ekonomi. Oleh sebab itu, tidaklah muda bagi produk-

produk yang sudah ada. Hal ini berarti konsep mashlahah merupakan konsep

objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid)

syariah, yaitu memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.27

Salah satu ciri era globalisasi yang sangat menonjol adalah sifatnya yang

sangat kompetitif kosmopolitan dan perubahan yang amat tepat. Adapun untuk

mengantisipasi kondisi yang demikian, salah satu upaya yang ditempuh manusia

baik perseorangan maupun kelompok dan kelembagaan adalah dengan mengadakan

kerja sama atau kemitraan (musyarakah) dalam pelbagai bidang kehidupan,

termasuk dalam menjalankan perusahan. Salah satu contoh penerapan aplikasi

konsep mashlahah mursalah pada waralaba. Adapun sedemikian pentingnya kerja

sama di dunia global, hingga tidak ada lagi orang atau lembaga ataupun perusahaan

26
Buchari Alma, Dasar-Dasar Bisnis dan Pemasaran, (Bandung: Alfabeta, 1992), h. 21.
27
Ibid., h. 33.
18

yang berhasil dengan bekerja sendiri, tanpa menjalin kesepakatan dengan pihak

lain. Namun, perlu disadari bahwa kerja sama baru dapat mendatangkan

keuntungan, kemajuan, dan keselamatan bagi kedua belah pihak, bila keduanya

menjalankan hak dan kewajiban dalam kerja sama itu. Adapun di samping adanya

komitem yang tinggi dalam memelihara kerja sama yang terjalin. Di dalam sistem

waralaba mengandalkan sistem atau cara atau operating manual yang sudah teruji

melalui penemuan waralaba, serta sudah terbukti sukses dijalankan franchise

sebelumnya. Pada dasarnya, sistem franchisor merupakan suatu proses

pembelajaran yang baik ketika sesorang hendak melakukan kegiatan bisnis yang

pertama kali, dan pada suatu saat nanti dapat berhasil dalam menjalankan dan

mengelola bisinisnya dapat melepaskan diri dari franchisor karena biaya yang

dibayar cukup mahal, serta selanjutnya dapat mendirikan usaha sendiri atau bahkan

membangun yang dibayar cukup mahal, serta selanjutnya dapat mendirikan usaha

sendiri atau bahkan membangun bisini waralaba (franchise) sangat bergantung

kepada kesesuaian bidang usaha bisnis waralaba (franchise) dan sistem serta

mekanisme kerja samanya dengan prinsip syariah dan ketiadaan padanya dari

segala pantangan syariah dalam bisnis.28

Adapun selanjutnya, kita dapat melihat produk-produk hukum para ulama

saat ini jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi, maka akan didapatkan bahwa

produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan maslahah

mursalah, seperti fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, misalnya, fatwa tentang

keharusan “sertifikat halal” bagi produk yang bersifat ekonomi (industri bisnis)

seperti makanan, minuman, dan kosmetik. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetik (LPPOM) berupaya

28
Yusuf Qardhawi, Ijtihad dalam Syariat Islam: Beberapa Analisis tentang Ijtihad
Kontemporer, (Jakarta: Bulan Bintang. 1987), h. 132.
19

melakukan penelitian terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan dan

kosmetik yang diproduksi oleh produsen untuk di pasarkan. Hal yang seperti ini

tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya secara langsung, namun jika

dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif

dalam melindungi umaat manusia (khususnya umat Islam) dari makanan, minuman,

obat-obatan serta kosmetik yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan masih banyak

lagi hal yang lainnya.29

Adapun dalam hal ini maka maslahah mursalah sangat efektiv dalam

menyikapi dan menjawab permasalahan-permasalahan dan perkembangan baru

dalam dunia ekonomi dan bisinis yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi modern, baik dalam menetapkan hukum terhadap

masalah-masalah baru maupun yang belum ada ketentuan hukumnya, serta maupun

menetapkan hukum baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak

sesuai lagi dengan keadaan, situasi dan kemaslahatan manusia zaman sekarang.

maslahah mursalah merupakan salah satu metode istinbat hukum yang dijadikan

hujjah. Adapun dari contoh-contoh masalah yang ditetapkan hukumnya dengan

maslahah mursalah, terlihat bahwa hukum yang ditetapkan dengan metode tersebut

lebih mengayomi dan lebih mampu merealisasikan tujuan-tujuan syariat, dan di sini

letak keefektivitasn maslahah mursalah dalam penetapan hukum syara.30

Metode penetapan hukum dengan maslahah mursalah dan kaitannya

dengan pembaharuan hukum Islam, mempunyai kaitan yang erat dan sangat efektiv

untuk digunakan, di aman pembaharuan hukum Islam bertujuan untuk

merealisasikan dan memelihara kemaslahatan umat manusia semaksimal mungkin

29
Ibid., h. 142.
30
Agustianto Minka, Maqashid Syariah dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah (Jakarta:
Penerbit Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, 2013), h. 70.
20

yang merupakan maqasid syariah. Adapun dengan melihat begitu banyak kelebihan

yang dimiliki dalam suatu sistem seperti misalnya sistem ekonomi dan bisnis maka

dapat disimpulkan bahwa sistem tersebut memiliki begitu banyak kemaslahatan.

Implementasi maslahah dalam penetapan hukum ekonomi Islam juga harus

mengacu kepada kemaslahatan. Ada beberapa contoh pertimbangan kemaslahatan

dalam implementasi peraturan dalam bidang ekonomi. Misalnya, Ibnu Taimiyah

menjelaskan bahwa pemerintah dapat melakukan intervensi harga, namun dalam

hal ini secara tekstual Ibnu Taimiyah, keputusan tersebut kelihatannya melanggar

nash hadits nabi yang menyatakan bahwa tidak diizinkan ada pengaturan harga.

Penetapan hukum yang didasarkan pada maslahah juga dapat dilihat dari

pembolehan penggunaan zakat untuk kegiatan produktif dan inovasi wakaf dalam

bentuk tunai.31

31
Ibid., h. 72.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat disimpulkan, yaitu sangat

banyak persoalan yang mengandung kemaslahatan dan merupakan kebutuhan

manusia dalam membangun kehidupan mereka. Tetapi dalam hal ini tidak

ditemukan satu dalil pun yang memberikan legitimasi, menjustifikasi, ataupun yang

menolaknya. Untuk mengatasi persoalan ini diterapkan prinsip kemaslahatan dalam

konteks maslahah mursalah, sebagaimana yang juga telah diterapkan oleh kalangan

ulama klasik modern dan kontemporer.

Sebagai contoh adalah pembuatan penjara yang tidak terdapat dalam

Alquran dan tidak pernah dipraktikan di masa Rasullulah, baik untuk memberikan

justifikasi (membenarkan) maupun yang melarangnya. Tatkala situasi dan kondisi

kemudian menghendaki, dengan kemaslahatan yang dapat diprediksi, sudah

selayaknya hukum Islam dapat mengakomodirnya, kalua memang sangat

dibutuhkan manusia. Atas dasar itulah Umar ibn Khattab, untuk pertama kali

melembagakan lembaga tersebut. Walaupun demikian, batas territorial, lingkup dan

cakupam maslahah mursalah harus jelas dan tegas, yaitu tidak sampai menembus

batas-batas dan ruang lingkup persoalan ibadat atau tauhid. Terhadap persoalan

yang masuk lingkup ibadat telah disepakati ulama bahwa kita harus bersikap

ta’abuddi dan tauqifi, artinya kita harus bersikap taken for granted sesuai dengan

petunjuk dan tuntunan nash (Alquran dan Sunnah). Sehingga campur tangan akal

(rasio) tidak dapat diterima, karena akal tidak mampu menjangkaunya.

21
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Alma, Buchari. Dasar-Dasar Bisnis dan Pemasaran. Bandung: Alfabeta, 1992.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Penerbit Amzah 2011.
Basri, Rusdaya Fiqh Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
______. Ushul Fikih 1. Pare-pare: IAIN Pare-pare Nusantara Press, 2019.
Jazuli, Ahmad. Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta: Kencana, 2007.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulu Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Mas’ud, Muhammad Khalid. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial.
Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Minka, Agustianto. Maqashid Syariah dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah.
Jakarta: Penerbit Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, 2013.
Miswanti, Agus. Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama, 2019.
Qardhawi, Yusuf. Ijtihad dalam Syariat Islam: Beberapa Analisis tentang Ijtihad
Kontemporer. Jakarta: Bulan Bintang. 1987.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaharuan
Hukum di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta,
2003.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.
Yafie, Ali. Konsep Istihsan-Istihsan, Istislah, Istishab, dan Maslahat al-Ammah.
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994.
Zein, Ma’shum. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2016.

B. Jurnal
Fahlevi, Rizal. “Implementassi Maslahah Dalam Kegaiatan Ekonomi Syariah”.
Jurnal Ekonomi Syari’iah, Volume 14, Nomor 2, 2015.
Hendri dan Mashudi. “Al-Maslahah Al-Mursalah dalam Penentuan Hukum Islam”.
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Volume 4, Nomor 1, 2018.
Yusmita. ”Dinamika Pencatatan Pernikahan Di Indonesia dalam Kajian Maslahah
Mursalah”. Journal of Islamic Civil Law, Volume 2, Nomor 1, 2023.

22

Anda mungkin juga menyukai