Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

USHUL FIQIH

“Mashlahah mursalah”
Dosen Pengampu :
Dr. H. ANDRIYALDI, M.A.

KELOMPOK VIII :

1. Yenita Harmen (1421052)


2. Aderil Alga (1421062)

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN BUKITTINGGI)
2022/2023
MASHLAHAH MURSALAH
A. Pengertian Mashlahah Mursalah
Sebelum menjelaskan arti Mashlahah mursalah, terlebih dahulu perlu dibahas tentang
Mashlahah, karena Mashlahah mursalah itu merupakan salah satu bentuk dari Mashlahah.
Mashlahah ( ‫ ) مصلحة‬berasal dari kata shalaha ( ‫ ) صلح‬dengan penambahan “alif” diawalnya yang
secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan
arti kata shalah, yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Pengertian Mashlahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong
kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan
keuntungan dan kesenangan, atau dalam arti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi setiap
yang mengandung manfaat patut disebut Mashlahah. Dengan begitu Mashlahah itu mengandung
dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemashlahatan dan menolak atau menghindarkan
kemudharatan.1
Dalam mengartikan Mashlahah secara definitive terdapat perbedaan rumusan di kalangan
ulama yang kalau di analisis ternyata hakikatnya adalah sama.
1. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya Mashlahah itu berarti semua yang
mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan), namun
hakikat dari Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum).
2. Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan diatas yaitu
memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan
kerusakan dari manusia.
3. Al-Syaitibi mengartikan Mashlahah itu dari dua pandangan:
a. Dari segi terjadinya Mashlahah dalam kenyataan, berarti sesuatu yang kembali
kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang
dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak.
b. Dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada kemashlahatan yang merupakan
tujuan dari penetapan hukum syara’. Untuk menghasilkannya Allah menuntut
manusia untuk berbuat.

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 142.

2
Dari beberapa definisi tentang Mashlahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat
disimpulkan bahwa Mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena
mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.2
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat-
mausuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-
Mashlahah. Tentang arti Mashlahah telah dijelaskan diatas secara etimologis dan terminologis. 3
Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi
(kata dasar yang tiga huruf), yaitu rasala, dengan penambahan huruf “alif” di pangkalnya,
sehingga menjadi arsala. Secara etimologis (bahasa) artinya “terlepas”, atau dalam arti
muthlaqah (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata Mashlahah
maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak
bolehnya dilakukan.
Ada beberapa rumusan dari definisi yang berbeda tentang Mashlahah mursalah ini,
namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Diantara definisi
tersebut adalah:

1. Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan Mashlahah mursalah sebagai


berikut: apa-apa (Mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk
nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya.
2. Al-syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul memberikan definisi : Mashlahah yang tidak
diketahui apakah syari’ menolaknya atau memerhatikannya.
3. Ibnu Qudamah dari ulama Hanbali memberi rumusan: Mashlahah yang tidak ada
bukti ptunjuk tertentu yang membetalkannyadan tidak pula yang memerhatikannya.
4. Yusuf Hamid al-Alim memberikan rumusan: apa-apa (Mashlahah) yang tidak ada
petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memerhatikannya.
5. Muhammad Abu Zahrah memberi definisi: Mashlahah yang selaras dengan tujuan
syari’at islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang
pengakuannya atau penolakannya.

2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 144.
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 152.

3
Selain definisi diatas, masih banyak definisi lainnya tentang Mashlahah mursalah, namun
karena pengertiannya hampir bersamaan, tidak perlu dikemukakan semuanya. Memang terdapat
rumusan yang berbeda, namun perbedaannya tidak sampai pada perbedaan hakikatnya.
Dari beberapa rumusan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari
Mashlahah mursalah tersebut sebagai berikut:

1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan
kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
2. Apa yang baik menurut akal itu juga selaras dengan tujuan syara’ dalam menetapkan
hokum.
3. Apa yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada
petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya juga tidak ada petunjuk syara’ yang
mengakuinya.

Mashlahah mursalah tersebut dalam beberapa literature disebut dengan Mashlahah


muthlaqah, ada pula yang menyebutnya dengan manasib mursal, juga ada yang menamainya
dengan al-istishlah. Perbedaan penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat
pengertiannya.4

B. Macam – Macam Mashlahah


Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Mashlahah dalam artian syara’ bukan hanya
didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula karena
dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu
bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan. Umpamanya larangan
meminum minuman keras. Adanya larangan ini menurut akal sehat mengandung kebaikan atau
Mashlahah karena dapat menghindarkan diri dari kerusakan akal dan mental. Hal ini telah sejalan
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan haramnya minum minuman keras, yaitu memelihara
akal manusia sebagai salah satu dari lima prinsip pokok kehidupan manusia yang harus
dipelihara.
Kekuatan Mashlahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum,
yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 154.

4
manusia. Yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat
kebutuhan dan tuntunan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut.5

1) Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, Mashlahah ada tiga
macam, yaitu mashlahah dharuriyah, Mashlahah hajiyah, Mashlahah tahsiniyah.
a. Mashlahah dharuriyah adalah kemashlahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan
oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tiadak punya arti apa-apa bila satu
saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin
atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau Mashlahah dalam
tingkat dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi
pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.. segala usaha atau tindakan yang secara
langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima
unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan
menjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau Mashlahah dalam tingkat dharuri.
b. Mashlahah hajiyah adalah kemashlahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia
kepada tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemashlahatannya tidak secara
langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak
langsung menuju ke arah sana seperti dalam hal memberi kemudahan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup manusia. Mashlahah hajiyah juga jika tidak terpenuhi dalam
kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur
pokok tersebut, tetapi secara tidak langsung memang bisa mengakibatkan perusakan.
Contoh Mashlahah hajiyah adalah menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan
untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk kelangsungan akal, mengadakan jual beli untuk
mendapatkan harta.
c. Mashlahah tahsiniyah adalah Mashlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya
tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat hajiyah, namun kebutuhan
tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan hidup
manusia.

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 145.

5
Tiga bentuk Mashlahah tersebut, secara berurutan menggambarkan tingkatan peringkat
kekuatannya. Yang kuat adalah Mashlahah dharuriyah, kemudian Mashlahah hajiyah dan
berikutnya Mashlahah tahsiniyah.

2) Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syara’
dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum,
Mashlahah itu disebut juga dengan manasib atau keserasian Mashlahah dengan tujuan hukum.
Ditinjau dari pembuat hukum (syari’) memerhatikannya atau tidak, Mashlahah terbagi kepada
tiga macam:6
a. Al-Mashlahah mu’tabarah, yaitu Mashlahah yang secara tegas diakui syariat dan telah
ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan
berjihad untuk memelihara agama dari rongrongan musuhnya, diwajibkan hukum qishash
untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman atas peminum khamar untuk
memelihara akal, ancaman hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan,
serta ancaman hukuman mencuri untuk menjaga harta.7
b. Al-Mashlahah al-Mulghah, yaitu sesuatu yang dianggap palsu karena kenyataannya
bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya ada anggapan bahwa menyamakan
pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak wanita adalah Mashlahah. Akan tetapi
kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syari’at, yaitu ayat 11 surat an-nisa
yang menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali pembagian anak perempuan.
Adanya pertentangan itu menunjukkan bahwa apa yang dianggap mashlahat itu bukan
Mashlahah disisi Allah.
c. Al-Mashlahah al-Mursalah, dan Mashlahah macam inilah yang dimaksud dalam
pembahasan ini, yang pengertiannya adalah seperti dalam definisi yang disebutkan diatas.
Mashlahah macam ini terdapat dalam masalah-masalah mu’amalah yang tidak ada
ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam Al-quran dan Sunnah untuk
dapat dilakukan analogi. Contohnya peraturan lalu lintas dengan segala rambu-rambunya.
Peraturan seperti itu tidak ada dalil khusus yang mengaturnya, baik dalam Al-quran
maupun Sunnah Rasulullah. Namun, peraturan seperti itu sejalan dengan tujuan syari’at
yaitu dalam hal ini adalah untuk memelihara jiwa dan harta.

6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 148.
7
Rafsan Mulky, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 149.

6
Menurut Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A dalam bukunya menyebutkan mashlahah
mursalah terbagi tiga macam, yaitu:8

1. Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara’ dalam mengakui keberadaannya ( ma


syahid asy-syar’I lii tibariha).
2. Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara’ yang membatalkannya/menolaknya (ma
syahid asy-syar’I lii buthlaniha).
3. Al-Mashlahah yang tidak terdapat kesaksian syara’, baik yang mengakuinya meupun
yang yang menolaknya dalam bentuk nash tertentu ( ma lam yasyhad asy-syar’I la
libuthlaniha nash mu’ayyan).

Al-Mashlahah bentuk ketiga ini kemudian dibagi lagi kepada dua macam, yaitu sebagai
berikut:

1. Al-Mashlahah al gharibah, yaitu mashlahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian
syara’ terhadapnya, baik yang mengakui maupun yang menolaknya dalam bentuk
ataupun jenis tindakan syara’.
2. Al-Mashlahah al-mula’imah, yaitu mashlahah yang meskipun tidak terdapat nash
tertentu yang mengakuinya, tetapi ia sesuai dengan tujuan syara’ dalam lingkup yang
umum.

C. Syarat – Syarat Mashlahah


Mashlahah mursalah atau istishlah ialah Mashlahah-Mashlahah yang bersesuaian dengan
tujuan-tujuan syari’at islam, dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat
melegitimasi atau membatalkan Mashlahah tersebut. Jika Mashlahah didukung oleh sumber dalil
yang khusus, maka termasuk kedalam qiyas dalam arti umum. Dan jika terdapat ashl khas
(sumber dalil yang khusus) yang bersifat membatalkan, maka Mashlahah tersebut batal.
Mengambil Mashlahah dalam pengertian yang terakhir ini bertentangan dengan tujuan-tujuan
syari’.

8
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 2010). Hal. 207.

7
Imam Malik adalah Imam Mazhab yang menggunakan dalil Mashlahah mursalah. Untuk
menerapkan dalil ini, ia menganjurkan syarat yang dapat dipahami melalui definisi diatas,
yaitu :9
1. Adanya persesuaian antara Mashlahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri
sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqasid syari’ah). Dengan adanya persyaratan ini,
berarti Mashlahah tidak boleh menegasikan sumber dalil yang lain, atau bertentangan
dengan dalil yang qath’i. akan tetapi harus sesuai dengan Mashlahah-Mashlahah yang
memang ingin diwujudkan oleh Syari’. Misalnya jenis itu tidak asing, meskipun tidak
deiperkuat dengan adanya dalil khas.
2. Mashlahah itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan
pemikiran yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan
dapat diterima.
3. Penggunaan dalil Mashlahah ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang
mesti terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam pengertian senandainya Mashlahah yang dapat
diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.

Syarat-syarat diatas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah
penggunaan sumber dalil ini (Mashlahah mursalah) tercerabut dari akarnya (menyimpang dari
esensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang
dipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan Mashlahah mursalah.
Sumber hukum ini (Mashlahah mursalah) termasuk sumber hukum yang masih
dipertentangkan diantara ulama ahli fiqh. Golongan Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’I tidak
menganggap Mashlahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan
memasukkannya kedalam bab (kategori) qiyas, jika didalam suatu Mashlahah tidak ditemukan
nash yang bisa dijadikan acuan qiyas, maka Mashlahah tersebut dianggap batal, tidak diterima.
Imam Malik dan golongan Hanbali berpendapat bahwa Mashlahah dapat diterima dan dijadikan
sumber hukum selama memenuhi semua syarat-syarat diatas. Sebab pada hakikatnya, keberadaan
Mashlahah adalah dalam rangka merealisasikan maqasid syar’i (tujuan-tujuan syari’) meskipun
secara langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya.10

9
Abu Zahrah Muhammad, Ushul fiqh, (Jakarta: Cipta Karya Ilmu. 2010). Hal. 427.
10
Abu Zahrah Muhammad, Ushul fiqh, (Jakarta: Cipta Karya Ilmu. 2010). Hal. 428.

8
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dan memfungsikan Mashlahah
mursalah, yaitu:11

1. Sesuatu yang dianggap Mashlahah itu haruslah berupa Mashlahah hakiki yaitu benar-
benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan berupa
dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat
kepada akibat negative yang ditimbulkannya. Misalnya yang disebut terakhir ini
adalah anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan thalak itu berada ditangan wanita
bukan lagi di tangan pria dalah Mashlahah palsu, karena bertentangan dengan
ketentuan syari’at yang menegaskan bahwa hak untuk mejatuhkan thalak berada di
tangan suami sebagaimana disebut dalam hadits: Dari Ibnu Umar sesungguhnya dia
pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid, hal itu diceritakan
kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda: Suruh Ibnu Umar untuk merujuknya lagi,
kemudian menalaknya dalam keadaan suci atau hamil. (HR. Ibnu Majah)

Secara tidak langsung hadits tersebut memberikan informasi bahwa pihak yang paling
berhak untuk menalak istri adalah suami, yang dalam kasus ini adalah Ibnu Umar.

2. Sesuatu yang dianggap Mashlahah itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan
kepentingan pribadi.
3. Sesuatu yang dianggap Mashlahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada
ketegasan dalam Al-quran atau Sunnah, atau bertentangan dengan Ijma’.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut da beberapa alasan lain yang tidak dapat disebut
semua dalam tulisan ini, kalangan Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian kalangan Syafi’iyah
menganggap sah Mashlahah mursalah sebagai landasan hukum. Adapun alasan-alasan yang
dikemukakan oleh pihak yang menolak Mashlahah mursalah sebagai dalil hukum, menurut pihak
kedua ini adalah lemah. Karena kenyataannya berlawanan dengan dalil tersebut, dimana tidak
semua kebutuhan manusia ada rinciannya dalam Al-quran dan Sunnah. Di samping itu, untuk
menetapkan bahwa suatu Mashlahah mursalah itu secara sah dapat difungsikan, membutuhkan
persyaratan yang ekstra ketat. Dengan persyaratan-persyaratan itu, adanya kemungkinan bahwa
Mashlahah mursalah akan disalahgunakan oleh berbagai pihak, dapat dihindarkan.

11
Rafsan Mulky, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 152.

9
D. Kehujjahan Mashlahah mursalah
Golongan Maliky sebagai pembawa bendera Mashlahah mursalah sebagaimana telah
disebutkan, mengemukakan tiga alasan sebagai berikut:12
1. Praktek para sahabat yang telah menggunakan Mashlahah mursalah, diantaranya:
a. Sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak
pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka
melakukan pengumpulan itu tidak lain kecuali semata-mata karena mashlahat,
yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirnya kerena
meninggalkannya sejumlah besar hafidh dari generasi sahabat.
b. Khulafaur Rasyidin menetapkan keharusan menaggung ganti rugi kepada tukang.
Padahal menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas
kepercayaan (amanah). Alkan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani
tanggung jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak
memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang berada
dibawah tanggung jawabnya. Sahabat Ali RA menjelaskan bahwa asas
diberlakukannya ganti rugi (memberi jaminan) disini adalah Mashlahah. Ia
berkata: Masyarakat tidak akan menjadi baik kecuali dengan jalan diterapkannya
ketentuan tentang ganti rugi (jaminan).
c. Umar bin Khattab RA memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar
memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari
kekuasaannya. Karena Umar melihat bahwa dengan cara itu pegawai/penguasa
dapat menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah dari melakukan manipulasi dan
mengambil harta ghanimah (rampasan) dengan cara tidak halal. Jadi
kemashlahatan umumlah yang mendorong Khalifah Umar mengeluarkan
kebijaksanaan itu.
d. Umar bin Khattab RA sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna
memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air.
Sikap umar tergolong dalam kategori Mashlahah, agar mereka tidak mengulangi
perbuatannya lagi yaitu mencampur susu.13

12
Rafsan Mulky, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 150.
13
Rafsan Mulky, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 151.

10
e. Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok
(jama’ah) lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-sama
melakukan pembunuhan tersebut, karena memang kemashlahatan
menghendakinya. Alasannya, orang yang dibunuh adalah ma’sum (terpelihara)
darahnya, sementara ia teleh dibunuh dengan sengaja. Seandainya kita
berpendapat bahwa sekelompok orang (jama’ah) tidak dikenakan hukuman mati
dengan membunuh satu orang, maka dalam kasus semacam itu menumpahkan
darah seseorang oleh orang banyak sama artinya dengan menghindarkan dari
hukuman qiyas. Sebab untuk melakukan pembunuhan terhadap satu orang, cukup
bisa dilakukan oleh dua orang. Maka setiap orang yang ingin selamat dari sanksi
hukuman qiyas, ia bisa melakukan pembunuhan bersama orang lain (cukup
berdua), dan keduanya terbatas dari sanksi hukuman tersebut, sementara
lawannya mati terbunuh. Oleh karena itu kemashlahatan mendorong untuk
diterapkannya hukuman mati terhadap seluruh anggota kelompok (jama’ah) hanya
karena membunuh satu orang di daerah Shan’a, kemudian Umar membunuh
mereka semuanya, dan berkata: “Seandainya seluruh penduduk Shan’a bersama-
sama membunuhnya, niscaya aku bunuh semuanya”. (Lihat al-I’tisham, Juz 2, hal
287-302).
2. Adanya Mashlahah sesuai dengan maqasid syari’ (tujuan-tujuan Syari’), artinya
dengan mengambil Mashlahah berarti sama dengan merealisasikan maqasid syari’.
Sebaliknya mengesampingkan Mashlahah berarti mengesampingkan maqasid syari’,
sedang mengesampingkan maqasid syari’ adalah batal. Oleh karena itu, adalah wajib
menggunakan dalil Mashlahah atat dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok
(ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber
pokok), bahkan terjadi sinkronisasi antara Mashlahah dengan maqasid syari’.
3. Seandainya Mashlahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung
Mashlahah selama berada dalam konteks Mashlahah-Mashlahah syar’iyyah, maka
orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010)

Mulky Rafsan, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009)

Dahlan Abd. Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 2010)

Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, (Jakarta: Cipta Karya Ilmu. 2010)

12

Anda mungkin juga menyukai