Kedua, komitmen saling memahami, saling mengisi, saling melengkapi, dan saling memperkuat.
Ego-ego yang ada tetap harus terjaga dalam kesadaran sebagai makhluk Tuhan. Siapapun ego
itu pasti tidak sia-sia diciptakan oleh-Nya. Pertemuan antar ego bukan saling menafikan, tetapi
saling menunjukkan ego seutuhnya sehingga bisa saling memahami. Dalam merespons hal-hal
di luar egonya, semuanya musti saling mengisi, saling memperkuat, agar muncul sinergitas
yang kuat dan menghasilkan produk yang penting untuk kepentingan masing-masing ego,
seluruh anggota keluarga, dan bahkan lingkungan lebih luas.
Dan ketiga, kesediaan untuk saling belajar dan saling beramal. Dalam kebersamaan antar ego
itu harus dikembangkan proses inquiri dan adcokatori yang sejati. Ini adalah proses
pembelajaran yang berlanjut sampai dengan amalan yang salih. Kita tahu ego yang ideal
adalah ego yang menyatu dalam dirinya belajar, mengajar, dan beramal. Betapa kuat dan
kokohnya fondasi dan konstruksi keluarga jika terdiri dari ego-ego yang ideal. Kesinilah konsep
keluarga maslahah dikembangkan.
C. Stratifikasi Maslahah
Ditinjau dari segi kepentingan dan kualitas maslahah bagi kehidupan manusia, ahli ushul fiqh membagi
Maslahah menjadi tiga tingkatan.
1. Maslahah al- Darriyah
Maslahah al-darriyah adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia
didunia dan di akhirat. Demikian penting kemaslahatah ini, apabila luput dalam kehidupan manusia
akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan
ini meliputi pemeliharaan agama, diri, akal keturunan dan pemeliharaan terhadap harta.
Pemeliharaan kelima sendi diatas diurut berdasarkan sekala prioritas. Artinya, sendi yang
berada di urutan pertama (agama) lebih utama dari sendi kedua (jiwa). Dan sendi kedua lebih kuat
daripada sendi ketiga (akal), dan begitu seterusnya sampai sendi kelima.
Senada dengan tarf al-Ghazl, bahwa maslahahdarriyah merupakan maslahah yang sangat
diperlukan manusia. Yang merupakan tingkatan paling tinggi. Sehingga maslahah ini harus ada dalam
menegakkan kemaslahatan agama dan dunia.
2. Maslahah al- Hjiyah
Maslahah al-Hajiyah adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan
kemaslahatan pokok mereka dan menghilangakan kesulitan yang dihadapi. Termasuk Maslahah ini
semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya.
Senada dengan tarf diatas, al-Qardhawi mendefinisikan maslahahal-Hajiyah adalah kemaslahatan
yang tingkat kebutuhan hidup manusia tidak pada tingkat darriyah akan tetapi bentuk
kemaslahatannya secara tidak langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok (darri).
Menurut al-Ghazl maslahah al-hajiyah adalah kemaslahatan hidup manusia yang tidak pada
tingkat pokok (darri). Bentuk kemaslahatannya tidak langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang
lima, tetaoi secara tidak langsung menuju kearah yang sama seperti dalam memberi kemudahan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia, apabila tidak dipenuhi maka tidak sampai secara langsung
menyebabakan rusaknya lima unsur pokok itu.
al-Ghazl tidak mengkhususkan maslahah ini dalam satu lingkup maslahah saja. Dengan
demikian ada kemungkinan maslahah al-hjiyah ini masuk dalam lingkup ibadah, mu'malah, adat
maupun jinayah.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip utama dalam aspek hjiyah ini adalah untuk
menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mukalaf (orang yang
dibebani hukum).
3. Maslahah al-Tahsniyah
Maslahah al-tahsniyah adalah kemaslahatan yang bertujuan untuk mengakomodasikan kebiasaan dan
perilaku baik serta budi pekerti luhur. Maslahah ini sering disebut maslahah takmliyah, yaitu suatu
kemaslahatan yang bersifat pelengkap dan keluasan terhadap
kemaslahtan darriyah dan hjiyah. Kemaslahatan dimasudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi
pekerti. Sekiranya, kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalm kehidupan, tidaklah sampai
menimbulkan keguncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian,
kemaslahtan ini tetap penting dan dibutuhkan manusia.
Dilihat dari segi tingkat kegunaan al-Ghazl membagi maslahah menjadi dua, yaitu:
1. Maslahah yang berhungan dengan kemaslahatan umum, kepentingan semua makhluk, serta
berhubungan dengan kemaslahatan mayoritas.
2. Maslahah yang berhubungan dengan kemaslahatan perorangan atau individu.
Kemudian ditinjau dari segi eksistensi maslahah dan ada tidaknya dalil yang langsung
mengaturnya, maslahah dibagi menjadi tiga macam:
1. Maslahah al-Mu'tabarah adalah suatu kemaslahtan yang dijelaskan dan diakui keberadaannya secara
langsung oleh nas . Untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, Islam
menetapka hukum qiss pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, seperti firman Allah:
.....
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh;
Untuk memelihara dan menjamin keamanan kepemilikan harta, Islam menetapkan hukuman potong
tangan bagi pelaku pencurian, sbagaimana terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 38:
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Demikian pula untuk untuk memelihara kehormatan manusia, islam melarang melakukan qazaf dan
zina. Misalnya larangan zina ditemukan dalam surat Al-Isra ayat 32:
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk.
2. Maslahah Al-Mulghh
Maslahah al-mulghh adalah suatu kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan dengan nas .
Karenaya, segala bentuk kemaslahatan seperti ini ditolak oleh shara. Menurut Abdul Wahab Khlaf,
salah satu contoh relevan dengn maslahah ini adalah fatwa seorang ulama madhhab Mliki di Sepanyol
yang bernama Laist Ibnu Saad (94-75 H) dalam menentukan kafarat orang yang melakukan hubungan
suami-istri pada siang bulan bulan ramadhan. Berdasarkan hadth Nabi, orang yang melakukan demikian
adalah memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut atau memberi makan 60 orang fakir
miskin. Kasus ini terjadi disepanyol dan orang yang melakukan hubungan suami istri itu adalah seorang
penguasa. Mengingat orang ini penguasa, apabila kafaratnya memerdekakan budak tentu dengan
mudah ia dapat membayar dengan mudah dan dan kembali melakukan pelanggaran dengan mudah
pula. Atas dasar pertimbangan seperti itu Laist Ibnu Saad menetapkan kafarat bagi penguasa ini puasa
berturut-turut.
Maslahah model seperti ini jelas menyalahi al-Hadth diatas, karena kaffarat itu dilaksanakan secara
berurut. Apabila seseorang tidak bisa memerdekakan budak , barulah ia bisa memilih alternatif kedua,
yaitu puasa dua bulan berturut-turut. Karenanya mendahulukan kaffarat puasa daripada
memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang bertentangn dengan dengan kehendak shara,
shingga dipandang batal dan ditolak.
3. Maslahah Al-Mursalah
Ada beberapa definisi maslahah al-mursalah yang dikemukakan oleh ulama. Said Ramadhan
mendefinisikan maslahah adalah setiapmaslahah yang termasuk dalam maqsid al-shar'ah baik
ada nas yang mengakui atau menolaknya.
Abu Zahrah mendefinisikan maslahah al-mursalah merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan
maksud shara tetapi tidak ada nas secara khusus yang memerintahnya atau menolaknya.
Dari definisi ini tampak bahwa maslahah al-mursalah merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan
apa yang terdapat didalam nas, tetapi tidak ada nas yang khusus yang memerintah dan melarang untuk
mewujudkannya. Dan hal ini dapat dibuktikan dari sekumpulan nas dan makna yang dikandungnya.
Dengan demikianmaslahah ini dapat dijadikan pijakan dalam mewujudkan kemaslahatan yang
dibutuhkan manusia dan menghindarkan kemadharatan.
D. Kehujjahan Maslahah
Dalam kehujjahan maslahah, teradapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul, diantaranya
1. Maslahah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut Ulama-Ulama Shfiiyah, Hanfiyah, dan
sebagian ulama Mlikiyah, seperti Ibnu Hajib dan Ahli zhir.
2. Maslahah dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama Mlikiyah, dan sebagian
ulama syafiiyah, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
Jumhur Hanfiyah dan Shfiiyah mensyaratkan tentang maslahahini, hendaknya dimasukkan di
bawah qiys, yaitu bila terdapat hukum asal yang dapat diqiyskan kepadanya dan juga illat
mudhabit (tepat) sehingga dalam hubungan hukum terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan.
Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan shara, tetapi
mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan shara ini, karena luasnya
pengetahuan mereak dalam soal pengakuan shri (Allah) terhadap illat sebagai tergantungnya hukum,
yang merealisir kemaslahatan. Hal ini, karena hampir tidak ada maslahah yang tidak memiliki dalil yang
mengakui kebenarannya.
3. Imam al-Qarafi, berpendapat tentang kehujjahan maslahah bahwa sesungguhnya berhujjah
dengan maslahah dilakukan oleh semua mazhab, karenam mereka melakukan qiys dan membedakan
antara satu dengan yang lainnya, karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.
Daftar Pustaka:
Khairul Umam dkk, Ushul Fiqh I. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
Rachmad SyafeI, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Said, Ramdhan al Buthi, Dhawabit al-Maslahah Fi al-Shriah al-Islamiyah. Bairut: Muassah
al- Risalah, 1977.
Al-Syaukani, Irsyad al- Fuhu. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al- syatibi, al-Mustasfa. Bairut: Dar al-Tsaqofah, t.t.
Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa Min Ilmi Ushul, Juz II.
Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Musthafa zaid, al-Maslahah Fi al-Tasyri al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr al-Arobi, 1974.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Bairut: Dar al Fikr, t.t.
Ridho Rokamah,al-Qowaid al-Fiqhiyah. Ponorogo: STAIN Press Ponorogo, 2007.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh,terj. Masdar Helmi.Bandung: Gema Risalah Press, 1996
Firdaus, Ushul Fiqh-Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif. Jakarta: zikrul Hakim, 2004.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006.
Yusuf Qardhawi, Membumikan Shriat Islam, terj. Ade nurdin dan riswa. Bandung: Mizan
Pustaka, 2003.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Al-Ghazali, Shifa Al-Ghalil. Bagdad: Matbaah Al-Irsyad, 1971.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushu Al-Fiqh. Kuwait: Dar Al-Qalam, 1978.
Said Ramdhan Al-Buthi, Dhawabit Al-Maslahah Fi Al-Shriah Al-Islamiyah. Bairut: Muassah
Al-Risalah, 1977.
Syffii Karim, Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2006.
Asafri Jaya Bakri, konsep maqosid sya memenurut al-Syatibi.Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Muhammad Abu Zahra, ushul al-fiqh. Cairo: Dr al-Fikr al-Arbi, 1957.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dr al-fikr, 1996.
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.