Anda di halaman 1dari 13

Keluarga Maslahah, salah satu harapan dan cita-cita banyak orang adalah mewujudkan

keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Pertama-tama, kehidupan keluarga dibangun


atas dasar ketundakan pada Yang Satu, ini merupakan ikatan tali kasih semua anggota
keluarga hanya pada Sang Khaliq sumber cinta yang sesungguhnya. Bukti ketundukan adalah
ibadah dengan sempurna. Secara simbolik ritualistik biasanya ditunjukkan dengan shalat
berjamaah dan tadarrus bersama.

Kedua, komitmen saling memahami, saling mengisi, saling melengkapi, dan saling memperkuat.
Ego-ego yang ada tetap harus terjaga dalam kesadaran sebagai makhluk Tuhan. Siapapun ego
itu pasti tidak sia-sia diciptakan oleh-Nya. Pertemuan antar ego bukan saling menafikan, tetapi
saling menunjukkan ego seutuhnya sehingga bisa saling memahami. Dalam merespons hal-hal
di luar egonya, semuanya musti saling mengisi, saling memperkuat, agar muncul sinergitas
yang kuat dan menghasilkan produk yang penting untuk kepentingan masing-masing ego,
seluruh anggota keluarga, dan bahkan lingkungan lebih luas.

Dan ketiga, kesediaan untuk saling belajar dan saling beramal. Dalam kebersamaan antar ego
itu harus dikembangkan proses inquiri dan adcokatori yang sejati. Ini adalah proses
pembelajaran yang berlanjut sampai dengan amalan yang salih. Kita tahu ego yang ideal
adalah ego yang menyatu dalam dirinya belajar, mengajar, dan beramal. Betapa kuat dan
kokohnya fondasi dan konstruksi keluarga jika terdiri dari ego-ego yang ideal. Kesinilah konsep
keluarga maslahah dikembangkan.

KONSEP MASLAHAH DALAM HUKUM ISLAM


A. Pengertian Maslahah
Secara leksikal maslahah berasal dari bahasa arab yang berarti manfaat,fidah, bagus, guna atau
kegunaan, kata maslahah diambil dari kata kerjashalaha-yasluhu menjadi sulhan-mashlahatan. yang
mengikuti wazan (pola)faala-yafulu.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahah artinya sesuatu yang mendatangkan
kebaikan (kemaslahatan dan sebagainya), faedah, guna. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan,
kebaikan, manfaat atau kepentingan.
Bisa juga dikatakan bahwa maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrod)dari kata al-
maslih. Pengarang lisn al-Arob menjelaskan dua arti, yaitual-maslahah yang berarti al-
sholah dan al-maslahah yang berarti bentuk tunggal dari al-maslih. Semuanya mengandung arti
adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan
faedah, ataupun pencegahan dan pencagaan, seperti menjauhi kemadharatan dan penyakit. Semua itu
bisa dikatan maslahah.
Pengertian maslahah secara istilah dapat ditemukan pada kajian ushuliyyin saat
membicarakan munsib, dan pada saat membicarakan maslahahsebagai dalil hukum , ada beberapa
rumusan definisi maslahah menurut istilah, yakni sebagai berikut:
Dalam pandangan al-Buthi, maslahah adalah manfaat yang ditetapkan shriuntuk para hambanya yang
meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sendiri sesuai dengan urutan
tertentu.
Dari definisi ini, tampak yang mejadi tolok ukur maslahah adalah tujuan-tujuan shara atau
berdasarkan ketetapan shri. Meskipun kelihatan bertentangan dengan tujuan manusia yang sering kali
dilandaskan pada hawa nafsu semata.
Selanjutnya, Imam al-Rzi mendefinisikan maslahah sebagai perbuatan yang bermanfaat yang telah
diperintahkan oleh shri (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya,
akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
Berikutnya, al-Syaukni menjelaskan maslahah lebih terperinci, karena menurut dia makna yang
digunakan untuk mengistilahkan maslahahmemiliki makna yang berbeda-beda, maslahah adakalanya
disebut al-munsabah karena untuk mendapatkan kepastian hukum dari permasalahan yang tidak ada
dalilnya seseorang dapat melakukan munsabah, yaitu membandingkan dengan permasalahan nas al-
Quran. Adakalanya maslahahdisebut dengan al-Halt, karena mungkin juga manusia menduga-duga
adanya kemanfaatan dibalik suatu hukum. Maslahah disebut dengan riyahal-maqsid, Karena dengan
mewujudkan kemaslahatan berarti mewujudkan dan menjaga tujuan shara, yaitu kemaslahatan umum.
Lebih jelasnya ia berpendapat bahwa maslahah adalah sesuatu yang perlu untuk dilestarikan dan
sejalan dengan keinginan manusia untuk menarik manfat dan menolak bahaya.
Kemudian Al-Sytibi, salah satu Ulama Madzhab Maliki mengatakan bahwamaslahah adalah setiap
prinsip shara yang tidak disertai nas khusus, namun sesui dengan tindakan shara serta maknanya
diambil dari dalil-dali shara. Makna prinsip tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat
dijadikan bahan rujukan sepanjang ia telah menjadi prinsip dan digunakan oleh shara yang qat'.
Dia mengklarifikasikan maslahah menjadi dua bagian , maslahah dari keberaannya didunia dan dari
aspek hubungannya dengan statemen shriah(khitb shriah). Dalam kaitanya keberadaanya
didunia, maslahah berarti sesuatu yang membicarakan penegakan kehidupan manusia dan pencapaian
segala sesuatu yang dianut oleh kualitaas intelektual dan emosinya. Oleh karena itu dalam dataran
praktis, maslahah berhubungan erat dengan sesuatu yang lazim dimasyarakat yang disebut adat.
Sedangkan dari aspek kedua, segala sesuatunya kembali lagi keketentuan ketentuan shriah. Dalam
hal ini, apabila shri menuntut sesuatu itu dikerjakan oleh manusia berarti maslahah dan apabila
dilarang berarti mafsadah.
Adapun menurut al-Ghazl, dia menjelaskan bahwa secara harfiahmaslahah adalah menarik
kemanfaatan dan menghindarkan kerugian. Namun yang dikehendaki dalam kpembahasan maslahah ini
bukanlah pengertian tersebut, akan tetapi melestarikan tujuan-tujuan shriat. Seadangkan tujuan
shriat pada makhluk mencakup lima hal, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
kekayaan. Karenanya setiap hal yang memiliki muatan pelestarian terhadap lima prinsip dasar ini
adalah maslahah. Sendangkan hal-hal yang menghambat pencapaian prinsip-prinsip ini disebut
mafsadah, dan menolalak atas mafsadah adalah suatu maslahah.
Mustafa Syalbi, menyimpulkan maslahah kedalam dua pengertian. Pertama,dengan pengertian
majas, maslahah adalah sesuatu yang menyampaikan pada kemanfaatan. Kedua, secara
hakiki, maslahah adalah akibat itu sendiri yang timbul dari sebuah tindakan, yaitu berupa kebaikan
atau kaemanfaatan.
Kemudian pengertian maslahah menurut al-Tf, ia mendefinisikanmaslahah menurut urf (pemahaman
umum yang berlaku di masyarakat) adalah sebab yang membawa pada kemaslahatan (manfaat). Dengan
demikian al-Tf ingin menegaskan bahwa maslahah yang ingin di kehendaki hukum islam tidak sama
dengan apa yang dikehendaki manusia.
Yang terahir pengertian maslahah menurut Wahbah al-Zuhaili.dia menawarkan sebuah definisi yang
dianggap akodatif dan dapat menjelaskan hakikat maslahah, ia menuturkan bahwa maslahah adalah
karakter yang memiliki keselarasan dengan perilakau penetapan shriah dan tujuan-
tujuannya, namun tidak ada dalil secara spesifik mengungkapkan atau menolaknya, dengan proyeksi
mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkanmafsadah (kerusakan).
Dari uraian definisi dan sedikit penjelasan diatas, penulis lebih sepakat dengan
pengertian maslahah yang terahir yaitu menurut Wahbah al-Zuhaili. Karena pengertian tersebut mampu
mengakomodasi dan sekaligus menjelaskan hakikat maslahah. Dengan bahasa yang
sederhana, maslahahadalah setiap hal yang mengandung kemanfaatan namun tidak ada nas tertentu
yang menguatkanya akan tetapi masih sesui dengan prinsip shara.

B. Dasar Hukum Maslahah


Jumhur ulama mengajukan pendapat bahwa maslahah merupakan hujjahshriat yang bisa dijadikan
metode pembentukan hukum mengenai kejadian yang hukumnya tidak ada dalam nas , ijm , qiys,
atau Istihsn. Dalil atau argument yang dipakai para ulama jumhur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Survey membuktikan bahwa dalam hukum-hukum shriat selalu terdapat unsur kemaslahatan
bagi manusia. Asumsi semacam ini akan menimbulkan dugaan yang kuat akan
legalitas maslahahsebagai salah satu variable penetap hokum islam. Sedangkan mengikuti
dugaan kuat (zann) adalah suatu keharusan. Pemikiran semacam ini didasarkan pada beberapa
argumentasi nas , diantaranya:
Firman Allah dalam Surat al-Ambiy ayat 107

Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Al-Adlul sbagaimana dikutib Wahbah al-Zuhaili, menguraikan sisi argumentative ayat
diatas. Menurutnya, dari ayat diatas yang secara zhir menunjukkan keumuman, diphami bahwa
dalam penshriatan berbagai hukum, Allah mengakomodasikan kemaslahatan bagi
manusia. Sebab bila Allah mengutus Rasul-Nya untuk memberlakukan shriah-tanpa adanya
kemaslahatan, maka sama halnya dengan pengutusan tanpa rahmat, karena hal tersebut adalah
taklif (pembebanan) tanpa faidah. Dengan demikian, hal ini akan menyalahi keumuman ayat.
Selanjutnya Adludl menggaris bawahi, bahwa tall(pengajuan ilat dari pembaharuan
hukum) merupakan suatu hal yang dominan dalam hukum-hukum shriah. Hal ini karena
rasionalitas suatu sebab serta keyakinan tujuan akhir adanya kemaslahatan akan menimbulkan
kepatuhan daripada sekedar dogmatisme suatu ajaran. Karenanya, tall berfungsi
menyampaikan tujuan diberlakukannya suatu hukum.
Argumentasi Lain, al-Quran Juga menjelaskan bahwa Allah melakukan kemudahan dan
keringanan. Firman Allah:

Artinya:Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu


Artinya: Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Demikian pula Rasulullah, beliu menegaskan bahwa ajaran Islam menegasikan segala
macam bentuk destruktif, dan penegasian ini suatu maslah, dari ibnu Abbas, Rasulullah
bersabda:
( )
Artinya: Tidak ada perbuatan destruktif dalam agama, baik terhadab diri sendiri maupun orang
lain.
2. Bahwa zaman berkembang kian pesat. Seiring dengan itu, paradigma pemenuhan kebutuhan
hidup mengalami pergeseran. Berbagai metode pencapaian kesejahteraanpun beragam. Dalam
kaitannya dengan kehidupan keberagaman, berbagai masalah kontemporer yang timbul
menyertainya harus disikapi secara hokum. Disisi lain, secara tekstual nas-nas shriat tidak
menyikapi semua permasalahan yang timbul tersebut berikut detail-detailnya secara spesifik.
Bila maslahah tidak dipertimbangkan sebagai salah satu metode ijtihd, betapa banyak
kemaslahatan manusia yang terabaikan, penalaran hukum shara akan mengalami stagnasi,
jumud, bahkan akan memunculakn kesan bahwa shriat Islam tidak relevan lagi dengan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, perlu dirumuskan metode penalaran baru yang
mengakomodasi kemaslahatan manusia. karena Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
Argumentasi ini bias diperkuat dengan kaidah:

Yakni, Segala macam sesuatu pada dasarnya adalah diperbolehkan, selama tidak ada dalil yang
melarangnya, sehingga posisi maslahah sebagai metode ijtihd sudah bisamenyelesaikan
permasalahn-permasalahan yang timbul pada argumentasi diatas.
3. Dengan menilik ijtihd dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya, diketahui bahwa pada
beberapa kasus, mereka bertindak dan berfatwaberdasakan prinsip maslahah, tanpa mengikatkan
diri pada perangkat normative qiys, yakni tanpa didukung oleh pengukuhan nas secara eksplisit
dan spesifik. Hal ini berjalan tanpa seorangpun yang mengingkarinya. Ini menimbulkan asumsi
terbentuknya ijm atas keabsahan metode penggalian hukum itu berdasarkan al-
munsib (baca: maslahah mursalah).
Fakta sejarah membuktikan bagaimana Abu Bakar ra. Merintis upaya pengumpulan
lembaran-lembaran al-Quran (tadwn) atas saran Umar bin Khatab ra. Yang kemudian
diteruskan pada masa pemerintahan Ustman bin Afan ra. Hingga tercetus program
standarisasi mushf.
Begitu juga Umar bin Khatab ra. Ia menetapkan talak tiga walau dengan sekali ucapan.
Umar juga menghentikan pembagian zakat kepada kaum mualaf, menetapkan pembayaran
pajak. Mengadakan tertib administrasi, pembangunan rumah-rumah tahanan dan penghapusan
hukuman penggal tangan bagi pencuri ketika musim paceklik.
Khalifah lain, Ustman bin Afan, ia memperstukan umat Islam dengan satu mushaf dan
membakar seluruh mushf lainnya, diamping menyebarkan mushf yang satu itu keberbagai
negara. Ustman juga menetapkan penerimaan harta waris bagi istri yang ditalak lantaran maksud
menghindari jatuhnya harta waris kepadanya.
Bahkan khalifah Ali bin Abi Tholib pernah membakar penghianat dari kaum syiah-
rafdhah. Ulama Shfi'yah menjatuhkan hukuman qiss bagi gerombolan yang membunuh
manusia (pembunuhan berkelompok).
Demikianlah argumen-argumen yang diajukan oleh para pengguna maslahah. Meskipun argumen-
argumen tersebut sudah disajikan secara faktual, namun oleh parapenolak maslahah, paparan berbagai
argumen ini dianggap belum cukup untuk dijadikan sebagai argumen legalitas maslahah. Para penolak
legalitas dengan beberapa argumen, diantaranya adalah:
Penerapan maslahah berpotensi mengurangi sakralitas hukum-hukum shriat. Karena pencetusan
hukum berdasarka maslahah sarat dengan konflik kepentingan dari pribadi pencetusnya. Sementara
garis shriat hanya merekomendasikan segi kemaslahatan secara global saja. Sehingga tidak mustahil
dengan berkedok maslahah, cetusan hukum yang dibuahkanakan terpengaruh oleh keinginan dan
kepentingan pribadi, dengan asumsi klise mereka bahwa segi kemaslahatan akan senantiasa berubah
selaras dengan perkembangan zaman. Wal hsil, penerapan maslahah tidak jauh beda dengan istihsan,
bahkan jauh lebih berbahaya. Sebabgaimana ungkapan al-Ghazl, yang terinspirasi dari adagium Al-
Syafii dalam menolak istihsn, yakni: man istahsana faqad syarroa, barang siapa
menggunakan maslahah maka ia telah membuat shriah baru.
Sebagaimana yang diutaran oleh Wahbah, argumentasi seperti ini tidak tepat, karena dalam
penerapan maslahah terdapat beberapa syarat yang salah satunya adalah
adanya mulaamah (keselarasan) antara bentuk kemaslahatan dengan tujuan-tujuan shriat, sehinga
sangat kecil sekali kemungkinan masuknya hawa nafsu untuk ikut andil didalamnya (baca:
pencetusan maslahah).
1. Maslahah berada dalam posisi pertengahan antara penolakan sharapada sebagian maslahah dan
pengukuhan pada bagian lainnya. Seandainya maslahah adalah suatu keharusan, hanya karena adaya
titik kesamaan dengan mutabarah (kemaslahatan yang dikukuhkan oleh shara) dalam segi semata-
mata ia adalah kemaslahtan, seharusnya pula pengabaian terhadap Maslahahadalah juga suatu
keharusan, karena adanya kesamaan dengan kemaslahatan mulgha(kemaslahatan yang ditolak
oleh shara) dalam segi tidak adanya pengukuhan shara. Faktor adanya kemungkinan
adanya maslahahsebagai maslahah mutabarah disatu sisi dan sebagai maslahahmulgho disisi yang lain
inilah yang menyebabkan tidak diperbolehkannya mengadopsi maslahah. Karena tidak ada prefensi
(tarjh) yang menjadikan lebih condong pada salah satu sisinya. Karenanya pula, maslahah tidak
mempinyai legalitas argumentatif dalam ranah hukum shriat.
Argumentasi seperti inipun sebenarnya juga masih lemah, karena maslahahyang tertolak oleh shara
relatif lebih sedikit daripada maslaha yang dikukuhkan (Maslahah mutabarah).
2. Maslahah akan merusak unitas dan universalitan shriat Islam. Hal ini karena hukum akan sering
berubah seiring dengan perkembangan zaman, kondisi dan pelakunya, sebab segi kemaslahtan akan
senantiasa berubah dan berkembang.
Argumentasi diatas justru memperkuat legalitas maslahah. karena pengingkaran maslahah akan
menutup pintu rahmah (belas kasih Tuhan) terhadap maslahah makhlu-makhluk-Nya. Artinya, hukum
Islam tidak bisa berjalan sesuai dengan semangat fleksibelitas yang selama ini kita pahami. Selain
itu, maslahah hanya boleh diterapkan ketika tidak terdapat nas atauijm yang menjelaskan status
hukum suatu kasus aktual. Karenanya penerapan maslahah tidak sampai menegasikan prinsip unitas dan
universalitas shriah. Bahkan sebaliknya, dalam segala dimensi ruang dan waktu, shriah Islam akan
menemukan relevansinya dengan menampilkan solusi dari problematika umat.

C. Stratifikasi Maslahah
Ditinjau dari segi kepentingan dan kualitas maslahah bagi kehidupan manusia, ahli ushul fiqh membagi
Maslahah menjadi tiga tingkatan.
1. Maslahah al- Darriyah
Maslahah al-darriyah adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia
didunia dan di akhirat. Demikian penting kemaslahatah ini, apabila luput dalam kehidupan manusia
akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan
ini meliputi pemeliharaan agama, diri, akal keturunan dan pemeliharaan terhadap harta.
Pemeliharaan kelima sendi diatas diurut berdasarkan sekala prioritas. Artinya, sendi yang
berada di urutan pertama (agama) lebih utama dari sendi kedua (jiwa). Dan sendi kedua lebih kuat
daripada sendi ketiga (akal), dan begitu seterusnya sampai sendi kelima.
Senada dengan tarf al-Ghazl, bahwa maslahahdarriyah merupakan maslahah yang sangat
diperlukan manusia. Yang merupakan tingkatan paling tinggi. Sehingga maslahah ini harus ada dalam
menegakkan kemaslahatan agama dan dunia.
2. Maslahah al- Hjiyah
Maslahah al-Hajiyah adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan
kemaslahatan pokok mereka dan menghilangakan kesulitan yang dihadapi. Termasuk Maslahah ini
semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya.
Senada dengan tarf diatas, al-Qardhawi mendefinisikan maslahahal-Hajiyah adalah kemaslahatan
yang tingkat kebutuhan hidup manusia tidak pada tingkat darriyah akan tetapi bentuk
kemaslahatannya secara tidak langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok (darri).
Menurut al-Ghazl maslahah al-hajiyah adalah kemaslahatan hidup manusia yang tidak pada
tingkat pokok (darri). Bentuk kemaslahatannya tidak langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang
lima, tetaoi secara tidak langsung menuju kearah yang sama seperti dalam memberi kemudahan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia, apabila tidak dipenuhi maka tidak sampai secara langsung
menyebabakan rusaknya lima unsur pokok itu.
al-Ghazl tidak mengkhususkan maslahah ini dalam satu lingkup maslahah saja. Dengan
demikian ada kemungkinan maslahah al-hjiyah ini masuk dalam lingkup ibadah, mu'malah, adat
maupun jinayah.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip utama dalam aspek hjiyah ini adalah untuk
menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mukalaf (orang yang
dibebani hukum).
3. Maslahah al-Tahsniyah
Maslahah al-tahsniyah adalah kemaslahatan yang bertujuan untuk mengakomodasikan kebiasaan dan
perilaku baik serta budi pekerti luhur. Maslahah ini sering disebut maslahah takmliyah, yaitu suatu
kemaslahatan yang bersifat pelengkap dan keluasan terhadap
kemaslahtan darriyah dan hjiyah. Kemaslahatan dimasudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi
pekerti. Sekiranya, kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalm kehidupan, tidaklah sampai
menimbulkan keguncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian,
kemaslahtan ini tetap penting dan dibutuhkan manusia.
Dilihat dari segi tingkat kegunaan al-Ghazl membagi maslahah menjadi dua, yaitu:
1. Maslahah yang berhungan dengan kemaslahatan umum, kepentingan semua makhluk, serta
berhubungan dengan kemaslahatan mayoritas.
2. Maslahah yang berhubungan dengan kemaslahatan perorangan atau individu.
Kemudian ditinjau dari segi eksistensi maslahah dan ada tidaknya dalil yang langsung
mengaturnya, maslahah dibagi menjadi tiga macam:
1. Maslahah al-Mu'tabarah adalah suatu kemaslahtan yang dijelaskan dan diakui keberadaannya secara
langsung oleh nas . Untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, Islam
menetapka hukum qiss pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, seperti firman Allah:

.....
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh;
Untuk memelihara dan menjamin keamanan kepemilikan harta, Islam menetapkan hukuman potong
tangan bagi pelaku pencurian, sbagaimana terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 38:


Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Demikian pula untuk untuk memelihara kehormatan manusia, islam melarang melakukan qazaf dan
zina. Misalnya larangan zina ditemukan dalam surat Al-Isra ayat 32:


Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk.
2. Maslahah Al-Mulghh
Maslahah al-mulghh adalah suatu kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan dengan nas .
Karenaya, segala bentuk kemaslahatan seperti ini ditolak oleh shara. Menurut Abdul Wahab Khlaf,
salah satu contoh relevan dengn maslahah ini adalah fatwa seorang ulama madhhab Mliki di Sepanyol
yang bernama Laist Ibnu Saad (94-75 H) dalam menentukan kafarat orang yang melakukan hubungan
suami-istri pada siang bulan bulan ramadhan. Berdasarkan hadth Nabi, orang yang melakukan demikian
adalah memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut atau memberi makan 60 orang fakir
miskin. Kasus ini terjadi disepanyol dan orang yang melakukan hubungan suami istri itu adalah seorang
penguasa. Mengingat orang ini penguasa, apabila kafaratnya memerdekakan budak tentu dengan
mudah ia dapat membayar dengan mudah dan dan kembali melakukan pelanggaran dengan mudah
pula. Atas dasar pertimbangan seperti itu Laist Ibnu Saad menetapkan kafarat bagi penguasa ini puasa
berturut-turut.
Maslahah model seperti ini jelas menyalahi al-Hadth diatas, karena kaffarat itu dilaksanakan secara
berurut. Apabila seseorang tidak bisa memerdekakan budak , barulah ia bisa memilih alternatif kedua,
yaitu puasa dua bulan berturut-turut. Karenanya mendahulukan kaffarat puasa daripada
memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang bertentangn dengan dengan kehendak shara,
shingga dipandang batal dan ditolak.
3. Maslahah Al-Mursalah
Ada beberapa definisi maslahah al-mursalah yang dikemukakan oleh ulama. Said Ramadhan
mendefinisikan maslahah adalah setiapmaslahah yang termasuk dalam maqsid al-shar'ah baik
ada nas yang mengakui atau menolaknya.
Abu Zahrah mendefinisikan maslahah al-mursalah merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan
maksud shara tetapi tidak ada nas secara khusus yang memerintahnya atau menolaknya.
Dari definisi ini tampak bahwa maslahah al-mursalah merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan
apa yang terdapat didalam nas, tetapi tidak ada nas yang khusus yang memerintah dan melarang untuk
mewujudkannya. Dan hal ini dapat dibuktikan dari sekumpulan nas dan makna yang dikandungnya.
Dengan demikianmaslahah ini dapat dijadikan pijakan dalam mewujudkan kemaslahatan yang
dibutuhkan manusia dan menghindarkan kemadharatan.

D. Kehujjahan Maslahah
Dalam kehujjahan maslahah, teradapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul, diantaranya
1. Maslahah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut Ulama-Ulama Shfiiyah, Hanfiyah, dan
sebagian ulama Mlikiyah, seperti Ibnu Hajib dan Ahli zhir.
2. Maslahah dapat menjadi hujjah atau dalil menurut sebagian ulama Mlikiyah, dan sebagian
ulama syafiiyah, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
Jumhur Hanfiyah dan Shfiiyah mensyaratkan tentang maslahahini, hendaknya dimasukkan di
bawah qiys, yaitu bila terdapat hukum asal yang dapat diqiyskan kepadanya dan juga illat
mudhabit (tepat) sehingga dalam hubungan hukum terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan.
Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan shara, tetapi
mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan shara ini, karena luasnya
pengetahuan mereak dalam soal pengakuan shri (Allah) terhadap illat sebagai tergantungnya hukum,
yang merealisir kemaslahatan. Hal ini, karena hampir tidak ada maslahah yang tidak memiliki dalil yang
mengakui kebenarannya.
3. Imam al-Qarafi, berpendapat tentang kehujjahan maslahah bahwa sesungguhnya berhujjah
dengan maslahah dilakukan oleh semua mazhab, karenam mereka melakukan qiys dan membedakan
antara satu dengan yang lainnya, karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat.

E. Syarat-Syarat Penerapan Maslahah


Dalam menggunakan maslahah sebagai hujjah, ulama bersikap sangat hati-hati sehingga tidak
mengakibatkan pembentukan shriat berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal
itu, maka ulama menyusun syarat-syarat maslahah yang dipakai sebagai dasar pembentukan hukum.
1. Bentuk maslahah tersebut haruslah selaras dengan tujuan-tujuanshriat, yakni bahwa kemaslahatan
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya dan juga tidak menambrak garis
ketentuan nas atau dalil-dalil lain yang qat'. Dengan kata lain, bahwa kemasalahatan tersebut sesuai
dengan tujuan-tujuanshriat, merupakan bagian keumumannya, bukan temasuk kemaslahatan
yang ghrib. Kendati tidak ada dalil yang mengukuhkannya.
2. maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Ahlu al-hilli wa al-aqdidan mereka yang mempunyai disiplin
ilmu tertentu, memandang bahwa pembentukan hukum tertentu harus didasarkan padamaslahah al-
haqiqiyah, yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan menolak bahaya pada diri meraka.
Tegasnya maslahah tersebut adalah yang rasional, maksudnya secara rasio terdapat peruntukan wujud
kemaslahatan terhadap penetapan hukum. Misalnya, pencatatan administrastif dalam berbagai
transaksi akan meminimalisir persengketaan atau persaksian palsu. Dalam kaitannya dengan
konteks shriat, hal semacam ini selayaknya diterima. Beda dengan pencabutan hak talak dari suami
dan menyerahkannya kepada qodhi. Keputusan kontrofersial semacam ini, tidak diperbolehkan karena
bertentangan dengan garis-garisshriat.
3. Kemaslahatan itu berlaku universal (berlaku umum), bukan kemaslahatan bagi individu tertentu atau
sejumlah individu. Ini mengingat bahwa shriat Islam itu berlaku bagi semua manusia. Oleh sebab itu,
penetapan hukum atas dasar maslahah, bagi kalangan tertentu, seperti penguasa, pemimpin, dan
keluarganya tidak sah karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang berlaku bagi semua
manusia.

F. Maslahah sebagai Tujuan Hukum (Maqsid Al-


Shar'ah)
Secara bahasa maqsid al-shar'ah terdiri dua kata, yakni maqosi dan syariah. Maqsid al-
shar'ah adalah bentuk jama dari maqsid yang berarti kesengjaan atau tujuan.
Sedangkan shariah adalah masdar dari sharaayang secara etimologis (lughawi) berarti, al-mawdhiu
tuhidu il al-mi(jalan menuju sumber air). Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai
jalan kearah sumber kehidupan.
Secara terminologi (istilah) al-shar'ah adalah seperangkat aturan atau hukum yang diciptakan Allah
untuk di pedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, manusia baik sesama muslim
maupun non muslim, alam dan seluruh kehidupan. Demikian juga definisi yang diungkapkan oleh oleh
Ali al-Sayis yang di kutib oleh Abdul Manan bahwa al-shar'ah adalah hukum-hukum yang diberikan oleh
Allah untuk hamba-hamba-Nya agar mereka percaya dan mengamalkannya demi kepentingan mereka
didunia dan akhirat. Dari kedua definisi ini dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan kandungan
mana antara al-shar'ah dan air dalam arti keterkaitan antara cara dan tujuan. Sesuatu yang hendak
dituju merupakan sesuatu yang amat penting. Shar'ah adalah cara atau jalan. Air adalah sesuatu yang
hendak dituju. Pengaikat Shar'ah dengan air ini, dimaksudkan untuk memberikan penekanan
pentingnya syariah dalam memperoleh sesuatu yang penting yang disimbolkan dengan air. Penyimpulan
ini, cukup tepat. Karena air merupakan unsur penting dalam keahidupan. Urgensi unsur air ini,
ditegaskan oleh Allah, dalm firman-Nya:

Artinya:Dan kami jadikan segala sesuatu dari airQS. 21:30.
Pengertian maqsid al-shar'ah secara bahasa adalah maksud dan tujuan disyariatkan aturan atau
hukum dalam Islam berdasarka al-Quraan dan Sunnah yang bertujuan untuk kebahagiaan umat manusia
di dunia dan ahirat. Begitu mudah dan sederhanaya pengertian maqsid al-shar'ahsecara istilah
dikalangan ulama ushul al-fiqh yang tegas dan rinci. Hanya saja disisni, setidaknya dapat di
kemukakan ulamajk ushul fikih tentangmaqsid al-shar'ah tersebut.
Menurut Al-Shtib sebagaimana dikutib Asafri Jaya Bakti bahwa: sesungguhnya syriah itu bertujuan
mewujudkan kemaslahatan manusia didunia dan di akhirat. Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh
al-Sytibi bahwa: hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahtan hamba.
Dari pernyataan al-Shtib diatas dapat disimpukan bahwa semua kewajiban(taklif) diciptakan dalam
rangka merealisasikan kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan.
Hukum yang tidak mempunyai tujuan, sama dengan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Suatu hal
yang tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum Tuhan.
Pandangan Al-Shtib diperkuat oleh Muhammad Abu Zahra yang menyatakan bahwa tujuan hakiki
hukum Islam adalah kemaslahatan manusia dan tidak satupun hukum yang disyariatkan baik dalam al-
Quran dan al-Sunnah melainkan didalamnya terdapat kemaslahatan. Ilal Al-fasi sebagaimana yang
dikutib oleh Efi Candra juga mengemukakan bahwa maqasid al adalah tujuan-tujuan umum
dan shar'ah serta rahasia-rahasia ditetapkan olehshar' (Allah) pada setiap pensyariatan hukum-Nya.
Dengan kata lainmaqsid al-shar'ah juga dapat berarti makna-makna serta tujuan-tujuan yang hendak
dicapai oleh syarak pada seuruh hukum-hukumnya. Menurut banyak ayat al-Quran mengandung dan
mensyariatkan untuk memelihara tujuan-tujuan shara ini. Seluruhnya menjelaskan dengan tegas,
bahwa tujuan dari pengiriman Nabi dan Rasul serta penurunan shar'ah adalah untuk menunjuki hamba
yang menjadikan kebaikan bagi mereka dan untuk melaksanakan beban taklif yang diwajibkan bagi
mereka.
Wahbah al-Zuhaili dengan redaksi lain mengungkapkan bahwa, tujuanmaqsid al-shar'ah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia cepat atau lambat, dalam bentuk menimbulkan manfaat manusia
atau menolak kemadharatan dan kerusakan bagi mereka sbagaimana dalam rangka mengikuti tujuan
hukum dan alasan penetapannya.
Perhatian dan pemahaman para ulama tentang maqsid al-shar'ah lebih banyak tercurahkan kepada
konteks manusia sebagai individu, sedangkan konteks manusia sebagai kelompok tidak banyak
mendapatkan perhatian. Hal ini juga berarti bahwa persoalan sosial kemasyarakatan hanya
mendapatkan sedikit perhatian jika dibandingkan dengan perhatian ulama ushul terdapat konteks
manusia sebagai individu.
Persoalan ini sebenarnya berawal dari suatu kenyataan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak lebih
dari sekedar individu-individu yang berkelompok. Sebab individu adalah salah satu unsur masyarakat
dan berkumpulnya unsur-usur individu dalam suatu tempat berarti terbentuknya suatu masyarakat yang
bersosial. Sehingga persoalan yang dihadapi oleh indiviu-individu masyarakat itu sendiri. Oleh karena
itu kajian Maqsid al-shar'ah dalm konteks manusia sebagai individu pada hakikatnya juga dalam
kontek manusia sebagai suatu masyarakat yang berkelompok.
Maqsid al-shar'ah dalam al-shar' mengandung empat aspek, yaitupertama, tujuan amal disyariatkan
adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ini berkaitan dengan muatan dan hakikat Maqsid
al-shar'.Kedua, shar'ah adalah sesuatu yang harus dipahami dan ini berkaitan dengan dimensi bahasa
agar shar'ah bisa di pahami sehingga dapat dicapai kemaslahtan yang dikandungnya. Ketiga,
shar'ah suatu hukum taklif yang harus dilakukan. Keempat, tujuan shar'ah adalah membawa manusia
ke bawah naungan hukum dri air berkaitan dengan berkaitan dengan kepatuhan manusia
sebagai mukallaf. Dalm istilah lain yang lebih tegas lgi bahwa aspek tujua shar'ah berupaya
membebaskan manusia dari kekangan hawa nafsu.
Selain keempat aspek diatas, seperti yang sering disinggung pada keterangan sebelumnya,
bahwa Maqsid al-shar'ah mencakup lima prinsip yait: hifz al-din, hifz al-nafs, hifz al-aql, hifz al-
nasl, hifz al-ml.
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang peningkat Maqsid al-shar'ah ini,
berikut akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta, berdasarkan tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-masing, yaitu:
1) Memlihara Agama (Hifz al-Din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tingkatan:
a) Memeihara agama dalam tingkatan darr, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban
keagamaan yang termasuk tingkatan primer, seperti melaksanakan sholat lima waktu. Jika
kewajiban sholat ini diabaikan maka eksistensi agama akan terancam.
b) Memelihara agama dalam tingkatan hjiyyah, melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud
menghindarkan kesulitan, seperti penyariatan sholat jamak dan qasar bagi orang yang sedang
bepergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama,
meainkan hanya akan mempersulit orang yang akan melaksanakannya.
c) Memelihara agama dalam tingkatan tahsniyah, yaitu mengikuti petunjuk agama guna
menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus menyempurnakan pelaksanaan kewajiban Tuhan.
Misalnya, menutup aurat, membersihkan badan, pakaian dan tempat tinggal. Pelaksanaan
ketentuan ini erat kaitannya dengan akhlak mulia. Jika ia tidak dilakukan, karena tidak
memungkinkan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak akan mempersulit
orang yang melakukannya.
2) Memelihara jiwa (Hifz al-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tingkatan:
a) Memelihara jiwa dalam tingkatan darr, seperti pensyariatan kewajiban memenuhi kebutuhan
pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika kebutuhan pokok itu diabaikan maka
berakibat akan terancamnya eksistensi jiwa manusia.
b) Memelihara jiwa dalam tingkatan hjiyyah, seperti diperbolehkan berburu dan menimati
makanan yang halal dan bergizi, jika ketentuan ini diabaikan maka tidak akan mengancam
eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa dalam tingkatan tahsniyah, seperti disyariatkannya tatacara makan dan
minum. Ketentuan ini hanya berhubungan dengan etika atau kesopanan. Jika diabaikahn maka ia
tidak akan mengancam eksistensi kehidupan manusia, ataupun mempersulit kehidupan
seseorang.
3) Memelihara akal (Hifz al-aql)
Memelihara akal, dilihat dari kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a) Memelihara akal dalam tingkatan darr, seperti dilarang mengkonsumsi minuman yang
memabukkan (minuman keras). Jika ketentuan ini tidak diindahkan maka akan berakibat
terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam tingkatan hjiyyah, seperti anjuran menuntut ilmu pengetahuan.
Sekiranya aktivitas ini tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal, namun akan mempersulit
dri seseorang, terutama dalam kaitannya pengembangan ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam tingkatan tahsniyah, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau
mendengarkan sesuatu yang tidak berguna. Hal in hanya berkaitan dengan etika, tidak akan
mengancam eksistensi akal secara langsung.
4) Memelihara keturunan (Hifz al-nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
a) Memelihara keturunan dalam tingkat darr, seperti pensyariatan hukum perkawinan dan
larangan melakukan perzinahan. Apabila ketentuan ini di abaikan maka eksistensi keturunan
akan terancam.
b) Memelihara keturunan dalam tingkat hjiyyah, seperti ditentukan meyebutkan bagi suami saat
akad nikah dan diberikan hak talak kepadanya. Jika mahar tidak disebutkan pada waktu akad,
maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia akan membayar maharmithil. Sedangkan dalam
kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal
situasi dan kondisi rumah tangga tidak harmonis lagi.
c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsniyah, seperti disyariatkan khitbah atau walimah
dalam perkawinan. Halo ini dilakukan dalam menyempurnakan kegiatan perkawinan. Jika ia
diabaikan tdak akan merusak eksistensi keturunan, dan tidak akan mempersulit orang melakukan
perkawinan, ia hanya berkaitan dengan etika atau martabat seseorang.
5) Memelihara harta (Hifz al-ml)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga
tingkatan, yaitu:
a) Memelihara harta dalam tingkatan darr, pensyariatan kepemilikan harta dan larangan
mengambil harta orang lain dengan cara illegal. Apabila aturan itu dilanggar maka akan
berakibat terancamya eksistensi harta.
b) Memelihara harta dalam tingkatan hjiyyah, seperti disyariakannya jual beli dengan cara salam.
Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan
mempersulit seseorang yang memerlukan modal.
c) Memelihar harta dalam tingkatan tahsniyah, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri
dari penipuan. Karena hal itu berkaitan dengan moral dan etika dalam muamalah atau etika
bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada keabsahan jual beli tersebut, sebab pada tingkatan
ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkatan kedua dan pertama.

Daftar Pustaka:

Khairul Umam dkk, Ushul Fiqh I. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
Rachmad SyafeI, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Said, Ramdhan al Buthi, Dhawabit al-Maslahah Fi al-Shriah al-Islamiyah. Bairut: Muassah
al- Risalah, 1977.
Al-Syaukani, Irsyad al- Fuhu. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al- syatibi, al-Mustasfa. Bairut: Dar al-Tsaqofah, t.t.
Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa Min Ilmi Ushul, Juz II.
Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Musthafa zaid, al-Maslahah Fi al-Tasyri al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr al-Arobi, 1974.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Bairut: Dar al Fikr, t.t.
Ridho Rokamah,al-Qowaid al-Fiqhiyah. Ponorogo: STAIN Press Ponorogo, 2007.
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh,terj. Masdar Helmi.Bandung: Gema Risalah Press, 1996
Firdaus, Ushul Fiqh-Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif. Jakarta: zikrul Hakim, 2004.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006.
Yusuf Qardhawi, Membumikan Shriat Islam, terj. Ade nurdin dan riswa. Bandung: Mizan
Pustaka, 2003.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Al-Ghazali, Shifa Al-Ghalil. Bagdad: Matbaah Al-Irsyad, 1971.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushu Al-Fiqh. Kuwait: Dar Al-Qalam, 1978.
Said Ramdhan Al-Buthi, Dhawabit Al-Maslahah Fi Al-Shriah Al-Islamiyah. Bairut: Muassah
Al-Risalah, 1977.
Syffii Karim, Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2006.
Asafri Jaya Bakri, konsep maqosid sya memenurut al-Syatibi.Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Muhammad Abu Zahra, ushul al-fiqh. Cairo: Dr al-Fikr al-Arbi, 1957.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dr al-fikr, 1996.
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

Anda mungkin juga menyukai