Anda di halaman 1dari 9

Gubernur

Daerah Istimewa Yogyakarta

Orasi Budaya

MEMBANGUN KEMBALI KEBHINNEKAAN INDONESIA

Dies Natalis Ke-67


GERAKAN MAHASISWA KRISTEN INDONESIA (GMKI)
Tema:
BERDAMAILAH DENGAN SEMUA CIPTAAN-NYA
Sub Tema:
Membudayakan Hidup Damai dan Adil dalam Membangun Relasi dengan
Semua Ciptaan sebagai Wujud Persaudaraan di Negara Pancasila
Yogyakarta, 9 Februari 2017

MEMBANGUN Kembali Kebhinnekaan Indonesia setelah


terkoyak, secara metaforis di dada dan kalbu setiap manusia Indonesia
harus tersemat dan terserap “ruh” Garuda Pancasila dengan kaki
mencengkeram kuat sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, meski
memiliki keragaman etnik, agama, budaya, dan bahasa yang paling
kaya, sekaligus problematik di dunia, kita tetaplah “Satu Nusa, Satu
Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia” dalam bingkai NKRI yang tak
boleh diubah, karena sudah menjadi realitas yang final.

Yogyakarta Lahan Penyemaian


Jikalau momen 1908 Indonesia mulai menyemaikan cita-cita kemerdekaan,
Soempah Pemoeda 1928 mempertegas bingkai cita-cita itu, Proklamasi
Kemerdekaan 1945 menancapkan tonggak perwujudan cita-cita, maka Revolusi
1945-1949 di Yogyakarta adalah masa perjuangan membela dan menegakkan
cita-cita itu, sekaligus masa-masa awal penyemaian spirit Bhinneka Tunggal Ika
dan Pancasila. Pada masa itu, ruh “merah-putih” yang mewarnai jiwa kebangsaan
kita membakar dada setiap pemimpin-pejuang lintas etnik dan lintas agama yang
menyatu dengan rakyatnya. Ketika itu, cara berjuang yang berPancasila
disemaikan, dan mewujud nyata pada semangat keBhinneka Tunggal Ikaan kita.

1
Sejarah mencatat dengan tinta emas, bahwa “Yogyakarta Memang
Istimewa”, karena senyatanya menjadi penyangga Republik yang masih muda
itu. Artinya, perjuangan para pemimpin lintas-etnik dan lintas-agama yang
sebagian disebutkan itu, bukanlah untuk Yogyakarta semata, tetapi justru “Dari
Yogya Untuk Indonesia”. Bahkan didirikannya Universitas Gadjah Mada yang
difasilitasi Sri Sultan HB IX itu dengan mengundang kehadiran mahasiswa dari
berbagai etnis, juga untuk lahan penyemaian “Indonesia Mini”.

Bahkan, di tengah musibah selalu ada saja pelajaran dan hikmah yang bisa
kita petik. Di Yogyakarta pasca gempa, kita bisa menyaksikan Tim Relawan yang
melibatkan seorang Kyai, Pastur dan Pendeta, bekerja bahu-membahu menolong
sesama tanpa bertanya: ”Siapa Tuhanmu?”. Itulah ilustrasi yang membesarkan
hati, bahwa semangat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masih hidup, meski di tengah
suasana duka.

Kerjasama pendirian pendidikan Program Doktor di Bidang Studi Agama-


Agama antara UGM yang sekuler, UIN Sunan Kalidjaga yang Islam dan UKDW
yang Kristen, memberikan pelajaran berharga bagi kehidupan keagamaan yang
penuh toleransi dan saling menghargai.

Bhinneka Tunggal Ika sebagai Strategi Budaya


Meski wujud konkritnya masih terlihat samar-samar, tatanan masyarakat
yang berbasis keBhinneka Tunggal Ikaan yang hendak dituju cenderung mengacu
pada suatu tatanan masyarakat yang unsur-unsurnya memiliki ciri-ciri yang juga
beranekaragam. Dalam upaya membangun masyarakat yang Bhinneka Tunggal
Ika, seharusnya ada interaksi aktif di antara unsur-unsurnya melalui proses saling
mengenal, menyapa dan belajar.

Kedudukan berbagai unsur di dalam masyarakat itu hendaknya diposisikan


secara setara, demi terciptanya keadilan di antara berbagai unsur yang saling
berbeda tersebut. Konsep dan model masyarakat yang bhinneka itu sendiri
memang sedang berproses ‘menjadi Indonesia’ serta masih terus dicari dan
diperdebatkan.

Dalam proses modernisasi yang diikuti mobilitas sosial serta demografis


dan geografis, diiringi oleh meningkatnya kualitas masalah-masalah agama, etnik
dan budaya, perkembangan ini seringkali memicu prasangka, ketegangan dan
konflik. Karena dalam masyarakat majemuk itu sendiri, memang memiliki
karakter yang secara relatif menyimpan potensi konflik.

Kelompok-kelompok masyarakat tampak mudah eksplosif, sehingga hanya


oleh sebab sedikit isu saja telah memicu terjadinya konfrontasi fisik dan
kerusuhan. Konflik tidak harus terjadi sekiranya warga masyarakat secara arif
dapat menyikapi kehidupan yang bersifat pluralistik.
2
Sikap fanatisme sempit dan kecurigaan tidak akan mewujud, jika tidak ada
golongan masyarakat yang mau menang sendiri dan tidak menganggap
perbedaan sebagai keniscayaan (sunatullah). Padahal, jika merefleksi sejarah
Lahirnya Pancasila telah menandai adanya sublimasi dan kristalisasi dari
pandangan hidup dan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang mempersatukan
keanekaragaman suku bangsa kita menjadi bangsa yang satu, Indonesia. Oleh
sebab itu, Bhinneka Tunggal Ika jangan hanya dijadikan mitos, tetapi hendaknya
ditempatkan sebagai strategi budaya untuk penyemaian semangat kesatuan
bangsa.

Pluralitas dan Pluralisme


Dalam upaya membangun ke-Bhinneka Tunggal Ika-an kita sering terjebak
pada perdebatan tentang “pluralisme” dan “pluralitas” yang tak bekesudahan.
Dalam hal ini, nyaris semua tokoh dan pemikir Islam sepakat, bahwa ke-
beragam-an atau “pluralitas” agama merupakan keniscayaan. Sebaliknya, ketika
mewacanakan “pluralisme”, sebuah paham atau isme tentang keber-agama-an,
banyak yang berbeda pendapat.

Ada sebagian yang menolak, bahkan mengharamkan, dan ada pula yang
setuju, bahkan memperjuangkan pluralisme di Indonesia. Perbedaan persepsi ini
kemudian menjadi polemik yang berkepanjangan, meski keduanya sama-sama
menggunakan pembenaran lewat dalil-dalil al-Qur’an.

Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia,


mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah
pluralism dalam bahasa Inggris. Merujuk Wikipedia, definisi pluralism adalah:
“Suatu kerangka interaksi dimana setiap kelompok menampilkan rasa hormat
dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi
(pembauran/pembiasan)”. Hendaknya kita memandang ke-beragam-an atau
pluralitas sebagai unsur perekat dan kekuatan bangsa, bukan sebaliknya sebagai
kelemahan yang berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Polemik yang terjadi disebabkan karena perbedaan mendasar antara


pluralisme yang pengertian awalnya dari pluralism, yang memiliki berbagai
tafsir. Jika melihat ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas pluralisme
tidak sama dengan pengertian pluralism dalam bahasa Inggris. Sehingga wajar
jika memancing reaksi.

Misalnya, Fatwa MUI ketika melarang paham pluralisme agama. Bagi


mereka yang mendefinisikan pluralism-non asimilasi, hal ini disalahpahami
sebagai kemunduran kehidupan berbangsa. Sementara bagi penganut definisi
pluralisme-asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide pencampuran ajaran
agama yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya. Emosi dan perasaan

3
tersinggung seringkali melapisi aroma debat antar para pihak yang berseberangan
pengertian dan pemahaman.
Keseragaman memang bukan pilihan bagi masyarakat yang beragam.
Seharusnya pemikir Islam meluruskan pengertian, agar tidak ada kerancuan yang
bisa mengakibatkan pertikaian yang tidak perlu. Kita kurang kritis dalam
mencerna informasi melalui check and re-check (tabayyun). Kata yang rancu pun
menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam.

Dalam mensikapi ke-beragam-an agama, Al-Qur’an memberi panduan


jelas: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun 109:6).
Ayat ini memerintahkan umat Islam agar meyakini dan melaksanakan agamanya,
sekaligus mempersilakan umat non-muslim untuk meyakini dan melaksanakan
agama masing-masing. Menurut Prof. Quraish Shihab, ayat itu adalah pengakuan
eksistensi timbal-balik, sehingga masing-masing pihak dapat melaksanakan apa
yang dianggapnya benar dan baik tanpa memutlakkan pendapat, sekaligus tanpa
mengabaikan kayakinan masing-masing.

Dampak Krisis Solidaritas Kebangsaan


Ada tiga gejala penting yang dapat kita tunjuk sebagai dampak krisis
Solidaritas Kebangsaan, yakni masyarakat risiko, radikalisme agama, dan politik
uang. Ketiganya berkelindan dan berimplikasi praktis pudarnya ’bangsa’ sebagai
metafora solidaritas. Perasaan khas yang ditimbulkannya sudah dirasakan di
mana-mana, yaitu ketidakberdayaan dan keterlantaran1.

Pertama, karena lemahnya kontrol publik atas birokrasi dan pasar,


demokratisasi yang seharusnya merehabilitasi Solidaritas Kebangsaan justru jadi
arena produksi dan distribusi risiko. Masyarakat kita berubah menjadi apa yang
oleh Ulrich Beck2 disebut ’masyarakat risiko’. Dengan multiplikasi dan distribusi
risiko, politik kehilangan daya mobilisasinya untuk menggalang solidaritas sosial
karena individu condong mengamankan diri.

Kedua, memudarnya khasiat ’bangsa’ sebagai metafora solidaritas


mengancam ketahanan nasional kita. Hal itu membuat kebutuhan akan heroisme
dan pengorbanan kehilangan sarangnya. Kebutuhan itu menjadi liar dan eksesif.
Terlibatnya warga negara kita dalam teror, bom bunuh diri, penghujatan
kelompok berkeyakinan lain, dan pembakaran rumah-rumah ibadah
menunjukkan bagaimana ekses dan destruksi telah dieksistensialisasikan secara
religius untuk memenuhi kebutuhan akan heroisme keagamaan. Penyesalan dan
ratapan semakin besar ketika kita menyadari bahwa para pelaku itu juga ’anak-
anak bangsa’ yang sama dengan para korbannya.

1
F. Budi Hardiman, Pemimpin dan Solidaritas Bangsa, posted by Reza A.A. Watimena,
26 Oktober 2011.
2
Dr. Argyo Demartoto, MSi, Teori Masyarakat Risiko dari Ulrich Beck, 13 Maret 2014.
4
Ketiga, ekspansi pasar kapitalis membuat uang menjadi kode sentral
interaksi sosial. Dengan kode baru ini loyalitas kebangsaan menjadi relatif. Uang
mempersekutukan kepentingan dan kurang meminati karakter dan identitas.
Pudarnya ’bangsa’ diiringi pudarnya perbuatan-perbuatan besar akibat
politik tak lagi sanggup menggerakkan antusiasme solidaritas. Sekarang ini pasar
menyerbu masuk ke parlemen, pengadilan, dan pemerintahan. Uang sebagai kode
baru yang menggantikan solidaritas dipakai untuk mobilisasi suara di tiga arena
tersebut. Panggung-panggung demokrasi, seperti Pemilu pun dipenuhi figur
penjudi politik yang mencari untung dari remah-remah kampanye. Ketika uang
menjadi kategori baru dalam politik, kemiskinan tidak lagi dituturkan sebagai
masalah solidaritas.

Solidaritas Kebangsaan Baru, Sebuah Imajinasi


Kita telah ditakdirkan untuk beragam, maka keragaman harus menjadi
kekuatan kita. Masyarakat risiko, radikalisme agama, dan politik uang tak boleh
mencabik-cabik tubuh politik. Kita boleh optimistis dengan penegasan Denys
Lombart setelah sejarawan Perancis ini menyelami arkeologi mentalitas negeri
kita. Menurut dia, Indonesia yang berada di titik persilangan berbagai
kebudayaan dan beragam dunia berpeluang menjadi peradaban agung. Prestasi
pertama adalah Pancasila yang menjadi kesepakatan dasar yang menjadi rumah
bersama bagi kebinnekaan kita.

Prestasi lainnya adalah pemerintahan demokratis. Tahun 1998, orang


mengira Indonesia akan mengalami balkanisasi dan terhapus dari peta. Namun,
meski didera sejumlah kerusuhan, konflik etnis, dan ketegangan agama, secara
makro Indonesia tidak mengalami pemburukan. Pemerintahan demokratis telah
memberikan solusi kreatif untuk memodernisasi perbedaan, sehingga Indonesia
menjadi contoh demokrasi dan toleransi bagi negara-negara Islam.

Dengan segala cacatnya, Pemilu nasional dan sejumlah Pilkada


berlangsung relatif damai. Kita harus berani mengimajinasikan Indonesia
demokratis akan menjadi kekuatan ekonomi, kultural, dan geopolitik yang besar
di Asia dalam satu dasawarsa mendatang. Yang kita butuhkan adalah
kepemimpinan demokratis yang memiliki kredibilitas publik.

Masyarakat kita telah menjadi sebuah masyarakat risiko karena para


pemimpin banyak yang terjebak dalam ’persekongkolan modal dan kuasa’.
Hukum justru meningkatkan produksi dan distribusi risiko ke dalam populasi
kita. Kita butuh kepemimpinan yang membuat hukum untuk melindungi anak-
anak bangsa yang paling dirugikan oleh globalisasi pasar. Sebab, kebijakan pasar
bebas hanya akan menjatuhkan banyak korban jika tidak diimbangi proteksi atas
hak-hak ekonomi dan sosial warga.

Tantangan kebangsaan kita dewasa ini bukan perang ataupun penjajahan,


melainkan pasar global yang memperlakukan anak bangsa sebagai komoditas.
5
Kata ’solidaritas’ dimengerti sebagai upaya-upaya para pemimpin untuk
mengubah perilaku organisasi mereka sehingga mendapat kredibilitas publik.
Frase teks proklamasi ”kami bangsa Indonesia” harus menjadi riil dalam
birokrasi yang transparan, nondiskriminasi, dan penuh sikap pelayanan.
Kepemimpinan bangsa dituntut untuk mampu menghubungkan sistem politik
dengan solidaritas rakyat. Birokrasi yang pro-publik pada gilirannya akan
mengamankan anak-anak bangsa dari ketelantaran, kesewenang-wenangan
kelompok, dan dari risiko-risiko komodifikasi dalam pasar global.

Solidaritas Kebangsaan Berbasis Kebhinnekaan


Gagasan dan praktik nasionalisme Indonesia, baru muncul di lingkungan
kaum elite terpelajar awal abad ke-20. Bahwa Indonesia itu satu kesatuan adalah
kesadaran intelektual yang membaca sejarah, bahasa, antropologi, telaah-telaah
nasionalisme global. Tetapi apakah di lingkungan akar rumput juga terjadi proses
yang sama? Bukankah mereka tetap hidup di lokal masing-masing dengan mitos-
mitos kesatuan lokalnya sendiri-sendiri? Bung Hatta selaku Wakil Presiden, pada
Kongres Kebudayaan di Bandung, Oktober 1951, menyatakan sebuah kearifan3:

“Apabila kita mau membangun dalam berbagai lapangan ekonomi, maka


kita berhadapan dengan berbagai soal, yang sebagian boleh dikatakan
terletak dalam lapang kebudayaan. Selain soal pikiran dan ciptaan yang
menjadi motor pembangunan ekonomi, kita hadapi juga soal-soal yang
mengenai jiwa, perasaan, dan kebiasaan rakyat”.

Kearifan kepemimpinan yang diharapkan Bung Hatta adalah pentingnya


memerhatikan kebudayaan rakyat, yakni “jiwa, perasaan dan kebiasaan rakyat”.
Tidakkah selama ini kita terlalu bias dengan pikiran dan ciptaan global yang
asing? Atau tidakkah kita selama ini juga bias dengan “jiwa, perasaan dan
kebiasaan” lokalnya masing-masing? Seakan yang nasional itu adalah yang
global, atau yang nasional itu adalah yang lokal. Nasionalisme menghadapi dua
bahaya sekaligus: adopsi budaya asing dan juga adopsi budaya lokal si pemimpin
terhadap budaya-budaya lokal yang lain di Indonesia.

Padahal, paham lokal tentang kepemimpinan, hak milik, kesatuan wilayah,


makna hutan dan gunung, berbeda-beda untuk setiap kelompok etnik. Paham
suatu lokal yang diangkat menjadi paham nasional tentu akan mendatangkan
masalah bagi lokal-lokal lain yang berbeda pahamnya. Ketersinggungan,
ketertekanan, ketidaksenangan, diam-diam dapat mengendap lama di lokal-lokal
yang mengalami konflik semacam itu.

Nasionalisme Baru untuk membnagun kembali keBhinnekaan dan


membentuk Solidaritas Kebangsaan adalah nasionalisme yang peduli pada

3
Jakob Sumardjo, Nasionalisme Indonesia Baru Perspektif Budaya, Pikiran Rakyat, 11 Juli 2004.

6
perbedaan-perbedaan kita yang bhinneka itu. Di situlah terdapat nasionalisme-
harmoni. Bukan nasionalisme bias global atau bias lokal.
Kesemuanya itu melebur dalam pemahaman, saling menghargai dan
menghormati, saling peduli, saling mengubah dan menyesuaikan diri.
Nasionalisme itu bukan mitos dan sudah selesai. Nasionalisme itu agar bisa hidup
menuntut revitalisasi dan sikap kreatif terus-menerus.

Nasionalisme Bangsa-Bangsa Lain


Fakta menunjukkan, Jepang berhasil sukses mengambil alih dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, industri dan teknologi Barat yang
kemajuannya kini diadopsi India dan China yang sedang tumbuh menjadi raksasa
ekonomi Asia. Kesemuanya itu mewujud sebagai bentuk nasionalisme ekonomi
yang mengandalkan kekuatan sendiri berbasis budaya.

Kemajuan Korea Selatan yang berakarkan ajaran Konfusius, nasionalisme


diperlihatkan melalui penghargaan terhadap identitas kebudayaan Korea. Mulai
dari Hanok, tinggal di rumah bergaya Korea, Hanbok, berpakaian tradisional
Korea, Hansik, makan makanan Korea, sampai dengan Han Geul, ”hanacaraka”-
nya sistem alfabet Korea. Revitalisasi terhadap budaya sendiri adalah basis
ketahanan budaya bangsa Korea terhadap terpaan gelombang budaya global.

Bahkan di negara induknya demokrasi-liberal, di Amerika Serikat sendiri


pun jiwa nasionalisme itu pun ditanamkan sejak dini pada jenjang pre-school.
Tampak jelas, semangat kebangsaan bagi warganegara AS tetap dijaga sebagai
bagian dari nation building, bahkan menjadikannya basis ideologi globalisasi
sebagai bentuk perluasan semangat nasionalisme-ekspansif Amerika Serikat.

Lewat soft-campaign yang terarah, AS memperkenalkannya lewat jargon


“desa global”, “budaya global”, “dunia tanpa batas”, dan hilangnya “negara-
bangsa”, agar penetrasi politik, ekonomi dan budaya AS masuk ke negara-negara
berkembang dengan aman dan malah nyaman dirasakan oleh penduduknya.

Kegamangan Generasi Muda


Pertanyaan spekulatif sering muncul dalam berbagai fora: Benarkah
‘nasionalisme’ sudah mati, atau setidaknya tidak relevan lagi? Pertanyaan
lanjutannya: Adakah hubungan antara Paham Kebangsaan yang diikat oleh
Semangat Bhinneka Tunggal Ika itu dengan semakin menguatnya semangat
partisan keagamaan dan golongan sekarang ini? Jawaban justru harus
dicanangkan oleh Generasi Muda, termasuk GMKI di dalamnya, bahwa perlunya
setiap elemen bangsa mengambil peran strategis untuk “Membangun Kembali
Kebhinnekaan Indonesia” kita dengan menegasikan semua kepentingan suku,
agama, ras dan golongan (SARA).

Dalam Bhagavad Gita, ketika sudah berada di padang Kurushetra, Sang


Arjuna bimbang dan mencari pembenaran atas kebimbangannya, seperti halnya
7
kegamangan generasi muda GMKI saat ini. Setelah Sri Krishna membisikkan
pesan untuk menyadarkan dan membakar kembali semangatnya.
Dan, Arjuna pun kembali ke medan perang siap menegakkan keadilan dan
kebenaran. Merefleksi episode Bharatayuddha dalam epik Mahabharata itu,
situasi serupa kini dihadapi oleh GMKI sebagai Arjuna Abad-21, apakah akan
membiarkan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an kita semakin runtuh, atau mengambil
peran kesejarahan seperti kaum muda yang telah menggerakkan Revolusi 1945?

Kenichi Ohmae dalam bukunya, The End of Nation State (1995). menulis
gejala global sebagai dunia tanpa batas (borderless world), dan menyatakan
hapusnya negara-bangsa. Demikian juga tesis Francis Fukuyama dalam The End
of History and the Last Man (1992), menegaskan nasionalisme tidak lagi menjadi
kekuatan dalam sejarah dunia. Ia berasumsi, demokrasi liberal menjadi penanda
titik akhir dari evolusi ideologi, atau bentuk final dari pemerintahan, dan
sekaligus sebuah ‘akhir sejarah’ (‘the end of history’). Bahkan sebelumnya
Daniel Bell dalam The End of Ideology (1960), menyatakan bahwa nasionalisme
sebagai ideologi telah berakhir4.

Dari berbagai temuan empirik bahwa setiap bangsa tetap merawat dan
mengembangkan semangat nasionalisme bangsanya, terbukti telah meruntuhkan
teori para pemikir ‘endist’ tersebut. Bahkan setiap negara maju pun tetap
membina jiwa nasionalisme bangsanya agar tidak luntur5. Oleh sebab itu, GMKI
harus menghilangkan kegamangannya sendiri dengan menegaskan jawabannya
untuk siap mensosialisasikan dan membela keBhinneka Tunggal Ikaan kita
sebagai terapi ampuh dalam penanganan konflik bernuansa SARA.

Catatan Akhir
Ketika kita jenuh menjalani hidup, jalan yang bijak adalah menyelam ke
danau kebudayaan. Di sana airnya jernih, sejernih Sang Kudus, sebiru nirmala
Yang Maha Pencipta. Dengan metafora jernihnya “air kebudayaan” itu,
pendekatan kultural seharusnya menjadi aras utama upaya solusi konflik sosial
yang berpotensi meluas menjadi kekerasan kolektif tanpa hati. Pendekatan
kultural pada hakikatnya adalah mediasi kemanusiaan yang bersumber dari hati
nurani guna tercapainya perdamaian yang berkelanjutan.

Selama ini budaya cenderung diposisikan sekedar latar belakang dalam


wacana serta praktik kenegaraan dan kemasyarakatan. Kurang terartikulasinya
budaya itu, karena cenderung memahami budaya secara sempit sebagai benda
peninggalan dan mentalitas yang selalu dikaitkan dengan kelampauan. Budaya
itu memiliki sifat kekinian dan aktif sebagai proses penataan sosial, ekonomi,
politik, dan teknologi, yang selama ini ditanggapi secara sektoral dan terkotak-
4
Adnan Husaini, MA, The End of History atau The End of The West?, Pusat Kajian Islam,
12 Desember 2007.
5
HB X, Dinamika Budaya, Bangsa dan Nasionalisme Indonesia, Diskusi Publik, PUSHAM-Jurusan
Antropologi Universitas Airlangga, Surabaya, 18 Desember 2007.
8
kotak, padahal sejatinya pada dasarnya dilandasi dan tak terpisahkan dari faktor
budaya.
Ketidakselarasan perkembangannya dengan budaya lokal bisa berpotensi
melahirkan konflik dalam berbagai bentuk6. Dialog budaya untuk solusi konflik,
apalagi yang bernuansa agama, membutuhkan kesabaran dan konsistensi, dan
perlu dukungan energi dari berbagai gerakan perdamaian. Energi yang terpisah-
pisah perlu diikat dan dipersatukan dan menjadikannya sinergi untuk resolusi
konflik lewat pembangunan perdamaian berbasis masyarakat.

Marilah kita berpikir keras apa yang membuat Soekarno hebat. Tidak lain
karena keterbukaannya, kemurnian apresiasinya terhadap perbedaan,
keyakinannya yang teguh dalam kebhinnekaan. Indonesia, seperti yang secara
tepat Soekarno katakan, “menjadi milik” semuanya dan sama bagi satu dan
semua. Semua untuk satu, dan satu untuk semua.

Karena itu, marilah kita kembali pada keBhinekaan Tunggal Ika-an, dan
dengan spirit itu pula menyelamatkan negara ini dengan “Berdamai dengan
Semua Ciptaan-Nya”, serta “Membudayakan Hidup Damai dan Adil dalam
Membangun Relasi dengan Semua Ciptaan sebagai Wujud Persaudaraan di
Negara Pancasila”.

“Ut Omnes Unum Sint”, agar supaya mereka semua menjadi satu...
Indonesia. Dirgahayulah GMKI di usianya ke-67 ini!

Yogyakarta, 9 Februari 2017

GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

HAMENGKU BUWONO X

6
Drs. Pande Made Kertanegara, MA, Pendekatan Budaya Perlu Jadi Aras Utama Solusi Persoalan
Bangsa, 7 Januari 2006.
9

Anda mungkin juga menyukai