Orasi Budaya
1
Sejarah mencatat dengan tinta emas, bahwa “Yogyakarta Memang
Istimewa”, karena senyatanya menjadi penyangga Republik yang masih muda
itu. Artinya, perjuangan para pemimpin lintas-etnik dan lintas-agama yang
sebagian disebutkan itu, bukanlah untuk Yogyakarta semata, tetapi justru “Dari
Yogya Untuk Indonesia”. Bahkan didirikannya Universitas Gadjah Mada yang
difasilitasi Sri Sultan HB IX itu dengan mengundang kehadiran mahasiswa dari
berbagai etnis, juga untuk lahan penyemaian “Indonesia Mini”.
Bahkan, di tengah musibah selalu ada saja pelajaran dan hikmah yang bisa
kita petik. Di Yogyakarta pasca gempa, kita bisa menyaksikan Tim Relawan yang
melibatkan seorang Kyai, Pastur dan Pendeta, bekerja bahu-membahu menolong
sesama tanpa bertanya: ”Siapa Tuhanmu?”. Itulah ilustrasi yang membesarkan
hati, bahwa semangat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masih hidup, meski di tengah
suasana duka.
Ada sebagian yang menolak, bahkan mengharamkan, dan ada pula yang
setuju, bahkan memperjuangkan pluralisme di Indonesia. Perbedaan persepsi ini
kemudian menjadi polemik yang berkepanjangan, meski keduanya sama-sama
menggunakan pembenaran lewat dalil-dalil al-Qur’an.
3
tersinggung seringkali melapisi aroma debat antar para pihak yang berseberangan
pengertian dan pemahaman.
Keseragaman memang bukan pilihan bagi masyarakat yang beragam.
Seharusnya pemikir Islam meluruskan pengertian, agar tidak ada kerancuan yang
bisa mengakibatkan pertikaian yang tidak perlu. Kita kurang kritis dalam
mencerna informasi melalui check and re-check (tabayyun). Kata yang rancu pun
menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam.
1
F. Budi Hardiman, Pemimpin dan Solidaritas Bangsa, posted by Reza A.A. Watimena,
26 Oktober 2011.
2
Dr. Argyo Demartoto, MSi, Teori Masyarakat Risiko dari Ulrich Beck, 13 Maret 2014.
4
Ketiga, ekspansi pasar kapitalis membuat uang menjadi kode sentral
interaksi sosial. Dengan kode baru ini loyalitas kebangsaan menjadi relatif. Uang
mempersekutukan kepentingan dan kurang meminati karakter dan identitas.
Pudarnya ’bangsa’ diiringi pudarnya perbuatan-perbuatan besar akibat
politik tak lagi sanggup menggerakkan antusiasme solidaritas. Sekarang ini pasar
menyerbu masuk ke parlemen, pengadilan, dan pemerintahan. Uang sebagai kode
baru yang menggantikan solidaritas dipakai untuk mobilisasi suara di tiga arena
tersebut. Panggung-panggung demokrasi, seperti Pemilu pun dipenuhi figur
penjudi politik yang mencari untung dari remah-remah kampanye. Ketika uang
menjadi kategori baru dalam politik, kemiskinan tidak lagi dituturkan sebagai
masalah solidaritas.
3
Jakob Sumardjo, Nasionalisme Indonesia Baru Perspektif Budaya, Pikiran Rakyat, 11 Juli 2004.
6
perbedaan-perbedaan kita yang bhinneka itu. Di situlah terdapat nasionalisme-
harmoni. Bukan nasionalisme bias global atau bias lokal.
Kesemuanya itu melebur dalam pemahaman, saling menghargai dan
menghormati, saling peduli, saling mengubah dan menyesuaikan diri.
Nasionalisme itu bukan mitos dan sudah selesai. Nasionalisme itu agar bisa hidup
menuntut revitalisasi dan sikap kreatif terus-menerus.
Kenichi Ohmae dalam bukunya, The End of Nation State (1995). menulis
gejala global sebagai dunia tanpa batas (borderless world), dan menyatakan
hapusnya negara-bangsa. Demikian juga tesis Francis Fukuyama dalam The End
of History and the Last Man (1992), menegaskan nasionalisme tidak lagi menjadi
kekuatan dalam sejarah dunia. Ia berasumsi, demokrasi liberal menjadi penanda
titik akhir dari evolusi ideologi, atau bentuk final dari pemerintahan, dan
sekaligus sebuah ‘akhir sejarah’ (‘the end of history’). Bahkan sebelumnya
Daniel Bell dalam The End of Ideology (1960), menyatakan bahwa nasionalisme
sebagai ideologi telah berakhir4.
Dari berbagai temuan empirik bahwa setiap bangsa tetap merawat dan
mengembangkan semangat nasionalisme bangsanya, terbukti telah meruntuhkan
teori para pemikir ‘endist’ tersebut. Bahkan setiap negara maju pun tetap
membina jiwa nasionalisme bangsanya agar tidak luntur5. Oleh sebab itu, GMKI
harus menghilangkan kegamangannya sendiri dengan menegaskan jawabannya
untuk siap mensosialisasikan dan membela keBhinneka Tunggal Ikaan kita
sebagai terapi ampuh dalam penanganan konflik bernuansa SARA.
Catatan Akhir
Ketika kita jenuh menjalani hidup, jalan yang bijak adalah menyelam ke
danau kebudayaan. Di sana airnya jernih, sejernih Sang Kudus, sebiru nirmala
Yang Maha Pencipta. Dengan metafora jernihnya “air kebudayaan” itu,
pendekatan kultural seharusnya menjadi aras utama upaya solusi konflik sosial
yang berpotensi meluas menjadi kekerasan kolektif tanpa hati. Pendekatan
kultural pada hakikatnya adalah mediasi kemanusiaan yang bersumber dari hati
nurani guna tercapainya perdamaian yang berkelanjutan.
Marilah kita berpikir keras apa yang membuat Soekarno hebat. Tidak lain
karena keterbukaannya, kemurnian apresiasinya terhadap perbedaan,
keyakinannya yang teguh dalam kebhinnekaan. Indonesia, seperti yang secara
tepat Soekarno katakan, “menjadi milik” semuanya dan sama bagi satu dan
semua. Semua untuk satu, dan satu untuk semua.
Karena itu, marilah kita kembali pada keBhinekaan Tunggal Ika-an, dan
dengan spirit itu pula menyelamatkan negara ini dengan “Berdamai dengan
Semua Ciptaan-Nya”, serta “Membudayakan Hidup Damai dan Adil dalam
Membangun Relasi dengan Semua Ciptaan sebagai Wujud Persaudaraan di
Negara Pancasila”.
“Ut Omnes Unum Sint”, agar supaya mereka semua menjadi satu...
Indonesia. Dirgahayulah GMKI di usianya ke-67 ini!
GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
HAMENGKU BUWONO X
6
Drs. Pande Made Kertanegara, MA, Pendekatan Budaya Perlu Jadi Aras Utama Solusi Persoalan
Bangsa, 7 Januari 2006.
9