Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Nikah merupakan sunnah rasulullah yang jika diikuti, berarti kita merupakan
golongan beliau. Namun dalam pernikahan tentu ada sebuah aturan, terutama aturan
agama. Salah satunya adanya perempuan yang haram untuk dinikahi atau mahram.

Menurut tafsir Fi Zhilal Al-quran karya Sayyid Qutub dikatakan, bahwa wanita yang
haram dinikahi itu sudah masyhur di semua umat, baik yang masih konservatif maupun
yang sudah maju.

Adapun wanita-wanita yang haram dinikahi adalah golongan wanita yang dijelaskan
di dalam surah an-nisa ayat 22-24. Yang mana sebagian diharamkan untuk selamanya,
dan sebagian hanya diharamkan untuk jangka waktu tertentu.

B. Rumusan masalah
a) Tafsir surah an-nisa ayat 22
b) Tafsir surah an-nisa ayat 23
c) Tafsir surah an-nisa ayat 24

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Q.S. AN NISA AYAT 22


1. Redaksi dan terjemahan ayat
‫و ال تنكحوا ما نكح اباؤكم من النساء اال ما قد سلف انه كان فاحشة و مقتا و ساء سبيال‬
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
kecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci oleh Allah, dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”
2. Penjelasan mufradat

‫ما نكح‬:kata ‫ نكح‬mencakup pada pengertian aqad dan watha’. Jika kata tersebut
ditujukan kepada perempuan ajnabi, maka yang dimaksud adalah nikah dalam arti
aqad. Sementara jika ditujukan kepada pasangan, maka yang dimaksud adalah nikah
dalam arti watha’. Namun kata nikah dalam ayat ini diartikan dengan makna aqad,
baik perempuan itu sudah digauli oleh suaminya, atau belum.

‫اباؤكم‬: merupakan bentuk jamak dari ‫اب‬, sehingga mencakup kepada kakek, baik dari
pihak bapak maupun dari pihak ibu

‫النساء‬: merupakan penjelasan dari ‫ ما‬maushul yang terletak sebelumnya.

‫اال ما قد سلف‬: artinya, pernikahan yang dilakukan sebelum larangan ini turun, telah
dima’afkan oleh Allah. Namun para pasangan tersebut tidak boleh mempertahankan
pernikahannya, dan harus dilakukan fasakh.

‫انه كان فاحشة و مقتا‬: sesungguhnya perbuatan menikahi ibu tiri tersebut merupakan
perbuatan yang dibenci sejak dahulu hingga sekarang dan yang akan datang. 1

3. Asbab an-nuzul

Ayat ini turun berkenaan dengan kebiasaan beberapa kabilah dari bangsa arab,
dimana mereka meneruskan peran ayah mereka yang telah wafat terhadap istrinya2.

1
Muhammad Ibn Shalih Al-utsaimin, Tafsir Al-quran Al-karim (Riyadh: Dar ibn jauzi, 2009) hlm 166-168
2
Ibnu Al-fars Al-andalusi, Ahkam Al-quran juzu 2 (Beirut: Dar ibn hazm, 2006) hlm 117

2
Adapun sebab khusus ayat ini diturunkan adalah ketika wafatnya abu qais, yang
merupakan salah satu orang salih dari kaum anshar. Yang mana anaknya meminang
bekas istrinya setelah dia wafat. Dalam riwayat dikatakan:

Ibnu hatim berkata:

‫ عن رجل من‬،‫ عن عدي بن ثابت‬،‫ عن اشعث بن سوار‬،‫ حدثنا قيس بن الربيع‬،‫ مالك بن اسماعيل‬،‫حدثنا ابي‬
‫ و انت‬،‫ انا اعدك ولدا‬:‫ فقالت‬،‫ فخطب ابنه فيس امرأته‬،‫ و كان من صالحي األنصار‬،‫ توفي ابو قيس‬:‫ قال‬،‫األنصار‬
‫ فقال‬،‫ إن ابا قيس توفي‬:‫ فقالت‬.‫م‬.‫ فأتت رسول هللا ص‬،‫ فستأمره‬.‫م‬.‫ و لكن اتي رسول هللا ص‬،‫من صالحي قومك‬
‫ ارجعي الى‬:‫ فما ترى؟ فقال لها‬،‫ و انما كنت اعده ولدا‬،‫ إن ابنه قيسا خطبني و هو من صالحي قومه‬:‫ ثم قالت‬،‫خيرا‬
‫ و ال تنكحوا ما نكح اباؤكم من النساء‬:‫ قال فنزلت هذه األية‬.‫بيتك‬

“Dari ‘adi bin tsabit, dari seorang lelaki anshar, dia berkata: ketika abu qais wafat,

dan dia termasuk orang yang shalih dikalangan anshar, maka putranya, yaitu qais
melamar istrinya. Maka sang istri berkata: aku telah menganggapmu sebagai seorang
anak dan engkau termasuk orang shalih dikalangan anshar, tetapi aku akan datang kepada
nabi. Lalu aku bercerita kepada beliau: sesungguhnya abu qais telah wafat. Beliau
berkata: kebaikan. Kemudian aku lanjutkan: sesungguhnya qais putranya telah
melamarku, padahal dia adalah orang yang shalih diantara kaumnya dan aku telah
menganggapnya anak, maka bagaimana pendapatmu? Maka beliau bersabda: pulanglah
kerumahmu. Lalu turunlah ayat: 3‫و ال تنكحوا ما نكح اباؤكم من النساء‬

4. Munasabah ayat

Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yang membahas tentang larangan dari
kebiasaan buruk jahiliyyah. Adapun ayat sebelumnya berbunyi:

‫يايها الذين امنوا ال يحل لكم ان ترثوا النساء كرها و ال تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما اتيتموهن اال ان يأتين‬
‫بفاحشة مبينة‬

"hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karna hendak mengambil kembali

3
Al-hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Al-quran Al-‘azhim (Kairo: Darul hadits, 2011) hlm 576

3
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali mereka melakukan
perbuatan yang keji dan nyata”

5. Syarah ayat
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang membicarakan tentang
pembatalan dan larangan terkait dengan adat buruk sebagian masyarakat jahiliyyah.
Bermula dari 19 sampai ayat 21, dimana Allah telah melarang mempusakai wanita
dengan cara paksa dan menyusahkan mereka untuk mengambil kembali maskawin yang
telah mereka janjikan atau berikan.
Kali ini larangan yang lebih tegas dan berkesinambungan diarahkan kepada adat
buruk jahiliyyah yang lain, yaitu menikahi bekas istri ayah sendiri, yaitu ibu tiri. Baik
bekas istri setelah kematian si ayah, maupun akibat perceraian hidup, baik pernikahan itu
dengan paksa, ataupun suka sama suka.4
Tidak halal bagi kamu mempusaksai wanita dengan jalan paksa, tidak juga menikahi
bekas istri ayahmu. Karna itu, wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melakukan praktik buruk yang pernah dilakukan oleh masyarakat jahiliyyah. Yakni
menikahi ”apa” yang telah dinikahi walau masih terbatas dalam bentuk akad nikah yang
shahih dan belum digauli sebagai suami istri oleh ayah-ayahmu, baik ayah langsung
maupun kakek, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu.
Praktik pernikahan semacam itu menimbulkan murka Tuhan dan siksa bagi para
pelakunya, kecuali apa yang telah terjadi dimasa lampau, yaitu masa jahiliyyah dan masa
sebelum datangnya larangan ini sehingga murka dan siksa itu tidak menyentuh para
pelakunya, dan Allah mengampuni perbuatan itu. Allah menyiksa orang-orang yang
melakukan dan mempertahankan perbuatan semacam itu, karna sesungguhnya perbuatan
itu sejak dahulu hingga kini amat keji dalam pandangan agama dan akal, serta dibenci
oleh Allah dan orang-orang yang memiliki harga diri dan nama baik, dan merupakan
seburuk-buruk jalan yang ditempuh dalam kehidupan masyarakat.
Kata ‫ ما نكح‬diterjemahkan denga arti “apa”, bukan “siapa” karna ayat ini bermaksud
melarang pernikahan itu begitu telah dilangsungkannya akad nikah. Jadi tinjauannya
adalah pada akad nikah, bukan pada siapa yang dinikahi. Kata nikah itu sendiri dapat

4
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-mishbah (Jakarta: Lentera hati, 2002) hlm 467

4
diartikan kepada akad, dan dapat diartikan juga kepada watha’, dan kedua makna ini
memang digunakan dalam al-quran. Watha’ tidak dapat terjadi tanpa kehadiran siapa
yang dinikahi, namun akad akan tetap sah meskipun salah satu pasangan tidak hadir.
Selain itu, akad nikah juga sudah terlaksana dan berstatus sah meskipun tanpa hubungan
badan, sedangkan watha’ tidak boleh dilakukan sebelum adanya akad nikah.
Disisi lain, pengecualian terhadap larangan tersebut juga menggunakan kata ‫ ما‬pada
potongan ayat ‫اال ما قد سلف‬, yang juga berarti “apa”. Karna jika seandainya diartikan
dengan ”siapa”, maka dapat dipahami bahwa pernikahan dengan ibu tiri itu masih bisa
dipertahankan. Tapi karna ayat ini menggunakan kata ”apa”, dan yang telah lampau itu
adalah waktunya, maka pernikahan yang tadinya diizinkan itu harus segera dihentikan.
Sebagaimana penjelasan diatas, seorang anak haram menikahi bekas istri bapaknya
walau pernikahan itu baru sampai pada sebatas pelaksanaan akad saja. Dan para ulama
pun sudah sepakat bahwa wanita yang telah digauli oleh bapak baik melalui jalan
pernikahan, kepemilikan budak, dan syubhat, semuanya haram untuk dinikahi. Namun
para ulama berbeda pendapat mengenai wanita yang digauli tanpa adanya akad yang sah.
Dalam hal ini, imam Ahmad berpendapat bahwa wanita yang seperti itu juga diharamkan.
Namun imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa perzinaan tidak menyebabkan
keharaman bagi sang anak. Dengan begitu, apabila wanita tersebut digauli diluar
pernikahan yang sah, maka tidak ada halangan bagi si anak untuk menikahi wanita itu.
Begitupun sebaliknya, si ayah boleh menikahi wanita yang dizinai oleh anaknya.5
Ayat ini melarang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dimasa jahiliyah, yaitu orang
yang kawin dengan istri ayahnya setelah ayahnya itu meninggal dunia. Allah
mengharamkan pernikahan dengan ibu tiri sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan
bagi mereka, karna bahwasanya mereka tidak layak digauli setelah dinikahi oleh bapak
mereka. Sehingga hal tersebut diharamkan bagi seorang anak, walaupun hanya sekedar
akad. Dan ini merupakan perkara yang sudah disepakati.

B. Q.S. AN NISA AYAT 23


1. Redaksi dan terjemahan ayat

5
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-mishbah (Jakarta: Lentera hati, 2002) hlm 469

5
‫حرمت عليكم أمهاتكم و بناتكم و أخواتكم و عماتكم و خاالتكم و بنات األخ و بنات األخت و أمهاتكم الالتى‬
‫ارضعنكم و أخواتكم من الرضاعة و أمهات نسائكم و ربائبكم الالتى فى حجوركم من نسائكم الالتى دخلتم بهن فإن‬
‫لم تكونوا دخلتم بهن فال جناح عليكم و حالئل ابنائكم الذين من أصالبكم و أن تجمعوا بين األختين إال ما قد سلف إن‬
‫هللا كان غفورا رحيما‬

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-


saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-
saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu
yang menyusuimu, saudara perempuanmu dari sepersusuan, ibu-ibu istrimu, anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum mencampurinya, maka tidak ada dosa bagimu jika mengawininya, dan
diharamkan pula bagimu untuk mengawini istri-istri dari anak kandungmu, dan
mengumpulkan dua orang perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

2. Penjelasan mufradat

‫حرمت عليكم امهاتكم‬: artinya diharamkan menikahi ibu, dipakai menggunakan lafazh jamak
agar mencakup kepada ibu, nenek, baik dari pihak bapak maupun pihak ibu

‫و أمهاتكم الالتى ارضعنكم و أخواتكم من الرضاعة‬: artinya diharamkan juga menikahi perempuan
yang pernah menyusuinnya, sebagaimana haram juga menikahi ibu seperti yang
dijelaskan pada ayat sebelumnya. Begitupun haram juga menikahi saudara sepersusuan.

‫الخ‬... ‫و أمهات نسائكم و ربائبكم الالتى فى حجوركم‬: artinya haram menikahi ibu mertua, baik
putrinya tersebut sudah digauli atau belum. Namun bagi anak tiri, keharamannya hanya
berlaku jika ibunya sudah digauli. Jika belum digauli, maka anak tersebut boleh untuk
dinikahi.

‫و حالئل ابنائكم الذين من أصالبكم‬: artinya diharamkan menikahi istri dari anak-anak kandung.
Dan hal ini tidak berlaku bagi istri dari anak angkat.

‫و أن تجمعوا بين األختين إال ما قد سلف‬: artinya diharamkan menghimpunkan dua orang
perempuan yang bersaudara dalam satu ikatan perkawinan, baik perempuan merdeka

6
maupun budak. Kecuali apa yang telah terjadi dimasa lampau. Maka hal itu diampuni
oleh Allah.

3. Syarah ayat

Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang perempuan-perempuanyang haram untuk


dinikahi, dan yang halal untuk dinikahi. Adapun yang haram dinikahi itu terbagi dua,
yaitu haram untuk selama-lamanya, dan haram untuk waktu tertentu.

Yang haram dinikahi untuk selama-lamanya itu dapat dikategorikan pada 3


kelompok:

1) Haram karna hubungan kekerabatan


2) Haram karna adanya ikatan perkawinan
3) Haram karna persusuan

Bagian pertama dari ayat 23 menerangkan tentang haramnya perkawinan sebab


hubungan kekerabatan dan bagian kedua menerangkan tentang haram perkawinan sebab
persusuan. Bagian pertama tersebut dapatdibagi pula pada 4 bagian:

1) Asal usulnya, yaitu ibu, ibu dari ibu, ibu dari ayah, dan seterusnya
2) Turunannya, yaitu anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, anak
perempuan dari anak perempuan, dan seterusnya
3) Belahannya, yaitu saudara perempuan kandung, sebapak, maupun seibu
4) Belahan dari asal usulnya, yaitu saudara perempuan dari ibu, dan saudara
perempuan dari ayah

Adapun yang diharamkan karna sebab persusuan mencakup pada ibu yang
menyusukan, dan saudara dari satu susuan. Sementara yang lain ditetapkan dengan jalan
qiyas atau fahw al-khithab. Secara umum Nabi mengatakan

‫و يحرم من الرضاعة ما يحرم من الرحم‬

“diharamkan karna persusuan, apa yang diharamkan karna hubungan darah


(kerabat)”

7
Meskipun ayat tersebut menerangkan tentang haram sebab persusuan, namun tidak
menjelaskan batas-batas susuan itu. Tetapi penjelasan mengenai batasan tersebut
dijelaskan dalam hadits

‫ال رضاع اال ما كان فى الحولين‬

“tidak disebut sepersusuan kecuali hanya dalam masa dua tahun”

Maksud dari hadits ini adalah, sesuatu itu baru bisa disebut penyusuan jika anak
tersebut menyusu karna lapar. Artinya, susulah yang menjadi makanan pokok bagi anak
kecil tersebut. Ditambah lagi dengan pengertian yang dapat dipahami dari firman Allah
dalam Q.S. Al-baqarah ayat 233:

‫و الوالدات يرضعن اوالدهن حولين كاملين لمن اراد ان يتم الرضاعة‬

“dan ibu-ibu itu menyusukan anaknya selama dua tahun, bagi siapa yang hendak
menyempurnakan susuannya”

Setelah selesai tentang penyebutan wanita yang haram dinikahi akibat persusuan,
selanjutnya ayat menyebutkan tentang wanita yang haram dinikahi karna faktor
pernikahan, yaitu mertua dan anak tiri. Dalam kasus anak tiri, si suami boleh
menikahinya jika ia belum menggauli istrinya/ibu dari anak tersebut. Demikian juga
ketentuan yang berlaku bagi istri dari anak, yaitu menantu.

Setelah menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi selama-lamanya,


ayat ini melanjutkan penjelasannya tentang wanita yang haram dinikahi namuun tidak
mutlak untuk selama-lamanya. Yaitu menghimpnunkan dua orang perempuan yang
bersaudara dalam satu pernikahan, kecuali apa yang telah terjadi dimasa lampau.

C. Q.S. AN NISA AYAT 24


1. Redaksi dan terjemahan ayat

8
‫و المحصنات من النساء إال ما ملكت ايمانكم كتب هللا عليكم و احل لكم ما وراء ذلكم ان تبتغوا بأموالكم محصنين‬
‫غير مسافحين فما استمتعتم به منهن فاتوهن اجورهن فريضة و ال جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعض الفريضة‬
‫ان هللا كان عليما حكيما‬

“dan diharamkan juga atas kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki. Allah telah menetapkan hukum itu sebagai ketetapanNya atas
kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, yaitu mencari istri-istri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu campuri
diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan
tidak mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”

2. Penjelasan mufradat

‫و المحصنات من النساء إال ما ملكت ايمانكم‬: artinya diharamkan menikahi perempuan yang telah
bersuami. Kecuali budak-budak wanita yang telah dimiliki melalui jalan peperangan,
yang telah melewati masa istibra.

‫كتب هللا عليك‬: artinya pengharaman tersebut sudah merupakan ketetapan dari Allah. Serta
secara tidak langsung merupakan perintah untuk tidak melampaui batasan-batasan yang
telah ditentukan oleh Allah.

‫و احل لكم ما وراء ذلكم‬: artinya, selain wanita-wanita yang telah disebutkan sebagai mahram,
maka halal untuk dinikahi.

3. Asbab an-nuzul

Adapun ayat ini turun berkenaan dengan budak-budak wanita yang ditawan dengan
cara peperangan. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Said Al-khudhri, ia berkata:
”kami mendapatkan satu tawanan wanita Authas yang telah memiliki suami. Kami tidak
suka menjima’ mereka sedangkan mereka bersuami. Maka kami menanyakan hal itu
kepada Nabi, lalu turunlah ayat ‫و المحصنات من النساء إال ما ملكت ايمانكم‬, maka perempuan-
perempuan tersebut menjadi halal bagi mereka.”

9
Begitulah yang diriwayatkan oleh At-tirmizi, An-nasa’i, dan muslim dalam kitab
shahihnya.

4. Syarah ayat

Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat-ayat sebelumnya, yaitu ayat-ayat yang
menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, yang mencakup haram
sementara, dalam hal ini adalah wanita yang sudah bersuami.

Setelah selesai merincikan siapa saja yang haram dinikahi, Allah kemudian
menjelaskan tentang siapa yang boleh dinikahi beserta tata caranya, dengan menegaskan:
‫و احل لكم ما وراء ذلكم‬, yakni selain orang-orang yang disebutkan pada ayat sebelumnya.

Kata ‫ المحصنات‬yang terdapat pada awal ayat ini berasal dari kata ‫الحصن‬, yang artinya
terhalangi. Wanita yang dilukiskan dengan akar kata ini oleh al-quran dapat diartikan
sebagai wanita yang terpelihara dan terhalangi dari kekejian karna dia adalah wanita yang
suci dan bersih, bermoral tinggi, atau karna dia merdeka, bukan budak, atau karna dai
mempunyai suami. Maka maksud ‫ المحصنات‬dalam ayat ini dapat dilihat dalam empat
makna. Pertama, makna ‫ المحصنات‬diartikan dengan perempuan-perempuan yang telah
mempunyai suami yang memelihara mereka dengan cara yang baik. Kedua, kata ‫المحصنات‬
juga dapat diartikan dengan perempuan yang merdeka, seperti yang terdapat dalam
firman Allah: ‫و من لم يستطع منكم طوال ان ينكح المحصنات‬. Ketiga, kata ‫ المحصنات‬diartikan dengan
perempuan yang baik-baik, seperti dalam potongan ayat: ‫محصنات غير مسافحات‬. Keempat,
kata ‫ المحصنات‬dimaknai dengan perempuan muslimat. Sebagaimana firman Allah dalam
lanjutan ayat barusan: ‫فإذا احصن‬. Oleh karna itu, ulama tidak sependapat mengenai makna
‫ المحصنات‬dalam ayat ini.6

Menurut Ibnu Abbas, Abu Said Khudhri, dan Zuhri, yang dimaksud dalam ayat ini
adalah perempuan-perempuan tawanan yang bersuami, yang haram untuk dinikahi
kecuali dengan jalan sebagai tawanan perang. Imam Syafi’I berpendapat bahwa
tertawannya wanita tersebut merupakan penyebab putusnya ikatan perkawinan dengan
suaminya, meskipun suaminya itu sama-sama ikut tertawan. Demikian juga yang

6
Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-ahkam (Jakarta: Kencana, 2011) hlm 245

10
diriwayatkan oleh Ibnu Wahab, Ibnu Abd Hakam dari Malik, pendapat yang disetujui
oleh Abu Hanifah dan sahabatnya, serta pendapat imam Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.

Golongan lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‫ المحصنات‬dalam ayat ini
adalah perempuan yang baik-baik. Demikian pendapat Abu Aliyah, Ubaidah, Salamani,
Thawus, Said bin Zubair, dan ‘Atha. Bahkan Ubaidah telah meriwayatkan yang demikian
itu dari Umar bin Khattab. Maka makna ayat ini menurut mereka adalah haramnya semua
perempuan yang baik-baik kecuali apa yang telah dimiliki oleh tangan kananmu. Artinya,
yang dimiliki karna pernikahan atau sebab pebudakan.

Telah meriwayatkan Ibnu Jarir Thabari bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya
kepada Said bin Zubair “bagaimana pendapatmu tentang Ibnu Abbas, yang ketika
ditanyakan ayat ini kepadanya, dia tidak menerangkan apa-apa?” Maka dia berkata “Ibnu
Abbas tidak mengetahui apa-apa dalam hal ini”. Ibnu Jarir juga telah meriwayatkan dari
Mujahid, dia berkata “kalau saya mengetahui orang yang dapat menafsirkan ayat ini,
maka saya pacu unta saya untuk mendapatkannya”

Sebenarnya kalau kita ambil kesimpulannya, makna ayat ini adalah jelas, yaitu
haramnya menikahi perempuan yang mempunyai suami. Adapun perempuan yang
tertawan atau perempuan budak, walaupun dia mempunyai suami, maka dengan sebab
tertawannnya itu dia telah menjadi halal dan nikahnya menjadi fasakh dengan suaminya.

11
BAB III

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perempuan yang


haram dinikahi adalah:

1. Berdasarkan surah an-nisa ayat 22, yang menjadi mahram adalah wanita yang
telah dinikahi oleh bapak, selama wanita itu bukan ibu kandung. Baik wanita
tersebut sudah digauli atau belum.
2. Berdasarkan surah an-nisa ayat 22, diharamkan menikahi ibu, anak
perempuan, saudara perempuan, bibi dari pihak bapak dan pihak ibu,
kemenakan dari pihak saudara laki-laki maupun perempuan, ibu-ibu yang
menyusui waktu kecil, saudara perempuan sepersusuan, mertua, anak tiri dari
istri yang telah dicampuri, menantu, dan mengumpulkan dua orang
perempuan yang bersaudara.
3. Berdasarkan surah an-nisa ayat 23, diharamkan menikahi perempuan yang
masih terikat dalam pernikahan, kecuali budak wanita yang ditawan melalui
jalan peperangan
B. SARAN

Inilah makalah sederhana yang dapat pemakalah buat pada kesempatan kali ini.
Pemakalah mohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini,
yang tidak lain berasal dari keterbatasan ilmu pemakalah. Dan semoga pembaca dapat
mengambil manfaat dari makalah ini.

Akhir kata perbanyak maaf, wabilllahi taufiq wal hidayah, wassalamu ’alaikum
warahmatullahi wabarakatuhu

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Syekh. H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-ahkam (Jakarta: Kencana, 2011)


2. M.Quraish Shihab, Tafsir Al-mishbah (Jakarta: Lentera hati, 2002)
3. Muhammad Ibn Shalih Al-utsaimin, Tafsir Al-quran Al-karim (Riyadh: Dar ibn jauzi,
2009
4. Ibnu Al-fars Al-andalusi, Ahkam Al-quran juzu 2 (Beirut: Dar ibn hazm, 2006)
5. Al-hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Al-quran Al-‘azhim (Kairo: Darul hadits, 2011)

13

Anda mungkin juga menyukai