Anda di halaman 1dari 12

Pernikahan Beda Agama

1. Kinanti
2. Mirza Hakim Siregar
Ayat Al-Qur’an
• al-Baqarah :221 • ‫وال تنكحوا المشركت حتى يؤمن وألمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم وال‬
‫ أولئك يدعون إلى النار وهللا يدعو‬,‫تنكحوا المشركيىن حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم‬
‫إلى الجنة والمغفرة بإذنه ويبين ءاياته للناس لعلهم يتذكرون‬
• Terjemah • “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [QS. al-Baqarah (2): 221]
al-Maidah : 5 • ‫اليوم أحل لكم الطيبت وطعام الذين ءوتوا الكتب حل لكم‬
‫وطعامكم حل لهم والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من الذين ءوتوا الكتب من‬
‫قبلكم إذا ءاتيتموهن أجورهن محصنين غير مسافحين وال متخذي أخدان ومن يكفر‬
‫باإليمان فقد حبط عمله وهو في األخرة من الخاسرين‬
Terjemah • “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan makanan
(sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara ahli kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” [QS. al-Maidah (5): 5]
Al-Quran : Al-Mumtahanah :10 • ‫يأيها الذين ءامنوا إذا جاءكم المؤمنت مهجرت‬
‫فامتحنوهن أهلل أعلم بإيمانهن فإن علمتموهن مؤمنت فال ترجعوهن إلى الكفار ال هن حل لهم‬
‫وال هم يحلون لهن وءاتوهم ما أنفقوا وال جناح عليكم أن تنكحوهن إذا ءاتيتموهن أجورهن وال‬
‫تمسكوا بعصم الكوافر وسئلوا ما أنفقتم وليسئلوا ما أنفقوا ذلكم حكم هللا يحكم بينكم وهللا عليم‬
‫حكيم‬
“apabila kamu telah mengetahui bahwa wanita-wanita mukminah itu benar-
benar beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-
suami) mereka yang kafir. Wanita-wanita muslimah itu tidak halal (dinikahi)
oleh lelaki-lelaki kafir, dan lelaki-lelaki kafir itu tidak halal (menikahi) wanita-
wanita muslimah.” (QS. Al – Mumtahanah ayat 10)
Sebab Nuzul

Surat Al-Baqarah ayat 221 ini adalah ayat pertama yang sering menjadi awal
pembahasan, dimana dalam ayat ini ada pesan larangan untuk menikah dengan yang
bukan seagama, walaupun masih belum jelas apakah pelarangan itu bersifat mutlak
haram, atau ada penjelasan lainnya.
Untuk lebih memahami konteks dimana ayat ini turun, kiranya perlu bagi kita untuk sedikit
melihat beberapa riwayat yang ada dalam menjelaskan latar belakang ayat ini turun,
sehingga dengan pengetahuan ini diharapakan agar kita mempunyai gambaran awal dari
pembahasan pada tema nikah beda agama ini.

Setidaknya ada dua riwayat masyhur yang sering dikutip oleh ulama tafsir dalam banyak
kitabnya:
a. Riwayat Pertama

Ibnu Abbas ra. Meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat nabi bernama Abdullah bin Rawahah
mempunyai budak perempuan hitam, lalu kemudian karena kejadian tertentu akhirnya Abdullah bin
Rawahah marah besar dengan budaknya, lalu beliau menamparnya. Kejadian ini akhirnya diceritakan
kepada Rasulullah SAW, lalu kemudian Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana keadaan budakmu itu,
wahai Abdullah?” Lalu dijawab: “Dia berpuasa, shalat, berwudhu’, dan dia juga bersyahat bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Engkau adalah utusan Allah. Maka seketika Rasul mengatakan bahwa dia
adalah muslimah.
Kemudian Abdullah bin Rawahah bersumpah untuk memerdekannya dan menikahinya, dan begitu
beliau memerdekakannya dengan berani beliau juga menikahinya. Masyarakat setempat pada waktu
itu ramai memberitakan pernikahan Abdullah bin Rawahah dengan mantan budak perempuannya,
seakan itu adalah pernikahan yang hina, sehingga mereka menyayangkan hal itu terjadi.
Ramainya pemberitaan negatif ini disebabkan karena pada waktu yang bersamaan ada fenomena
yang lagi nge-trend dimasyarakat Arab dimana mereka senang menikahi perempuan musyrik karena
biasanya perempuan-permpuan itu mempunyai jabatan bagus dimasyarakatnya, atau dengan kata lain
mereka adalah perempuan yang berpangkat.
Dengan kejadian seperti ini, maka turunlah QS. Al-baqarah: 221, sebagai jawaban bahwa apa
yang dilakukan oleh Abdullah bin Rawahah bukan sebuah hal yang buruk.
b. Riwayat Kedua
Apa yang dikeluarkan oleh Abu Hatim, Ibnu Al-Mundzir dari Muqatil bin Hayyan berkata: Ayat
ini turun terkait dengan cerita Martsad Al-Ghanawi yang meminta idzin kepada Rasulullah SAW
untuk menikahi seorang perempuan musyrik yang mempunyai starata sosial yang bagus pada
kabilahnya bernama ‘Anaq. Martsad berkata: “Ya Rasulullah, sungguh aku tertarik (untuk menikahi)
perempuan ‘Anaq itu”. Lalu Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan sahabat
Martsad Al-Ghanawi.
Hukum Fiqih
Muslim Menikah Dengan Bukan Muslimah Menikah Dengan Non Muslim
Muslimah
• Dalam hal ini setidaknya ada dua • Lanjutan dari QS. Al-Baqarah: 221 adalah
perihal larangan menikahkan perempuan
pendapat besar: muslimah dengan non muslim atau kafir.
Non muslim yang dimasud adalah seluruh
• 1. Mayoritas Ulama laki-laki yang bukan muslim, apapun nama
• 2. Pendapat Ibnu Umar agamanya, ini yang membedakan antara
pebahasan pertama dengan yang kedua.
Hal ini dikuatkan melalui ayat Al-
Mumtahanah: 10
Muslim Menikah Dengan Bukan
Muslimah
• 1. Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama menyepakati, termasuk didalam ulama empat madzhab, bahwa haram
menikahi perempuan bukan muslimah selain ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Keharaman
menikahi perempuan bukan muslimah selain ahli kitab itu berdasarkan QS. Al-Baqarah: 221 dia
atas, dan kebolehan menikahi perempuan ahli kitab itu didasarkan kepada QS. Al-Maidah ayat ke-
5.
Dalam bahasa lainnya bahwa menurut mayoritas ulama boleh menikahi perempuan ahli kitab,
walaupun status kebolehannya juga berkisar antara mubah dan makruh.Namun yang juga perlu
digaris bawahi bahwa kebolehan menikahi mereka mensyaratkan bahwa perempuan ahli kitab itu
adalah sosok yang suci dari perzinahan, masuk dalam katagori muhshanat dan statusnya bukan
penduduk harbiy yang boleh dibunuh dan dalam madzhab Syafi’i ahli kitab yang dimaksud
nasabnya harus sampai kepada Bani Isra’il, walaupun syarat yang ketiga masih diperselisihkan
antara ulama.
2. Pendapat Ibnu Umar
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama diatas, maka Ibnu Umar punya pendapatnya sendiri
yang lebih ekstrim akan keharaman menikahi perempuan bukan muslimah secara mutlak, termasuk
didalamnya haram menikahi perempuan ahli kitab.
Sepertinya anak kesayangan Umar bin Khattab ini berpendapat bahwa QS. Al-Maidah yang
menjelaskan kebolehan menikahi perempuan ahli kitab dihapus keberakuannya (di-nasakh) oleh QS.
Al-Baqarah: 221 yang melarang menikahi perempuan musyrik secara umum, tanpa pengecualian.
Secara tegas jika Ibnu Umar ditanya tentang hukum laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab
(Yahudi dan Nasrani) beliau dengan tegas biasanya akan menjawab dengan:
“Allah telah mengharamkan perempuan musyrik bagi kaum muslimin, dan saya tidak tahu jika ada
dosa syirik yang lebih besar melebihi dosa perempuan yang dengan keyakinannya mengatakan bahwa
tuhannya adalah Isa, atau salah satu hamba Allah lainnya”
Namun pendapat ini dinilai lemah, karena menurut mayoritas ulama bahwa QS. Al-Baqarah: 221 itu
turun pada awal-awal periode Madinah, sedangkan ayat QS. Al-Maidah: 5 justru turunnya belakangan,
ayat tersebut pada akhir-akhir periode Madinah.
Jika memakai kaidah nasikh dan mansukh maka sudah pasti QS. Al-Baqarah: 221 statusnya menjadi
mansukh (yang dihapus), sedang ayat QS. Al-Maidah: 5 statusnya adalah sebagai nasikh (yang
menghapus) keberlakuan hukum pada ayat sebelumnya.
Muslimah Menikah Dengan Non Muslim
Hal ini dikuatkan melalui ayat berikut:
‫اال ُه َّن ِح ٌّل لا ُه ْم او اال ُه ْم يا ِحلُّونا لا ُه َّن‬
“Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (QS. Al-
Mumtahanah: 10)
Sosok besar Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir menilai bahwa potongan ayat terakhir ini tidak ada
yang mengkhususkannya, dan Al-Qurthubi meyakinkan bahwa pelarangan ini sudah ada kata sepakat
(ijma’) dari para ulama, sehingga meragukannya bukanlah sebuah kebaikan, apalagi mendiskusikannya
ulang didunia akademis yang kadang ngalur-ngidul tidak jelas arahnya kemana.
Kalimat “ ”‫ او اال ت ُ ْن ِك ُحوا‬dengan harakat dhommah (di depan) pada huruf ta’ terjemah Indonesia: “Janganlah
kalian menikahkan”, maksudnya adalah menikahkan perempuan muslimah dengan non muslim. Dari ayat
inilah para ulama menilai bahwa perempuan, khususnya yang berstatus perawan, tidak boleh menikahkan
dirinya sendiri, dia harus dinikahkan oleh walinya.
Pernikahan tanpa wali diyakini tidak sah oleh mayoritas ulama, termasuk
didalamnya ulama empat madzhab minus madzhab Abi Hanifah, hal ini lebih
dikuatkan dengan keterangan hadits Rasulullah SAW:
‫أا‬Perempuan mana saja yang menikah tanpa restu walinya maka nikahnya batil, maka
nikahnya batil, maka nikahnya batil” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” (HR. Ahmad)
“Janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri, karena sungguh (hanya)
pezinah saja yang menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ad-Daru Quthni)

Semenarik apapun mereka, sekaya apaun mereka, setinggi apapun kedudukan


mereka, dan sebagus apapun nasab keturunan mereka, jangan lupa masih banyak
muslim dan muslimah yang menarik, kaya, berkedudukan, dan berdarah biru, dan
yang tidak kalah pentingnya mereka insya Allah shalih dan shalihah (kecuali yang
tidak)

Anda mungkin juga menyukai