Anda di halaman 1dari 13

NIKAH DENGAN AHLI KITAB TINJAUAN DALIL ATAS

PELARANGAN DAN PEMBOLEHANNYA

MAKALAH

Oleh:

AGUSTANG
NIM. 2021040203007

PROGRAM STUDI MAGISTER AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KENDARI

PASCASARJANA

2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan merupakan fitrah manusia yang ditetapkan oleh Tuhan yang

maha kuasa dalam dimensi kehidupan. Begitu pentingnya pernikahan, hampir

semua agama mengatur dan mengkoordinir pernikahan, tidak terkecuali adat

masyarakat serta institusi Negara turut andil dalam mengatur pernikahan di

masyarakat. Memilih pasangan merupakan faktor penting dalam membina rumah

tangga. Pondasi utama yang harus diperhatikan adalah aspek agama demi

terciptanya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.

Fenomena hari ini telah banyak terjadi pernikahan yang tidak

mempedulikan aspek agama atau dikenal dengan pernikahan antar agama. Baik

pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah atau wanita

muslimah dengan laki-laki non muslim. Fakta ini melahirkan berbagai penafsiran

dalam fiqh mengenai hukum pernikahan antar agama yang sampai saat ini

merupakan polemik yang berkepanjangan serta menimbulkan kontroversi yang

tidak berkesudahan. Adapun pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non

muslim hukumnya haram berdasarkan ijma’ menurut ulama klasik dan ulama

kontemporer. Adapun pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab

secara khusus, telah terjadi perbedaan antar para fuqaha. Dengan demikian yang

menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah mengetahui istidlal para fuqaha

pada kasus laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab berdasarkan dalil yang

membolehkan dan dalil yang melarangnya.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum menikah dengan ahli kitab?

2. Bagaimana tinjauan fuqaha terhadap dalil-dalil yang membolehkan dan

yang melarang menikahi wanita ahli kitab?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nikah

Nikah atau ‫ا*)واج‬ secara etimologi bermakna ‫رﺗﺒﺎط‬,‫ا‬ (Ikatan), ‫اﻻزدواج‬

(Pasangan) dan ‫ان‬456,‫( ا‬Pertemuan) . Allah swt berfirman:

‫واذا اﻟﻨﻔﻮس زوﺟﺖ‬

Artinya:
Apabila ruh-ruh itu dipertemukan (Ibnu Manzur, h. 251)

‫ اذا ﺗﻤﺎﻟﻴﺖ واﻧﻀﻢ ﺑﻌﻀﻬﺎ اﻟﻰ ﺑﻌﺾ‬،‫ﺗﻨﺎﻛﺤﺖ اﻻﺷﺠﺎر‬

Artinya:
“Pohon-pohon itu kawin, jika mereka saling condong dan
bergabung antara sebagian mereka dengan bagian yang lainnya”.

Secara terminologi, ulama mazhab fiqh yang terkemuka berbeda pendapat

mengenai pengertian pernikahan. Namun, semua definisi tersebut mengandung

substansi yang sama, meskipun secara redaksional nampak berbeda. Berikut

beberapa defenisi nikah:

1. Menurut hanafiyah, pernikahan adalah suatu akad ‫( وﺿﻊ‬hubungan seks)

tujuan memiliki manfaat albud’ (‫)اﻟﺒﻀﻊ‬ (Akmaluddin Muhammad

Albabarti, h. 33).

2. Menurut malikiyah nikah adalah akad yang semata mata memperoleh

kesenangan dengan lawan jenis (Abu Abdullah Muhammad Alkhattab,

h. 403).

3
3. Menurut syafi’iyah nikah adalah suatu akad yang membolehkan ‫وطء‬
(hubungan seks) dengan lafaz nikah atau attazwij atau dengang lafaz

yang senada dengan tersebut (Muhammad Asyarbini, h. 123).

4. Sementara Hanabilah tidak jauh berbeda dengan defenisi syafi’iyah.

Semua defenisi ini dapat disimpulkan bahwa nikah adalah sebuah

akad yang menjadi sebab halalnya istimta’ (bersenang-senang) antara laki-

laki dan perempuan dengan alasan syar’I (Fatimah Abdul Hamid, 2018, h.

355). Yang perlu diketahui bahwa dengan ragamnya defenisi menurut

terminologi para ulama, tidak didapati adanya persyaratan agama. Dengan

demikian, perlu diketahui hukum menikahi wanita ahli kitab yang sebagai

pemeluk agama samawi.

2.2 Hukum Nikah dengan Ahli Kitab

Salah satu pernikahan yang dilarang dalam Islam adalah pernikahan

beda agama. Maksud beda agama adalah laki-laki muslim dengan wanita non

muslim atau sebaliknya wanita muslimah dengan laki-laki non muslim.

Dalam Istilah fiqh disebut pernikahan dengan kafir. Pernikahan wanita

muslimah dengan laki-laki non muslim baik itu ahli kitab atau musyrik

hukumnya haram berdasarkan ijma’. Adapun pernikahan laki-laki muslim

dengan wanita yahudi dan nasrani atau wanita ahli kitab telah terjadi

perbedaan pendapat dikalangan fuqaha. Bagi kalangan jumhur fuqaha yang

meliputi Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah, Zahiriyah, sebagian

mazhab Zaidiyah adalah boleh. Pendapat ini merupakan pendapat para

jumhur sahabat (Fatimah Abdul Hamid, 2018, h. 366). Adapun selain

4
jumhur ada yang berpendapat makruh dan ada yang berpendapat haram. Hal

ini akan tampak jelas pada pembahasan selanjutnya.

2.3 Tinjauan Dalil-Dalil Yang Membolehkan Dan Yang Melarang Menikahi

Wanita Ahli Kitab

2.3.1 Tinjauan Dalil Yang Membolehkan Menikahi Wanita Ahli Kitab

Sebelumnya telah diketahui bahwa para jumhur fuqaha dan sahabat

telah membolehkan menikahi wanita ahli kitab. Adapun dalil dari yang

membolehkan ini adalah terdiri dari ayat Al-Qur’an dan atsar dari

sahabat yang sebagai berikut:

‫ﻌﻤﻜﻢ ِﺣ ّﻞ‬ ِ َ‫اﻟﻜﺘ‬ ِ


ِ ‫اﻟﺬﻳﻦ اُوﺗُـﻮا‬ ِ
ُ َ‫ﺎب ﺣ ّﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوﻃ‬
َ ُ َ‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟﻄ‬ ‫اﻟﻴَـ ْﻮَم اُﺣ‬
ْ َ ْ ‫ﺎت َوﻃَ َﻌ ُﺎم‬

‫ﺎب ِﻣ ْﻦ ﻗَـْﺒﻠِ ُﻜﻢ‬ ِ ِ ِ ِ ‫ﳍﻢ واﳌﺤﺼ‬


ِ َ‫ﺎت واﳌﺤﺼﻨ‬
َ َ‫ﺎت ﻣ َﻦ اﻟ ّﺬﻳْ َﻦ اُوﺗُﻮا اﻟﻜﺘ‬
ُ َ ْ ُ َ َ‫ﻨﺎت ﻣ َﻦ اْﳌُْﺆﻣﻨ‬
ُ َ ْ ُ َ َُ

Artinya:
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan
makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu
menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di
antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi kitab sebelum kamu….(Q.S. Al-Maidah: 5).

Dari zahir ayat ini menerangkan kebolehan menikahi wanita ahli kitab,

karena ayat ini diperuntukan bagi kaum mu’minin atas kehalalan

makanan mereka (Fatimah Abdul Hamid, 2018, h. 366).

Dalil selanjutnya yang membolehkan menikahi wanita ahli kitab

adalah adanya atsar dari sahabat. Diriwayatkan dari Ishaq dari Habirah

bahwa Talhah bin Abdullah ra menikah dengan wanita yahudi (Abu

Syaibah, h. 296).

5
Dari istidlal juhmur fuqaha atas bolehnya menikahi wanita ahli

kitab, adalah termasuk hujjah yang kuat. Karena zahir dari surat Al-

Maidah ayat 5 termasuk teks yang menyiratkan perintah. Terlepas

hukumnya wajib, mubah atau sunnah. Sedangkan hujjah selanjutnya

adalah atsar dari sahabat yang termasuk salah satu dalil dalam

mengistinbatkan hukum.

Melalui tinjauan dalil yang membolehkan ini, ada pendapat dari

ulama kontemporer yang memperluas kata ahli kitab. Yaitu Muhammad

Rasyid Ridha. Pada kasus nikah beda agama, Muhammad Rasyid Ridha

membagi nikah beda agama kedalam tiga bagian yaitu Musyrik, Ahli

kitab dan Syibh Al-kitab. Beliau berpendapat bahwa wanita musyrik

yang haram dinikahi dalam surat Al-Baqarah ayat 221 hanyalah wanita

musyrik Arab saja. Beliau berkata:

ِ ِ
ِ  ‫ﺎت ﻣ ْﺸ ِﺮَﻛﺎت اْﻟﻌﺮب‬ ِ ِ
‫ب َﳍُ ّﻦ‬
َ ‫اﻟﻼﺗﻰ َﻻ ﻛﺘَﺎ‬ ََ ُ ُ ‫ن اْﳌَُﺮ َاد ﺑﺎْﳌُ ْﺸ ِﺮَﻛ‬ ‫ا‬

Artinya:
Bahwa yang dimaksud dengan musyrikat adalah wanita musyrik
Arab dimana karena mereka tidak ada kitab.

Pernyataan beliau ini didasarkan karena Al-Quran tidak

menjelaskan secara sarih (jelas) tentang menikah dengan wanita

penganut agama lain yang memiliki kitab suci atau menyerupai kitab

suci selain musyrik dan ahli kitab. Seperti umat Majusi, Shabi’in,

Budha, Brahmana dan pengikut Kunfusyius di China. Sebagaimana

sebagian ulama memasukan ahli kitab kedalam kelompok musyrikin.

tanpa diragukan lagi mereka juga memasukkan pemeluk agama lain ke

6
dalam kelompok musyrikin, sekalipun Al-Quran dan Sunnah secara

jelas membedakan mereka (Shalah Al-Dîn Al-Munjadi, h.751).

berdasarkan kalam dari Muhammad rasyid ridha, berarti terdapat makna

tersirat kebolehan menikahi wanita dari musyrikat yang memiliki kitab

dengan alasan syibh Ahli kitab. Makan tersirat dari pendapat

Muhammad Rasyid Ridha ini telah berbeda dengan pendapat Abdul

Wahab Khullaf yang juga sebagai ulama kontemporer. Beliau berkata:

Haram bagi laki-laki muslim menikah dengan perempuan yang


tidak memeluk agama samawi, tidak beriman kepada rasul, tidak
kepada kitab wahyu, karena mereka musyrik wasaniyah yang
menyembah asnam (Patung-patung berhala) atau perempuan
majusi penyembah api, atau perempuan ashabiyat penyembah
bintang-bintang (h.70).

2.3.2 Tinjauan Dalil Yang Melarang Menikahi Wanita Ahli Kitab

Pada poin ini, pendapat yang memakruhkan dan mengharamakan

disatukan. Ulama yang mengatakan makruh menikahi wanita ahli kitab

adalah Imam Malik, dan pendapat yang assahih dalam menurut kalangan

Syafi’i. begitupulan pendapat ini dikatakan juga oleh Ibnu Umar ra

(Muhammad Bin Abu Syaibah, T.th, 296).

Selanjutnya pendapat yang mengharamkan menikahi wanita ahli

kitab. Pendapat ini adalah merupakan pendapat sebagian dari kalangan

Zaidiyah dan Imamiyah (h. 364). Adapun dalil dari pendapat yang

mengharamkan adalah ayat 221 dari Surah Al-Baqarah yang berbunyi:

‫ﱴ ﻳﺆﻣﻦ وﻷﻣﺔ ﻣﺆﻣﻨﺔ ﺧﲑ ﻣﻦ ﻣﺸﺮﻛﺔ وﻟﻮ اﻋﺠﺒﺘﻜﻢ‬ ‫ﺣ‬


َ ‫ﺎت‬ ‫ﻛ‬
‫ﺮ‬
َِ ‫َوَﻻ ﺗُـْﻨ ِﻜ ُﺤﻮا اْﳌ ْﺸ‬
ّ ُ

‫وﻻ ﺗﻨﻜﺤﻮا اﳌﺸﺮﻛﲔ ﺣﱴ ﻳﺆﻣﻨﻮا وﻟﻌﺒﺪ ﻣﺆﻣﻦ ﺧﲑ ﻣﻦ ﻣﺸﺮك وﻟﻮ اﻋﺠﺒﻜﻢ‬

7
‫أﻟﺌﻚ ﻳﺪﻋﻮن اﱃ اﻟﻨﺎر واﷲ ﻳﺪﻋﻮ اﱃ اﳉﻨﺔ واﳌﻐﻔﺮة ﺑﺬﻧﻪ وﻳﺒﲔ آﻳﺎﺗﻪ ﻟﻠﻨﺎس‬

‫ﻟﻌﻠﻬﻢ ﻳﺘﺬﻛﺮون‬

Artinya:
Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum
mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang
beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik
meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan
yang beriman) sebelum mereka beriman. sunggguh
hambah sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada
laki-laki musyrik merkipun ia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak surga dan
ampunan dengan izinnya.

Wajhu addalalah ayat ini adalah ayat ini termasuk ayat yang umum,

yang mana kemumumannya tidak ada perbedaan antara wanita ahli

kitab dan wanita musyrik. Keumuman ayat ini ditandai dengan ayat

dengan mukayyadnya redaksi “sampai mereka beriman” (Fatimah

Abdul Hamid, h. 371).

Berdasarkan dari perbedaan pendapat para fuqaha mengenai hukum

menikahi wanita ahli kitab disebab dengan perbedaan istidlal mereka.

Inti dari perbedaan istidlal tersebut adalah apakah ahli kitab termasuk

kaum musyrikin atau tidak. Bagi yang mengatakan wanita ahli kitab

bagian dari kaum musyrik berarti berpendapat ketidak bolehan

menikahi mereka dengan mengamalkan keumuman ayat ‫ا‬SOPQR ,‫و‬

‫ت‬UV4WX*‫ا‬. Bagi yang mengatakan bukan dari kaum musyrikin berarti

boleh menikahi wanita mereka. Sementara yang mengatakan makruh

8
berdalil dengan perkataan ibnu umar ra dengan alasan menghindari

fitnah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Alasan jumhur fuqaha berpendapat

boleh menikah dengan wanita Ahli kitab, yaitu pengkhususan firman

Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 5 yang mengatakan halal menikahi

perempuan yang menjaga kehormatan dari kalangan ahli kitab atas

keumuman firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 221 yang

mengatakan keharaman menikah dengan wanita musyrik sampai ia

beriman (Fatimah Abul Hamid, 2018, h. 366).

Berdasarkan istidlal dengan dalil yang membolehkan dan yang

melarang menikahi wanita ahli kitab, adalah rata-rata dari pafa fuqaha

klasik. Namun, para fuqaha kontemporer juga berbeda berpendapat

perihal menikahi wanita ahli kitab. Diantaranya syekh Abdullah

Algumari (w.1999) berkata kaum Nasrani hari ini memerangi orang-

orang islam, maka haram menikahi wanita-wanita mereka, akad nikah

dengan mereka merupakan akad fasid (h.70). Namun,Yusuf Alqardhawi

berpendapat boleh hukumnya bagi lelaki muslim menikahi wanita Ahli

kitab, sementara perempuan muslimah tidak boleh dinikahi laki-laki

Ahli kitab. Hal ini karena laki-laki merupakan kepala rumah tangga,

berkuasa terhadap istri dan bertanggung jawab tentang dirinya. Islam

menjamin aqidah bagi istri ahli kitab dalam naungan suaminya yang

muslim, bahkan melindungi hak dan kehormatan istrinya dengan

syari’at dan bimbingannya (h. 264).

9
2.3.3 Nikah Dengan Ahli Kitab Konteks Indonesia

Indonesa adalah Negara yang memperhatikan kehidupan

beragama bagi penduduknya. Salah satu bentuk perhatian tersebut

adalah pendirian lembaga keagamaan yang bernama majelis ulama

Indonesia (MUI). Yang mana lembaga ini pada tanggal 11-17 Rajab

1400 H bertepatan dengan tanggal 26 Mei hingga 1 Juni 1980 tentang

pernikahan beda agama dalam Musyawarah Nasional II MUI. Dimana

MUI mengeluarkan fatwa haram menikahi perempuan non muslim.

Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia atas keharaman ini adalah

kemudharatan menikahi perempuan non muslim itu lebih

besar dari pada kemaslahatannya (Majelis Ulama Indonesia, 2011,

h.45). dari fatwa MUI 1980 dengan redaksi perempuan non muslim

telah meliputi wanita ahli kitab. Dengan demikian, haram menikahi

wanita ahli kitab untuk konteks Indonesia berdasarkan dengan fatwa

MUI Tahun 1980.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai dalil atas pelarangan dan

pembolehan menikahi wanita ahli kitab. Para jumhur fuqaha dari kalangan Hanafi,

Maliki, Syafi’i dan Hanbali beserta para jumhur sahabat telah bersepakat atas

kebolehan menikahi wanita ahli kitab. Pendapat ini didasarkan dengan ayat 2 dari

surah al-maidah. Sedangkan selain jumhur, ada yang berpendapat makruh dan ada

yang mengharamkan. Sedangkan yang mengharamkan telah berdalil dengan

keumuman ayat 221 dari Surah Al-Baqarah. Setelah melihat istidlal dari berbagai

pendapat. Telah tampak bahwa letak perbedaan mereka yaitu apakah kata ahli

kitab dapat digolongkan dengan golongan musyrikat. Letak perbedaan istidlal ini

telah melahirkan hukum yang beragam. Adapun konteks Indonesia, haram

hukumnya menikahi wanita ahli kitab berdasarkan dengan fatwa MUI tahun 1980.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Fatimah Abdul Hamid. (2018). Zawa>j Al-Muslimi>n Min Gair Al-
muslimi>n fi Al-Fiqh Al-Islami: Vol 30, Edisi 1 No. 30, Majalah Kulliah
Asyariah wa Al-Qanu>n bi Asyut. Al-Azhar University.

Abidin, Ahmad bin Amin bin. (2000). Rad Al-Mukhta>r Ala> Al-Dar Al-Mukhta>r.
Beirut: PT. Dar Al-Fikr. Jilid (3).

Albabarti, Akmaluddin bin Muhammad bin Mahmud. (2007). Al-ina>yah Syarh


Al-hida>yah bi Ha>misy Fath Al-Qadi>r. Beirut: PT. Da>r Al-Kutub Al-
Ilmiyah, Cet 1. Jilid 3.

Alhattab, Abu Abdullah Muhammad. (1992). Mawa>hib Al-Jali>l Syarh Mukhtasar


Khali>l. PT. Da>r Al-Fikr, Cet 2. Jilid 3.

Alsyarbini, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. (1958). Mugni Al-Muhta>j,


Cairo: PT. Musthafa Alhalabi. Jilid (2).

Al-Syirazi, Abu Ishaq bin Ibrahim. (1992). Al-Muhazzab. PT. Al-Tura>s| Al-Arabi.

Alqardawi, Yusuf. (2012). Al-hala>l wa Al-Hara>m fi Al-Isla>m, Cet 1. Cairo: PT.


Maktabah Wahbah. Cet (1).

Alqurtubi, Abu Alwali>d Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. (1982). Bida>yah Al-
Mujtahid wa Niha>yah Al-Muqtasid, Beirut: PT. Da>r Al-Qalam, Cet. 1.
Jilid 2.

Khullaf, Abdul Wahab. (1957). Ahka>m Ahwa>l Al-Syakhsiah fi Al-Syariah Al-


Isla>miyah. PT. Da>r Al-Qalam.

Majelis Ulama Indonesia. (1975). Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia


Sejak. Jakarta: Erlangga.

Ridha, Muhammad Rasyid. S}ala>h Al-Di>n Al-Munjadi, Fata>wa Al-Ima>m, (http: tp,
2005 M/ 1426 H), Jilid. I. diunduh pada 1 Mei 2023).

Sabiq, Sayyid. (2006). Fiqh Al-Sunnah. Cairo: PT. Da>r Al-Fath Lil i’la>m. Jilid 2.

Syaibah, Muhammad bin Abu. (T.th).) Mushannif Ibn Abi Syaibah. Beirut: PT.
Al-Maktabah Al-Isla>mi. Jilid 3.

Anda mungkin juga menyukai