Anda di halaman 1dari 9

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN USHUL FIQH

Taufik Hasan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Sultan Amai Gorontalo
e-mail: taufikhasan128@gmail.com

Abstract
Marriage in Islam is not only an ordinary civil relationship or contact, but marriage is a sunnah of
the Prophet Muhammad, and the most appropriate medium between Islamic religious guidance and
instinctive or biological human needs that contain the meaning and values of worship. The social
phenomenon that is currently rife proves that many couples are holding interfaith marriages both in
Indonesia and other countries. In this case, the interfaith marriage is the marriage of a Muslim man
with a non-Muslim woman or vice versa, the marriage of a Muslim woman with a non-Muslim man.
Given these problems, it is necessary to draw legal conclusions relating to interfaith marriages.

Keyword: Marriage, religion differences.

Abstrak
Pernikahan dalam Islam tak hanya sebagai hubungan atau kontak keperdataan biasa, namun
pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW, dan media yang paling pas antara panduan agama
islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia yang mengandung makna dan nilai-nilai
ibadah. Fenomena sosial yang tengah marak membuktikan banyak pasangan yang melangsungkan
pernikahan beda agama baik di Indonesia maupun negara lainnya. Dalam hal ini, pernikahan beda
agama tersebut merupakan pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan non-Muslimah atau
sebaliknya, pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Dengan adanya persoalan
demikian, perlu adanya pengambilan kesimpualan hukum yang berkaitan dengan pernikahan beda
agama.

Kata kunci: Pernikahan, perbedaan agama.


PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk hidup sosial yang dikaruniai akal yang tinggi dalam
memandang proses perkawinan itu sebagai hal yang suci dan sakral dalam ajaran agama dan
kepercayaan. Sedangkan hewan memerlukan rangkaian perkawinan itu sebagai alat
perkembangbiakan saja dalam melanjutkan keturunan.

Pernikahan dalam Islam bukanlah semata-mata sebagai ikatan atau kontrak


keperdataan biasa. Tetapi pernikahan ialah sunnah Rasulullah SAW, dan sarana yang sangat
sepadan antara panduan agama islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia dan
mengandung makna dan nilai-nila ibadah. Sangat pas kiranya jika Kompilasi Hukum Islam
membenarkannya sebagai akad yang sangat kuat, perjanjian yang kokoh (mitsaqan
ghalidhan) untuk menaati aturan Allah dan menjalankannya ialah ibadah.1

Tujuan pernikahan seutuhnya dalam Islam adalah penyempurnaan budi pekerti


manusia dan memanusiakan manusia sehingga kontak yang terjadi antara dua gender yang
berbeda bisa membangun kehidupan baru secara sosial dan kultural. Hubungan dalam
bangunan tersebut adalah kehidupan rumah tangga dan terbentuknya generasi keturunan
manusia yang memberikan kebutuhan masyarakat dan negara di masa yang akan datang.2

Dari perspektif Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, pernikahan antara
suku dan pernikahan beda agama, kedua-duanya dibolehkan, artinya tidak dilarang. Tetapi
dari sudut pandangan agama Islam di antara kedua-duanya harus dibedakan; pernikahan beda
suku dibolehkan, sedang pernikahan beda agama pada awalnya tidak dibolehkan . Oleh karena
itu, di antara kajian Islam yang paling mendapat minat dari publik saat ini adalah pernikahan
beda agama. Karena pada dasarnya pernikahan selalu dipandang sebagai sesuatu yang suci
dan hanya boleh dilakukan antara pemeluk agama yang sama.3

Mengingat persoalan ini, perlu dibuat istimbad hukum tentang perkawinan beda
agama. Secara teknis memang tidak mungkin sekali menyatukan dua orang yang berbeda
agama.Karena masing- masing dari mereka akan menganggap bahwa agama merekalah yang
paling benar dan paling pantas.

1
Muallim Hasibuan, “Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam”, (Sabang: 2021), hal. 46
2
Wiwin Siti Aminah, dkk, “ Hukum pernikahan beda agama menurut Ulama Indonesia”, (Ciamis: 2020)
3
Dr. H. Syamruddin Nasution, M.Ag., Pernikahan beda agama dalam al-qur’an: Kajian perbandingan pro dan
kontra, (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2011), hal.6
PEMBAHASAN

Pernikahan beda agama dalam sudut pandang Islam adalah pernikahan laki-laki
Muslim dengan perempuan non-Muslimah atau sebaliknya, pernikahan perempuan Muslimah
dengan laki-laki non-Muslim. Pernikahan beda agama ini dikelompokkan ke dalam tiga
kategori, pertama, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik (musyrikah),
kedua, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab (kitabiyyah) dan, ketiga,
pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, baik musyrik atau pun Ahl
al-Kitab (kitabi).4

Jenis-jenis Pernikahan Beda Agama Berserta Hukumnya

1. Pernikahan Seorang Muslim dengan Perempuan Musyrik

Dalam QS. al-Baqarah ayat 221, Allah melarang keras pernikahan lakilaki Muslim
dengan perempuan Musyrik.

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan

4
Zainul Mu’ien Husni, “Pernikahan beda agama dalam perspektif al- Quran dan sunnah serta
problematikannya”, (Probolinggo: 2015), hal.92
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran (QS. al-Baqarah ayat 221)

Para Ulama tidak selaras pendapat perihal aturan perkawinan jenis ini sebab adanya
perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud menggunakan wanita musyrik pada ayat
ini. menurut Ibnu Jarir at-Tabari berkata bahwa wanita musyrik yang tidak boleh dinikahi
ialah wanita musyrik asal kalangan Arab saja, karena sejak semula mereka tidak mengenal
kitab kudus dan menyembah berhala. Menurutnya, perempuan musyrik non Arab yang
mempunyai buku kudus boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. pendapat ini sejalan
menggunakan pendapat Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha.5

Para ulama sepakat mengharamkan pernikahan lelaki Muslim dengan perempuan


Musyrik. perempuan musyrik di sini mencakup wanita penyembah berhala, atheis,
perempuan yang murtad, penyembah barah dan penganut peredaran libertin seperti paham
wujudiyyah. Satu hal yang membedakan antara wanita musyrik serta pakar kitab ,
berdasarkan Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang
melarang berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan serta mencegah
kemungkaran. Apa yang dikerjakan serta pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran
kemusyrikan. Inilah yang bisa mengakibatkan dia mengkhianati suaminya serta menghambat
akidah anak-anaknya.6

2. Pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan kitabiyah

Mayoritas ulama memiliki pendapat bahwa menikahi perempuan kitabiyah hukumnya


boleh. Yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab di sini, adalah pemeluk agama Yahudi dan
Nasrani (Kristen), baik dzimmi maupun harbi sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili (Wahbah, 1998: 95). Namun, beberapa ulama, termasuk Abdullah ibn Abbas dari
kalangan sahabat radhiyallahu anhum, dan didukung Dr. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dari
kalangan ulama

5
Siti Robikah, “Nikah beda agama dalam al-Quran dan implikasinya terhadap hukum pernikahan di Indinesia”
dalam Jurnal Al-Wahid, (Yogyakarta: 2020), hal.4-5
6
Suhadi, “kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam”, hlm. 38
kontemporer, membedakan antara yang dzimmi dan yang harbi. Menurut mereka, bahwa
yang halal dinikahi hanyalah yang dzimmi, sedang yang harbi hukumnya haram.7

Di antara para ulama ada sejumlah kecil, antara lain ‘Abdullah ibn Umar dari
kalangan sahabat, yang mengharamkan perempuan kitabiyah Yahudi dan Nasrani dengan
alasan bahwa doktrin teologis kedua agama tersebut mengandung unsur-unsur syirik
(politeisme) (Al-Shabuni, Juz I: 268). Hal ini karena Nabi Uzair alaihis salam dalam teologi
Yahudi dan Nabi Isa alaihis salam dalam teologi Nasrani masingmasing diposisikan sebagai
anak Tuhan.8 Ketika ditanya tentang masalah ini Ibn Umar berkata:

Allah telah mengharamkan pernikahan Muslim dengan perempuan musyrik. Dan aku
tidak mengenal kemusyrikan yang lebih besar daripada pernyataan seorang
perempuan bahwa tuhannya adalah Isa atau apa pun di antara hamba-hamba Allah
(Al-Shabuni, I: 268)

Namun mayoritas ulama yang memperbolehkan pernikahan jenis ini didasarkan pada
QS. al-Maidah: 5

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)


orangorang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum

7
Zainul Mu’ien Husni, “Pernikahan beda agama dalam perspektif al- Quran dan sunnah serta
problematikannya”, (Probolinggo: 2015), hal.94
8
Ibid
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi. (Q.S Al-Maidah ayat 5)

Dalam mengungkapkan QS. Al-Maidah: 5 ini, banyak mufassir tidak sinkron


pendapat tentang pakar buku yang boleh dinikahi sang kaum muslim. Bagi imam ath-Thabari,
ahli kitab ialah pemeluk agama Yahudi serta Nasrani dari keturunan manapun dan siapapun
mereka, baik keturunan Israel maupun bukan asal bangsa Israel. berdasarkan Thabathaba‘i
menyimpulkan bahwa orang-orang yang diberi kitab sebelum al-Qur‘an jumlahnya banyak,
tapi sebagian besarnya merujuk pada Yahudi serta Nasrani. yang umumnya disamakan
dengannya yaitu Majusi dan Shabi‘in, dua gerombolan minoritas yg tidak mayoritas pada
mewarnai dakwah Nabi. Yahudi dan Nasrani disebut sebagai ahli kitab dikarenakan mereka
adalah gerombolan rakyat yang berinteraksi secara aktif dengan Nabi. pada hubungan itulah
dua gerombolan tersebut, baik sendiri juga bersamaan dideskripsikan dalam al-Qur‘an.
menurut Thabathaba‘i, Majusi dan Shabi‘in disamakan dengan Yahudi dan Nasrani sehingga
termasuk golongan ahli kitab dikarenakan mereka mempunyai Nabi yaitu Zoroaster serta
buku kudus Avastha, meskipun mereka mengakui bahwa sejarah hidup serta kemunculan
kepercayaan ini sangatlah tidak jelas.9

3. Pernikahan perempuan Muslimah dengan Lelaki non Muslim

Ulama fiqh menegaskan bahwa pernikahan kategori ini merupakan pernikahan


haram, baik lelaki non-muslim yang tergolong kitabi ataupun tidak. Dalam alQuran
dijelaskan dalam QS. al-Mumtahanah:10:

9
Ibid
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-
Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S
al-Mumtahanah:10)

Ungkapan tidak halal bagi mereka orang-orang kafir itu serta orang-orang kafir itu
tidak halal bagi mereka tegas sekali bahwa perempuan Muslimah tak halal bagi lelaki non
Muslim. Sebagaimana dikemukakan sang Sayyid Sabiq, seseorang suami memiliki hak
kepemimpinan atas istrinya dan sang istri harus mematuhinya maka Bila ini terjadi Islam
telah menyampaikan peluang bagi non Muslim buat menguasai Muslimah dan ini tidak boleh
terjadi.

pada pernikahan antara wanita Muslimah dan lelaki non Muslim, semua ulama setuju
hukumnya haram baik ahli kitab maupun musyrik. Pengharaman ini didasarkan pada QS al-
Baqarah: 221 atau QS al-Mumtahanah: 10. AS-Sayyid Sabiq menyebutkan beberapa argumen
karena dilarangnya wanita muslim kawin dengan lelaki non Muslim. Orang kafir tidak boleh
menguasai orang Islam berdsarkan QS. anNisa[4]: 141. lelaki kafir serta pakar kitab tidak
akan mau mengerti agama istrinya yang musimah, malah kebalikannya mendustakan kitab
dan mengingkari ajaran Nabinya. Sedangkan Jika lelaki Muslim yang menikahi perempuan
ahli kitab maka beliau akan mau mengerti kepercayaan , mengimani kitab serta nabi asal
istrinya menjadi bagian dari keimanannya karena tidak akan sempurna keimanan seseorang
tanpa mengimani kitab serta nabi-nabi terdahulu. pada tempat tinggal tangga campuran,
pasangan suami istri tidak mungkin hidup (bersama) sebab disparitas yg jauh.
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian materi diatas, dapat saya simpulkan: Pernikahan dalam Islam
bukanlah semata-mata sebagai ikatan atau kontrak keperdataan biasa. Tujuan pernikahan
seutuhnya dalam Islam adalah penyempurnaan budi pekerti manusia dan memanusiakan
manusia sehingga kontak yang terjadi antara dua gender yang berbeda bisa membangun
kehidupan baru secara sosial dan kultural. Tidak boleh menikahi wanita atheis yang ingkar
terhadap semua agama dan tidak beriman kepada wujudnya Tuhan. Demikian juga tidak
boleh menikahi wanita yang beriman kepada agama selain agama samawi, seperti agama-
agama yang diciptakan manusia, seperti agama Majusi yang menyembah api, Watsaniyah
yang menyembah berhala, shabiah yang menyembah bintang-bintang dan benda-benda langit
dan Hindu yang menyembah Sapi.
DAFTAR PUSTAKA

Zainul Mu’ien Husni, Pernikahan beda agama dalam perspektif al- Quran dan sunnah serta

Problematikannya, Pekanbaru: Penerbit Yayasan pusaka Riau, 2011.

Muallim Hasibuan, Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam, (Sabang: 2021)

Wiwin Siti Aminah, dkk, 2020, “Hukum pernikahan beda agama menurut Ulama Indonesia”

Siti Robikah, 2020, Nikah beda agama dalam al-Quran dan implikasinya terhadap hukum pernikahan
di Indinesia, dalam Jurnal Al-Wahid

Anda mungkin juga menyukai