Anda di halaman 1dari 4

Hukum Nikah Beda Agama dalam Islam dan Kristen, Samakah?

Sabtu, 01 Mei 2010 17:03 WIB "Cinta itu buta," begitu kata penyair asal Inggris, William Shakespeare. Ungkapan yang sangat masyhur itu memang kerap terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, terkadang sampai melupakan aturan agama. Saat ini, tak sedikit umat Muslim yang karena "cinta" berupaya sebisa mungkin untuk menikah dengan orang yang berbeda agama. "Tolong dibantu... Saya benar-benar serius untuk melakukan nikah beda agama. Saya benar-benar pusing harus bagaimana lagi," tulis seorang wanita Muslim pada sebuah laman. Lalu bolehkah menurut hukum Islam seorang Muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan orang yang berbeda agama? Masalah perkawinan beda agama telah mendapat perhatian serius para ulama di Tanah Air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua keputusan terkait pernikahan beda agama ini. Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram," ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu. Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai dasar hukum. "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka ber iman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu..." (QS: al-Baqarah:221). Selain itu, MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta at Tahrim ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan dalil adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain." Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat alBaqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. "Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim," ungkap ulama Muhammadiyah dalam

fatwanya. Ulama Muhammadiyah pun menyatakan kawin beda agama juga dilarang dalam agama Nasrani. Dalam perjanjian alam, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan yang berbeda agama. "Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan bahwa: "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu." "Jadi, kriteria sahnya perkawinan adalah hukum masing-masing agama yang dianut oleh kedua mempelai," papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya. Ulama Muhammadiyah menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil tetap tak sah nikahnya secara Islam. Hal itu dinilai sebagai sebuah perjanjian yang bersifat administratif. Ulama Muhammadiyah memang mengakui adanya perbedaan pendapat tentang bolehnya pria Muslim menikahi wanita nonMuslim berdasarkan surat al-Maidah ayat 5. "Namun, hendaknya pula dilihat surat Ali Imran ayat 113, sehingga dapat direnungkan ahli kitab yang bagaimana yang dapat dinikahi laki-laki Muslim," tutur ulama Muhammadiyah. Dalam banyak hal, kata ulama Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab dengan pria Muslim banyak membawa kemadharatan. "Maka, pernikahan yang demikian juga dilarang." Abdullah ibnu Umar RA pun melarang pria Muslim menikahi wanita non-Muslim.

Fatwa MUI: Kawin Beda Agama, Haram!


Senin, 23 Mei 2011 17:30 WIB REPUBLIKA.CO.ID, Sebut saja namanya, Herry. Ia salah seorang eksekutif muda yang masih lajang. Di usianya yang menginjak hampir 40 tahun, lelaki Muslim yang berkarir di bidang advertising ini masih membujang. Herry bukannya laki-laki yang tak laku, apalagi terkena penyakit, sehingga ia belum juga menyempurnakan separuh agamanya. Bujangan berkulit putih dan berparas rupawan ini justru menjadi incaran wanita rekan-rekan sekerjanya. Di perumahan tempat tinggalnya pun tak sedikit gadis yang naksir padanya. Tak hanya gadis bahkan sejumlah wanita STW alias Setengah Tua juga kesengsem pada Herry. Lantas apa yang membuatnya tak jua menikah? Jodoh yang belum datang, ataukah Herry masih betah menjalani hidup dalam kesendirian? Padahal kedua orang tuanya sudah hampir putus asa memaksanya untuk segera menikah. Bahkan sejumlah wanita pilihan orang tuanya ia tolak, karena mengaku tiada kecocokan. "Saya tidak sreg, kalau urusan jodoh diatur-atur," ujarnya. "Saya lebih baik mencari calon sendiri yang sesuai dengan keinginan saya." Sebenarnya, hampir lima tahun ini Herry telah menjalin hubungan dengan seorang gadis. Sayang, kedua orang tuanya menolak keras sang gadis sebagai mantu karena perbedaan agama. Gadis non-Muslim tempat Herry melabuhkan cintanya menjadi penyebab lambatnya pernikahan sang eksekutif muda.

Sebagai keturunan Muslim yang bisa dibilang fanatik dan teguh memegang akidah, kedua orang tua Herry melarang keras putranya menapaki mahligai rumah tangga dengan Serly, sebut saja demikian. "Karena dilarang inilah, hingga kini saya masih terus mencari cara terbaik untuk dapat menikahi pacar saya," kata Herry. Sementara untuk memaksa Serly masuk Islam, juga bukan perkara enteng. Apalagi kedua orang tua Serly termasuk salah satu tokoh umat yang disegani dan dihormati di kalangan kaumnya. Mereka juga menentang keras Serly menikah dengan pria Muslim. "Kau boleh menikah dengannya (Herry), kalau dia mau masuk agama kita," demikian pesan ayah Serly sebagaimana didengar Herry dari mulut kekasihnya. Hingga kini keduanya hanya menjalin hubungan cinta tanpa jelas kapan akan dapat diresmikan dalam sebuah biduk rumah tangga. Lantas bagaimana sebenarnya hukum pernikahan beda agama dalam Islam? Benarkah seorang lelaki Muslim boleh menikahi wanita beda agama dari kalangan Ahli Kitab? Terkait dengan masalah ini, sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah jauh-jauh hari mengeluarkan fatwa. Berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) II pada 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda agama atau kawin campur, hukumnya haram! Hal ini, jelas MU, berdasarkan pada firman Allah SWT sebagai berikut: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS Al-Baqarah: 221). Kemudian firman Allah: (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yangberiman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita yang diberi Al-Kitab (Ahlu Kitab) sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhira termasuk orang-orang merugi. (QS Al-Maidah: 5). Dan firman Allah: Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orangorang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orangorang kafir itu tiada halal bagi mereka (QS Al-Mumtahanah:10). Dan firman-Nya: Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS At-Tahrim: 6). Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an di atas, MUI juga mendasarkan fatwanya pada haditshadits Rasulullah sebagai berikut: Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dalam bahagian yang lain (HR Tabrani)

Kemudian sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad bin Surai: Tiaptiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Oleh sebab itu, kata MUI, perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram hukumnya. "Dan seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim." MUI menambahkan, tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram!" Demikian fatwa MUI yang ditandatangi oleh Ketua Umum Prof Dr Hamka dan Sekretaris Drs H Kafrawi pada 1 Juni 1980 silam. Dan hingga kini fatwa tersebut masih berlaku dan belum dicabut oleh MUI.

Anda mungkin juga menyukai