Anda di halaman 1dari 26

HUKUM PERNIKAHAN

MENURUT ISLAM
DIKDASMEN PIMPINAN CABANG MUHAMMADIYAH KARANGANYAR
SMK MUHAMMADIYAH MALTIHARJO GAJAH DEMAK
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sudah diatur oleh hukum baik itu hukum negara, hukum
agama maupun hukum adat, semuanya sudah diatur sedemikian mungkin. Didalam hal perkawinan
juga telah diatur menurut agamanya masing-masing, agama manapun telah mengatur hukum
tentang perkawinan.

Tentang hukum melakukan perkawinan Ibnu RusydI menjelaskan : segolongan Fuqoha, yakni
jumhur (Mayoritas Ulama) berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Sunnah. Golongan
Zhahiriah berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib, sementara itu para ulam malikiyah
mutakhirin berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib untuk sebagian orang, Sunnah
untuk sebagian orang, dan Mubah untuk segolongan lainnya. Semua pendapat-pendapatan diatas
berdasarkan pada kepentingan kemaslahatan dan pendapat-pendapat diatas juga sudah mempunyai
alasan-alasan. Namun Ibnu Rusyd menambahkan bahwa perbedaan pendapat ini disebabkan
adanya penafsiran apa bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits yang berkenaan dengan
masalah ini, haruskah diartikan Wajib, Sunnah, ataukah Mubah ?. Sesuai dengan firman Allah Swt
yang menyatakan :
    .....
  
    
 
“…Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak bisa berlaku adil maka kawinilah satu saja ”.
(QS. An-Nisa’ : 3). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454 ).
  
  
 
“ Dan kawinilah orang-orang yang sendirian (janda) diantaramu, dan hamba sahaya laki-laki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan”.
(Q.S. An-Nur : 32). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454)

Hadits Tentang Penikahan Adalah :

“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba-lomba dengan
umat-umat yang lain”. (Al-Baihaqi : 1229).

Terlepas dari pendapat para Imam / Madzhab diatas yang berbeda pendapat didalam
mendefinisikan dan menafsirkan arti perkawianan. Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, islam
sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan.
Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan perkawinan serta tujuan
dari perkawinan, maka melaksanakan suatu perkawinan itu dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah,
Haram, makruh ataupun Mubah . (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 22).

1. Pernikahan Hukumnya Wajib


Bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, namun nafsunya sudah
mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah bagi dia untuk kawin, sedangkan
untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin.
Kata Qurtuby :
Orang bujang yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang
tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan
pendapat tentang wajibnya dia kawin. Allah berfirman :
“ Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga dirinya sehingga nanti Allah
mencukupkan mereka dengan karunia-Nya,” (QS. An-Nuur : 33).
“Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw, kepada kami : hai
golongan orang-orang muda! Siapa-siapa dari kamu mampu berkawin, hendaklah dia
berkawin, karena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara
kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu
pengebiri bagimu”.(Ibnu Hajar Al-Asqalani, A Hassan, 2002 : 431).

2. Perkawinan Hukumnya Sunnah


Adapun bagi orang – orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih
dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Kawin baginya lebih
utama dari bertekun diri dalam ibadah, karena menjalankan hidup sebagai pendeta sedikitpun
tidak dibenarkan islam. Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa Rasulullah
bersabda :
“ Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah
(kawin) kepada kita”. (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 23).

3. Perkawinan Hukumnya Haram


Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta
nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki
sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak
istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan keadaannya
kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya.
Allah berfirman :
“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan tanganmu
sendiri…” (QS. Al-Baqarah : 195). (Al-qur’an dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 :
36)

4. Perkawinan Hukumnya Makruh


Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya,
walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang
kuat. Juga makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan
sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.

5. Perkawinan Hukumnya Mubah


Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena
alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.
BAB II
RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN YG SAH MENURUT SYARA’

Pernikahan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat. pernikahan yang sah harus memperhatikan
larangan-larangan Pernikahan sebagai tersebut di bawah ini.

A. BEBERAPA ASAS HUKUM PERNIKAHAN


Dalam membicarakan larangan Pernikahan menurut hukum islam, ada 3 (tiga) asas yang harus
diperhatikan yaitu:
1. Asas absolut abstrak
Asas absolut abstrak, ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau
pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan
manusia yang bersangkutan.
2. Asas selektivitas
Asas selektivitas adalah suatu asas dalam suatu Pernikahan di mana seseorang yang hendak
menikah itu harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa
dia dilarangnya
3. Asas legalitas.
Asas legalitas ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan.

B. ADA BERMACAM-MACAM LARANGAN PERNIKAHAN MENURUT HUKUM


ISLAM (ASAS SELEKTIVITAS)
Asas selektivitas dirumuskan dalam beberapa larangan perkawinan, dengan siapa dia boleh
melakukan perkawinan dan dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah).
Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) antara lain:
1. Larangan perkawinan karena berlainan agama;
2. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat;
3. Larangan perkawinan karena hubungan susuan;
4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda;
5. Larangan perkawinan poliandri;
6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di Li’ an;
7. Larangan perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina;
8. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri yang ditalak tiga);
9. Larangan kawin bagi pria yang telah beristri empat, dijabarkan satu per satu sebagai
berikut:

1. Larangan Perkawinan Karena Berlainan Agama


Dasar hukumnya QS2: 221,
  
    
   
   
  
    
   
  
    
 
  
  
 
Artinya:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman,
sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun
dia menarik hatim”u. (Al Baqarah ayat 221)

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin


sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-
perintahnya kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam kaitan ini baik ditinjau Asbabun Nuzul dari Q.II: 221.
a. Ibnu Abi Murtsid Al Chanawi memohon izin kepada Nabi Muhammad SAW, agar dia
dapat diizinkan menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan amat
terpandang. Rasulullah belum dapat menjawab walaupun telah 2x ditanya. Sesudah
Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah Q.II: 221. Yang melarang laki-iaki
muslim menikahi wanita musyrik dan sebaliknya melarang wanita muslim menikahi
laki-laki musyrik. (Rawahul Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al wahidi).
b. Abdullah bin Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang amat hitam.
Pada waktu itu ia marah kepadanya dan menampar budak tersebut tetapi kemudian ia
menyesal, lalu menceritakan kepada Nabi Muhamamd saw. Dan bertekad akan
menebus penyesalan itu dengan menikahi budak yang hitam itu. Orang-orang pada
waktu itu mencela dan mengejek tindakan Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap
mau melaksanakan¬nya. Maka turunlah q. II: 221 sebagai pembenaran tindakannya itu:
“Bahwa seorang hamba sahaya (budak) yang muslimah lebih baik daripada wanita
musyrik.”
Rawahul Al Wahidi dari Assu’udi dan berasal dari Abi Maliki, bersumber dari Ibnu
Abbas. Kedua kasus atau peristiwa tersebut di atas adalah asbabun alnuzzul (asbabun
nuzul) dari Q.II: 221. Bahwa menikahi wanita budak (hamba sahaya atau pembantu)
yang mukmin lebih baik daripada menikahi wanita nonmuslim (musyrik) walaupun dia
cantik dan menarik (lihat juga fatwa MUI DKI Jaya tanggal 30 september 1986,
tentang larangan perkawinan antaragama).

2. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Darah Yang Terlampau Dekat


Dan sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara keluarga yang
berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan mengakibatkan keturunannya kelak kurang
sehat dan sering cacat bahkan kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr.
Ahmad ramali Jalan Menuju Kesehatan Jilid I, halaman 221).
Dalil yang menunjukkan dalam l-Qur’an adalah QS4: 23
  
 
 
  
 
 
  
 
  
  
   
    
  
  
  
    
     
 
Aartinya:
“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak
perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-
lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur
ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

Dari dalil di atas dapat diambil dasar hukum sebagai berikut:


a. QS4: 23a. Dilarang karnu (laki-laki) rnenikahi ibu kandung karnu.
b. QS4: 23b. Dilarang kamu (laki-laki) rnenikahi anak perernpuan kandungmu.
c. QS4: 23c. Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandungmu yang perempuan.
d. QS4: 23d Dilarang karnu rnenikahi anak perernpuan dari saudara laki-iaki
kandungmu.
e. QS4: 23e Dilarang kamu menikahi anak perernpuan dari saudara perempuan
kandungmu.
f. QS4: 23f Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ibu
kamu.
g. QS4: 23g Dilarang kamu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ayah
karnu.

Larangan di sini bukan berarti larangan menikahi dalam arti formil saja (melalui prosedur
akad nikah dengan ijab qabul), tetapi juga termasuk larangan menikahi secara materiil
yaitu melakukan hubungan seksual.
Bilamana kita hubungkan dengan pengertian nikah menurut versi hanafi bahwa nikah itu
dalam pengertian asli ialah hubungan seksual, sedangkan menurut syafi’ i nikah itu
menurut pengertian majazi (metheportic) adalah hubungan seksual antara seorang wan ita
dengan seorang pria.
Justru karena itu dalam pergaulan sehari-hari an tara ayah dengan anak perempuan yang
sudah dewasa (baligh), demikian juga antara seorang anak laki-iaki dewasa dengan ibunya
haruslah dijaga sedemikian rupa agar jangan sampai terlanggar norma hukum tuhan yang
maha esa tersebut (lihat pos kota tanggal 26 desember 1979 dan tanggal 10 desember
1979).
3. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan
Masih dalam pembicaraan QS4: 23 terdapat aturan tentang larangan perkawinan karena
ada hubungan susuan.
Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak mempunyai
hubungan darah, tetapi pemah menyusu (menetek) dengan ibu (wanita) yang sarna
dianggap mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya timbul larangan menikah an
tara keduanya karena alasan sesusu (sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu
beberapa kalikah menyusu itu atau berapa lama menyusu itu yang menimbulkan larangan
menikah itu.

Ada dua pendapat tentang masalah tersebut.


Pendapat pertama mengatakan bahwa walaupun menyusu (menetek) itu satu kali saja
tetapi sampai kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan antara anak laki-iaki yang
menyusu itu bahkan juga berlaku larangan bagi anak laki-iaki itu kelak dengan anak dari
ibu (wanita) tempat dia menyusu itu pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta
pengikut-pengikut mazhab hanafiah tersebut seperti juga, hambali dan imam malik.
Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu minimal 5 (lima) kali sampai kenyang setiap kali
menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari
itu menyusu lima kali itu, atau berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah
timbul larangan perkawinannya. Pendapat ini adalah pendapat imam syafi’i dengan para
penganutnya.
Di samping itu berdasarkan penyelidikan dari sudut medis (ilmu kesehatan). Maka
ternyata air susu ibu itu barn berproses menjadi darah dan daging untuk membentuk fisik
bayi apabila~ menyusui itu minimal 5 (lima) kali sampai kenyang (iihat dr. Ahmadi
ramali: jalan menuju kesehatan).
Berhubung dengan itu ada tendensi (iebih banyak) bahwa pendapat imam syafi’i itu
didukung oleh para faqih (para sarjana islam) termasuk penulis.
Dasar hukumnya:
a. QS4: 23h. Dilarang kamu menikahi perempuan di mana kamu pernah menyusui.
b. QS4: 23I Dilarang kamu menikahi perempuan sesama susuan yaitu anall dari
perempuan yang kamu pernah menyusu pada ibunya.

4. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Semenda


Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan yang terdahulu, misalnya
kakak adik perempuan dari istri kamu (laki-laki).
Laki-iaki (kamu) telah menikahi kakaknya yang perempuan atau adiknya yang perempuan
maka timbullah larangan perkawin antara suami dari kakakladik perempuan itu dengan
kakaknya ¬perempuan itu.
lazimnya di indonesia disebut kakak adik ipar, demikian juga hubungan antara anak tiri
dengan bapak tiri, antara ibu tiri dengan anak tiri.
Dasar Hukum:
a. QS4: 23j Dilarang kamu menikahi ibu istri kamu (mertua kamu yang perempuan).
b. QS4: 23k Dilarang kamu menikahi anak tiri kamu yang perempuan yang ada dalam
pemeliharaan kamu dari istri yang telah kamu campuri, dan apabila istri
kamu itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu menikahi anak
tiri itu.
c. QS4: 23l Dilarang kamu menikahi istri anak shulbi kamu (menantu kamu yang
perempuan).
d. QS4: 23m. Jangan kamu menikahi saudara istri kamu yang perempuan, kecuali apabila
kamu ceraikan yang lain (dilarang kamu menikahi dua orang perempuan
bersaudara sekaligus).
e. QS4: 23n. Dihalalkan bagi kamu selain dari yang secara limitatif ditegaskan demikian
(lihat juga q. Xxxiii: 24, 35 dan 37 peristiwa zaid bin haritsah dan zainab
binti jahsyin.

Larangan Perkawinan Masih Dalam Rangka Hubungan Semenda, Tetapi Lebih


Bersifat Khusus
larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih bersifat khusus
atau istimewa, karena ayat Quran mengenal larangan ini diwahyukan Tuhan khusus untuk
melarang perkawinan yang demikian ini yaitu, QS4: 22.
   
 
    
    
  
Artinya:
”dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh)”.

larangan itu tentulah bersifat haram apabila dilanggar dengan ketegasan kata-kata atau
petunjuk Tuhan, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang jahat dan keji. Boleh
ditafsirkan dengan tambahan kata-kata jahat dan keji itu berarti sangat terkutuk sekati,
sangat dibenci dan dimarahi illahi seorang laki-iaki menikahi wanita yang telah dinikahi
oleh bapaknya (ibu tirinya). Menurut penulis larangan ini ditujukan bukan saja perempuan
yang masih dalam hubungan perkawinan dengan bapaknya maupun yang telah dicerai
baik cerai hidup maupun mati.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu qais bin Ai Aslat seorang Anshar yang
saleh meninggal dunia. Anaknya melamar bekas istri abu qais itu (menikahi bekas ibu
tiri).
Berkata wanita itu, “saya menganggap engkau sebagai anakku, dan engkau termasuk dari
kaumku.” maka menghadaplah pemuda itu kepada rasul (nabi muhammad saw.) Bersabda
rasul, “pulanglah engkau ke romanmu.” Setelah Rasullallah berdoa turunlah. QS4: 22
tersebut.
Rawahul ibnu hatim, ai taryabi dan ath thabrani bersumber dari zaid bin tsabit.
Riwayat lain dikemukakan bahwa di zaman jahiliyah anak laki-iaki yang ditinggal mati
oleh bapaknya berhak atas diri ibu tirinya, apakah akan menikahinya sendiri atau
menikahkan dengan orang lain.
Ketika abu qais bin al aslat meninggal muhsin bin qais (anak abu qais) menikahi bekas
istri bapaknya itu dan tidak memberikan suatu warisan apa pun kepada wan ita itu.
Mengadulah wanita itu kepada rasululjah, mengenai haknya, setelah nabi muhammad saw.
Berdoa turunlah q. Iv: 22 itu. Rawahul ibnu saad bersumber dari Muhammad bin ka’ab ai
qarthi. 5)

5. Larangan Perkawinan Poliandri


Dasar Hukum QS4: 24
  
   
   
    
  
 
   
  
 
   
  
   
   
   
Artinya:
“ dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

[282] Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[283] Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24.
[284] Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan.

dalam suatu hadis rasul diriwayatkan oleh muslim, Abu Daud, Al Tirmidzi dan Al Nasai
berasal dari Abi Said Al Chudri.
Dalam peperangan anthos dalam tahun ke-2 pada waktu itu kaum muslimin mendapat
kemenangan dan berhasil memperoleh tawanan beberapa wanita ahlil kitab yang masih
bersuami. Pada waktu wanita-wanita itu mau dinikahi oleh kaum muslimin mereka
menolak dengan alasan masih bersuami.
Rasulullah saw. Menjawabnya berdasarkan QS4: 24 ini.
Demikian juga dalam peperangan hunain tahun ke-3 h juga para tawanan wanita yang
masih bersuami akan dinikahi oleh kaum muslimin yang berhak atas tawanan itu mereka
tidak mau. Rawahul ai thabrani bersumber dari ibnu abbas.?)

6. Larangan Perkawinan Terhadap Wanita Yang Di Li’ An


Li’an diatur dalam Al Quran Surah 24 ayat 4 dan 6 atau Surah An Nuur. (cahaya)
 
   
 
 
   
   
.   
4. dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

[1029] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan
muslimah.

 
   
  
  
   
  
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.

Akibat istri yang di ii’ an maka mereka bercerai untuk selama¬ lamanya, dan tidak dapat,
baik rujuk lagi maupun menikah lagi an tara bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak
yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.

7. Larangan Menikahi Wanita Pezina Maupun Laki-Laki Pezina


Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari segala unsur penodaan,
pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga keagamaan. Haramlah yang tidak
melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian perkawinan. Perkawinan yang
didasarkan sekuler saja (menurut apa adanya saja, kebudayaan saja) tidak. Akan dapat
menjaga atau tidak akan mampu menjaga kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam
QS24: 3 :
    
   
     
  
 
3. laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang
musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin[1028].

[1028] Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula
sebaliknya.

8. Larangan Suami Menikahi Perempuan (Bekas Istrinya yang Ditalaq Tiga)


Yang ditalak tiga kecuali perempuan bekas istri tersebut telah dinikahi lebih dahulu oleh
laki-iaki lain secara sah kemudian tertalak lagi serta habis tenggang waktu iddah
(menunggu). Lihat QS2: 230 yang berbunyi sebagai berikut:
     
   
    
  
   
    
   
 
Artinya:
“ kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui”.

9. Larangan Kawin Lagi Bagi Laki-Laki Yang Telah Mempunyai Istri 4 (Empat)
Orang
Seperti telah penulis uraikan pada (bagian A) pengertian tentang perkawinan. Bahwa
prinsipnya perkawinan menurut hukum islam itu adalah monogami. Tetapi demi untuk
melindungi atau untuk kepentingan anak yatim yang berada di bawah pengawasan dan
pemeliharaan kamu bolehlah menikahi ibu dati anak yatim tersebut dua, tiga atau
maksimal 4 (empat) orang.
Berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi dibatasi hanya sampai dengan 4
(empat) orang istti. Apablia seseorang sudah mempunyai 4 (empat) orang istri haramlah
baginya menikah lagi untuk kelimanya (istri kelima). QS4: 3 dan QS.4: 127.
    
   
   
   
   
    
    
Artinya:
“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(An – Nisa’ 4: 3)
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-
lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah
ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi
poligami sampai empat orang saja.

  


     
    
   
   
  
 
  
   
    
   
Artinya:
“dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran[354] (juga memfatwakan) tentang
Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa[355] yang ditetapkan untuk mereka,
sedang kamu ingin mengawini mereka[356] dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan
(Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang
kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya”.
(An – Nisa’ 4: 127)
[354] Lihat surat An Nisaa' ayat 2 dan 3
[355] Maksudnya Ialah: pusaka dan maskawin.
[356] Menurut adat Arab Jahiliyah seorang Wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan
berkuasa akan hartanya. jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. jika wanita itu buruk
rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya Dia tetap dapat menguasai hartanya.
kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.
C. IJAB DAN QOBUL
Disyaratkan dalam terjadinya akad nikah itu harus ada Ijab dan Qabul, dengan tidak ada jarak
pemisah antara terjadinya Ijab dan diucapkannya Qabul. Menurut ulama Malikiah tidaklah
rusak akad itu dengan adanya pemisah yang sesaat, sebagaimana dapat dipisahkan dengan
khutbah sebentar.17)
Menurut ulama Hanafiah, bagaimana andaikata ada lamaran seorang pria kepada seorang
wanita, dengan mempergunakan surat (tulisan) kemudian wanita itu memanggil 2(dua) orang
saksi lalu membacakan isi surat sambil berkata: aku nikahkan diriku kepada pelamar itu, maka
sahlah perkawinan itu.

D. SYARAT DAN RUKUN NIKAH

Sepakat para ulama bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya syarat-syarat dan
rukun-rukun nikah, yaitu:
1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan;
2. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh);
3. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada paksaan);
4. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan;
5. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-iaki yang diberikan setelah resmi
menjadi suami istri kepada istrinya;
6. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-iaki islam
merdeka;
7. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau
wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar
(mas kawin) yang diberikan. Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya
perkawinan (akad nikah) antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk rumah
tangga (keluarga) yang bahagia kekal dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
8. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan) maka seyogianya
diadakan walimah (pesta pernikahan) walaupun hanya sekadar minum teh manis atau
dengan sepotong kaki kambing untuk bahan sop;
10. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan analogi QS.2: 282 harus
diadakan ilanun nikah (pendaftaran nikah), kepada pejabat pencatat nikah, sesuai pula
dengan undang-undang no. 22 tahun ] 946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun ]954 jo.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 (lihat juga pasal 7 kompilasi hukum islam (Instruksi
Presiden RI No. ] tahun 1991. Pendaftaran ini penting untuk pembuktian bagi generasi
berikutnya, baik tentang keturunan berupa anak, dan cicit maupun pembuktian tentang
sahnya pewarisan kelak.
11. Menurut Sajuti Thalib, S.H., terjadinya nikah itu ialah sesudah dipenuhi semua baik syarat
maupun rukun perkawinan, seperti adanya calon pengatin perempuan dan calon pengantin
laki-laki dengan persetujuan yang bebas di antara keduanya, telah matang baik jiwa
maupun raganya, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dibayar mahar (mas kawin), ada izin
dari orang tua wali, klimaksnya dengan aqdu al nikah (aqdunnikah) diiringi dengan ijab
(penawaran) dari pihak calon pengantin perempuan serta qabul (penerimaan) dari
pengantin laki-iaki.
12. Sunah hukumnya setelah ijab dan qabul tersebut selesai diadakan walimah (beserta
pengumuman tentang terjadinya nikah).19)

E. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM PERKAWINAN


Dengan terjadinya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan),maka seorang laki-iaki yang
menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam keluarga, demikian juga seorang perempuan
yang menjadi istri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai-bagai hak pula. Di samping
itu mereka pun memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari mengikatkan diri dalam
perkawinan itu.
Hak dan kewajiban suami istri itu ditegaskan, baik dalam Al quran maupun Hadis Rasul.QS4:
19
    
     
   
    
   
   
    
    
19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah
kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka
secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

[278] Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat
sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya
yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang
maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
[279] Maksudnya: berzina atau membangkang perintah.

Kndungan QS.4: 19
1. Memberi kebebasan kepada istri yang hendak di tinggal untuk menentukan sikap. (Tidak
boleh mewariskan istri).
Adat buruk jahiliyah terhadap perempuan bahwa, prempuan dianggap sebagai barang
warisan bila suaminya telah meninggal. Baik saudara maupun anak, mereka langsung
mengambil alih kepemilikan dikarenakan ada maksut tertentu.
2. Hai suami janganlah kamu cari-cari kesalahan istri kamu itu dengan maksud hendak
mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu berikan kepadanya kecuali untuk
melakukan kekejian yang nyata.
Ini menunjukkan, bahwa hak perempuan itu harus dilindungi, dan mereka tidak boleh
diperlakukan sewenang-wenang saja. Mereka hanya boleh dihukum bila jelas melanggar
ketentraman rumahtangga. Oleh sebab intu kalu terjadi gaduh, sehingga masing-masing
tidak mau mengalah mencari benarnya sendiri, tidak ada perdamaian lagi hingga
Syiqoq(retak yang hampir pecah) tumbuh, maka campur tangan pihak ke tiga yaitu hakim
dari masing-masing pihak untuk meluruskan keadaan sehingga bisa mengambil suatu
kesimpulan.

3. Hai suami bergaullah kamu dengan istri kamu secara makruf (baik-baik).
Istilah makruf adalah istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan iktikad baik untuk
kejujuruan (tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang baik (the good father) yang biasa kita
temui dalam istilah¬istilah hukum perdata ,baik mengenai hubungan orang dengan orang
maupun mengenai orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya benda (harta
kekayaan).26)

Di sini pengertian makruf (baik-baik) ialah an tara suami istri harus saling menghormati dan
wajib menjaga rahasia masing-masmg. Dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi
suami membuka rahasia istrinya, demikian pula sebaliknya haram si istri membuka rahasia
suaminya.
Dan amat terpuji suami istri yang menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana
firman allah: QS.4: 34
   ....
    
  
  
   
   
      

34. .........sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar.

[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti
meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya
haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat
tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang
tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang
lain dan seterusnya.

Demikian pula kita temui pemyataan-pemyataan kemarahan Tuhan kepada suami istri yang
saling membuka rahasia mereka masing-masing kepada pihak ketiga, yang dijelaskan oleh
rasul dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh muslim.
Sabda rasul:
Bahwa sesungguhnya di antara yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari kiamat (akhirat),
(yaumil mahsyar) ialah seorang suami yang diberi tahu oleh istrinya tentang rahasia istri
itu, sedangkan oleh suami tadi rahasia itu disiarkannya. Begitupun seorang istri yang
diberi tahu oleh suaminya tentang rahasia suami itu, kemudian oleh istri itu dibukakannya
kepada pihak lain.28)

Dalam salah satu hadis yang lain rasul menyatakan ketidaksenangan beliau kepada suami
istri yang telah membuka rahasia masing-masing. Mereka yang membukakan rahasia
masing-masing antara suarni istri kepada pihak lain sarna dengan setan (iblis). Rawahul
asmak binti yazid dan dibukukan oleh imam ahmad.29)

4. Seandainya kamu telah merasa tidak senang kepada istri kamu itu, hendaklah kamu sadari
bahwa boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal sedangkan allah menjadikan sesuatu
hal tersebut kebaikan yang banyak.

Di dunia ini tidak ada yang sempurna, wanita manapun pasti ada kekurangnya. Dan laki-
laki pun pasti terdapat kekurangan. Tetapi dibalik kekurangan itu Alloh memberi kelibihan
yang lebih banyak yang tidak diketahui. Kalau itu disadari tentulah akan menjadi saling
melengkapi.
Bahwa pada prinsipnya pergaulan suami istri itu hendaklah:
1. Suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
2. Pergaulan yang makruf atau pergaulan yang baik serta saling menjaga rahasia masing-
masing.
3. Pergaulan yang sakinah atau pergaulan yang tenteram.
4. Pergaulan yang diliputi rasa mawaddah atau cinta-mencintai terutama di masa muda.
5. Pergaulan yang disertai rahmah, yaitu rasa santun-menyantuni terutama pada waktu tua
telah mendatang.

Kedudukan suami istri


1. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan per¬gaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Kewajiban Suami
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya,akan tetapi mengenai hal-hal
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami-istri secara bersama.
(pasal 80 ayat (1).
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memb~rikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan
c. Bagi istri dan anak;
d. Biaya pendidikan bagi anak. (pasal 80 ayat (4».
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai
berlaku sesudah tamkim sempuma dari istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut
pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.

Tempat Kediaman
1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri
yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak¬anaknya dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat
rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.

Kewajiban Suami Yang Beristri Lebih Dari Seorang


1. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan
biaya hidup kepada masing¬masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah
keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2. Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat
kediaman.

Kewajiban Istri
1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam
batas-batas yang dibenarkan hukum islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-
baiknya.
3. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (j) kecuali dengan alasan yang sah.
4. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya yang tersebut pada pasal 80
ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
5. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
6. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang
sah.

Tentang Pemeliharaan Anak


1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 2] tahun, sepanjang anak
tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental atau belum pemah melangsungkan
perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segaia perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan.
3. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan
kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
BAB III
PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERWALIAN NIKAH

1. PENGERTIAN WALI DALAM PERNIKAHAN

Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali dengan bentuk jamak
Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong.[1] Sedangkan menurut istilah, kata
“wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk
mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang mewakilkan
pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan
pengantin pria). [2]
Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh ‘ala Mazaahib Al
Arba’ah :

٣‫ ما يتوقف عليه ص ّحة العقد فال يص ّح بدونه‬: ‫الولى فى النكاح هو‬


“Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya
tanpa adanya (wali)”.

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan
adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali
merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.

Wali ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan
orang banyak dalam satu wilayah atau negara dan yang khusus berkenaan dengan seseorang
dan harta benda.

Dalam pembahasan skripsi ini yang akan dibicarakan adalah wali terhadap manusia yang
bersifat khusus, yaitu tentang perwalian dalam pernikahannya.

2. SYARAT-SYARAT WALI

Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa
adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
6. Tidak sedang ihrom atau umroh.4

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah
sebagai berikut :
Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil
tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri
apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang
dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya
orang Islam. 5 Allah berfirman:
…١٤١ : ٤\‫)ولن يجعل هللا للكافرين على المؤمنين سبيال (النساء‬
Artinya : ” … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir
menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141

Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah, syarat-syarat menjadi wali adalah :

1. Beragama Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Tidak dipaksa
5. Terang lelakinya
6. Adil (bukan Fasik)
7. Tidak sedang ihrom haji atau umroh
8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bissafah).
9. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.6

Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa persyaratan untuk menjadi
wali secara umum adalah :

1. Islam

Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam pula sebab
orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang Islam. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT :
…١٤١ : ٤\‫)ولن يجعل هللا للكافرين على المؤمنين سبيال (النساء‬
Artinya : ” … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir
menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141

2. Baligh
Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap
kemampuan berpikir dan bertindak secara sadar dan baik.7 Hal ini diungkapkan oleh
Rasulullah SAW dalam sabdanya:

‫ رفع القلم عن أمتى عن ثالثة‬: ‫ قال‬.‫م‬.‫ عن علي رضي هللا عنه عن النبي ص‬: ‫عن النائم حتّى يستيقظ‬
٨)‫وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أبو داود‬
Artinya: “Dari Ali ra. Dari Nabi SAW. Bersabda : Dibebaskannya tanggungan atau
kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang yang sedang tidur sampai ia terbangun dari
tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari
gilanya”. ( H.R. Abu Daud)

Hadits diatas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat
menjadi wali apabila telah dewasa.

3. Laki-laki
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya
sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka
pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:

‫ال تزوج المرأة المرأة وال تزوج المرأة نفسها‬:.‫م‬.‫ قال رسول هللا ص‬: ‫عن أبى هريرة رضي هللا عنه قال‬
٩)‫(رواه ابن ماجه والدارقطنى‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak
boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah
dan Ad-Daruquthni ).

4. Berakal
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab, karena
itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya atau
gila atau juga orang yang berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi
wali.
Jadi salah satu syarat menjadi wali adalah berakal dan orang gila tidak sah menjadi wali.10

5. Adil
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak
fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.13
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang
dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya
dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:

١٤)‫ ال نكاح إال بولي وشاهدىعدل (رواه أحمد بن حنبل‬:‫ قال‬.‫م‬.‫عن عمران بن حصين عن النبي ص‬
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hambal).

Berdasarkan hadits diatas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu berbuat adil
tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.

3. FUNGSI DAN KEDUDUKAN WALI

1. Fungsi Wali
Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada masalah
perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk
melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan
persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya
sendiri.

Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan
seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering
mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan
sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.

Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab
(penawaran), sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul
(penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu (isin-Jawa),
maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya.15 Hal ini berarti bahwa fungsi
wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk
mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.

2. Kedudukan wali
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini
dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya
wali dalam pernikahan. Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih
diperselisihkan keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.

Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam
pernikahan, yaitu:

a. Jumhur Ulama, Imam Syafi’i Dan Imam Malik


Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada
perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali
hukumnya tidak sah (batal).16 Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya:

1. Q.S. An Nur/24 : 3

٢٤: ٣٢( \‫وأنكحوا األيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم… (النور‬


Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
perempuan…” (Q.S. An Nur:24/ 32).

2. Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al Asy’ari.


‫ ال نكاح إال بولي‬:.‫م‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫عن ابى موسى عن ابيه رضي هللا تعالى عنهما قال‬
١۷)‫(رواه أحمد و األربعة و صحه ابن المد ينى و الترمذى وابن حبان‬
Artinya : “Dari Abi Musa Al- Asy’ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah SAW
bersabda : “Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Ahmad
dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)

Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir menafikan (meniadakan)


keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah

‫ أيما إمرأة نكاحت بغير إذن‬: .‫م‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫عن عائشة رضي هللا عنها قالت‬
‫فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها‬.‫ فنكاحهاباطل‬,‫ فنكاحها باطل‬,‫وليهافنكاحها باطل‬
١٨ )‫وإن اشتجروافالسلطان ولي من ال ولي لها (رواه أحمد‬

Artinya: ” Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Tiap-tiap wanita


yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka
nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima
mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih),
maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali.” (HR. Ahmad).
Hadits diatas mengandung beberapa pengertian

- Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali , maka hukumnya batal

- Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya mewajibkan


kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar mitsil.

- Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak ada wali,
maka sulthanlah walinya atau wali hakim.

Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan,


sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak
pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal
perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung
aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini
benar-benar tercapai dengan sempurna.

b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)


Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai
hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Alasan yang mereka
kemukakan antara lain:

1. Q.S. Al- Baqarah2: 232


٢٣٢ :٢\‫)وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فال تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن … (البقرة‬

Artinya : ” Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya…” (Q.S. Al-Baqarah: 2/ 232).
Menurut mereka ayat diatas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk
mengawinkan dirinya sendiri.

2. Dari Hadits Ibnu Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:

‫ الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها‬:.‫م‬.‫ قال رصول هللا ص‬:‫عن ابن عباس قال‬
‫ وفى رواية ألبى داود والنسائى‬,‫ و إذنها صما تها‬: ‫ليس للولي مع الثيب أمر واليتيمة تستأم (رواه‬
١٩)‫بخرى و مسلم‬
Artinya: ” Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: “Perempuan janda
lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta
pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud
dan An- Nasa’I: “Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak
mempunyai Bapak (yatimah)”(HR. Bukhori dan Muslim).

Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) mengenai urusan
dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya, karena ia masih pemalu
maka cukup dengan diamnya Hal ini dianggap sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah.
Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas
mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, maka
dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan
mereka secara langsung.

Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita
melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali
mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).

Selanjutnya Imam-imam yang lain pun berbeda pendapat mengenai kedudukan wali
dalam pernikahan,20 di antaranya:

a. Daud Dzahiry
Beliau berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah,
sedangkan bagi gadis wali menjadi syarat

b. Asy- Sya’bi dan Az- Zuhry


Mereka berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu’
dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu’, maka wali tidak menjadi
syarat.

c. Abu Tsur
Beliau berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau
wali tidak memberi izin.

4. Macam-Macam Wali

Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan
muhakkam, Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali tersebut.

1. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan
berhak menjadi wali.
Wali nasab urutannya adalah:
a. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
b. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
c. Saudara laki-laki sebapak
d. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah
f. Paman (saudara dari bapak) kandung
g. Paman (saudara dari bapak) sebapak
h. Anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah.21
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah
bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak memenuhi persyaratan, maka wali
berpindah kepada kakek dan bila kakek telah meninggal atau kurang memenuhi syarat
yang telah ditentukan, maka wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya keatas.
Begitulah seterusnya sampai urutan yang terakhir.
Ada beberapa hal yang menjadikan perwalian yang lebih dekat itu dapat digantikan oleh
wali yang lebih jauh. Seperti dikemukakan di bawah ini:

Wali yang lebih berhak tidak ada, wali yang lebih berhak belum baligh, yang berhak
menderita sakit gila, wali yang lebih berhak pikun karena tua, wali yang lebih berhak bisu
tidak bisa diterima isyaratnya, wali yang lebih berhak tidak beragama Islam sedangkan
wanita itu beragama Islam.22

Jika wali yang lebih berhak tidak ada, maka yang menggantikannya adalah wali yang lebih
jauh dengan memperhatikan urutan seperti yang tercantum dalam kutipan tersebut. Bila
terjadi di luar ketentuan tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang lain, yaitu
wali sultan atau hakim.

Wali nasab terbagi dua. Pertama, wali nasab yang berhak memaksa menentukan
perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan itu mesti kawin. Wali nasab yang
berhak memaksa ini disebut wali mujbir.23

Wali mujbir yang mempunyai hak untuk mengawinkan anak perempuannya dengan tidak
harus meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya harus memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu:
a. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.
b. Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya
c. Calon suami itu mampu membayar mas kawin
d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti orang
buta.

Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa perkawinan dinyatakan sah
bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan ketentuan harus dapat
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Akan tetapi bila salah satu persyaratan
diatas tidak terpenuhi maka anak perempuan itu dimintai izin terlebih dahulu sebelum
dinikahkan.

Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai hak kekuasaan memaksa atau wali nasab biasa,
yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman yaitu saudara laki-laki kandung atau
sebapak dari bapak dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan
patrilinial.24

2. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali
dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:
a. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
b. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
c. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia
tidak ada.
d. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang
membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
e. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
f. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.25
g. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
h. Walinya gila atau fasik.26
Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali
nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak
sebagai wali sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali
nasabnya berhak menjadi wali. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun
1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.

3. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.

Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang,
disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam
dan laki-laki.27

Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal
ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali
muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri mengangkat seorang yang mempunyai
pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.
DAFTAR PUSTAKA

1. Louis ma’luf, Al munjid, (Beirut: Daarul Masyrik, 1975), h. 919


2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 1007
3. Al Jaziri, Al- Fiqh ‘ala Mazaahib Al- Arba’ah, (Beirut : Daar Al- Fikr, t.th), Juz 4, h. 29
4. Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-
Undang dan Hukum Perdata (BW), (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981), h. 28
5. Sayyid Sabiq, Fiqhus sunnah, (Beirut : Dar al Fikr, 1968), Juz VI, h.261
6. Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf,
1997/1998), h. 33
7. Abd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan menurut Hukum Islam, (Jakarta :
Pustaka Al Husna, 1986), Cet. Ke I, h. 48
8. Al San’any, Subul As-Salaam, (Kairo : Dar Ihya’ Al- Turas Al- Araby, 1980), Juz 3, h. 179
9. Al San’any, Subul As-Salaam, (Kairo : Dar Ihya’ Al- Turas Al- Araby, 1980), Juz 3, h. 179
10. Ibid. h.120
11. Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, loc. cit.
12. Zakiah Drajat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid. 2, h.82
13. Asy- Syaukani, Nailul ‘Authar Syarh Muntaqal Akhbar, (Libanon: Daar Al- Fikr, 1973),
Juz 6, h. 258
14. M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999), cet. Ke-2, h. 39
15. M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Empat Mazhab, ( Jakarta: PT.
Hidakarya Agung, 1996), Cet. Ke- 15, h. 53
16. Ibnu Hajar Al- Asqolani, Fathu Al- Bary, (Mesir: Mustafa Al- Baby Al- Halaby, 1959), Juz
11, h. 207
17. Imam Ahmad bin Hambal, Al- Musnad, (Beirut: Daar Al- Fikr, 1991), Juz 9, h. 516
18. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Terjemah), (Semarang : CV. Asy- Syifa’, 1990),Cet. Ke-
1, h. 367
19. Dahlan Idhamy, Asas-asas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, ( Surabaya: Al- Ikhlas,
t.th), h.43
20. M. Yunus, op. cit., h. 55
21. Departemen Agama Republik Indonesia, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Dirjen Binbaga
Islam, 1987/1988), h. 1022
22. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Islam, (t.t.: t.pn., t.th), h. 65
23. Sayuti Thalib, loc.cit.
24. Pedoman PPN dan Pembantu PPN, op. cit., h. 35
25. A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung : Al- Bayan, 1994), Cet ke1,
h. 62
26. M. Idris Ramulyo, op. cit., h. 25

Anda mungkin juga menyukai