MENURUT ISLAM
DIKDASMEN PIMPINAN CABANG MUHAMMADIYAH KARANGANYAR
SMK MUHAMMADIYAH MALTIHARJO GAJAH DEMAK
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sudah diatur oleh hukum baik itu hukum negara, hukum
agama maupun hukum adat, semuanya sudah diatur sedemikian mungkin. Didalam hal perkawinan
juga telah diatur menurut agamanya masing-masing, agama manapun telah mengatur hukum
tentang perkawinan.
Tentang hukum melakukan perkawinan Ibnu RusydI menjelaskan : segolongan Fuqoha, yakni
jumhur (Mayoritas Ulama) berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Sunnah. Golongan
Zhahiriah berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib, sementara itu para ulam malikiyah
mutakhirin berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya Wajib untuk sebagian orang, Sunnah
untuk sebagian orang, dan Mubah untuk segolongan lainnya. Semua pendapat-pendapatan diatas
berdasarkan pada kepentingan kemaslahatan dan pendapat-pendapat diatas juga sudah mempunyai
alasan-alasan. Namun Ibnu Rusyd menambahkan bahwa perbedaan pendapat ini disebabkan
adanya penafsiran apa bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits yang berkenaan dengan
masalah ini, haruskah diartikan Wajib, Sunnah, ataukah Mubah ?. Sesuai dengan firman Allah Swt
yang menyatakan :
.....
“…Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak bisa berlaku adil maka kawinilah satu saja ”.
(QS. An-Nisa’ : 3). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454 ).
“ Dan kawinilah orang-orang yang sendirian (janda) diantaramu, dan hamba sahaya laki-laki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan”.
(Q.S. An-Nur : 32). (Drs. H.M. Rifai, 1978 : 454)
“Kawinlah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba-lomba dengan
umat-umat yang lain”. (Al-Baihaqi : 1229).
Terlepas dari pendapat para Imam / Madzhab diatas yang berbeda pendapat didalam
mendefinisikan dan menafsirkan arti perkawianan. Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, islam
sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan.
Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan perkawinan serta tujuan
dari perkawinan, maka melaksanakan suatu perkawinan itu dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah,
Haram, makruh ataupun Mubah . (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 22).
Pernikahan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat. pernikahan yang sah harus memperhatikan
larangan-larangan Pernikahan sebagai tersebut di bawah ini.
[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak
perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-
lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur
ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
Larangan di sini bukan berarti larangan menikahi dalam arti formil saja (melalui prosedur
akad nikah dengan ijab qabul), tetapi juga termasuk larangan menikahi secara materiil
yaitu melakukan hubungan seksual.
Bilamana kita hubungkan dengan pengertian nikah menurut versi hanafi bahwa nikah itu
dalam pengertian asli ialah hubungan seksual, sedangkan menurut syafi’ i nikah itu
menurut pengertian majazi (metheportic) adalah hubungan seksual antara seorang wan ita
dengan seorang pria.
Justru karena itu dalam pergaulan sehari-hari an tara ayah dengan anak perempuan yang
sudah dewasa (baligh), demikian juga antara seorang anak laki-iaki dewasa dengan ibunya
haruslah dijaga sedemikian rupa agar jangan sampai terlanggar norma hukum tuhan yang
maha esa tersebut (lihat pos kota tanggal 26 desember 1979 dan tanggal 10 desember
1979).
3. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan
Masih dalam pembicaraan QS4: 23 terdapat aturan tentang larangan perkawinan karena
ada hubungan susuan.
Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak mempunyai
hubungan darah, tetapi pemah menyusu (menetek) dengan ibu (wanita) yang sarna
dianggap mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya timbul larangan menikah an
tara keduanya karena alasan sesusu (sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain yaitu
beberapa kalikah menyusu itu atau berapa lama menyusu itu yang menimbulkan larangan
menikah itu.
larangan itu tentulah bersifat haram apabila dilanggar dengan ketegasan kata-kata atau
petunjuk Tuhan, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang jahat dan keji. Boleh
ditafsirkan dengan tambahan kata-kata jahat dan keji itu berarti sangat terkutuk sekati,
sangat dibenci dan dimarahi illahi seorang laki-iaki menikahi wanita yang telah dinikahi
oleh bapaknya (ibu tirinya). Menurut penulis larangan ini ditujukan bukan saja perempuan
yang masih dalam hubungan perkawinan dengan bapaknya maupun yang telah dicerai
baik cerai hidup maupun mati.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abu qais bin Ai Aslat seorang Anshar yang
saleh meninggal dunia. Anaknya melamar bekas istri abu qais itu (menikahi bekas ibu
tiri).
Berkata wanita itu, “saya menganggap engkau sebagai anakku, dan engkau termasuk dari
kaumku.” maka menghadaplah pemuda itu kepada rasul (nabi muhammad saw.) Bersabda
rasul, “pulanglah engkau ke romanmu.” Setelah Rasullallah berdoa turunlah. QS4: 22
tersebut.
Rawahul ibnu hatim, ai taryabi dan ath thabrani bersumber dari zaid bin tsabit.
Riwayat lain dikemukakan bahwa di zaman jahiliyah anak laki-iaki yang ditinggal mati
oleh bapaknya berhak atas diri ibu tirinya, apakah akan menikahinya sendiri atau
menikahkan dengan orang lain.
Ketika abu qais bin al aslat meninggal muhsin bin qais (anak abu qais) menikahi bekas
istri bapaknya itu dan tidak memberikan suatu warisan apa pun kepada wan ita itu.
Mengadulah wanita itu kepada rasululjah, mengenai haknya, setelah nabi muhammad saw.
Berdoa turunlah q. Iv: 22 itu. Rawahul ibnu saad bersumber dari Muhammad bin ka’ab ai
qarthi. 5)
[282] Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[283] Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24.
[284] Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan.
dalam suatu hadis rasul diriwayatkan oleh muslim, Abu Daud, Al Tirmidzi dan Al Nasai
berasal dari Abi Said Al Chudri.
Dalam peperangan anthos dalam tahun ke-2 pada waktu itu kaum muslimin mendapat
kemenangan dan berhasil memperoleh tawanan beberapa wanita ahlil kitab yang masih
bersuami. Pada waktu wanita-wanita itu mau dinikahi oleh kaum muslimin mereka
menolak dengan alasan masih bersuami.
Rasulullah saw. Menjawabnya berdasarkan QS4: 24 ini.
Demikian juga dalam peperangan hunain tahun ke-3 h juga para tawanan wanita yang
masih bersuami akan dinikahi oleh kaum muslimin yang berhak atas tawanan itu mereka
tidak mau. Rawahul ai thabrani bersumber dari ibnu abbas.?)
[1029] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan
muslimah.
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
Akibat istri yang di ii’ an maka mereka bercerai untuk selama¬ lamanya, dan tidak dapat,
baik rujuk lagi maupun menikah lagi an tara bekas suami istri itu. Sedangkan anak-anak
yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.
[1028] Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula
sebaliknya.
9. Larangan Kawin Lagi Bagi Laki-Laki Yang Telah Mempunyai Istri 4 (Empat)
Orang
Seperti telah penulis uraikan pada (bagian A) pengertian tentang perkawinan. Bahwa
prinsipnya perkawinan menurut hukum islam itu adalah monogami. Tetapi demi untuk
melindungi atau untuk kepentingan anak yatim yang berada di bawah pengawasan dan
pemeliharaan kamu bolehlah menikahi ibu dati anak yatim tersebut dua, tiga atau
maksimal 4 (empat) orang.
Berarti walaupun ada pengecualian kawin poligami tetapi dibatasi hanya sampai dengan 4
(empat) orang istti. Apablia seseorang sudah mempunyai 4 (empat) orang istri haramlah
baginya menikah lagi untuk kelimanya (istri kelima). QS4: 3 dan QS.4: 127.
Artinya:
“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(An – Nisa’ 4: 3)
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-
lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah
ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi
poligami sampai empat orang saja.
Sepakat para ulama bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya syarat-syarat dan
rukun-rukun nikah, yaitu:
1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan;
2. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh);
3. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada paksaan);
4. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan;
5. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-iaki yang diberikan setelah resmi
menjadi suami istri kepada istrinya;
6. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-iaki islam
merdeka;
7. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau
wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar
(mas kawin) yang diberikan. Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya
perkawinan (akad nikah) antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk rumah
tangga (keluarga) yang bahagia kekal dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
8. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan) maka seyogianya
diadakan walimah (pesta pernikahan) walaupun hanya sekadar minum teh manis atau
dengan sepotong kaki kambing untuk bahan sop;
10. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan analogi QS.2: 282 harus
diadakan ilanun nikah (pendaftaran nikah), kepada pejabat pencatat nikah, sesuai pula
dengan undang-undang no. 22 tahun ] 946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun ]954 jo.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 (lihat juga pasal 7 kompilasi hukum islam (Instruksi
Presiden RI No. ] tahun 1991. Pendaftaran ini penting untuk pembuktian bagi generasi
berikutnya, baik tentang keturunan berupa anak, dan cicit maupun pembuktian tentang
sahnya pewarisan kelak.
11. Menurut Sajuti Thalib, S.H., terjadinya nikah itu ialah sesudah dipenuhi semua baik syarat
maupun rukun perkawinan, seperti adanya calon pengatin perempuan dan calon pengantin
laki-laki dengan persetujuan yang bebas di antara keduanya, telah matang baik jiwa
maupun raganya, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dibayar mahar (mas kawin), ada izin
dari orang tua wali, klimaksnya dengan aqdu al nikah (aqdunnikah) diiringi dengan ijab
(penawaran) dari pihak calon pengantin perempuan serta qabul (penerimaan) dari
pengantin laki-iaki.
12. Sunah hukumnya setelah ijab dan qabul tersebut selesai diadakan walimah (beserta
pengumuman tentang terjadinya nikah).19)
[278] Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat
sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya
yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang
maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
[279] Maksudnya: berzina atau membangkang perintah.
Kndungan QS.4: 19
1. Memberi kebebasan kepada istri yang hendak di tinggal untuk menentukan sikap. (Tidak
boleh mewariskan istri).
Adat buruk jahiliyah terhadap perempuan bahwa, prempuan dianggap sebagai barang
warisan bila suaminya telah meninggal. Baik saudara maupun anak, mereka langsung
mengambil alih kepemilikan dikarenakan ada maksut tertentu.
2. Hai suami janganlah kamu cari-cari kesalahan istri kamu itu dengan maksud hendak
mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu berikan kepadanya kecuali untuk
melakukan kekejian yang nyata.
Ini menunjukkan, bahwa hak perempuan itu harus dilindungi, dan mereka tidak boleh
diperlakukan sewenang-wenang saja. Mereka hanya boleh dihukum bila jelas melanggar
ketentraman rumahtangga. Oleh sebab intu kalu terjadi gaduh, sehingga masing-masing
tidak mau mengalah mencari benarnya sendiri, tidak ada perdamaian lagi hingga
Syiqoq(retak yang hampir pecah) tumbuh, maka campur tangan pihak ke tiga yaitu hakim
dari masing-masing pihak untuk meluruskan keadaan sehingga bisa mengambil suatu
kesimpulan.
3. Hai suami bergaullah kamu dengan istri kamu secara makruf (baik-baik).
Istilah makruf adalah istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan iktikad baik untuk
kejujuruan (tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang baik (the good father) yang biasa kita
temui dalam istilah¬istilah hukum perdata ,baik mengenai hubungan orang dengan orang
maupun mengenai orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya benda (harta
kekayaan).26)
Di sini pengertian makruf (baik-baik) ialah an tara suami istri harus saling menghormati dan
wajib menjaga rahasia masing-masmg. Dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi
suami membuka rahasia istrinya, demikian pula sebaliknya haram si istri membuka rahasia
suaminya.
Dan amat terpuji suami istri yang menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana
firman allah: QS.4: 34
....
34. .........sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar.
[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti
meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya
haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat
tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang
tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang
lain dan seterusnya.
Demikian pula kita temui pemyataan-pemyataan kemarahan Tuhan kepada suami istri yang
saling membuka rahasia mereka masing-masing kepada pihak ketiga, yang dijelaskan oleh
rasul dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh muslim.
Sabda rasul:
Bahwa sesungguhnya di antara yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari kiamat (akhirat),
(yaumil mahsyar) ialah seorang suami yang diberi tahu oleh istrinya tentang rahasia istri
itu, sedangkan oleh suami tadi rahasia itu disiarkannya. Begitupun seorang istri yang
diberi tahu oleh suaminya tentang rahasia suami itu, kemudian oleh istri itu dibukakannya
kepada pihak lain.28)
Dalam salah satu hadis yang lain rasul menyatakan ketidaksenangan beliau kepada suami
istri yang telah membuka rahasia masing-masing. Mereka yang membukakan rahasia
masing-masing antara suarni istri kepada pihak lain sarna dengan setan (iblis). Rawahul
asmak binti yazid dan dibukukan oleh imam ahmad.29)
4. Seandainya kamu telah merasa tidak senang kepada istri kamu itu, hendaklah kamu sadari
bahwa boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal sedangkan allah menjadikan sesuatu
hal tersebut kebaikan yang banyak.
Di dunia ini tidak ada yang sempurna, wanita manapun pasti ada kekurangnya. Dan laki-
laki pun pasti terdapat kekurangan. Tetapi dibalik kekurangan itu Alloh memberi kelibihan
yang lebih banyak yang tidak diketahui. Kalau itu disadari tentulah akan menjadi saling
melengkapi.
Bahwa pada prinsipnya pergaulan suami istri itu hendaklah:
1. Suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
2. Pergaulan yang makruf atau pergaulan yang baik serta saling menjaga rahasia masing-
masing.
3. Pergaulan yang sakinah atau pergaulan yang tenteram.
4. Pergaulan yang diliputi rasa mawaddah atau cinta-mencintai terutama di masa muda.
5. Pergaulan yang disertai rahmah, yaitu rasa santun-menyantuni terutama pada waktu tua
telah mendatang.
Kewajiban Suami
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya,akan tetapi mengenai hal-hal
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami-istri secara bersama.
(pasal 80 ayat (1).
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memb~rikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan
c. Bagi istri dan anak;
d. Biaya pendidikan bagi anak. (pasal 80 ayat (4».
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai
berlaku sesudah tamkim sempuma dari istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut
pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
Tempat Kediaman
1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri
yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak¬anaknya dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat
rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.
Kewajiban Istri
1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam
batas-batas yang dibenarkan hukum islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-
baiknya.
3. Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (j) kecuali dengan alasan yang sah.
4. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya yang tersebut pada pasal 80
ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
5. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
6. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang
sah.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali dengan bentuk jamak
Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong.[1] Sedangkan menurut istilah, kata
“wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk
mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang mewakilkan
pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan
pengantin pria). [2]
Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh ‘ala Mazaahib Al
Arba’ah :
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan
adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali
merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.
Wali ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan
orang banyak dalam satu wilayah atau negara dan yang khusus berkenaan dengan seseorang
dan harta benda.
Dalam pembahasan skripsi ini yang akan dibicarakan adalah wali terhadap manusia yang
bersifat khusus, yaitu tentang perwalian dalam pernikahannya.
2. SYARAT-SYARAT WALI
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa
adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
6. Tidak sedang ihrom atau umroh.4
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah
sebagai berikut :
Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil
tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri
apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang
dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya
orang Islam. 5 Allah berfirman:
…١٤١ : ٤\)ولن يجعل هللا للكافرين على المؤمنين سبيال (النساء
Artinya : ” … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir
menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141
Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah, syarat-syarat menjadi wali adalah :
1. Beragama Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Tidak dipaksa
5. Terang lelakinya
6. Adil (bukan Fasik)
7. Tidak sedang ihrom haji atau umroh
8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bissafah).
9. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.6
Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa persyaratan untuk menjadi
wali secara umum adalah :
1. Islam
Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam pula sebab
orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang Islam. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT :
…١٤١ : ٤\)ولن يجعل هللا للكافرين على المؤمنين سبيال (النساء
Artinya : ” … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir
menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141
2. Baligh
Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap
kemampuan berpikir dan bertindak secara sadar dan baik.7 Hal ini diungkapkan oleh
Rasulullah SAW dalam sabdanya:
رفع القلم عن أمتى عن ثالثة: قال.م. عن علي رضي هللا عنه عن النبي ص: عن النائم حتّى يستيقظ
٨)وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق (رواه أبو داود
Artinya: “Dari Ali ra. Dari Nabi SAW. Bersabda : Dibebaskannya tanggungan atau
kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu : orang yang sedang tidur sampai ia terbangun dari
tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari
gilanya”. ( H.R. Abu Daud)
Hadits diatas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak berhak menjadi wali. Ia dapat
menjadi wali apabila telah dewasa.
3. Laki-laki
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya
sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka
pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
ال تزوج المرأة المرأة وال تزوج المرأة نفسها:.م. قال رسول هللا ص: عن أبى هريرة رضي هللا عنه قال
٩)(رواه ابن ماجه والدارقطنى
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak
boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah
dan Ad-Daruquthni ).
4. Berakal
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab, karena
itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya atau
gila atau juga orang yang berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi
wali.
Jadi salah satu syarat menjadi wali adalah berakal dan orang gila tidak sah menjadi wali.10
5. Adil
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak
fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.13
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang
dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya
dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
١٤) ال نكاح إال بولي وشاهدىعدل (رواه أحمد بن حنبل: قال.م.عن عمران بن حصين عن النبي ص
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hambal).
Berdasarkan hadits diatas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu berbuat adil
tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.
1. Fungsi Wali
Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada masalah
perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk
melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan
persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya
sendiri.
Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan
seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering
mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan
sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.
Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab
(penawaran), sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul
(penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu (isin-Jawa),
maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya.15 Hal ini berarti bahwa fungsi
wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk
mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.
2. Kedudukan wali
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini
dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya
wali dalam pernikahan. Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih
diperselisihkan keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.
Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam
pernikahan, yaitu:
1. Q.S. An Nur/24 : 3
أيما إمرأة نكاحت بغير إذن: .م. قال رسول هللا ص:عن عائشة رضي هللا عنها قالت
فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها. فنكاحهاباطل, فنكاحها باطل,وليهافنكاحها باطل
١٨ )وإن اشتجروافالسلطان ولي من ال ولي لها (رواه أحمد
- Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak ada wali,
maka sulthanlah walinya atau wali hakim.
Artinya : ” Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya…” (Q.S. Al-Baqarah: 2/ 232).
Menurut mereka ayat diatas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk
mengawinkan dirinya sendiri.
2. Dari Hadits Ibnu Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكرتستأذن فى نفسها:.م. قال رصول هللا ص:عن ابن عباس قال
وفى رواية ألبى داود والنسائى, و إذنها صما تها: ليس للولي مع الثيب أمر واليتيمة تستأم (رواه
١٩)بخرى و مسلم
Artinya: ” Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: “Perempuan janda
lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta
pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud
dan An- Nasa’I: “Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak
mempunyai Bapak (yatimah)”(HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) mengenai urusan
dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya, karena ia masih pemalu
maka cukup dengan diamnya Hal ini dianggap sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah.
Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas
mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, maka
dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan
mereka secara langsung.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita
melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali
mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).
Selanjutnya Imam-imam yang lain pun berbeda pendapat mengenai kedudukan wali
dalam pernikahan,20 di antaranya:
a. Daud Dzahiry
Beliau berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah,
sedangkan bagi gadis wali menjadi syarat
c. Abu Tsur
Beliau berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau
wali tidak memberi izin.
4. Macam-Macam Wali
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan
muhakkam, Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali tersebut.
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan
berhak menjadi wali.
Wali nasab urutannya adalah:
a. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
b. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
c. Saudara laki-laki sebapak
d. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah
f. Paman (saudara dari bapak) kandung
g. Paman (saudara dari bapak) sebapak
h. Anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah.21
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah
bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak memenuhi persyaratan, maka wali
berpindah kepada kakek dan bila kakek telah meninggal atau kurang memenuhi syarat
yang telah ditentukan, maka wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya keatas.
Begitulah seterusnya sampai urutan yang terakhir.
Ada beberapa hal yang menjadikan perwalian yang lebih dekat itu dapat digantikan oleh
wali yang lebih jauh. Seperti dikemukakan di bawah ini:
Wali yang lebih berhak tidak ada, wali yang lebih berhak belum baligh, yang berhak
menderita sakit gila, wali yang lebih berhak pikun karena tua, wali yang lebih berhak bisu
tidak bisa diterima isyaratnya, wali yang lebih berhak tidak beragama Islam sedangkan
wanita itu beragama Islam.22
Jika wali yang lebih berhak tidak ada, maka yang menggantikannya adalah wali yang lebih
jauh dengan memperhatikan urutan seperti yang tercantum dalam kutipan tersebut. Bila
terjadi di luar ketentuan tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang lain, yaitu
wali sultan atau hakim.
Wali nasab terbagi dua. Pertama, wali nasab yang berhak memaksa menentukan
perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan itu mesti kawin. Wali nasab yang
berhak memaksa ini disebut wali mujbir.23
Wali mujbir yang mempunyai hak untuk mengawinkan anak perempuannya dengan tidak
harus meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya harus memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu:
a. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.
b. Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya
c. Calon suami itu mampu membayar mas kawin
d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti orang
buta.
Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa perkawinan dinyatakan sah
bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan ketentuan harus dapat
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Akan tetapi bila salah satu persyaratan
diatas tidak terpenuhi maka anak perempuan itu dimintai izin terlebih dahulu sebelum
dinikahkan.
Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai hak kekuasaan memaksa atau wali nasab biasa,
yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman yaitu saudara laki-laki kandung atau
sebapak dari bapak dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan
patrilinial.24
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali
dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:
a. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
b. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
c. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia
tidak ada.
d. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang
membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
e. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
f. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.25
g. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
h. Walinya gila atau fasik.26
Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali
nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak
sebagai wali sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali
nasabnya berhak menjadi wali. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun
1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang,
disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam
dan laki-laki.27
Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal
ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali
muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri mengangkat seorang yang mempunyai
pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.
DAFTAR PUSTAKA