Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KELOPOK 4

BAB 4

Disusun Oleh :

1. Sri Maharani Elok Puspitasari 20120000006

2. Sulfania Pramistiani 20120000019

3. Yuris Prasetyo Nugroho 20120000039

4. Risma Dwi Hari Mulyawati 20120000043

Dosen Pengampu :

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM KADIRI

2023
I. Larangan Perkawinan

Dalam perspektif hukum Islam, ada 2 (Dua) kategori larangan pernikahan, yaitu yang
bersifat abadi dan sementara. Larangan pernikahan yang memiliki status abadi (tetap)
ini mencakup mereka yang ada hubungan nasab (keturunan), perkawinan dan
persusuan. Adapun larangan yang bersifat sementara adalah mereka yang tidak boleh
dinikah dalam batasan waktu (masa) atau alasan tertentu seperti karena masih dalam
masa iddah, ihram, talak tiga, pengumpulan bilangan (poligami), kafir, perbudakan,
peristrian dan menikahi dua perempuan bersaudara. Dari kajian terhadap ayat-ayat al-
Qurân dan KHI yang membincang larangan nikah (mahram) terdapat aturan yang
relevan dan tidak relevan di antara keduanya, yaitu tentang perbudakan dan mantan
istri (janda) \Nabi Muhammad SAW yang tidak diatur dalam KHI karena tidak
relevan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Bahkan, Allah SWT dan Rasulullah
SAW menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dalam Islam, seperti di bawah
ini.

1. Nikah Syighar

Rasulullah SAW bersabda:

“Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku
dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata,
‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara
perempuanku dengan dirimu.” (HR Muslim).

2. Nikah Tahlil

Nikah tahlil adalah menikahnya laki-laki dengan perempuan yang sudah ditalak tiga
oleh suami sebelumnya.

Lalu, laki-laki tersebut mentalaknya dengan sengaja agar perempuan tersebut dapat
dinikahi kembali oleh suami sebelumnya setelah masa ‘iddahnya selesai.Ini termasuk
pernikahan yang dilarang dalam Islam dan hukumnya adalah haram, dan juga
termasuk dalam perbuatan dosa besar.
3. Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara, nikah terputus atau nikah kontrak.

Ini adalah saat laki-laki menikah dengan perempuan dalam jangka waktu tertentu.

Para ulama sepakat ini termasuk pernikahan yang dilarang dalam Islam, haram, tidak
sah, atau batal jika telah terjadi.

Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian untuk


bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya
Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah) selama-lamanya hingga hari
Kiamat.” (HR Muslim)

4. Nikah dalam Masa ‘Iddah

Masa iddah ialah waktu tertentu bagi perempuan untuk menunggu atau
menangguhkan pernikahan kembali setelah ditinggal mati suami atau setelah
diceraikan.Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya.” (QS
Al-Baqarah: 235).

5. Nikah Beda Agama

Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh,
hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik
meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik
(dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.

Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik
meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah
mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).
6. Menikah dengan Perempuan yang Diharamkan

Allah SWT menerangkan begitu jelas orang-orang yang haram untuk dinikahi di
dalam Alquran, yakni:

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-


saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara
perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak
perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara
perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua),

anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu
ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS An-Nisaa’: 23).

7. Nikah yang Menghimpun Perempuan dengan Bibinya

Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak boleh dikumpulkan antara perempuan dengan bibinya (dari pihak ayah), tidak
juga antara perempuan dengan bibinya (dari pihak ibu).” (HR Bukhari, Muslim, at-
Tirmidzi).

8. Nikah dengan Istri yang Telah Ditalak Tiga

Jika perempuan sudah ditalak 3 oleh suami, maka haram bagi suami untuk
menikahinya.

Kondisi ini hingga perempuan tersebut menikah dengan orang lain dengan pernikahan
yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu kemudian bercerai.

9. Nikah Saat Melaksanakan Ihram

Pernikahan yang dilarang dalam Islam selanjutnya adalah yang dilakukan saat sedang
melaksanakan ibadah ihram.
Rasulullah SAW bersabda:

“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar.” (HR Muslim, at-
Tirmidzi)

10. Nikah dengan Perempuan yang Masih Bersuami

Allah SWT berfirman: “

Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami…” (QS An-Nisaa’:


24)

11. Nikah dengan Pezina/Pelacur

Allah SWT berfirman:

“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan
perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan
pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan
bagi orang-orang mukmin.” (QS An-Nuur: 3)

12. Menikah dengan Lebih dari Empat Perempuan

Poligami memang sunnah, tapi tidak boleh disalahgunakan.

Apabila jika dilakukan kepada lebih dari 4 perempuan. Ini berdasarkan firman Allah
SWT:

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat…” (QS An-Nisaa’: 3).

Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun1974 tentang


Perkawinan tercantum dalam Pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan tercantum dalam Pasal 2
yang berbunyi “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.

Larangan Perkawinan Menurut hukum perdata

Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur


larangan perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang
yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,


antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/nk bapak tiri;

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lainyang berlaku,


dilarang kawin.

Menurut Kompilasi Hukum Islam larangan perkawinan telah diatur dalam Pasal 39
sampai Pasal 44.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa laranganp telah diatur dalam Pasal 8
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya, dalam agama
Islam terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Pasal 39 sampai
pasal 44.
II. Perkawinan Dan Kawin Hamil
a. Perjanjian Perkawinan

Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata merupakan perbuatan mengikatkan


diri antara orang yaitu dengan orang lain. Perjanjian terrsebut merupakan peristiwa
hukum. Menurut Soebekti, bahwa perjanjian ialah peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain. Menurut R. Subekti perjanjian Perkawinan merupakan
perjanjian suami Dan istri mengenai harta benda selama Perkawinan yang
menyimpang dari Undang-undang. Menurut Pasal 29 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan:

1. Pada waktu atau sebelum Perkawinan dilangsungkan, kedua Pihak atau


persetujuan bersama Dapat mengadakan perjanjian Tertulis yang disahkan oleh
Pegawai pencatat nikah, setelah Mana isinya berlaku juga terhadap Pihak ketiga
sepanjang pihak Ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat Disahkan bila melanggar batas-batas hukum,
agama dan Kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku Sejak perkawinan dilangsungkan
4. Selama perkawinan berlangsung Perjanjian tersebut tidak dapat Diubah, kecuali
bila dari kedua Belah pihak ada persetujuan untuk Mengubah dan perubahan tidak
Merugikan pihak ketiga. Perjanjian perkawinan mengatur Tentang ketentuan
pengaturan Dan pisah harta.

Sedangkan, Menurut hukum Islam, pernikahan sah dan dianggap Terjadi apabila
adanya ijab (penyerahan) Dan kabul (penerimaan) oleh wali calon Mempelai
wanita kepada calon mempelai pria yang disaksikan oleh dua Orang saksi.
Perjanjian perkawinan merupakan Kesepakatan yang dibuat calon Mempelai laki-
laki dan perempuan Sebelum melangsungkan perkawinan Dan disahkan oleh
pegawai pencatat Nikah. Perjanjian tersebut memiliki Syarat yaitu tidak boleh
bertentangan Dengan hukum Islam/hakikat perkawinan. Apabila syarat perjanjian
Bertentangan dengan syariat Islam Maka perjanjian tersebut tidak sah dan Tidak
perlu diikuti akan tetapi akad Nikahnya tetap sah. Dalam Islam, Nabi Muhammad
SAW bersabda Bahwa “Segala syarat yang tidak Terdapat dalam Kitabullah
adalah batal, Sekalipun 100 kali syarat.”
Bentuk Perjanjian perkawinan menurut Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam,
yaitu:

1. Taklik talak.
2. Perjanjian lain yang tidak Bertentangan dengan syara.

Menurut Pasal 46 Kompilasi Hukum Islam(KHI) menyatakan bahwa:

1. Isi taklik talak tidak boleh Bertentangan dengan hukum Islam


2. Apabila keadaan yang disyaratkan Dalam taklik talak benar-benar Terjadi maka
talak tidak jatuh Dengan sendirinya. Supaya talak Benar-benar jatuh maka istri
harus Mengajukan ke Pengadilan Agama.
3. Perjanjian taklik talak bukan suatu Perjanjian yang wajib dilakukan Pada setiap
perkawinan, akan Tetapi apabila taklik talak sudah diperjanjikan maka tidak dapat
Dicabut kembali.

Menurut Pasal 47 Kompilasi hukum Islam, menjelaskan bahwa:

1. Pada waktu atau sebelum Perkawinan dilangsungkan calon Mempelai dapat


membuat Perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
Kedudukan harta dalam perkawinan
2. Perjanjian pada ayat (1) dapat Meliputi percampuran harta pribadi Dan pemisahan
harta pencaharian Sepanjang hal tersebut tidak Bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 48 menyatakan bahwa:

1. Apabila dibuat perjanjian Perkawinan mengenai pemisahan Harta bersama maka


perjanjian Tersebut tidak boleh menghilangkan Kewajiban suami untuk memenuhi
Kebutuhan rumah tangga.
2. Apabila dibuat perjanjian Perkawinan tidak memenuhi Ketentuan tersebut pada
ayat (1) Dianggap tetap terjadi pemisahan Harta bersama dengan kewajiban Suami
menanggung biaya Kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49 menyatakan bahwa:

1. Perjanjian percampuran harta Pribadi dapat meliputi semua harta, Baik yang
dibawa masing-masing ke Dalam perkawinan maupun yang Diperoleh masing-
masing selama Perkawinan.
2. Dengan tidak mengurangi Ketentuan tersebut pada ayat (1) Dapat juga
diperjanjikan bahwa Percampuran harta pribadi yang dibawa selama perkawinan
atau Sebaliknya.

Pasal 50 menyatakan bahwa:

1. Perjanjian perkawinan mengenai Harta, mengikat para pihak dan Pihak ketiga
terhitung mulai Tanggal dilangsungkan Perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah
2. Perjanjian perkawinan mengenai Harta dapat dicabut atas Persetujuan bersama
suami istri Dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah Tempat
perkawinan Dilangsungkan
3. Sejak pendaftaran tersebut, Pencabutan telah mengikat Kepada suami istri tetapi
terhadap Pihak ketiga pencabutan baru Mengikat sejak tanggal Pendaftaran itu
diumumkan suami Istri pada suatu surat kabar Setempat
4. Apabila dalam tempo 6 (enam) Bulan pengumuman tidak Dilakukan yang
bersangkutan, Pendaftaran pencabutan dengan Sendirinya gugur dan tidak
Mengikat pihak ketiga
5. Pencabutan perjanjian perkawinan Mengenai harta tidak boleh Merugikan
perjanjian yang telah Diperbuat sebelumnya dengan Pihak ketiga.

Pasal 51 menyatakan:

Pelanggaran atas perjanjian Perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta
pembatalan Nikah atau mengajukannya Sebagai alasan gugatan perceraian Ke
Pengadilan Agama .
Pasal 52 menyatakan:

Pada saat dilangsungkan perkawinan Dengan istri kedua, ketiga dan keempat Boleh
diperjanjikan mengenai tempat Kediaman, waktu giliran dan biaya rumah Tangga
bagi istri yang dinikahinya itu.

b. Kawin Hamil menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)

Kasus kawin hamil di luar nikah Secara khusus diatur dalam Pasal 53 KHI. Pasal
tersebut menjelaskan tentang Kebolehan melangsungkan perkawinan Bagi wanita
hamil di luar nikah. Meskipun Demikian, ada ketentuan yang harus Dipenuhi dalam
perkawinan tersebut, Diantaranya:

a. Seorang wanita hamil di luar nikah Bisa dikawinkan dengan pria yang
Menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil Yang disebut pada ayat (1) dapat Dilangsungkan
tanpa menunggu lebih Dahulu kelahiran anaknya.
c. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak Diperlukan
perkawinan ulang setelah Anak yang dikandung lahir.

Ketentuan Pasal 53 KHI tentang Kebolehan melangsungkan perkawinan Bagi


wanita hamil ini bisa dikategorikan Kontroversial karena akan melahirkan Perdebatan
dan silang pendapat dari Berbagai kalangan. Pendapat yang kontra Tentu akan merasa
keberatan dengan Ketentuan ini yang dinilai longgar dan Cenderung kompromistis.
Bisa dimungkinkan ketentuan ini justru akan dijadikan Payung hukum legalisasi
perzinaan.

Pasal 53 KHI tersebut tidak memberikan sanksi atau hukuman bagi pezina,
Melainkan justru memberi solusi kepada Seseorang yang hamil akibat perzinaan Itu
untuk segera melangsungkan perkawinan. Padahal dalam fiqh telah dijelaskan perihal
hukuman terhadap pelaku Zina, diantaranya: jika pelaku zina itu Sudah menikah (zina
muhsan) hukumannya adalah didera seratus kali dan kemudian dirajam. Bagi pelaku
zina yang belum Menikah (zina ghairu muhsan) hukumannya adalah didera seratus
kali dan Kemudian diasingkan ke tempat lain Selama satu tahun (Asy Syaukani,
1994:550).
Kendati demikian, ketentuan Pasal 53 KHI tersebut juga berpegangan pada Alasan
logis dan bisa dijadikan landasan Hukum untuk diterapkan dalam tatanan Kehidupan
masyarakat di Indonesia. Kebolehan melangsungkan perkawinan Bagi wanita hamil
menurut ketentuan Pasal 53 KHI, secara tegas dibatasi pada Perkawinan dengan laki-
laki yang menghamilinya. Hal tersebut berlandaskan Pada firman Allah SWT dalam
surat al-Nur ayat 3 yang artinya:

“Laki-laki yang berzina tidak Mengawini melainkan perempuan yang Berzina, atau
perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak Dikawini melainkan
laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik. Dan yang demikian itu
diharamkan atas Orang-orang mukmin” (Q.S. al-Nur: 3).

Hadits riwayat ’Aisyah, yaitu ketika Rasulullah SAW ditanya tentang seorang Laki-
laki yang berzina dengan seorang wanita, lalu laki-laki itu berniat mengawininya. Saat
itu Rasulullah s.a.w. Menjawab:

“Permulaannya perzinaan, tetapi Akhirnya adalah pernikahan (perkawinan). Dan


yang haram itu tidak Mengharamkan yang halal” (HR. Al-Thabraniy dan al-
Daruquthniy) (DaRadjat, 1995: 113).

Perzinaan merupakan perbuatan yang haram, sedangkan perkawinan merupakan


perbuatan yang halal, sehingga dalam konteks hadits ini menunjukkan Bahwa
perbuatan yang haram (zina) tidak Bisa mengharamkan perbuatan yangHa kawin).
Dengan demikian, keharaman perzinaan itu tidak dapat mengharamkan pelaksanaan
perkawinan meskipun yang melangsungkan perkawinan itu adalah pasangan yang
sebelumnya melakukan perzinaan sehingga Menyebabkan wanita hamil. Selain itu,
peristiwa yang diriwayatkan Ibnu Umar, yaitu ketika Abu Bakar al-Shiddiq sedang di
masjid, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berbicara Tidak jelas serta tampak
kebingungan. Kemudian, Abu Bakar menyuruh Umar Untuk mendatangi dan melihat
laki-laki itu. Dan ketika Umar mendapatkan jawaban bahwa laki-laki itu mempunyai
seorang Tamu, lalu tamunya itu berzina dengan Anak perempuannya. Seketika itu
Umar Langsung memukul laki-laki itu dan Berkata:

Jelek sekali engkau ini. Kenapa tidak engkau tutupi, tidak engkau Rahasiakan saja
hal anakmu itu?
Abu Bakar lalu memerintahkan agar laki-laki yang berzina dan anak perempuan itu
dihukum had, kemudian Abu Bakar mengawinkan keduanya, lalu Mengasingkan
keduanya setahun (al-‘Arabi, tt: 262).

Peristiwa riwayat Ibnu Umar tersebut menyiratkan pesan implisit agar tidak
Menyebarkan perzinaan yang dilakukan Anggota keluarga kepada khalayak atau Di
depan publik, tetapi dengan menutup Atau merahasiakan sehingga tidak menjadi aib
keluarga maupun pasangan yang Berzina. Untuk kemudian segera melakukan langkah
penyelesaian secara konkret Yaitu dengan segera melangsungkan Perkawinan agar
perzinaan itu tidak terus Berlanjut dan berulang-ulang dilakukan.

III. POLIGAMI DAN NIKAH SIRI


1. Poligami menurut h.perdata
Dasar hukum poligami dapat kita jumpai dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan
yang mengatur secara jelas bahwa:
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Khusus bagi yang beragama Islam, dasar hukum poligami diatur pula dalam Pasal
56 ayat (1) KHI:
Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hukum poligami di Indonesia dapat
dilakukan, sepanjang poligami tersebut dilakukan sesuai dengan hukum poligami
yang berlaku di Indonesia dan memenuhi sejumlah syarat-syarat poligami.

Syarat Poligami, yaitu :

Agar dapat melakukan poligami secara sah menurut hukum di Indonesia, maka
poligami tersebut harus memenuhi syarat poligami sebagai berikut:

1. Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya,


dengan syarat:
- Ada persetujuan dari istri/istri-istri, dengan catatan persetujuan ini tidak
diperlukan jika:

a. istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi


pihak dalam perjanjian’
b. tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun atau
c. karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

- Adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-
anak mereka

- Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.

2. Pengadilan hanya memberikan izin poligami jika:

* istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

* istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

* istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Izin tersebut diberikan pengadilan jika berpendapat adanya cukup alasan bagi
pemohon (suami) untuk beristri lebih dari seorang.

2. Poligami menurut h.islam

Mengenai syarat poligami di KUA atau syarat poligami bagi yang beragama Islam,
secara garis besar, hukum poligami menurut hukum Islam memang tidak jauh berbeda
dengan UU Perkawinan. Namun, dalam KHI terdapat syarat poligami lainnya yang
harus diperhatikan, yaitu:

1. Suami hanya boleh beristri terbatas sampai 4 istri pada waktu bersamaan.

2. Suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya. Jika
tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

3. Suami harus memperoleh persetujuan istri dan adanya kepastian suami mampu
menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Persetujuan ini dapat
diberikan secara tertulis atau lisan.
4. Harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Jika nekat dilakukan tanpa izin dari
Pengadilan Agama, perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika istri tidak
mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin diajukan atas dasar alasan yang
sah menurut hukum, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama.
Atas penetapan ini, istri/suami dapat mengajukan banding atau kasasi.[13] Alasan
yang sah yang dimaksud adalah jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya,
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat
melahirkan keturunan.

Al Qur’an dalam Surah An Nisa’ ayat 129 yang merupakan salah satu sumber
hukum Islam telah menegaskan bahwa suami tidak akan dapat berlaku adil, sebagai
berikut:

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu) walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”

Surat An Nisa’ Ayat 3 menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang membolehkan


poligami jika suami mampu mewujudkan keadilan di antara para istri, yaitu keadilan
material. Namun, keadilan material di antara istri merupakan syarat yang sangat sulit
dilakukan karena lahirnya tindakan manusia tidak terlepas dari kondisi
hati/perasaannya. Padahal, pada saat yang bersamaan, hati/perasaannya memiliki
kecenderungan untuk tidak adil

1. Nikah Siri Dalam Hukum Perdata

UUP dan peraturan perkawinan sebelumnya tidak mengatur perkawinan di bawah


tangan atau perkawinan siri. Istilah perkawinan dibawah tangan atau perkawinan siri
biasa digunakan masyarakat untuk orang-orang yang melakukan perkawinan tanpa
prosedur yang diatur UUP. Biasanya perkawinan dibawah tangan dilaksanakan
berdasarkan agama atau adat istiadat calon suami atau calon istrii. Secara agama dan adat,
perkawinan tersebut sah namun secara hukum perkawinan tersebut tidak diakui secara
resmi oleh negara.
Secara hukum, perkawinan di bawah tangan dianggap tidak pernah ada sehingga
dampaknya sangat merugikan bagi istri atau anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut. Istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan harta gono-gini jika terjadi
perceraian. Selanjutnya jika suami meninggal dunia maka istri tidak berhak untuk
mendapatkan warisan dari suaminya. Anak yang sah berdasarkan UUP adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Perkawinan dibawah
tangan adalah perkawinan yang tidak sah karena tidak dilakukan menurut agama dan
kepercayaannya tersebut sehingga anak yang dilahirkan adalah anak di luar perkawinan
adalah anak di luar perkawinan. Anak ini hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibunya. Anak yang lahir di luar perkawinan tetap bisa mendapatkan akta
kelahiran melalui pencatatan kelahiran dan hanya tercantum nama ibunya saja. Sebelum
putusan MK, menurut pasal 43 ayat (1) UUP jo pasal 100 Kompilasi Hukum Islam
anak tidak berhak mewaris dari ayahnya karena anak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 telah memungkinkan anak yang


lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan ayah biologinya.
Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan ayah biologisnya jika
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya. Untuk membuktikan asal-usul dari orang tua si anak yang lahir di luar
perkawinan maka dilaksanakan tes DNA.

2. Nikah Siri Dalam Hukun Islam

Menurut Hakim Pengadilan Agama Soreang Mahmud Hadi Riyanto, para ulama
berselisih paham mengenai hukum nikah siri. Dinyatakan Riyanto, jumhur ulama
memandang nikah siri menurut Islam sah. Akan tetapi, hukumnya adalah makruh.
Mengapa demikian? Hukumnya sah dan resmi menurut agama karena sudah memenuhi
rukun dan syarat pernikahan. Selain itu, adanya dua orang saksi dalam nikah siri telah
“menghilangkan” unsur kerahasiaan.

Akan tetapi, sisi kemakruhannya ada pada pernikahan yang ditutup-tutupi alias tidak
diumumkan kepada masyarakat luas. Ditakutkan pernikahan yang diselenggarakan justru
berpotensi mengundang keraguan dan tuduhan tidak benar.
Syarat Nikah Siri Dalam Islam :

Cara menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri dalam Islam adalah dengan
memastikan semua syarat telah terpenuhi. Syarat nikah siri secara umum sama halnya
dengan syarat menikah secara “sah”. Adapun syarat nikah siri sebagai berikut.

1. Kedua calon mempelai beragama Islam atau bersedia masuk Islam.

2. Calon mempelai perempuan yang berstatus janda harus menunjukkan surat cerai dan

sudah melewati masa idah atau bisa melakukan pengakuan lisan.

3. Calon mempelai pria belum memiliki empat istri.

4. Kedua calon mempelai bisa menunjukkan KTP sebelum ijab kabul.

5. Calon mempelai bukan mahram satu sama lain.

6. Membawa dan memperlihatkan mahar atau seserahan yang diberikan saat ijab kabul.

7. Tidak sedang dalam masa ihram atau umrah.

Dalam nikah siri, hal yang terpenting adalah memenuhi kelima rukun nikah secara Islam.
Rukun nikah yang dimaksud, antara lain ada calon mempelai laki-laki, calon mempelai
perempuan, wali nikah bagi mempelai perempuan, dua orang saksi, dan ijab kabul.

Wali yang akan menikahkan perempuan adalah wali nasab atau wali hakim (wali nikah
yang ditunjuk Menteri Agama). Dalam hal wali nasab masih hidup, calon mempelai
perempuan tidak dapat menunjuk wali hakim sebagai walinya.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal
atau enggan.

Sebagai informasi, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KHI wali nasab terdiri dari empat
kelompok. Kemudian, dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita.
1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan
seterusnya.

2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.

3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan
keturunan laki-laki mereka.

4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan
keturunan laki-laki mereka.

IV. LBGT DAN LARANGAN MENIKAH SESAMA JENIS

LGBT singkatan dari lesbian, gay, bisexual dan transgender. Lesbian adalah istilah
bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan, Gay
adalah sebuah istilah bagi laki-laki yang umumnya digunakan untuk merujuk orang
homoseksual atau sifat-sifat homoseksual, Biseksualitas merupakan ketertarikan
romantis, ketertarikan seksual, atau kebiasaan seksual kepada pria maupun wanita. Istilah
ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan
perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita sekaligus

Ada banyak faktor yang menyebabkan seorang pria menjadi gay dan seorang wanita
menjadi lesbian atau penyuka sesama jenis. Faktor pemicu itu di antaranya adalah ia
berada di lingkungan di mana homoseksual dianggap sesuatu yang biasa atau umum.
Karena tidak ada nilai-nilai moral atau agama yang membekali pengetahuannya sehingga
ia memiliki wawasan yang tidak lurus mengenai hubungan antara pria dan perempuan.

LGBT dapat juga merupakan sebuah penyakit akibat faktor kelainan otak dan genetik
maupun karena faktor psikologi.

Bagaimana LGBT dalam pandangan Islam ?

Islam menghendaki pernikahan antar lawan jenis, laki-laki dengan perempuan, tidak
semata untuk memenuhi hasrat biologis namun sebagai ikatan suci untuk menciptakan
ketenangan hidup dengan membentuk keluarga sakinah dan mengembangkan keturunan
umat manusia yang bermartabat. Perkawinan sesama jenis tidak akan pernah
menghasilkan keturunan, dan mengancam kepunahan generasi manusia. Perkawinan
sesama jenis semata-mata untuk menyalurkan kepuasan nafsu hewani.

LGBT dalam pandangan Islam, sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah dalam Al-
Quran dan Sunah, homosek merupakan perbuatan hina dan pelanggaran berat yang
merusak harkat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah paling mulia. Pada masa Nabi
Luth kaum homosek langsung mendapat siksa dibalik buminya dan dihujani batu panas
dari langit. Selain zina dan pemerkosaan, pelanggaran seksual menurut Islam termasuk
LGBT, incest (persetubuhan sesama muhrim) dan menjimak binatang. Sanksi bagi pelaku
semua pelanggaran seksual tersebut adalah hukuman mati, Rasulullah SAW bersabda:”…
dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:” Barang siapa menjumpai
kalian orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah orang yang
mengerjakan dan orang yang dikerjai”.[Hadist Ibnu Majah No. 2561 Kitabul Hudud].
Dalam hadits lain Rasulallah SAW bersabda:”… Ibnu Abbas meriwayatkan: “Barang
siapa menjimak muhrimnya maka bunuhlah, dan barang siapa menjimak hewan maka
bunuhlah pelaku dan binatang yang dijimak”. [Hadist Ibnu Majah No. 2564 Kitabul
Hudud].

Didalam Al Quran, Allah Ta’ala mengabadikan bagaimana dahsyatnya laknat dan azab
langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada pelaku homoseksual ini di jaman
nabiyullah Luth AS. Pelanggaran seksual berupa homoseks umat Nabi Luth bisa dilihat
dalam Al-Quran: Surat An-Naml ayat 54-55, Ash-Syu’araa’ ayat 165 – 166 dan Huud
ayat 77-82.

LGBT Dapat di pidana?

LGBT diatur di KUHP yang baru disahkan, terdapat pada Pasal 414, bahwa melarang
perbuatan cabul baik sesama jenis maupun berbeda jenis kelamin. Berikut bunyi Pasal
414:

(1) Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau
sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6
(enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III;

b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 9 (sembilan) tahun; atau

c. yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara


paling lama 9 (sembilan) tahun.

(2) Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk
melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun.

Larangan Menikah Sesama Jenis

1. Pernikahan sesama jenis merupakan pernikahan dengan jenis kelamin yang sama, baik
antara laki-laki dengan laki-laki, maupun perempuan dengan perempuan.

Berdasarkan peraturan undang-undangan di Indonesia, pernikahan sesama jenis tidak dapat


dilakukan karena menurut hukum, pernikahan adalah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan.

Perkawinan sesama jenis adalah tidak sah menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No.1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Karena bertentangan dengan syarat-syarat sahnya
perkawinan dan norma-norma Agama.

Hukum Pernikahan Sesama Jenis Menurut Islam

Islam secara jelas dan tegas melarang keras hubungan dan perilaku sesama jenis atau
homoseksual. Termasuk pernikahan sesama jenis apapun alasannya. Perbuatan tersebut
dikutuk oleh Allah dan Rasulullah SAW.

Dalam hadits riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: : “Allah melaknat manusia yang
melakukan perbuatan seperti kaum Luth, Allah melaknat perbuatan manusia yang melakukan
perbuatan seperti kaum Luth, tiga kali."
Seluruh ulama juga sepakat tentang keharaman pernikahan sesama jenis. Bahkan hukum
menikah sesama jenis lebih dari hukuman zina. Pernikahan tersebut tidak memenuhi rukun
dan keabsahan pernikahan dalam Islam.

Perkawinan Yang Diakui Oleh Negara

Perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan antara pria dan wanita juga dapat
kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) beserta penjelasannya dan Pasal 45 ayat (1)
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2011 tentang Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Kemudian, dari sisi agama Islam, perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Hal
ini dapat dilihat dalam Surah Al-A’raaf (7): 80-84, yang artinya sebagai berikut:

"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata
kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah
kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan:
"Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia
dan pengikut-pengikutnya (yang beriman) kecuali istrinya (istri Nabi Luth); dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan
(batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu."

Selain itu, Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga secara tidak langsung hanya mengakui
perkawinan antara pria dan wanita, yang dapat kita lihat dari beberapa pasal-pasalnya di
bawah ini:
Pasal 1 huruf a KHI:

Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang
pria dengan seorang wanita.

Pasal 1 huruf d KHI:

Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 29 ayat (3) KHI:

Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka
akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

Pasal 30 KHI:

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah,
bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Jadi, dapat kiranya disimpulkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan


di Indonesia perkawinan sesama jenis tidak dapat dilakukan karena menurut hukum,
perkawinan adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Pada sisi lain, hukum
agama Islam secara tegas melarang perkawinan sesama jenis.

Anda mungkin juga menyukai