Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HUKUM PERNIKAHAN CINTA BUTA ATAU TAHLIL

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 11

1. IRFAN KAMAJAYA(I0119006)
2. MUHAMMAD DERMAWAN(I0119330)
3. RISKA MIN MAULANAI0119341)
4. NADIRA(I0119335)
5. PADLIA(I0119010)
6. MARNI(I0119325)

FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULAWESI BARAT

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

MAJENE, 28 APRIL 2022

KELOMPOK 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.(Undang-Undang RI,2007:2). Dari
pengertian diatas jelaslah bahwa suatu perkawinan dilakukan untuk menciptakan
kehidupan suami istri yang harmonis, dalam rangka membentuk dan membina keluarga,
yang sejahtera dan bahagia di sepanjang masa. Setiap pasangan suami istri selalu
mendambakan agar ikatan lahir batin yang diikat dengan akad perkawinan itu semakin
kokoh terpatri sepanjang hayat.
Dari pengertian diatas jelaslah bahwa suatu perkawinan dilakukan untuk
menciptakan kehidupan suami istri yang harmonis, dalam rangka membentuk dan
membina keluarga, yang sejahtera dan bahagia di sepanjang masa. Setiap pasangan
suami istri selalu mendambakan agar ikatan lahir batin yang diikat dengan akad
perkawinan itu semakin kokoh terpatri sepanjang hayat Pada nikah muhallil ini, timbul
permasalahan yaitu, ketika terjadi proses rekayasa, yakni ketika bekas suami mencari
laki-laki lain untuk menikahi istrinya dengan menyatakan syarat yaitu agar laki-laki
yang menikahi istrinya kemudian menceraikanya, setelah melakukan hubungan suami
istri denganya, dalam beberapa kasus, praktek semacam ini sering kali di lakukan
dengan cara bayaran.
Dalam pernikahan tahlil, tidak ada sedikitpun kehendak untuk menikahinya.
Jika maksudnya untuk menggaulinya hari itu, dan ada seseorang yang mengisyaratkan
kepadanya untuk menceraikannya maka perbuatan ini tidak dibolehkan, di mana ia bermaksud
untuk menggaulinya selama satu hari atau dua hari. Berbeda dengan orang menikah dengan
maksud tertentu, sementara perkaranya ada di tangannya. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun
yang mengisyaratkan agar menceraikan istrinya.
Dari pernikahan tahlil, mustahil tercapainya tujuan dari pernikahan yang telah di
syariatkan agama Islam maupun yang telah di atur oleh hukum positif serta Maqhasid Al-
Syariah dari pernikahan, karena hanya bertujuan untuk menghalalkan wanita tersebut
terhadap suaminya yang telah menceraikannya sampai tiga kali dan sebagai mata pencarian
muhallil tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian cinta buta atau tahlil?
2. Apa hukum pernikahan cinta buta atau tahlil?
3. Pendapat ulama tentang pernikahan cinta buta atau tahlil?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengertian pernikahan cinta buta
2. Mengetahui hukum pernikahan cinta buta
3. Mengetahui pendapat para ulama tentang pernukahan cinta buta
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian pernikahan cinta buta atau Tahlil

Menurut pengertian bahasa, nikah berarti menghimpun dan mengumpulkan.


Dalam pengertian fikih, nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan
hubungan suami-isteri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu.
(Ensiklopedi Islam,1994:32).
Menurut bahasa, nikah juga berarti berkumpul menjadi satu, sebagaimana
dikatakan orang Arab “pepohonan itu saling bernikah” jika satu sama lainnya
bercondongan dan mengumpul.(Sayyid Abi Bakri,tt:254). ‘Abdurrahman Aljaziri
mendefinisikan, nikah menurut bahasa adalah bercampur dan bersatu/jimak atau “wat”.
(Abdurrahman,2003:3). Menurut Syara’, nikah adalah akad perkawinan, akad yang
membolehkan bercampurnya suami dan bersenang-senang dengan perempuan/isteri,
dengan wat dan bersatu dan lainnya.(Abdurrahman,2003:3). Dalam Alqur’an surat An-
Nisa’ ayat 3 Allah memerintahkan:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja[266],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.

Dalam as-Sunnah anjuran menikah di antaranya:

Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut:

Artinya: "Diberitakan oleh Abdan dari Abi Hamzah dari A'mas dari Ibrahim dari
'Ulqamah berkata: kemudian kami berjalan bersama Abdullah r.a, maka ia
berkata, ketika kami bersama Nabi saw, beliau bersabda: siapa saja yang mampu
menikah, hendaklah ia menikah karena nikah itu dapat menundukkan pandangan
dan lebih dapat memelihara kehormatan. Dan barangsiapa belum mampu,
hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya".(Bukhari,Jilid
3:679).
Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya haram.
(Amir S, 2011: 103). dikaitkan dengan perkawinan akan berarti perbuatan yang
menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan perkawinan menjadi boleh
atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain melakukan perkawinan
disebut muhallil. Orang yang halal melakukan perkawinan yang dilakukan muhallil
disebut muhallalah. Al Muhallil: Dinamakan atau disebut muhallil karena tujuannya
adalah kehalalan pada suatu tempat atau objek yang awalnya tidak halal. Al Muhalla
lahu: yakni bekas suami yang menyuruh orang lain menjadi muhallil demi
kemaslahatannya.(Al-Basam,2001:354).
Nikah tahlil adalah menikahi seseorang wanita yang di thalak tiga dengan
Syarat setelah si suami kedua menghalalkannya (menggauli) bagi suami pertama, maka suami
kedua menceraikan wanita tersebut. Yang dimaksud dengan nikah tahlil adalah seorang
muhallil (orang yang disuruh menikahi mantan istri orang lain) menikahi seorang wanita yang
ditalak ba’in kubra, dengan syarat, setelah menghalalkan (dinikahi dan digauli) bagi suami
pertama, ia menceraikan wanita tersebut.
2. Hukum pernikahan cinta buta atau tahlil

Dalam Islam Hukum nikah tahlil adalah haram dan batal menurut jumhur
ulama, Islam menghendaki agar hubungan suami istri dalam bahtera perkawinan itu
kekal dan abadi serta langgeng selamanya, sampai ajal menjemput dan memisahkan,
nikah sementara atau nikah mut’ah telah dibatalkan oleh Islam secara ijma’, syari’at
Islam tidak menghendaki adanya perceraian sekalipun talak dibenarkan, dkarenakan
pekerjaan talak itu sangat dibenci oleh Allah SWT. Nikah tahlil merupakan perkawinan
semu dan mempunyai jangka waktu, sehingga tujuan perkawinan yang dikehendaki
Islam tidak tercapai, oleh sebab itu para pelaku rekayasa perkawinan tahlil ini
mendapat kecaman keras dari Rasulullah SAW, sebagaimana beberapa hadits
Rasulullah SAW mengatakan mengenai nikah muhallil ini di antaranya adalah: Hadits
yang pertama adalah ketika seseorang menanyakan tentang muhallil ini kepada Ibnu
Umar yang berbunyi:
Artinya: Diriwayatkan dari Nafi’ dia berkata, “ada seorang laki-laki yang
menghadap Ibnu Umar dan menanyakan tentang seseorang yang menikahii
wanita yang sudah dicerai oleh suaminya sebanyak tigakali, kemudian
menceraikannya. Setelah itu saudaranya menikahi kembali tanpa adanya
kesepakatan agar dapat menikahi istrinya kembali.Apakah suami yang pertama
boleh menikahinya kembali?Ibnu Umar menjawab, “tidak boleh melainkan nikah
atas dasar cinta. Zaman Rasulullah SAW, kami mengganggap

pernikahan semacam ini sebagai zina. (HR.Al-Baihaqi dan Hakim).(Abi Bakar


Ahmad Bin Husain Al-Baihaqi, t.t.:43).
Hadits yang kedua yakni hadits yang diriwayatkan oleh Ali Bin Abu Thalib yang
Artinya: “tidak, (yakni tidak halal), nikah harus dilakukan dengan cinta, bukan
dengan palsu, mengejek kitabullah, lalu ia merasakan madunya perempuan.
3. Pendapat para ulama tentang pernikahan cinta buta
Ulama Syafi’iyah dan lainnya berpendapat nikah tahlil haram dan tidak sah jika
kesepakatan harus bercerai setelah melakukan persetubuhan disebut dalam tubuh akad
(sulbi akad). Jika kedua calon suami isteri atau wali perempuan dan calon suami
berkesepakatan di luar akad untuk bercerai setelah terjadi persetubuhan dan
kesepakatan tersebut tidak disebut dalam akad, maka nikah itu sah dan tidak haram.
Berikut kutipan pendapat ulama Syafi’iyah, antara lain :
1.Berkata ‘Ali Syibran al-Malusi :
“Adapun jika bersepakat keduanya sebelum melaksanakan akad untuk bercerai dalam
dalam waktu tertentu dan tidak disebut dalam akad, maka tidak mengapa tetapi
sepatutnya makruh”.
2.Ibnu Hajar Haitamy mengatakan, :Jumhur Ulama menempatkankan maksud
hadits “Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu” apabila disebut secara terang
dalam akad dengan mensyaratkan apabila sudah terjadi persetubuhan maka suami
harus mencerainya. Termasuk yang menempatkan maksud hadits seperti itu adalah
Al-Imam al-Muttaqin al-Hafidh al-Munshif Abu Amrin bin Abdulbar, salah seorang
tokoh Malikiah, beliau berkata :
“Yang lebih dhahir makna hadits adalah menempatkannya kepada penyebutan secara
terang (tashrih) dengan demikian itu, bukan atas niatnya, karena sesungguhnya isteri
Rifa’ah ada menerangkan dia ingin kembali kepada suaminya yang pertama.
Sesungguhnya hadits tersebut, mengandung pengakuan isteri Rifa’ah atas kesahihan
nikahnya. Apabila niat isteri Rifa’ah tidak menjadi suatu yang salah, maka demikian
juga niat suami pertama dan niat suami yang kedua yang akan menceraikannya lebih-
lebih lagi tidak menjadi suatu yang salah. Oleh karena itu, tidak ada makna lain bagi
hadits itu kecuali menempatkannya berdasarkan pendapat yang lebih dhahir di atas.
Oleh karena itu, nikah tahlil itu (yang diharamkan) sama halnya dengan nikah
mut’ah”
Penjelasan Ibnu Hajar Haitamy di atas, juga disebut oleh al-Suyuthi dalam kitab
beliau, al-Hawi lil Fatawa.
Kisah Rifa’ah dan isterinya di sebut di atas, terdapat dalam hadits riwayat Aisyah,
beliau berkata :
‫ فتزوجت‬.‫جاءت امرأة رفاعة إلى النبي صلى هللا عليه وسلم فقالت كنت عند رفاعة فطلقني فبت طالقي‬
‫ فتبسم رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقال أتريدين أن‬.‫ وإن ما معه مثل هدبة الثوب‬.‫عبدالرحمن بن الزبير‬
‫ حتى تذوقي عسيلته ويذوق عسيلتك‬.‫ترجعي إلى رفاعة ؟ ال‬

Artinya : Isteri Rifa’ah datang kepada Nabi SAW, berkata : “Aku di sisi Rifa’ah,
kemudian ia menceraikanku dengan talaq putus habis. Karena itu, aku kawin dengan
Abdurrahman bin al-Zubir. Sesungguhnya keadaan bersamanya seperti rumbaian
kain”. Rasulullah SAW tersenyum mendengarnya dan bersabda : “Apakah engkau
merencanakan kembali kepada Rifa’ah, Tidak! Sehingga kamu merasakan madunya
dan dia merasakan madu kamu”.)H.R. Muslim 4 dan Bukhari 5
3.Ulama-ulama Kufah berargumentasi keabsahan nikah apabila dengan qashad
tahlil (cina buta) dengan keumuman firman Allah Q.S. al-Baqarah : 230, berbunyi :
ُ‫فَِإ ْن طَلَّقَهَا فَاَل ت َِحلُّ لَهُ ِم ْن بَ ْع ُد َحتَّى تَ ْن ِك َح زَ وْ جًا َغي َْره‬
Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya, Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S. al-Baqarah : 230).
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Perkawinan muhallil di Indonesia tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1


tahun 1974 tentang Perkawinan maupun peraturan lain yang menyangkut tentang
Perkawinan di Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan muhallil tidak
diatur secara eksplisit namun ada di dalam tata cara perkawinan dan perceraian dan
menjadi syarat agar suami istri yang telah bercerai talak tiga bisa kembali rujuk. Dalam
Hukum Islam perkawinan muhallil di dalam fiqih munakahat Bab talak tiga. Undang-
undang Perkawinan Indonesia melarang perkawinan muhallil karena tidak sesuai
dengan filosofi dan tujuan Perkawinan yaitu membangun rumah tangga yang kekal dan
bahagia. Sedangkan di dalam hukum Islam sebagian besar ulama juga melarang
perkawinan muhallil, dan menetapkan hukum perkawinan muhallil tidak sah
berdasarkan dalil Al-qur’an dan As-sunnah, karena mengandung banyak mudharat dan
juga merugikan kaum perempuan.

2. Saran
Mengingat bahwa perkawinan merupakan peristiwa sakral yang terjadi sekali
dalam seumur hidup tanpa terkecuali karena satu dan lain hal yang membuat suatu
perkawinan itu berakhir, dan mengingat bahwa perkawinan itu sendiri harus terjaga
keabsahannya oleh karena itu menanggapi praktek nikah tahlil ini, penulis ingin
menyampaikan beberapa saran yang insya Allah bermanfaat. Walaupun keputusan
terakhir ada pada masing-masing individu yang menjalaninya karena ini berkaitan
dengan pemahaman sesorang, maka di akhir karya ini penulis memberikan saran:
1. MUI Kabupaten Batu Bara sebagai wadah berkumpulnya para ulama pesantren,
tokoh Agama Islam dan pakar muslim yang ada di Kabupaten Batu Bara, hendaknya
meneliti dan mendiskusikan kembali pendapat Syafi'i tentang format nikah cina buta
yang sebenarnya, agar dapat menghilangkan kesimpangsiuran pendapat dalam
masyarakat, sehingga membuat pelaku nikah cina buta menjadi dilematis dan tidak
berdaya mensikapi ajaran atau paham yang disebarkan dan ditanam oleh para ulama
yang menjadi panutan umat. Mengapa terjadi perbedaan dalam masyarakat,
bukankah yang memfatwa "dilaknatnya nikah cina buta (tahlil)" itu Rasul sendiri,
yang mana Rasul selalu mendapat bimbingan dari Allah?.
3. Hendaknya nikah cina buta dikaji kembali keabsahannya, karena hakekat nikah
tersebut bertentangan dengan tujuan nikah itu sendiri, yaitu untuk mendapatkan
ketenteraman hati, kedamaian, mendapatkan keturunan, membina keluarga dan
sebagai syiar mawadah wa rahmah. Sementara dalam pernikahan cina buta tujuan
tersebut tidak terwujud. Nikah cina buta juga memberikan implikasi, seolah-olah
Islam memberikan peluang menempatkan perempuan pada subkordinatnya. Betapa
banyak perempuan baik-baik menjadi perempuan pemalu setelah melakukan nikah
cina buta, dan apa artinya nilai seksualitas yang selama ini sangat disakralkan oleh
wanita yang baik-baik dilepaskan begitu saja untuk dinikmati oleh suami sesaat.
4. Praktek nikah cina buta terkesan telah dipayungi oleh hukum, tetapi dibalik
pemahaman ini terdapat unsur-unsur yang menistakan sebuah perkawinan sekaligus
menistakaan tubuh dan seksualitas manusia, khususnya perempuan. Sebuah upaya
sadar telah merendahkan martabat manusia yang diwajibkan untuk menjalaninya.
Dan bagi perempuan yang menjalankan praktek cina buta ini benar-benar
memberikan implikasi, antara lain: keterpaksaan berhubungan seksual dengan
suami cina buta yang belum tentu mencintainya, berhubungan seksual secara tidak
aman karena dikhawatirkan tidak mau menceraikan atau suami awalnya tidak mau
lagi dengannya, apalagi bila perempuan itu mengandung anak dari suami cina
butanya itu.
5. Kepada seluruh masyarakat Kabupaten Batu Bara khususnya yang sering terjadi
nikah cina buta hendaklah membangun rumah tangga penuh dengan kasih sayang
seperti di yang ada dalam al-Quran menjadikan keluarga Sakinah mawaddah
warahmah
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim.
Abdurrahman Aljaziri, Kitab al-Fiqhi 'ala al-Mazahib al-Arba’atu, cet. 1, Bairut-
Libanon: Dark al-Fikr, 2003.

Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, Semarang:

Maktabah Wa Matba’ah Usaha Keluarga ,Tt.


Abi Bakar Ahmad Bin Husain Al-Baihaqi, Ash-Sunnah Ash-Shagir, Biairut: Daar Al-
Fikri,Tth, Juz II.

Aby Isya Ibn Muhammad Isya Ibn Saurah ,Sunan Turmudzi, Mesir: Maktab Al-
Matbah, 1968.
Al-Ghazali, Adab an-Nikah, terj. Muhammad al-Baqir, cet. 4, Bandung: Karisma, 1994.
Amir Syarifusdin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta:Kencana, 2011.

Ayyub, Syaikh Hasan, Fiqih Keluarga, Alih Bahasa, Abdul Ghopur, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008.
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2009.

Cholid Narbuko dan Abu Achmad, Metode Penelitian, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet. 2 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, 1994.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
Ibnu Katsir, Al-Qur’an A’dzim, Bairut: Al-Fikri,Tt.

Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Bairit: Daar Al-Fikri,Tt.

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya


Offset Bandung, 2000.

Mahmud Yunus, Hukum Perkawianan Dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung,


1990.
Majlis Muzakarah Al-Azhar Panji Masyarakat, Islam dan Masalah-Masalah
Kemasyarakatan, Jakarta: Pustaka Panjimas 1983.

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, 1996.

Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehar-Hari, Alih Bahasa, Abdul Hayyie Al-Khattani, Jakarta,
Gema Insani, 2006.
Sayyid Abi Bakri as-Syuhuru bin Sayyidi al-Bakr³ bin as-Sayyidi Muhammad Syata ad-
Dimya al-Misri, Hasyiyatu I’anatu at-Thalibin, Surabaya: Mahkota, t.t.

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa, Moh Thalib, Bandung: Almama’arif, 1994.
Undang-Undang RI, Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, Bandung : Citra
Umbara, 2007.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam 9, Alih Bahasa, Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk,
Jakarta: Gema Insani, 2011.
Ziba Mir-Hosseini, Perkawinan Dalam Kontroversi Dua Mazhab: Kajian Hukum
Keluarga Dalam Islam, terj. Abu Bakar Eby Hara, et. al. Jakarta: Icip, 2005.

Anda mungkin juga menyukai