Anda di halaman 1dari 21

IMPLEMENTASI DAN RELEVANSI KEPUTUSAN MENTERI AGAMA

NOMOR 411 TAHUN 2000 TENTANG PENETAPAN JUMLAH


UANG IWADH DARI SUDUT PANDANG HAKIM
PENGADILAN AGAMA BANJARBARU

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH :

MONISA FITRIA
180102010226

(082252226990)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS SYARIAH

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

BANJARMASIN

2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang Masalah
Sejak dilahirkan ke dunia manusia telah dikaruniai sebuah naluri untuk
senantiasa hidup berdampingan dengan orang lain. Dalam menjalani
pergaulan sehari-hari manusia tidak terlepas dari adanya saling
ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Hal itu tidak terlepas dari
kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Tuhan telah menciptakan segala
sesuatunya saling berpasangan, termasuk manusia. Tuhan menciptakan
manusia ada laki-laki dan perempuan. Sebagaimana yang terdapat dalam
Firman Allah Surah Hujuran ayat 13.

             

        

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.1

Naluri manusiawi yang dikaruniakan Allah SWT kepada manusia


tentunya perlu mendapatkan pemenuhan. Salah satu diantaraya ialah
pemenuhan keperluan biologis, untuk memenuhinya Allah SWT telah
mengatur melalui akad pernikahan. Sehingga pemenuhan kebutuhan tersebut
menjadi salah satu ibadah jika diwujudkan sesuai aturan Islam yang telah
ditetapkan.

1
Qur‟an Kemenag
Pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
antara hak dan kewajiban seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
bukan mahram. Pernikahan pada hakikatnya ialah ikatan lahir batin antara
laki-laki dengan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan
bahagia.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974


pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Tujuan sebuah perkawinan dalam Islam ialah untuk memenuhi


petunjuk dari Allah dalam rangka membentuk keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menjalankan hak dan kewajiban
setiap anggota keluarga. Sejahtera berarti menciptakan ketenangan lahir dan
batin yang diperoleh dari terpenuhinya kebutuhan hidup baik lahir maupun
batinnya, sehingga pada akhirnya muncullah kebahagiaan serta kasih sayang
antara anggota keluarga. Dengan demikian tujuan dari sebuah perkawinan
akan dapat terwujud.

Namun kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian


dan kesinambungan hidup bersama suami isteri itu bukanlah perkara yang
mudah dilaksanakan. Bahkan dalam banyak hal, kasih sayang dan kehidupan
yang harmonis antara suami dan isteri tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor
psikologis, ekonomi, biologis, perbedaan pandangan hidup, kecenderungan
dan lain sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan
dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam keutuhan rumah
tangga.

Ketika suami dan isteri tidak dapat melanjutkan perkawinan, dalam arti
lain adanya ketidakcocokan pandangan hidup serta percekcokan rumah
tangga yang memang sudah tidak dapat didamaikan lagi maka Islam sebagai

2
Kompilasi Hukum ISlam (KHI). hlm.78
agama yang toleran memberi jalan keluar yang dalam istilah fiqih disebut
thalaq (perceraian). Meskipun perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT
namun Islam membolehkan suami isteri bercerai dengan alasan-alasan yang
telah ditentukan.3

Putus perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan Undang-


Undang Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya
hubungan perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang selama ini
hidup sebagai suami isteri.4

Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal


ini sesuai dengan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang mengatur bahwa putusnya perkawinan
itu dikarenakan 3 (tiga) sebab5, sebagai berikut:
1. Kematian
Kematian merupakan sebab putusnya sebuah perkawinan, atas
kehendak Allah SWT melalui matinya salah satu dari suami atau isteri,
maka dengan sendirinya pula hubungan perkawinan itu berakhir. 6
2. Perceraian
Perceraian juga menjadi sebab putusnya sebuah perkawinan.
Perceraian dapat terbagi menjadi 2 (dua) jenis. Pertama, berdasarkan Pasal
129 Kompilasi Hukum Islam ketika seorang suami yang menjatuhkan
talak kepada isterinya dan mengajukan permohonan baik lisan maupun
tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri
disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk
keperluan itu, maka ini disebut dengan cerai talak. Kedua, pada Bab I
tentang ketentuan Umum huruf i diterangkan, khulu‟ ialah perceraian yang
terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau „iwadh
kepada dan atas persetujuan suaminya. Jadi dengan demikian khulu‟

3
Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia. hlm.190.
4
Syarifuddin. hlm.189.
5
Kompilasi Hukum Islam (KHI).hlm.89.
6
Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia. hlm.197.
termasuk dalam kategori cerai gugat. 7Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 132 ayat 1 cerai gugat adalah gugatan perceraaian yang diajuka oleh
isteri atau kuasanya pada Pengadilan agama, yang daerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat
kediaman tanpa izin suami.8
3. Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan ialah dimana putusnya perkawinan atas
kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah diketahuinya baik dari suami
ataupun isteri yang menandakan bahwa hubungan perkawinan itu tidak
dapat dilanjutkan lagi, ini disebut dengan fasakh.9
Melihat dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa perceraian terjadi
tidak hanya karena kemauan suami (cerai talak) saja, tetapi juga bisa terjadi
karena permintaan isteri (cerai gugat). Hukum Islam memberikan jalan
kepada isteri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu‟
sebaimana hukum Islam memberikan jalan kepada suami untuk menceraikan
isterinya dengan baik. Khulu‟ merupakan salah satu bentuk dari putusnya
perkawinan, tetapi berbeda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan itu,
dalam khulu‟ sendiri terdapat uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh kepada
suaminya untuk menebus dirinya supaya terlepas dari ikatan perkawinan.10

Iwadh yang dibayarkan isteri kepada suami dalam khulu‟ dapat berupa
apapun yang memenuhi untuk terpenuhinya maskawin, namun biasanya
berupa sejumlah harta. Dalam hal ini dapat berupa pengembalian maskawin
yang pernah Ia terima dari suaminya, baik seluruhnya maupun sebagian.
Wujud iwadh sendiri tergantung pada persetujuan suami dan isteri dan
tergantung pada kesediaan suami menerima atau tidak iwadh tersebut. Karena
tanpa persetujuan tidak akan terjadi khulu‟. Sebagaimana yang terdapat dalam
Hadis riwayat Imam Bukhari:

7
Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. hlm.233-237.
8
Kompilasi Hukum ISlam (KHI). hlm.40.
9
Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia. hlm.197.
10
Ghozali, Fiqh munakahat. hlm.220.
“ Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, sesungguhnya isteri Tsabit bin Qais
datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah,
Tsabit bin Qais tidak aku cela dalam akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak
menyukai kekufuran dalam Islam.” Rasulullah SAW bersabda: “Apakah
engkau mengembalikan kebunnya kepadanya.” Dia berkata: “ Ya.”
Rasulullah Bersabda kepada Tsabit Ibnu Qais: “Terimalah kebun itu dan
talaklah dia dengan talak satu.”11

Berdasarkan dengan firman Allah SWT dalam Q.S an-Nisa ayat 4:

               

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.12

Firman Allah SWT dan Hadis Rasulullah tersebut menjadi dalil


diyari‟atkannya khulu‟ serta sah terjadinya khulu‟ antara suami dan isteri.

Para Ulama berbeda pendapat tentang iwadh pada khulu‟ ini. Mayoritas
ulama meletakan iwadh itu sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan
sebagai syarat sahnya khulu‟. Pendapat lain pada suatu riwayat dari Ahmad
dan Imam Malik mengatakan bahwa boleh terjadi khulu‟ tanpa adanya iwadh.
Alasannya ialah khulu‟ merupakan salah satu dari putusnya perkawinan oleh
karena itu boleh tanpa iwadh seperti yang berlaku pada talak. Kemudian
untuk hal-hal yang berkenaan dengan iwadh itu menjadi perbincangan
dikalangan ulama, mereka sepakat tentang iwadh itu dalam bentuk sesuatu

11
Ghozali. hlm.221-222.
12
Qur’an Kemenag.
yang berharga dan dapat dinilai sepert yang dimaksud dalam hadis Nabi
tentang isteri Tsabit, mengenai nilainya mereka berbeda pendapat.13

Menurut kebanyakan ulama termasuk Utsman, Ibnu Umar, Ibnu Abbas,


Ikrimah, Mujahid dan berkembang dikalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi‟iyah dan Hanafiyah termasuk ulama Zhahiriyin, pendapat mereka
bahwa iwadh itu tidak memiliki batasan tertentu dan bahkan boleh melebihi
ukuran mahar yang diberikan kepada suami ketika akad perkawinan. Sesuai
dengan kesepakatan dari suami dan isteri. Tidak menerangkan batasan
tertentu, maka tidak ada dosa bagi laki-laki atas apa yang diambil dan bagi
perempuan untuk menebus dirinya dengan harta.14 Yang dijadikan dasar oleh
mereka adalah Firman Allah Q.S al-Baqarah ayat 229:

                 

               

         

Artinya: tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. tulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
Itulah orang-orang yang zalim.15

Jika dalam hukum fikih Islam nominal iwadh tidak disebutkan, lain hal
dengan di Indonesi. Di Indonesia sendiri uniknya besaran nominal iwadh
sudah ditentukan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Agama

13
Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia. hlm.235-236.
14
Syarifuddin. hlm.235-236.
15
Qur’an Kemenag.
Republik Indonesia Nomor 411 Tahun 2000 Tentang Penetapan Jumlah Uang
Iwadh Dalam Rangkaian Sighat Taklik Talak Bagi Umat Islam, yang
berbunyi:

1. Menetapkan jumlah uang iwadh dalam dalam rangka taklik talak, sebesar
Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
2. Dengan berlakunya keputusan ini ketentuan jumlah uang iwadh
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun
1975 yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 8
Tahun 1984 dinyatakan tidak berlaku.
3. Ketentuan lain sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agama
Nomor 8 Tahun 1984 tetap berlaku sebagaimana mestinya.
4. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 16

Dengan adanya Keputusan Menteri Agama Nomor 411 tahun 2000


tersebut tentunya dapat dijadikan acuan oleh hakim – hakim dalam
memutuskan perkara mengenai jumlah uang iwadh yang harus dibayarkan
pada kasus khulu‟.

Tapi pada kenyataannya pada perkara cerai gugat dengan nomor


perkara 338/Pdt.G/2019/PA.Bjb hakim Pengadilan Agama Banjarbaru
memutuskan menjatuhkan talak satu khuli Tergugat terhadap Penggugat
dengan iwadh sejumlah Rp.1.000,- (seribu rupiah). Pasangan ini menikah
pada tanggal 9 November 1997 sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri
Agama Nomor 411 Tahun 2000, sehingga pada sighat taklik talak pada saat
mereka menikah itu masih sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah). Namun
besaran iwadh tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan keputusan baru yang
dikeluarkan oleh Menteri Agama tetapi pada kenyataannya Hakim masih
memutuskan perkara tersebut dengan jumlah iwadh Rp.1.000,- (seribu
rupiah). Hal ini jelas bertentangan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor

16
Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000 Tentang Penetpan Jumlah Uang
Iwad Dalam Rangkaian Sighat Taklik Talak Bagi Umat Islam.
411 Tahun 2000 yang menetapkan jumlah uang iwadh dalam dalam rangka
taklik talak, sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah).17

Masih pada Pengadilan yang sama dan jenis perkara yang sama,
Putusan Pengadilan Agama Banjarbaru Nomor 393/Pdt.G/2014.PA.Bjb
menjatuhkan talak satu khuli Tergugat terhadap Penggugat dengan iwadh Rp.
10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Padahal pasangan ini menikah pada tanggal 17
Agustus 1994 sebelum lahirnya Keputusan Menteri Agama Nomor 411
Tahun 2000 tersebut. Petimbangan hukum hakim dalam memutuskan jumlah
iwadh Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) ini adalah menurut hakim besaran
iwadh Rp.1.000,- (seribu rupiah) sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan
yang ada.18

Adapun pada putusan Nomor 243/Pdt.G/2010/PTA.Bdg hakim


Pengadilan Tinggi Agama Bandung memutuskan perkara menghukum
penggugat dalam konvensi/ tergugat dalam rekonvensi/terbanding untuk
membayar iwadh sebesar Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah)
kepada tergugat konvensi/penggugat rekonvensi/pembanding.19

Dari uraian diatas sangatlah bervarisasi mengenai besaran iwadh yang


diputuskan oleh hakim, bahkan ada yang bertentangan dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000 mengenai besaran iwadh. Hal inilah
yang menjadikan Penulis tertarik untuk meneliti bagaimana implementasi
Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000 dari hakim Pengadilan
Agama Banjarbaru. .

Jika melihat dengan keadaan sekarang yang sudah jauh berubah,


seperti yang kita ketahui bahwa zaman semakin berkembang, tingkat
perekonomian semakin tinggi, dan nilai uang pun semakin naik. Maka masih
layakkah nominal iwadh yang ada pada Keputusan Menteri Agama Nomor
411 Tahun 2000 mengenai jumlah iwadh sebesar 10.000,- (sepuluh ribu

17
Direktori Putusan : nomor perkara 338/Pdt.G/2019/PA.Bjb.
18
Direktori Putusan : nomor perkara 393/Pdt.G/2014.PA.Bjb.
19
Direktori Putusan : nomor perkara 243/Pdt.G/2010/PTA.Bdg.
rupiah. Maka dari itu sangat menarik jika saya teliti lebih dalam lagi
mengenai relevansi nominal uang iwadh menurut pandangan hakim
Pengadilan Agama Banjarbaru.

Beranjak dari uraian diatas maka Penulis akan mengangkat


permasalahan tersebut dalam penulisan proposal skripsi dengan judul
Implementasi dan Relevansi Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun
2000 Tentang Penetapan Jumlah Uang Iwad dari Sudut Pandang Hakim
Pengadilan Agama Banjarbaru.

B. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini nantinya lebih berfokus dan tidk melebar kemana-
mana, maka Penulis akan mempersempit dengan rumusan masalah. Dari
uraian latar belakang di atas maka dirumuskanpokok permasalahan yang akan
di teliti, yaitu :

1. Bagaimana Implementasi dari Keputusan Menteri Agama Nomor 411


Tahun 2000 tentang besaran nominal iwadh di Pengadilan Agama
Banjarbaru?
2. Bagaimana relevansi nominal uang iwadh pada masa sekarang menurut
hakim Pengadilan Agama Banjarbaru?

C. Tujuan Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan
dari penelitan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan dari Keputusan Menteri Agama


Nomor 411 Tahun 2000 tentang besaran nominal iwadh di Pengadilan
Agama Banjarbaru.
2. Untuk mengetahui apakah nominal uang iwadh yang ada pada Keputusan
Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000 pada masa sekarang masih
relevan.
D. Manfaat Penelitian
Harapan dari sebuah penelitian adalah membawa manfaat bagi semua
pihak. Manfaat itu terbagi menjadi dua, yaitu manfaat berupa teoritis dan
manfaat berupa praktis.20 Manfaat dari segi praktisnya dimaksud untuk
menunjukan hasil penelitian yang langsung dpat dirasakan dan digunakan,
baik dari segi masyarakat ataupun instansi terkait. Sedaangkan manfaat
teoritis ditujukan untuk pengembangan ilmu yang berhubungan dengan
penelitian kedepannya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :

1. Manfaat Teoritis
a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa menjadi sebuah
wawasan dan informasi sebagai acuan untuk akademis dan arahan
untuk penelitian selanjutnya dengan tema permaasalahan yang
terkait, sehingga penelitian ini nantinya dapat dijadikan referensi
untuk penelitian tersebut.
b. Hadirnya penelitian ini, semoga dapat menjadiakan sebagai
tambahan ilmu dan menjadi bahan pengetahuan mengenai
bagaimana implementasi dan relevansi dari Keputusan Menteri
Agama Nomor 411 Tahun 2000 di Pengadilan Agama.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini kedepannya diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam rangka perkembangan peraturan mengenai
iwadh dari perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama yang ada di
Indonesia Khususnya Pengadilan Agama Banjarbaru.

20
Nur Tanjung dan Ardial, Pedoman penulisan karya ilmiah (proposal, skripsi dan tesis)
dan mempersiapkan diri menjadi penulis artikel ilmiah.hlm.31
E. Definisi Operasional
Tujuan dari definisi operasional ialah untuk menghindari
kesalahfahaman mengenai persepsi judul dan permasalahan pada penelitian,
maka dari itulah penulis harus memberikan definisi dari beberapa kosa kata
yang perlu diperjelas, sebgai berikut :
1. Implementasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia implementasi adalah
21
penerapan, pelaksanaan. Implementasi ialah sebuah pelaksanaan, aksi
atau tindakan dari suatu hal. Dalam hal ini implementasi yang dimaksud
adalah pelaksanaan dari dari Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun
2000 dari Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000

2. Relevan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia relevan adalah kait-
22
mengait, bersangkut-paut, berguna secara langsung. Relevan juga
memiliki pengertian hal-hal yang berkaitan pada situasi atau kejadian saat
ini. Menurut Sukarno dan Tata Iryanto relevansi adalah kesesuaian
keberadaan sesuatu pada tempatnya atau yang diinginkan. Dalam hal ini
relevansi yang dimaksud adalah terkait dengan Keputusan Menteri Agama
Nomor 411 Tahun 2000 apakah masih sesuai jika digunakan pada zaman
sekarang.

3. Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000


Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000 adalah
keputusan tentang penetapan jumlah iwadh dalam sighat taklik talak bagi
umat Islam dengan jumlah uang Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah)

4. Iwadh
Iwadh tidak dapat dipisahkan dengan khulu‟, meyoritas ulama
menempatkan iwadh sebagai rukum untuk keabsahan khulu‟. Iwadh menurut
Kamus besar Bahasa Indonesia adalah imbalan atau tebusan yang diberikan

21
Kamus Besar bahasa Indonesia (Offline).
22
Ibid.
isteri kepada suami untuk meminta khulu‟.23 Di Indonesia iwadh dikenal
dengan istilah gugat cerai kepada suaminya. Dalam gugatan tersebut isteri
harus membayar tebusan kepada suaminya agar terlepas dari ikatan
perkawinan melalui Pengadilan Agama.

5. Hakim Pengadilan Agama


Hakim Pengadilan agama adalah pejabat yang melakukan tugas
kekuasaan kehakiman , untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara perdata di tingkat pertama.24

F. Kajian Pustaka
1. Dalam skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, yang ditulis oleh
Eliya Rosyidah dengan penelitian yang berjudul Analisis Maslahah
Terhadap Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000 Tentang
Penetapan Jumlah Iwadh Dalam Rangkaian Sighat Taklik Talah Bagi
Umat Islam. Persamaan dalam penelitian ini terletak pada objek
penelitian yakni Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000
Tentang Penetapan Jumlah Iwadh. Pada skripsi ini berfokus pada
maslahah dari penetapan iwadh tersebut. Sedangkan pada penelitian Saya
berfokus pada bagaimana implementasi dari Keputusan Menteri Agama
Nomor 411 Tahun 2000 di Pengadilan Agama.25
2. Pada skripsi IAIN Purwokerto, yang ditulis oleh Ani Ratna Sari dengan
penelitian yang berjudul Hukum Iwadh Yang Ditentukan Pemerintah
Menurut Pandangan Tokoh Agama Kabupaten Banyu Mas. Persamaan
dengan penelitian ini adalah pada pembahasan mengenai iwadh,
penelitian ini berfokus pada bagaimana pandangan tokoh agama
mengenai hukum iwadh yang ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan
pada penelitian Saya berfokus pada pandangan hakim Pengadilan Agama

23
Ibid.
24
“http:pn-bandaaceh.go.id.” Diakses pada tanggal 13 Juni 2022 pukul 16.35
25
Rosyidah, “Analisis Maslahah Terhadap Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tanuh
2000 Tentang Jumlah Uang Iwadh Dalam Rangka Sighat Taklik Talak Bagi Umat Islam.”
mengenai pengimplementasian dan kerelevanan dari iwadh yang telah
ditentukan oleh pemerintah.26
3. Pada tesis Universitas Sumatera Utara, yang ditulis oleh Maswiwin
dengan jududl Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai
Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia No.248/K/AG/2011). Persamaan pada tesis ini terletak pada
pembahsan mengenai pemberian iwadh dalam gugat cerai, tesis ini
berfokus pada apa yang menjadi dasar hukum pembayaran iwadh
menurut fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam dan akibat hukum yang
ditimbulkan dari pembayaran iwadh.27 Sedangkan pada penelitian saya
berfokus pada implementasi dan relevansi iwadh di Pengadilan Agama.
4. Skripsi Universitas Negeri Hidayatullah yang ditulis oleh Zulfikar
Awaludin Helmi dengan judul Implementasi Pembayaran Uang Iwadh
Di Pengadilan Agama Cibinong. Persamaan dengan skripsi ini adalah
mengenai pengimplementasian iwadh di Pengadilan, pada skripsi ini
lebih terfokus pada bagaimana penyaluran dari uang iwadh yang sudah
28
dibayarkan. Sedangkan pada penelitian Saya berfokus pada
implementasi dari Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000
Tentang Penetapan Jumlah Iwadh.
5. Pada skripsi Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang yang diteliri
oleh Muhammad Abduh dengan jdudl penelitian Implementasi Dan
Relevansi Iwad dari Pelanggaran Taklik Talak Di Pengadilan Agama
Banjarmasin. Persamaan yang terdapat pada skripsi ini adalah pokok
pembahasan mengenai implementasi dan relevansi iwadh, namun pada
skripsi ini berfokus pada penyaluran dari uang iwadh yang dibayarkan
dan pendapat hakim Pengadilan agama Banjarmasin mengenai relevansi

26
Sari, “Hukum Iwadh Yang Ditentukan Pemerintah Menurut Pandangan Tokoh Agama
Kabupaten Banyumas.”
27
Wiwin, “Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam
(Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248/K/AG/2011).”
28
Helmi, “Implementasi Pembayaran Uang Iwadh Di Pengadilan Agama Cibinong.”
iwadh pada masa itu.29 Sedangkan pada penelitian Saya bertitik fokus
pada implementasi dari Keputusan Menteri Agama Nomor 411 Tahun
2000 Tentang Penetapan Jumlah Iwadh di Pengadilan Agama Banjarbaru
dan pendapat hakim Pengadilan Banjarbaru mengenai relevansi jumlah
iwadh pada masa sekarang.

Dari hasil penelitian-penelitian di atas sudah terlihat jelas letak


perbedaannya dengan penelitian yang akan penulis lakukan yakni pada titik
fokus penelitian yang dilakukan, objek yang diteliti, subjek yang diteliti,
serta tempat penelitiannya.

G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran dan mempermudah pembaca dalam
memahami gambaran menyeluruh dari penelitian ini, maka penulis akan
memberikan gambaran secara garis besarnya sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, dalam bab ini menggambarkan isi dan bentuk


penelitian yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, kajian pustaka,
sistematika penulisan dan daftar pustaka sementara.

BAB II Landasan Teori, yang berisikan tentang penguraian teori-teori


yang mendasari pembahasan masalah secara lebih terperinci. Yang berisikan
pengertian khulu‟ dan iwadh, dasar hukum khulu dan iwadh, rukun dan
syarat, tujuan dan hikmah dan akibat hukum khulu‟.

BAB III metodelogi penelitian, berisikan tentang jenis dan pendekatan


penelitian, lokasi penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, teknik
pengolahan data dan analisis data

BAB IV Laporan Hasil Penelitian, berisikan gambaran singkat


mengenai lokasi penelitian, penyajian data dan analisis data.

29
Abduh, “Implementasi Dan Relevansi Iwad Dari Pelanggaran Taklik talak Di Pengadilan
Agama Banjarmasin.”
BAB V Penutup, bab yang juga merupakan bab terakhir ini berisikan
tentang keismpulan terkaian dengan pembahasan penelitian berdasarkan
analisis yang dilakukan, dan juga beisikan tentang saran-saran untuk
disampaikan pada peneliti selanjutnya.

H. Daftar Pustaka Sementara


Abduh, Muhamad. “Implementasi Dan Relevansi Iwad Dari Pelanggaran
Taklik talak Di Pengadilan Agama Banjarmasin.” Skripsi,
Universita Maulana Malik Ibrahim, 2020.
Direktori Putusan : nomor perkara 243/Pdt.G/2010/PTA.Bdg, t.t
Direktori Putusan : nomor perkara 338/Pdt.G/2019/PA.Bjb, t.t.
Direktori Putusan : nomor perkara 393/Pdt.G/2014.PA.Bjb, t.t.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.
Helmi, Zulfikar Awaludin. “Implementasi Pembayaran Uang Iwadh Di
Pengadilan Agama Cibinong.” Skripsi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, 2015.
“http:pa-banjarbaru.go.id.” Diakses 13 Juni 2022. http:pa-banjarbaru.go.id.
“http:pn-bandaaceh.go.id.” Diakses 13 Juni 2022. http:pn-bandaaceh.go.id.
Kamus Besar bahasa Indonesia (Offline), t.t.
Kompilasi Hukum ISlam (KHI), t.t.
Muhaimin. Metod Penelitian Hukum. Cetakan Pertama. Mataram: Mataram
University Press, 2020.
Nur Tanjung, H. Bahdin, dan H Ardial. Pedoman penulisan karya ilmiah
(proposal, skripsi dan tesis) dan mempersiapkan diri menjadi
penulis artikel ilmiah. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2010.
Qur’an Kemenag, t.t.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Edisi Revisi, t.t.
Rosyidah, Eliya. “Analisis Maslahah Terhadap Keputusan Menteri Agama
Nomor 411 Tanuh 2000 Tentang Jumlah Uang Iwadh Dalam
Rangka Sighat Taklik Talak Bagi Umat Islam.” Skripsi, Universitas
Negeri Sunan Ampel, 2019.
Sari, Ani Ratna. “Hukum Iwadh Yang Ditentukan Pemerintah Menurut
Pandangan Tokoh Agama Kabupaten Banyumas.” Skripsi, IAIN
Purwokerto, 2020.
Sunggono, Bambang. Metodologi penelitian hukum, 2007.
Syarifuddin, Amir. Hukum perkawinan Islam di Indonesia: antara fiqh
munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Ed. 1., cet. 1.
Rawamangun, Jakarta: Kencana, 2006.
Wiwin, Mas. “Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai
Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia No.248/K/AG/2011).” Tesis, Universitas Sumatera
Utara, 2015.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian empiris, sebab penulis
secara langsung turun ke lapangan untuk memperoleh data dan menggali
informasi mengenai implementasi Keputusan Menteri Agama Nomor 411
Tahun 2000 di Pengadilan Agama Banjarbaru dan mengenai relevansi
nominal iwadh pada masa sekarang menurut hakim Pengadilan Agama
Banjarbaru.

Jenis pendekatan yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah


pendekatan kualitatif, yakni sebuah pendekatan yang menggunakan prosedur
dengan cara menghasilkan data deskriftif baik lisan maupun tulisan yang
bersumber dari ungkapan informan.30 Konteknya yaitu berupa data penjelasan
langsung dari beberapa hakim Pengadilan Agama Banjarbaru.

B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis pada penelitian ini adalah Pengadilan Agama
Banjarbaru. Pengadilan Agama banjarbaru adalah sebuah Pengadilan Agama
yang daerah yuridiksinya berada di wilayah kota administratif Banjarbaru.31

Mengenai alasan penulis memilih Pengadilan Agama Banjarbaru


sebagai lokasi penelitian karena di Pengadilan ini terdapat putusan perkara
cerai gugat dengan iwadh yang berbeda-beda. Sehingga penulis bisa
melakukan penelitian lebih lanjut.

C. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dan atau objek dari mana data itu dapat
diperoleh, dan pada penelitian ini penulis menggunakan sumber data, yaitu
sebagai berikut :
1. Sumber Data Primer

30
Muhaimin, Metod Penelitian Hukum.hlm.105
31
“http:pa-banjarbaru.go.id.” Diakses pada hari Senin, 13 Juni 2022 pada pukul 16.02.
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber
pertama. Sumberdata primer dapat diartikan sebagai sumber data pokok
yang digunakan dalan penelitian empiris yang didapatkan secaara langsung
32
dari informan ketika penelitian di lapangan. Dalam hal ini adalah hasil
wawancara terhadap hakim Pengadilan Agama Banjarbaru.
2. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah informasi yang didapatkan dari buku-buku
atau dokumen tertulis. Dengan kata lain data sekunder ini merupakan data
pendukung dari data primer.33 Data sekunder yang digunakan penulis yaitu
buku-buku yang berkaitan mengenai iwadh seperti Kompilaasi Hukum
Islam, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Keputusan
Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000, serta dokumentasi hasil
penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini ataupun berupa
jurnal dan lainnya.

D. Metode Pengumpulan Data


Karena penilitian yang dilakukan ini adalah penelitian empiris dan
menggunakan pendekatan kualitatis, maka metode yang digunakan penulis
untuk pengumpulan data menggunakan prosedur wawancara dan
dokumentasi, sebagai berikut :

1. Metode Wawancara
Wawancara merupakan penggalian informasi dan data dengan cara
bertanya langsung dengan informan. Metode ini diharapkan dapat
memperoleh jawaban secara langsung, jujur, dan benar serta keterangan
yang lengkap dari wawancara terkait dengan penelitian yang dilakukan,
sehingga penulis dapat memperoleh informaasi yang valid.34 Dalam hal
ini informan yang akan diwawancarai adalah hakim Pengadilan Agama
Banjarbaru terkait dengan Implementasi dan relevansi Keputusan
Menteri Agama Nomor 411 Tahun 2000.
32
Muhaimin, Metod Penelitian Hukum. hlm.89-90
33
Muhaimin.hlm.101
34
Muhaimin. hlm.95
2. Metode Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data yang berupa
catatan, transkip, buku, agenda, putusan Pengadilan dan sebagainya yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data mengenai
putusan dengan pembayaran iwadh oleh Pengadilan Agama Banjarbaru.

E. Teknik Pengolahan Data


Data yang dikumpulkan kemudian diolah melalui tahpan-tahapan
sebagai berikut :

1. Editing, yaitu penulis memeriksa kembali data-data yang diperoleh untuk


mengetahui apakah data-data itu sudah cukup agar dapat segera disiapkan
untuk proses berikutnya.
2. Classifying (Klasifikasi), data yang sudah terkumpul kemudian
dikelompokkan sesuai dengan tipologi jawaban dari rumusan masalah
dan subjek penelitian. 35
3. Verifying (Verifikasi), Penulis melakukan pemeriksaan data-data yang
telah didapatkan pada saat penelitian di lapangan, ada tahap ini peneliti
membandingkan antara dokumentasi dengan wawancara, apakah
berkesesuaian atau tidak.

F. Metode Analisis
Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan analisa kualitatif
yakni dengan mendeskripsikan dokumen atau berkas yang didapatkan dari
Pengadilan Agama Banjarbaru kemudian menghubungkannya dengan hasil
wawancara terhadap hakim dalam mengimplementasikan Keputusan Menteri
Agama Nomor 411 Tahun 2000. dan mengenai pendapat hakim tentang
relevansinya pada masa sekarang. Sehingga memperoleh kesimpulan untuk
menjawab semua permasalahan.

35
Sunggono, Metodologi penelitian hukum. hlm.125-126

Anda mungkin juga menyukai