Anda di halaman 1dari 62

HUKUM MUT’AH TALAK

A. Pendahuluan
Perkawinan adalah merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk suatu
keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia. Di dalam Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 1 disebutkan bahwa tujuan perkawinan
adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa, senada pula dengan bunyi Pasal 3 dalam Kompilasi
Hukum Islam, bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Mengingat perkawinan merupakan salah satu bagian terpenting dalam
menciptakan keluarga dan masyarakat yang diridhai Allah SWT, maka dalam
memilih calon istri atau suami, Islam menganjurkan agar mendasarkan segala
sesuatunya atas norma agama.
Dalam kehidupan setiap manusia ada detik-detik yang sangat berkesan di
hati, tidak mudeah dihapus dari ingatan sepanjang hayat. Diantaranya adalah aqad
nikah. Memang mengucapkan ijab qabul sangat ringan di lidah, namunh pada
hakikatnya sangat berat dalam timbangan. Ucapan ijab qabul adalah ikrar, janji
setia antara suami dan istri untuk membangun rumah tangga (usrah). Begitu
pentingnya istilah ini, sehingga Allah SWT menggunakan istilah mitsaqan
ghalidhan artinya perjanjian yang kuat, kokoh dan teguh.
Dalam al-Qur’an ada tiga katagori yang menerangkan istilah tersebut.
Pertama, perjanjian antara Allah dengan rasul. Kedua, perjanjian Allah dengan
satu ummat. Dan ketiga, perjanjian antara seorang suami dengan istri. Adanya
istilah dalam ketiga perjanjian tersebut menunjukkan bahwa aqad nikah adalah
ikrar yang sacral dan suci.
Oleh karena itu Rasulullah SAW berpesan kepada para suami, “Takutlah
kepada Allah dalam persoalan wanita. Karena sesungguhnya mereka itu adalah
orang-orang yang berada di bawah kekuasaan kamu, dan kamu ambil mereka itu
dengan amanah Allah dan kamu dihalalkan menggauli mereka berdasarkan
kalimat Allah”.
Begitu indah dan mulia tujuan perkawinan itu. Akan tetapi, ternyata untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan tersebut tidaklah segampang yang diucapkan,

1
tidaklah semudah yang diangankan. Karena manakala setelah perkawinan itu
dijalani, banyak onak dan duri menghalangi, kerikil dan karang terjal
menghadang, ombak dan gelombang pasang menerjang, maka biduk yang
bernama rumah tangga itu pun kerap tenggelam dan akhirnya karam. Maka ketika
sebuah biduk perkawinan telah usai, dan penumpangnya bercerai berai, yang
tersisa tinggallah puing-puing permasalahan, dan yang paling menderita akibat
karamnya sebuah biduk perkawinan adalah anak.
Pada dasarnya, ada tiga hal yang menyebabkan putusnya suatu ikatan
perkawinan, yaitu kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Kematian
merupakan penyebab putusnya perkawinan yang tidak bersifat kausalitas, sedang
perceraian dan putusan pengadilan memiliki unsur kausalitas. Kedua hal terakhir
ini bisa merupakan talak (cerai talak) atau khulu (cerai gugat), yang masing-
masing memiliki sebab (alasan) terjadinya. Putus perkawinan lantaran cerai talak
adalah bila kehendak cerai itu datang dari pihak suami (pihak suami yang
mengajukan permohonan cerai), sedang bila gugatan cerai itu datang dari pihak
istri, maka perceraian itu disebut cerai gugat (khulu).
Sebuah perkawinan tidak selamanya baik-baik saja, tak selalu damai-
damai saja, manakala ikatan cinta kasih sebagai pondasi penting dalam
perkawinan itu sudah terurai dan tidak bisa dipertahankan lagi, maka perceraian
adalah jalan yang kerap diambil suami atau istri, untuk menyelesaikan
permasalahannya.
Perceraian adalah pemutusan ikatan perkawinan. Putusnya perkawinan
adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-undang Perkawinan, untuk
menjelaskan “berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang selama ini hidup dalam sebuah atap yang bernama rumah
tangga”.
Masalah talak, meskipun dibolehkan namun karena kelanggengan suatu
perkawinan itu yang diharapkan, maka kebolehan tersebut tidak mutlak, tetapi di
dalamnya mengandung sifat yang tidak disukai Allah SWT bersifat makruh). Hal
ini dapat dilihat dari berbagai sebda Rasulullah SAW yang diantaranya berbunyi :

)‫(رواه ابو داود واحلاكم‬ . ‫َاْبَغُض اَحْلَالَل ِعْنَد اِهلل الَّطَالُق‬

2
Artinya : “Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT ialah talak”.
(HR. Abu Daud dan Hakim)

)‫(رواه ابن عدى‬ . ‫َتَزَّوُجْوا َوَالُتَطِّلُقْوا َفِأَّن الَّطَالَق َيْه َتُّز ِم ْنُه اْلَعْر ُش‬
Artinya :“Kawinlah kalian dan jangan bercerai (menceraikan istri),
sesungguhnya talak itu dapat menggetarkan Arasy”. (HR. Ibnu Addy)

Mengingat perceraian bukanlah tujuan utama dari adanya perkawinan dan


Allah SWT pun mengkategorikannya sebagai perbuatan halal namun sangat
dibenci, maka hendaknya diusahakan untuk tidak menganggap sepele masalah ini.
Adanya talak (perceraian) dalam Islam hanyalah satu alternatif dalam
memecahkan suatu bahaya akibat tetapnya suatu ikatan perkawinan namun tidak
didasari norma-norma agama atau tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah,
sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya :

‫َال ِحَي ُّل َلُك َاْن َتْأ ُذ ا َّمِمآ ا ُت َّن َش ا ِاآل َاْن َخَّياَفآ َاَّال ِق ا ُد اِهلل‬
‫ُي ْيَم ُح ْو َد‬ ‫ُخ ْو َتْي ُم ْوُه ْيًئ‬ ‫ْم‬ ‫َو‬
.‫َفِأْن ِخ ْف ُتْم َاَّال ُيِق ْيَم ا ُح ُد ْو َد اِهلل َفَال ُج َناَح َعَلْيِه َم ا ِفْيَم ا اْفَتَد ْت ِبه‬
Artinya : “TIdak halal bagi kamu mengambil kembali dari suatu yang telah kamu
berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya”. (QS. Al-Baqarah:229)

Kerena itu pulalah, talak atau perceraian harus didasarkan pada alasan-
alasan yang dibenarkan oleh syara’. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah
SWT :

‫َفِأْن َأَطْع َنُك ْم َفَالَتْبُغْوا َعَلْيِه َّن َس ِبْيًال‬


Artinya : “Maka apabila istri-istrimu tetap mematuhimu, janganlah kamu
mencari-cari alasan untuk menyusahkannya (menceraikannya)”.
(QS. An-Nisa:34)

Dijelaskan di dalam Undang-undang P_erkawinan (UU Nomor 1 Tahun


1974), yaitu menyebutkan harus adanya alasan. Sedangkan secara rincinya,
mengenai alasan-alasan terjadinya talak atau perceraian dijelaskan dalam

3
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang peleksanaan Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Putusnya perkawinan secara yuridis adalah merupakan suatu peristiwa
hukum yang akan membawa akibat-akibat hukum, baik hukum kekeluargaan
maupun hukum kebendaan.
Dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Prof. DR. Amir
Syarufuddin) dikatakan bahwa bila suatu ikatan perkawinan putus, maka ada
hukum yang berlaku sesudahnya, yaitu :
1. Hubungan antara keduanya berlaku seperti antara dua orang yang saling asing.
Putusnya perkawinan mengembalikan status halal yang tadinya didapat dari
perkawinan melalui akad nikah menjadikan kembali pada status semula yaitu
haram, tidak boleh berpandangan, bersentuhan, apalagi melakukan hubungan
suami isteri yang sebutannya menjadi perbuatan zina.
2. Adanya suatu keharusan bagi suami memberi mut’ah kepada isteri yang
diceraikannya sebagai suatu konpensasi. Namun dalam kewajiban memberi
mut’ah ini di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Golongan Zahiriyah
berpendapat bahwa mut’ah itu hukumnya wajib. Dasar wajibnya adalah
terdapat dalam ayat 241 surat Al-Baqarah, yang artinya “Untuk isteri-isteri
yang diceraikan itu hendaklah ada pemberian dalam bentuk mut’ah secara
patut, merupakan hak atas orang yang bertaqwa”. Golongan ulama

4
Malikiyah berpendapat hukumnya mut’ah itu adalah sunnah dengan alasan
karena lafadz “haqqan ‘alal muttaqin” itu tidak menunjukkan wajib.
Golongan lain mengatakan bahwa kewajiban memberi mut’ah itu berlaku
tergantung pada keadaan tertentu, dalam keadaan tertentu itupun terdapat
perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyah mengatakan hukumnya wajib untuk
suami yang akan menceraikan isterinya sebelum digauli dan maharnya belum
ditentukan sebelumnya. Golongan ini mendasarkan pada surat Al-Baqarah
ayat 236. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa mut’ah itu hanya
wajib diberikan oleh suami yang menghendaki perceraian, seperti thalak.
Mungkin inilah yang mendasari pemberlakuan keharusan pemberian mut’ah
bagi suami yang akan menceraikan isteri, yang berlaku dalam hukum
perkawinan di Indonesia, yang tertuang dalam KHI Pasal 158 huruf a dan b
sementara hanya sunnah saja bagi suami memberi mut’ah apabila tidak
memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam Pasal 158 tersebut.
3. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayar ketika sedang
dalam ikatan perkawinan, berupa maskawin atau nafkah.
4. Adanya iddah yang berlaku atas isteri yang diceraikan yang menjalani masa
iddah itu adalah perempuan yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup
ataupun cerai akibat ditinggalkan mati oleh suaminya, sedang dalam keadaan
mengandung (hamil) ataupun tidak wajib menjalani masa iddah.
5. Adanya akibat hukum bagi pemeliharaan anak atau hadlanah.
Kiranya setelah pemaparan di atas diuraikan secara komprehensif, penulis
mendapat gambaran, betapa pentingnya pembahasan mengenai hukum mut’ah
talak, hal ini merupakan pemberian seorang suami kepada bekas isterinya, setelah
terjadinya putusan talak atau perceraian.

B. Pengertian Mut’ah
Untuk lebih memahami tentang pembahasan judul makalah yang sedang
diuraikan oleh penulis, alangkah baiknya memahami dulu pengertian mut’ah itu
sendiri.

Selain dibaca mut’ah (‫ )املتعه‬dengan dhammah mim. Ia juga terkadang

dibaca dengan mut’ah (dengan kasrah mim). Kata mut’ah sendiri merupakan

5
variasi lain dari kata al-mata ( ‫)املتاع‬, yang berarti sesuatu yang dijadikan sebagai

objek bersenang-senang (‫به‬ ‫)ما يس تمتع‬, secara devinitif makna mut’ah sejumlah

harta yang wajib diserahkan suami kepada isterinya, yang telah diceraikannya
semasa hidupnya dengan cara talak atau cara yang semakna dengannya.

‫مال جيب على الزوج دفعه المرأته املفارقة ىف احلياة بطالق ومن ىف معناه‬
Atau pengertian mut’ah adalah pemberian dari suami kepada isterinya
kalau ia ditalak dan umumnya berupa uang yang diberikan sehabis iddah sekedar
untuk menggembirakan hati isterinya yang telah ditalak.
Kemudian, pada umumnya pemberian mut’ah itu berupa barang atau
benda yang diberikan suaminya, begitu juga jenis harta yang bisa dimanfaatkan
oleh si isteri karena terjadi perceraian dengannya. At-Taqyudin, menjelaskan
dalam kitabnya Kifayatul Akhyar :

‫املتعة هي أسم للمال الذي يدفعه الرجل اىل امرأته املفارقته اياها‬
Artinya : “Mut’ah adalah sesuatu nama harta yang diberikan oleh suami kepada
bekas isterinya, karena terjadi perceraian dengannya”,

Dari pengertian di atas tadi, bahwa mut’ah itu sesuatu pemberian


penghibur dari suami yang akan mentalaknya, dan juga telah diterangkan lagi di
dalam kitab Ayat Ahkam :

‫املتعة ما يدفع الزوج من مال او كسوة او متاع لزوجته للمطلقة عونا واكراما‬
‫ودفعا لوحشة الطالق الذي وقع عليها‬
Artinya : “Mut’ah adalah suatu benda atau harta yang diberikan oleh bekas
suami kepada bekas isterinya yang dicerai, dengan tujuan menolong dan
memulyakannya atas kekasaran talak yang menimpa kepada isteri”.

Dan juga, diterangkan oleh Sayid Abu Bakar :

‫وهي مايرتاض الزوجان عليه‬


Adalah suami ridha memberikan barang tersebut dan si isteri suka atas
barangnya.

6
Selanjutnya, menurut pendapat Abdu al-Rahman al-Jajiry, beliau telah
mendefinisikan :

‫املتعة هي عبارة عن كسوة او قيمتها للمغوضة بدل نصف املهر‬


Mut’ah adalah istilah atau ungkapan dari pakaian atau nilainya bagi isteri yang
dikawin tanpa mahar.

Dinamakan mut’ah talak, karena ia ada ketika ada talak, kalau tidak ada
talak ya tidak ada mut’ah. Yang dimaksud dengan mut’ah talak ialah sejumlah
harta yang diberikan oleh si bekas suami kepada bekas isteri sebagai bekal
sepeninggal si suami. Kalau secara bahasa, mut’ah itu sendiri artinya kesenangan,
ya memang mut’ah itu sendiri dibayarkan oleh bekas suami sebagai penggembira
atau penghibur, bagi si bekas isteri yang ditinggal suami karena perceraian.
Jadi nantinya kalau seorang isteri yang sudah diceraikan meminta
sejumlah harta sebagai mut’ah, itu tidak bisa dikatakan sebagai wanita matre, ya
memang begitu aturan syar’inya, senang atau tidak senang harus dituruti.

BAB II
LANDASAN YURIDIS HAK MUT’AH

Pada bab II ini, penulis ingin menguraikan mengapa mut’ah itu wajib
diberikan pada isteri yang telah dicerai, dan berapa besaran mut’ah yang harus
diberikan, dan apa landasan yuridis hak mut’ah harus diberjalankan dan diberikan
oleh suami pada isteri yang telah dijatuhi talak.
Untuk lebih memudahkan mengenai ungkapan di atas, tentu lebih baik
menguraikan apa yang menjadi keharusan tentang masalah mut’ah tersebut, maka
di bawah ini akan dijelaskan :
A. Landasan Yuridis Hak Mut’ah
Yang menjadi landasan hukum adanya mut’ah ini, adalah surat
Al-Baqarah (2) ayat 241.
Secara zhahir, ayat di atas sesungguhnya menghendaki suami wajib
memberi mut’ah yaitu pemberian secara sukarela disamping nafkah, kepada isteri
yang diceraikannya, hal itupun diakui oleh Ibnu Qudamah, sejalan dengan ini,

7
menurut riwayat yang disampaikan banyak ulama Hanafiyah, sesungguhnya
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa mut’ah itu wajib hukumnya untuk
semua isteri yang ditalak, tanpa mempertimbangkan jenis mahar dan
perceraiannya, pendapat ini didasarkan pada makna dzahir dari surat Al-Baqarah
ayat 241, dan surat Al-Ahzab ayat 49.
Akan tetapi dengan mempertimbangkan berbagai riwayat, yang menurut
mereka mutawatir yang berbeda dengan pendapat itu. Maka mereka
mempromosikan kehendak jahir ayat itu, dengan riwayat tersebut, sebagai
hasilnya mereka berkesimpulan bahwa hukum dasar mut’ah itu hanyalah sunnat,
pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam Malik, Abu Ubaidillah, Kodi
Suriyah dan lain-lain. Mereka berlandaskan dengan adanya prase haqqun ‘alal

muttaqin (‫املتقني‬ ‫ )حق على‬dalam ayat tersebut di atas, dan prase ‫حق على احملس نني‬,
dalam surat Al-Baqarah ayat 236.
Menunjukkan bahwa kewajiban mut’ah itu dibatasi hanya orang-orang
bertaqwa, oleh karena itu maka hukum asal mut’ah itu menurut Imam Malik
hanya sunnat. Sementara isteri yang berhak mendapatkan mut’ah itu menurut
ulama Malikiyah, hanyalah yang maharnya adalah mahar mistil, dan ia diceraikan
kobla dukhul. Oleh karena itu para isteri yang maharnya adalah mahar musamma
yang dicerai setelah dukhul, atau yang perceraiannya dimulai atas inisiatif isteri,
seperti hulu dan fhasah, serta perceraian karena li’an tidak berhak mendapatkan
mut’ah. Menurut al-Turmudjie, ‘Atha, dan al-Nakhary, perempuan yang dikhulu
tetap berhak mendapatkan mut’ah.
Sementara menurut ulama Ahl Alra’y, perempuan yang dili’an juga tetap
mendapatkan mut’ah, namun demikian sebagian ulama Malikiyah, seperti Ibnu
Sihab tetap berpendapat bahwa semua perempuan yang ditalak di mana pun di
muka bumi ini berhak mendapatkan mut’ah.

‫كل مطلقة ىف األرض هلا متاع‬


Imam al-Syafi’iy, yang juga dipertegas oleh al-Syarbainy menyebutkan
bahwa kebanyakan para sahabat yang diketahuinya, berdasarkan ayat di atas,
menegaskan bahwa yang berhak mendapatkan mut’ah adalah semua perempuan
yang ditalak, baik ia merdeka atau budak, tua atau muda, muslim atau dzimmy.
Akan tetapi wajibnya mut’ah itu dalam pendapat jadidnya Imam Safe’i, adalah

8
isteri yang dinikahi dengan mahar almisil dan ditalak sebelum dukhul. Hal itu
didasarkan pada firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 236.
Berangkat dari ayat itu, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kalau isteri
tersebut dinikahi dengan mahar almusamma dan ia ditalak sebelum dukhul, maka
ia hanya berhak mendapatkan ½ (setengah) mahar, tidak berhak mendapatkan
mut’ah sama sekali. Namun demikian, dalam pendapat kadimnya Imam al-
Syafi’iyi berpendapat bahwa untuk isteri yang ditalak dalam keadaan seperti ini
disunnatkan untuk diberi mut’ah.
Menurut Imam jadid al-Safi’iy, dan merupakan pendapat terkuat di
kalangan ulama Syafi’iyah, isteri yang telah digauli, baik maharnya telah
ditetapkan atau belum wajib diberi mut’ah, baik talak itu dilakukan secara
langsung maupun dikaitkan dengan suatu perbuatan yang dilakukan si isteri. Hal
itu didasarkan pada keumuman perintah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah
ayat 21. Hal itu juga diperkuat dengan kekhususan yang terdapat dalam surat Al-
Ahzab ayat 28. Dalam ayat ini Nabi mengancam isteri-isterinya bahwa beliau
akan menceraikan dan memberi mereka mut’ah, sementara mereka telah digauli
Nabi. Hal itu menunjukkan bahwa bagi para isteri yang telah digauli juga wajib
diberi mut’ah. Akan tetapi menurut pendapat kadimnya Imam Syafe’i mengatakan
bahwa mereka para isteri yang telah digauli tidak memiliki hak mut’ah karena
mereka telah ditetapkan memiliki hak mahar baik keseluruhan (mahar misil)
maupun setengahnya (mahar almusamma).

B. Hukum Mut’ah Talak


Kalau berbicara hukum, seperti kebiasaan para ahli fiqih (fuqoha) dalam
masalah-masalah fiqih yang lain, mereka berbeda pendapat tentang hukum mut’ah
itu sendiri. Ada yang mewajibkan, ada juga yang mensunnatkan saja.
Adapun, dasar perintah mut’ah itu sendiri ialah firman Allah SWT di
dalam surat Al-Baqarah ayat 236 :

‫ِا‬
‫َالُج َن اَح َعَلْيُك ْم ْن َطَّلْق ُتُم الِّنَس آَء َم اْمَل َمَتُّس ْوُه َّن َاْو َتْف ِرُض ْوا ُهَلَّن َفِرْيَض ًة‬
‫َّوَم ِّتُعْوُه َّن َعَلى اْلُمْو ِس ِع َقَد ُره‘ َو َعَلى اْلُم ْق ِرِت َقَد ُره‘ َم َتاًعا ِب اْلَم ْعُرْو ِف َح ًّق ا َعَلى‬
‫ِس ِن‬
‫اْلُم ْح َنْي‬

9
Artinya : “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang
belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya.
Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah, bagi yang mampu menurut
kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya,
yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban
bagi orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Al-Baqarah:236)

Selanjutnya Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat


241 :

‫ِق‬ ‫ِف‬ ‫ِت‬ ‫ِل‬


‫َو ْلُم َطَّلَق ا َم َتاٌع ِباْلَم ْعُرْو َح ًّقا َعَلى اْلُم َّت َنْي‬
Artinya : “Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi
mut’ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang
yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah:241)

Dan diperjelas lagi, mengenai dasar hukum mut’ah itu, di dalam al-Qur’an
surat Al-Ahzab:49 :

‫َيآُّيَه ا اَّل ِذْيَن اَم ُنْوآ ِاَذا َنَك ْح ُتُم اْلُم ْؤ ِم َن اِت َّمُث َطَّلْق ُتُم ْوُه َّن ِم ْن َقْب ِل َاْن َمَتُّس ْوُه َّن‬
‫َفَم اَلُك ْم َعَلْيِه َّن ِم ْن ِعَّد ٍة َتْع َتُّد ْو َنَه ا َفَم ِّتُعْوُه َّن َو َس ِّرُحْوُه َّن َس َراًح ا ِمَج ْيًال‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka tidak ada masa iddah atas mereka
yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”. (QS. Al-
Ahzab:49)

Dengan telah diungkapkannya keterangan dari beberapa ayat suci al-


Qur’an tersebut di atas, yakni wajib bagi suami yang menceraikan isterinya
memberikan mut’ah (penghibur) kepada isterinya oleh karena itu pemberian
mut’ah telah ada sejak jaman Rasulullah, ketika menceraikan isterinya Umaemah
binti Syarahil, sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhary :

‫ تزّوج النيب ص‬:‫عن عبد الرمحن عن عباس بن سهل عن ابيه وأىب أسيد قال‬
‫ اميمة بنت شراحيل فلّم ا أدخلت عليه بس ط يده اليها فكاهنا ك رهت‬.‫م‬
‫ذلك فامر أبا أسيد ان جيهزها ويكسوها ثوبني رازقني‬

10
“Bahwa Rasulullah SAW telah melangsungkan pernikahan dengan Umaemah
binti Syarahil, namun ketika Rasulullah memasuki dan mengulurkan tangannya
tiba-tiba Umaemah tidak menyukainya, maka Nabi menyuruh shahabat untuk
menyiapkan dua baju dan memakainya”.

Selanjutnya, dengan adanya dasar hukum tentang mut’ah dari beberapa


ayat al-Qur’an dan hadits tersebut, maka timbullah perselisihan pendapat di
kalangan para ulama, dalam hal apakah pemberian mut’ah itu harus diberikan
kepada setiap isteri yang dicerai tetapi belum dicampuri dan belum ditentukan
maharnya.
Adapun, mengenai hal perbedaan pendapat para ulama itu diuraikan dalam
kitab tafsir Ibnu Katsir

‫وقد اختلف العلماء جتب املتعة لكل مطلقة او أنفا جتب املتعة لغري املدخول‬
‫ والقول‬.‫هبا الىت مل يعرض هلا على اقوال احدها اهنا جتب املتعة لكل مطلقة‬
‫الث اىن اهنا جتب للمطلقات اذا طلقت قبل املس يس وان ك انت مفروض اهلا‬
‫والقول الثالث ان املتعة امنا جتب للمطلقة اذا مل يدخل هبا ومل بفرض هلا فأن‬
‫كان قد دخل هبا وجب هلا مهر مثلها اذا كانت مفوضة وان كان قد فرض‬
‫هلا وطلقها قيب ال ّد خول وجب هلا عليه شطره فأن دخل هبا استقر اجلميع‬
‫وكان ذلك عوضا هلا عن املتعة‬
Artinya : “Bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai adanya ukuran mut’ah
kepada isteri yang dicerai. Hal ini terbagi kepada tiga pendapat :
a. Kelompok pertama menyebutkan, mut’ah itu wajib atas isteri yang
telah dicerai.
b. Kelompok kedua, mut’ah hukumnya wajib kepada isteri yang telah
didukhul.
c. Kelompok yang ketiga berpendapat, bahwa mut’ah itu wajib atas
isteri yang dicerai, jika belum dicampuri dan belum ditentukan
maharnya, maka bagi isteri itu setengah mahar, jika telah dijima’ si
isteri menerima mahar yang cukup.

Bagaimana kedudukan hukum mut’ah, serta orang yang seharusnya


menerima mut’ah, para ulama berbeda pendapat, antara lain :
1. Menurut Imam Asy-Syafi’i, bahwa mut’ah adalah hukumnya itu wajib atas
setiap isteri yang dicerai, walaupun isteri itu belum atau sudah dicampuri dan

11
telah disebutkan maharnya. Alasan Imam Asy-Syafi’i tersebut, berdasarkan
firman Allah SWT, al-Qur’an surat Al-baqarah ayat 241.
Demikian pendapat Imam Asy-Syafi’i yang dikemukakan dalam kitab
Abu Zahrah, mengenai hukum pemberian mut’ah kepada isteri yang dicerai,
sebagaimana ungkapannya :

‫واملتعة عند الشافعى واجبة مطلقة مدخول هبا كان هلا مهرا مسمى بعد‬
‫الدخول او قبله‬
2. Imam Abu hanifah besarta pengikutnya, membagi hukum mut’ah itu kepada
tiga bagian :
a. Mut’ah itu dihukumi wajib

‫اوالها ان تكون واجبة وذلك عند الطالق قبل الدخول اذا مل يسم‬
‫هلا مهرا‬
Yang pertama mut’ah itu dihukumi wajib adalah apabila perceraiannya
terjadi sebelum didukhul, sedangkan si suami belum menyebutkan
maharnya.

b. Mut’ah itu dihukumi sunnat muakkad

‫والثانية سنة مؤكدة وهي الىت تكون اذا طلقها بعد الدخول وقد سم‬
‫هلا مهرا‬
Pendapat kedua, mut’ah hukumnya sunnat muakkad, adalah apabila isteri
telah dicerai setelah dicampuri dan disebutkan maharnya.

c. Mut’ah itu dihukumi sunnat

‫والثالثة ان تكون مستحبة وذلك اذا طلقها بعد الدخول ومل يسم هلا‬
‫مهرا‬
Menurut golongan yang ketiga berpendapat bahwa mut’ah itu hukumnya
sunnat, adalah apabila si suami menceraikan isterinya setalah
menggaulinya dan tidak disebutkan maharnya karena mut’ah ini sebagai
kebaikan dari kekasan talak.

3. Imam Malik, menguraikan atas pendapatnya

12
‫هي مندوب اليها وليست واجبة‬
Bahwa mut’ah itu hukumnya sunnat, tidak wajib.
Hal ini, Imam Malik, beralasan dengan memahami al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 235.
Selanjutnya, bahwa kalimat haqqan ’alal muttaqin, dalam akhir surat di
atas, Imam Malik mengatakan bahwa mut’ah dihukumi wajib, kepada setiap
isteri yang dicerai.
Selain yang dijelaskan di atas, dan ada keterangan di dalam kitab
Bidayat Al-Mujtahid, hal ini sebagaimana pendapat Imam malik memiliki
alasannya :

‫واّم ا مالك فأنه محل االمر باملتعة على الندب لقوله تعاىل ىف اخر األية‬
‫حقا على احملسنني واألحسان ليس بواجب‬
Bahwa mut’ah itu hukumnya sunnat, seperti halnya tersurat dalam firman
Allah, surat Al-Baqarah akhir ayat 236, yaitu ketentuan bagi orang-orang
yang berbuat kebajikan itu tidak wajib.

Ulama terbagi 2 kubu besar dalam masalah hukum mut’ah talak ini :
Pertama Sunnah. Artinya bahwa hukum mut’ah ini sebenarnya tidak wajib dan
boleh ditinggalkan. Mampu atau tidak mampu si bekas atau mantan suami itu, ia
boleh tidak memberikan mut’ah kepada bekas isterinya. Pendapat ini aialah
pendapat Mazhab Imam Malik.
Mazhab ini berpendapat atas kesunnahan mut’ah itu berdasarkan ayat yang
telah disebutkan di atas tadi. Perintahnya memang jelas, yaitu perintah untuk
mut’ah, tetapi di akhir ayat Allah SWT menerangkan kalau itu ialah “kewajiban
bagi mereka yang berbuat baik”, “haqqan ‘alal muhsinin”. Kata Al-Muhsinin
dsalam bahasa Arab berarti “ia yang berbuat baik” atau ia yang melakukan
tambahan kebaikan.
Mazhab ini, seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqihnya
beranggapan dengan ujung ayat tersebut, bahwa mut’ah itu hanya bagi mereka
yang ingin berbuat baik saja. Artinya kewajibannya tidak mencakup semua

13
muslim, hanya bagi yang ingin menambah kebaikannya (pahala). (Bidayatul
Mujtahud, 438).
Kedua : Wajib. Ini pendapat yang dianut oleh kebanyak mazhab fiqih;
Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Namun kewajibannya tidak mutlak. Ya ini wajib
bagi beberapa orang yang termasuk dalam katagori yang sudah ditentukan.
Artinya kalau ada lelaki yang menceraikan istrinya tetapi dia bukan termasuk
dalam katagori orang yang wajib bayar mut’ah (menurut masing-masing mazhab),
maka tidak ada kewajiban baginya.
Kriteria seseorang yang wajib membayar mut’ah menurut 3 mazhab fiqih
di atas juga berbeda-beda :
1. Mazhab Hanafi
Menurut pendapat mazhab ini, yang wajib bayar mut’ah ialah hanya
bagi lelaki yang menceraikan istrinya dan mereka belum bersetubuh
(berhubungan) layaknya suami istri. Dan si bekas suami itu juga belum
menentukan jumlah maharnya selama pernikahan itu.
Dalilnya aialah ayat 236 surat Al-Baqarah yang telah disebutkan tadi
sebagai dasar hukum mut’ah. Bahwasanya al-Qur’an telah menjelaskan
kondisi masing-masing lelaki ketika ia menceraikan istri-istri mereka, laki-laki
yang menceraikan istrinya dan ia telah menggaulinya, dia harus membayar
maharnya secara full.
Yang menceraikan dan sudah menggauli namun belum menentukan
maharnya, maka ia wajib bayar maharnya itu sebesar mahar mitsli mahar yang
sepadan). Yang menceraikan namun belum pernah menggauli akan tetapi ia
sudah menentukan maharnya, maka ia wajib bayar setengah dari yang telah
ditentukan itu.
Tinggallah si laki-laki yang menceraikan istrinya itu sedang ia belum
menggaulinya dan belum juga menentukan maharnya. Maka hukumnya ialah
wajib membayar mut’ah.
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang
belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu beri mereka mut’ah, bagi yang mampu menurut
kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu

14
pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-
orang yang berbuat kebaikan (muhsin)”. (QS. Al-Baqarah:236)
2. Mazhab Syafi’i
Sebenarnya mazhab Syafi’i mempunyai dua riwayat pendapat dalam
hal ini, pendapat pertama ialah sama seperti apa yang dikatakan oleh mazhab
Hanafi. Sedang pendapat kedua inilah yang pendapat yang masyhur dan yang
banyak dipegang oleh ulama.
Yaitu mut’ah ini wajib bagi semua laki-laki yang menceraikan istrinya
dan perceraian itu berasal darinya laki-laki (bukan khulu’), kecuali ia yang
menceraikan istrinya sedang ia belum menggaulinya namun ia sudah
menentukan maharnya. Artinya siapapun laki-laki yang menceraikan istrinya
selama ia bukan dalam keadaan yang disebutkan tadi, maka ia wajib
membayar mut’ah. Dan pendapat ini, menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya
Bidayatul Mujtahid, ialah pendapat yang banyak dipegang jumhur.
Dalil wajibnya ialah perintah yang telah tertera dalam ayat perintah
mut’ah itu sendiri. Ayat itu menunjukkan bahwa mut’ah itu wajib secara
umum, dan segala perintah dalam nash-nash syari’ah itu berarti suatu
kewajiban, maka jadilah mut’ah ini sebagai kewajiban.
Sedangkan kalimat “kewajiban bagi mereka yang berbuat baik”,
“haqqan ‘alal muhsinin”, pada ayat tersebut yang menurut mazhab Maliki ini
adalah kalimat yang merubah hukum wajib menjadi sunnah, tidaklah
demikian.
Justri kata “haqqan” itulah yang menjadikan mut’ah ini wajib, dan
kata “muhsinin” sebenarnya sama sekali bukanlah merubah kewajiban
menjadi sebuah kesunnahan, akan tetapi itu artinya memang orang yang
melakukan suatu kewajiban, ialah orang yang berbuat baik.
Kemudian kenapa ini tidak bagi ia yang menceraikan istrinya sedang ia
belum menggaulinya akan tetapi sudah menentukan maharnya? Kita lihat
kembali ayat yang menjadi dasar hukum mut’ah tersebut. Disitu disebutkan :
“Jika kalian menceraikan istri-istri kalian yang belum kalian sentuh (gauli),
atau belum kalian tentukan maharnya”. Kalau ia belum menggauli, dan belum
menentukan maharnya maka baginya mut’ah.

15
Sedang kalau yang sama-sama belum menggauli istrinya namun sudah
menentukan maharnya, hukumnya berbeda. Ia harus membayar maharnya
setengah dari yang telah ditentukan, dan mut’ah tidak lagi wajib baginya. Ini
berdasarkan firman Allah SWT yang artinya : “Dan jika kalian menceraikan
istri-istri kalian sedang kalian belum menggauli mereka, dan kalian telah
menentukan mahar untuk mereka, maka atas kalian setengah dari mahar yang
telah ditentukan tersebut …”. (QS Al-Baqarah:237)
3. Mazhab Hambali
Agak berbeda dengan mazhab-mazhab sebelumnya, mazhab Hambali
justru mengatakan bahwa dasar hukum mut’ah itu sunnah, sama seperti apa
yang dikatakan oleh mazhab Imam malik dan dalilnya pun sama.
Sedangkan mut’ah ini menjadi wajib hanya bagi mereka yang
menceraikan istri-istri mereka tetapi mereka belum menentukan mahar untuk
istri-istri mereka tersebut. Karena menurut mazhab Hambali, perempuan yang
diceraikan itu terbagi menjadi 2 kelompok. Pertama, kelompok perempuan
yang maharnya sudah ditentukan, dan yang kedua, ialah kelompok perempuan
yang maharnya belum ditentukan.
Bagi yang sudah ditentukan, maka bagi mereka mahar-mahar yang
sudah ditentukan itu. Sedang bagi yang belum ditentukan, maka itulah jatah
mut’ah bagi mereka.

C. Besaran Mut’ah
Selanjutnya mengenai ukuran pemberian mut’ah, Imam Asy-Syafi’i,
mengemukakan pendapatnya :

‫ احدمها اهنا شيئ نفس يعطيه الزوج‬: ‫املتعة عند الشافعى ىف تقديرها قوالن‬
.‫ الثاىن ان املتعة ثالثون درمها‬,‫الزوجة تطيبا هلا‬

Mut’ah menurut Imam Syafii mengenai ukurannya terbagi dua pendapat :


1. Mut’ah merupakan hal yang baik bagi suami untuk diberikan kepada isteri
menurut ketentuan yang pantas.
2. Besarnya mut’ah itu sebesar tiga puluh dirham.

16
Dalam nash-nash syari’ah, tidak pernah disebutkan berapa besaran atau
kisaran yang harus dibayarkan oleh seorang mantan suami kepada mantan istrinya
sebagai mut’ah. Semua tergantung atas kemampuan si suami.

‫ِف‬ ‫ِب‬ ‫ِس‬


‫َّوَم ِّتُعْوُه َّن َعَلى اْلُمْو ِع َقَد ُره‘ َو َعَلى اْلُم ْق ِرِت َقَد ُره‘ َم َتاًعا اْلَم ْعُرْو‬
“Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah, bagi yang mampu menurut
kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu
pemberian dengan cara yang baik”.

Artinya semua tergantung atas kemampuan dan kesanggupan si mantan


suami itu sendiri. Namun yang dipermasalahkan ialah ukuran apakah yang dipakai
untuk menentukan si orang ini termasuk dalam kategori mampu atau tidak.
Para ulama beranggapan bahwa kategori mampu itu tidak dalam satu level
yang sama, maksudnya ialah setiap daerah, setiap negara, setiap kampung punya
takaran sendiri, dan punya standarisasi sendiri kapan seseorang disebut mampu
dan kapan seseorang itu disebut tidak mampu. Artinya sesuai kondisi daerah
masing-masing.
Dan karena ini pula, para ulama menyerahkan urusan ini semua kepada
hakim setempat. Hakim inilah yang menentukan apakah ia termasuk mampu atau
bukan. Karena yang paling tahu kondisi daerah setempat ialah si hakim tersebut.
Tidak bisa kita menanyakan standarisasi “mampu” untuk orang Indonesia kepada
hakim yang ada di Saudi sana, tentu kondisi dan situasi masyarakatnya jauh
berbeda.

D. Hukum Mut’ah di Indonesia


Di negara kita yang kita cintai ini, hukum yang berhubungan dengan
pernikahan dan perceraian itu diatur semua oleh Undang-undang. Dan UU itu
menetapkan bahwa segala urusan pernikahan serta seluruh variannya yang
bersangkutan dengan nikah itu diatur dan diurusi oleh KUA (Kantor Urusan
Agama).
Dan KUA (Kantor Urusan Agama) yang mengurusi segala macam
permasalahan nikah itu memakai hukum dan qanun yang tertera dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) yang mana segala hukum yang tertulis di dalam buku
saku kecil ini dikeluarkan oleh Kementrian Agama RI. Dan hukum-hukum

17
tersebut telah dirumuskan oleh rapat dan siding yang dihadiri oleh ulama-ulama
se-Indonesia ini.
Mau tidak mau, kita harus tahu dan mengerti isi hukum yang terdapat
dalam buku saku kecil tersebut. Untuk masalah mut’ah ini sendiri sudah tertera
pada KHI (Kompilasi Hukum Islam), berbunyi seperti ini :
Mut’ah. Pasal 158 : Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan
syarat :
a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da al-dukhul;
b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159 : Mu’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut
pada pasal 158.
Pasal 160 : Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan
kemampuan suami.
Pasal 158 A mirip dengan pendapatnya mazhab Imam hanafi, sedangkan
pasal 158 B mengadopsi pendapatnya mazhab Imam Syafi’i. Kenapa harus tahu
ini? Ya harus tahu, karena hukum yang akan digunakan ketika seorang suami
ingin menceraikan isterinya ialah hukum KHI ini, karena semuanya diurus dan
dilayani oleh KUA. Kecuali jika kita berpindah kewarganegaraan dan bukan lagi
warga Indonesia. Kalau sudah begitu, pendapat imam manapun yang kita ambil ya
tidak jadi masalah.
Dan kalau nantinya, seorang mantan suami yang seharusnya memberikan
mut’ah kepada mantan isterinya, namun ia tidak memberikan mut’ah. Si mantan
isteri bisa saja melaporkan mantan suaminya tersebut kepada pengadilan. Dan
bukan suatu yang mustahil kalau si mantan suami itu akan dikenakan pidana
karena melanggar hukum yang telah ditetapkan di KUA tersebut.
BAB III
PUTUSNYA PERNIKAHAN DAN
AKIBAT YANG TIMBUL DARI PADANYA

Pada bab III ini, seyogianya diulas agar lebih terarah mengenai judul
pemakalah di atas, karena adanya mut’ah itu, awal-awal kejadiannya dari
putusnya sebuah perkawinan yang telah dijalani sekian lamanya dalam perjalanan

18
sebuah bahtera rumah tangga. Maka untuk itu kiranya penulis ingin memaparkan
bab III ini, yang diantaranya adalah :
Dalam masalah putus perkawinan ini dapat dibedakan antara cerai talak
dan cerai gugat, berkaitan dengan hak dan kewajiban yang diakibatkan putus
perkawinan itu.
Adapun hal-hal yang dapat memutuskan perkawinan ialah :
1. Karena salah satu suami isteri meninggal.
2. Karena talak.
3. Karena fasah, yakni salah satu diantara suami isteri itu merusak ke pengadilan
tentang perkawinan itu.
4. Karena khulu’.
5. Karena li’an.
6. karena ‘ila.
Untuk lebih jelasnya, akan diurakan seperti yang terangkum di bawah ini :
A. Pengertian Talak
Kata talak berasal dari kata itlaq, artinya melepaskan atau meninggalkan.
Kata thalaq (Arab) telah diserap ke dalam bahasa Indonesia talak, yang berarti
cerai atau perceraian. Dalam istilah agama, talak berarti melepaskan ikatan
perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan, seperti disebutkan Syekh
Sayyid Sabiq, dalam bukunya Fiqh As-Sunnah, beliau menyebutkan bahwa talak
atau cerai adalah :

‫ُّل اِبَطِة الَّز اِج ِأ اِء اْل َالَقِة الَّز ِج َّيِة‬


‫ْو‬ ‫َو َو ْنَه َع‬ ‫َح َر‬
Artinya : “melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami
isteri”.

Adapun cara menjatuhkan talak itu terbagi dua macam, yaitu :


1. Talak sorekh atau jelas, yaitu dengan ucapan yang jelas menunjukkan talak,
seperti dengan kalimat : talak atau serah atau pirak. Seperti : Saya
menjatuhkan talak atau pirak kepada isteri saya bernama ….. sekarang ini
dengan sekian…..talakan, atau seperti kata suami kepada isterinya : Engkau
sekarang saya talak, dan sebagainya.
Dengan ucapan semacam itu baik disengaja maupun tidak atau sambil
marah atau sambil bermain-main, jatuh saja talaknya.

19
Apa yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW :

)‫ (رواه األربعة‬.‫َوالَّرْجَعُة‬ ‫َثَالٌث ِج ُّد ُه َّن ِج ٌّد َوَهْزُهُلَّن ِج ٌّد َالِّنَك اُح َوالَّطَالُق‬
Artinya : “Tiga macam ucapan : sungguh-sungguhnya dianggap jadi dan
bermain-mainnya pun dianggap sungguh-sungguh, yaitu nikah,
talak, rujuk”.

2. Talak kinayah, yaitu ucapan yang tidak jelas mengenai talak, akan tetapi
mengandung maksud talak atau cerai, seperti kata suami kepada isterinya :
Engkau sekarang haram bagiku atau engkau sekarang bebas dari kewajibanku
atau engkau sekarang sudah bukan isteriku. Ucapan itu bisa menjatuhkan talak
kalau disertai dengan niat menalak. Kalau tidak diserati niat menalak, tidak
jatuh talaknya.
Masalah talak meskipun dibolehkan namun karena kelanggengan suatu
perkawinan itu yang diharapkan, maka kebolehan tersebut tidak mutlak, tetapi di
dalamnya mengandung sifat yang tidak disukai oleh Allah SWT (bersifat makruh).
Hal ini dapat dilihat dari berbagai sabda Rasulullah SAW, yang di antaranya
berbunyi :

)‫(رواه ابو داود واحلاكم‬ . ‫َاْبَغُض اَحْلَالَل ِعْنَد اِهلل الَّطَالُق‬

Artinya : “Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah, ialah talak”.
Mengingat perceraian bukanlah tujuan utama dari adanya perkawinan dan
Allah SWT pun mengkategorikannya sebagai perbuatan halal namun sangat
dibenci, maka hendaknya diusahakan untuk tidak menganggap sepele masalah ini.
Adanya talak atau perceraian dalam Islam hanyalah satu alternatif dalam
memecahkan suatu bahaya akibat tetapnya suatu ikatan perkawinan namun tidak
didasari norma-norma agama atau tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah,
sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya :

‫َال ِحَي ُّل َلُك َاْن َتْأ ُذ ا َّمِمآ ا ُت َّن َش ا ِاآل َاْن َخَّياَفآ َاَّال ِق ا ُد اِهلل‬
‫ُي ْيَم ُح ْو َد‬ ‫ُخ ْو َتْي ُم ْوُه ْيًئ‬ ‫ْم‬ ‫َو‬
.‫َفِأْن ِخ ْف ُتْم َاَّال ُيِق ْيَم ا ُح ُد ْو َد اِهلل َفَال ُج َناَح َعَلْيِه َم ا ِفْيَم ا اْفَتَد ْت ِبه‬
Artinya : “TIdak halal bagi kamu mengambil kembali dari suatu yang telah kamu
berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan

20
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya”. (QS. Al-Baqarah:229)

B. Dasar Hukum Talak


Untuk memahami mengenai talak, alangkah baiknya dijelaskan tentang
dasar hukum perceraian atau talak adalah sebagai berikut :
1. Al-Qur’an surat Ath-Thalaq ayat 6, yang berbunyi :

‫َاْس ِكُنْوُه َّن ِم ْن َح ْيُث َس َك ْنُتْم ِّم ْن ُّوْج ِدُك ْم َوَالُتَض اُّرْو ُه َّن ِلُتَض ِّيُقْوا َعَلْيِه َّن‬
‫َلُك‬ ‫َا‬ ‫ْن‬ ‫َل َّن َف ِأ‬ ‫َّن‬ ‫ِه‬ ‫َل‬ ‫ا‬ ‫ُق‬ ‫ِاْن ُكَّن ُا َالِت ٍل َف َأْنِف‬
‫ْر َن ْم‬ ‫ْع‬ ‫َض‬ ‫ْمَح‬ ‫ْع‬ ‫َض‬
‫ْو ْي َح َي َن ُه‬ ‫ىّت‬ ‫َع‬ ‫ْو ْمَح‬ ‫َو‬
‫َفأُتْوُه َّن ُاُج ْوَرُه َّن َوْأِمَتُرْو ا َبْيَنُك ْم َمِبْع ُرْو ٍف َوِاْن َتَعاَسْرْمُت َفَس ُتْرِض ُع َله‘ ُاْخ رى‬
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (istri-istri yang
sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada
mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. Ath-
Thalaq:6)

2. Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 49 :

‫ْوُه َّن ِم ْن َقْب ِل َاْن‬ ‫ْق‬‫َّل‬


‫َط‬ ‫َّمُث‬ ‫آُّي ا اَّل ِذ ا آ ِاَذا َنَك ُت اْل ْؤ ِم َن اِت‬
‫ُم‬‫ُت‬ ‫ْح ُم ُم‬ ‫ْيَن َم ُنْو‬ ‫َي َه‬
‫َو َس ِّرُحْوُه َّن َس َراًح ا‬ ‫َمَتُّس ْوُه َّن َفَم اَلُك ْم َعَلْيِه َّن ِم ْن ِع َّد ٍة َتْع َت ُّد ْو َنَه ا َفَم ِّتُع ْوُه َّن‬
‫ِمَج ْيًال‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka tidak ada masa iddah atas
mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka
mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-
baiknya”. (QS. Al-Ahzab:49)

Ayat al-Qur’an yang terlengkap membahas talak adalah surat al-Baqarah


ayat 227-232. ayat-ayatnya membahas jenis-jenis talak, masa iddah, dan

21
kewajiban suami yang menalak istrinya, sehingga perceraian yang dilakukan oleh
kedua belah pihak bukan aniaya upaya menghancurkan kehidupan istri atau
sebaliknya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 227 disebutkan :

‫ِاْن وا الَّطَالَق َفِأَّن ا ِمَس ِل‬


‫َهلل ْيٌع َع ْيٌم‬ ‫َو َعَزُم‬
Artinya : “Dan jika mereka bertetap hati untuk menjatuhkan talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS
Al-Baqarah:227)

Demikian pula dalam ayat 228 yang berbunyi :

‫ٍء ِحَي‬ ‫ِب ِس‬ ‫ِت‬


‫َواْلُم َطَّلَق ا َيَتَرَّبْص َن َأْنُف ِه َّن َثَالَثَة ُقُرْو َوَال ُّل ُهَلَّن َاْن َّيْك ُتْم َن َم اَخ َلَق اُهلل‬
‫ِل‬ ‫ِه‬ ‫ِم‬ ‫ِا‬
‫ىِف َاْرَح اِم ِه َّن ْن ُكَّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهلل َواْلَيْو ْاألِخ ِر َو ُبُع ْو َلُتُه َّن َاَح ُّق ِبَرِّد َّن ىِف ذ َك‬
‫ِاْن َاَراُدوآ ِاْص َالًح ا َو ُهَلَّن ِم ْث ُل اَّل ِذْي َعَلْيِه َّن ِب اْلَم ْعُرْو ِف َو ِللِّرَج اِل َعَلْيِه َّن َدَرَج ٌة‬
‫ا ِز ِك‬
‫َو ُهلل َع ْيٌز َح ٌم‬
‫ْي‬
Artinya : “Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan
para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi
maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah:228)

Surat al-Baqarah ayat 229 :

‫َالَّطَالُق َم َّرَتاِن َفِأْم َس اٌك َمِبْع ُرْو ٍف َاْو َتْس ِرْيٌح ِبِأْح َس اٍن َوَال ِحَي ُّل َلُك ْم َاْن َتْأُخ ُذ ْو ا‬
‫َّمِمآ اَتْيُتُم ْوُه َّن َش ْيًئا ِاآل َاْن َخَّياَف آ َاَّال ُيِق ْيَم ا ُح ُد ْو َد اِهلل َف ِأْن ِخ ْف ُتْم َاَّال ُيِق ْيَم ا‬
‫ُح ُد ْو َد اِهلل َفَال ُج َن اَح َعَلْيِه َم ا ِفْيَم ا اْفَتَد ْت ِب ه ِتْل َك ُح ُد ْو ُد اِهلل َفَال َتْع َتُد ْو َه ا‬
. ‫َو َمْن َيَتَعَّد ُح ُد ْو َد اِهلل َفُأوَلِئَك ُه ُم الَّظاِلُمْو َن‬
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari suatu yang telah kamu
berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan

22
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah,
maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim”.
(QS. Al-Baqarah:229)

Selain al-Qur’an yang menjadi dasar hukum talak atau perceraian, ada
pula hadits Nabi SAW, yaitu sebagai berikut :
1. Hadits riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim :

‫ ََا َغ ا َالَل ِعْنَد اِهلل‬: ‫ِن الَّن َّلى ا َل ِه َّل َق اَل‬


‫ْب ُض َحْل‬ ‫َعِن اْبِن ُعَمَر َع ِّيِب َص ُهلل َع ْي َو َس َم‬
)‫ (رواه ابو داود وابن ماجه وصححه احلاكم‬. ‫الَّطَالُق‬

Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda :


Sesuatu yang halal tetapi dibenci oleh Allah SWT adalah talak”.
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, disahkan oleh Al-Hakim)

2. Hadits riwayat An-Nasa’i dan Muslim :

‫ِل‬ ‫ِل‬ ‫ِه‬ ‫ِا‬


‫ َاَّن اْبَن ُعَم َر َطَل َق ْم َرَأًة َل ُه َو َي َح اِئٌض َتْط ْيَق ًة َف َذَك َر ذ َك‬:‫َوىِف ِرَواَي ٍة‬
‫ ُم ْرُه َفْلُيَراِج ْع َه ا َّمُث ِلُيَطِّلَق َه ا ِاَذا‬: ‫ُعَم ُر ِلَنِّيِب َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم فَق اَل‬
)‫ (رواه مسلم والنسائى‬. ‫َطُه ْت َاْو َوِه َح اِم‬
‫َي ٌل‬ ‫َر‬
Artinya : “Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ibnu Umar menalak salah
seorang istrinya di masa haid dengan sekali talak. Lalu, Umar
menyampaikan hal itu kepada Rasulullah SAW maka berliau
bersabda : Suruhlah dia merujuknya, kemudian bolehlah ia
menalaknya jika telah suci atau ketika ia hamil”. (HR. Imam
Muslim, Nasa’i dalam Shahih Muslim)

Tiap-tiap orang yang merdeka berhak menalak istrinya dari talak satu
sampai talak tiga. Talak satu atau dua masih boleh rujuk (kembali) sebelum habis
iddahnya, dan boleh menikah kembali sesudah iddah. Firman Allah SWT dalam
surat Al-Baqarah ayat 229 :

‫اٍن‬ ‫َالَّطَالُق َّرَتاِن َفِأ اٌك ٍف َا َت ِر ِبِأ‬


‫ْم َس َمِبْع ُرْو ْو ْس ْيٌح َس‬
‫ْح‬ ‫َم‬

23
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
(QS. Al-Baqarah:229)

Adapun talak tiga tidak boleh rujuk atau kawin kembali, kecuali apabila si
perempuan telah menikah dengan orang lain dan telah ditalak pula oleh suaminya
yang kedua. Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 230 menyebutkan :

‫ِق‬ ‫ِا‬ ‫ِأ‬


‫َف ْن َطَّلَق َه ا َفَال ُج َناَح َعَلْيِه َم ا َاْن َيَتَراَجَع آ ْن َظَّنآ َاْن ُي ْيَم ا ُح ُد ْو َد اِهلل َو ِتْل َك‬
‫ُح ُد ْو ُد اِهلل ُيَبِّيُنَه ا ِلَق ْو ٍم َيْع َلُمْو َن‬
Artinya : “Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya maka tidak ada
dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) menikah kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang berlaku bagi keduanya dan bagi
kaum yang mengetahui”. (QS. Al-Baqarah:230)

Memang, perempuan itu boleh menikah kembali dengan suami pertama


jika perempuan itu sudah menikah dengan laki-laki lain, serta sudah bercampur
dan sudah diceraikan oleh suaminya yang kedua itu, dan sudah habis pula
iddahnya dari perceraian yang kedua, tetapi perlu kita ingat, hendaklah pernikahan
kedua itu dengan benar-benar menurut kemauan laki-laki yang kedua, dan benar-
benar karena kesukaan perempuan, bukan karena kehendak suami yang pertama.
Tegasnya, bukan dengan maksud supaya ia dapat menikah kembali dengan laki-
laki yang pertama, betul-betul dengan niat akan kekal, tetapi nasib tidak
mengizinkan pernikahan kedua ini kekal. Adapun kalau disengaja supaya dia
dapat kembali kepada suami pertama, perbuatan seperti ini tidak diizinkan oleh
agama Islam, bahkan dimurkai oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dalam
hadits Rasulullah SAW dinyatakan :

)‫(رواه أمحد والنسائى‬ .‫َلَعَن اُهلل اْلُم َح ِّلَل َواْلُم َح َّلَل َلُه‬
Artinya : “Allah mengutuk al-muhallil (suami lain yang menghalalkan suami
pertama untuk menikahi bekas istrinya yang telah dicerai 3 kali) dan
muhallal-lah (suami pertama)”. (HR. Ahmad dan Nasa’i)

Hadits kedua dari Abdullah bin Mas’ud adalah hadits yang sama yang
menjelaskan bahwa melakukan nikah tahlil hukumnya haram, bahkan Rasulullah

24
SAW melaknatnya, sehingga laki-laki dan perempuannya dianggap telah
melakukan perbuatan terkutuk.

‫ َلَعَن َرُس ْو ُل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم َاْلُم َح ِّل‬: ‫َعْن َعْب ِد اِهلل ْبِن َم ْس ُعْو ٍد َق اَل‬
‫َل‬
)‫ (رواه الرتمذى‬.‫َواْلُم َح َّل َلُه‬
‫َل‬
Artinya : “Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata bahwa Rasulullah SAW melaknat
muhallil dan muhallalnya”. (HR. Tirmidzi)

Pendapat tersebut dipegang oleh kalangan ulama dari para sahabat,


misalnya Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Umar dan lain-lain,
juga merupakan pendapat fuqoha dari golongan tabi’in.
Hadits lainnya adalah yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin Amir, yang
menyebutkan :

,‫ ُه َو َاْلُم َح ِّل ُل‬: ‫ َق اَل‬,‫ َبَلى َياَرُس ْو َل اِهلل‬:‫َاَال ُأْخ ُرِبُك ْم ِب الَّتْيِس اْلُمْس َتَعاِر َق اُلْوا‬
)‫ (رواه ابن ماجه واحلاكم‬.‫َلَعَن اُهلل اْلُم َح ِّل َواْلُم َح َّل َلُه‬
‫َل‬ ‫َل‬
Artinya : “Maukah kamu saya beri tahu tentang kambing pinjaman? Para
sahabat menjawab, “mau ya Rasulullah”. Sabdanya yaitu muhallil.
Allah melaknat muhallil dan muhallalnya”. (HR. Ibnu Majah dan
Hakim)

Hadits berikutnya adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang


menyebutkan :

: ‫َعِن اْبِن َعَّباٍس َاَّن َرُس ْو َل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم ُس ِئَل َعِن اْلُم َح ِّل ِل َفَق اَل‬
‫ َالِّنَك اُح ُرْغ َب ٌة َال َدْلَس ٌة َوَال اْس ِتْهَزاٌء ِبِكَت اِب اِهلل َع َّز َوَج َّل َح ىَّت َت ُذ ْو َق‬,‫َال‬
)‫ (رواه ابو اسحاق اجلرجاىن‬.‫َعِس ْيَلَتُه‬

Artinya : “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang muhallil
(kawin cinta buta) jawabnya, “tidak boleh. Kawin itu harus sungguh-
sungguh, tidak boleh ada tipuan dan tidak boleh mempermainkan hukum
Allah. Jadi, haruslah benar-benar merasakan madu kecilnya
(bersenggama)”. (HR. Abu Ishaq Al-Jurjani)

25
Dengan hadits-hadits tersebut, jelas bahwa muhallil merupakan perbuatan
terkutuk karena mempermainkan nafsu syahwat, bahkan seorang istri telah ditipu
oleh suaminya sendiri, atau antara keduanya telah bersepakat untuk melakukan
perbuatan hina tersebut.
Talak tiga dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :
1. Menjatuhkan talak tiga kali pada masa yang berlainan. Misalnya seorang
suami menalak istrinya, lalu pada masa iddah ditalak lagi talak satu, dan pada
masa iddah kedua ini ditalak lagi satu.
2. Seorang suami menalak istrinya dengan talak satu, sesudah habis iddahnya
dinikahinya lagi, kemudian ditalak lagi; setelah habis masa iddahnya, dinikahi
lagi, kemudian ditalak lagi ketiga kalinya. Dalam kedua cara tersebut, para
ulama sepakat bahwa talak jatuh menjadi talak tiga, dan berlaku hukum talak
tiga seperti yang dijelaskan di atas.
3. Suami menalak istrinya dengan ucapan “Saya talak engkau tiga”, atau “Saya
talak engkau, saya talak engkau, saya talak engkau”. Diulang-ulangnya
kalimat talak itu tiga kali berturut-turut.
Mengenai cara ketiga, ulama berbeda-beda pendapat :
Pendapat pertama, jatuh talak tiga, berlaku segala hukum talak tiga seperti
di atas. Sabda Rasulullah SAW, dari Hasan, ia berkata “Abdullah bin Umar telah
bercerita kepada kami bahwa dia telah menalak istrinya dengan talak satu ketika
istrinya sedang haid, kemudian Abdullah bermaksud menjatuhkan dua talak lagi
pada masa iddah. Ketika perkara Abdullah itu disampaikan orang kepada
Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Hai Ibnu Umar, tidaklah begitu perintah
Allah. Sesungguhnya engkau telah menyalahi sunnah, sebaiknya ditalak waktu
suci”. Abdullah berkata, “Rasulullah menyuruh saya untuk rujuk kepadanya,
maka saya rujuk istri saya. Kemudian, Rasulullah bersabda, “Apabila ia suci,
talaklah pada waktu itu, atau teruskanlah pernikahanmu dengan baik”. Abdullah
bertanya, “Bagaimana ya Rasulullah, kalau saya talak istri saya dengan talak tiga?
Apakah boleh saya rujuk kepadanya?” Jawab Rasulullah SAW, “Tidak boleh, ia
sudah bain, dan engkau berbuat maksiat (melanggar hukum)”. (HR. Daruquthni)
Kedua, tidak jatuh sama sekali, artinya istrinya itu belum ditalak. Sabda
Rasulullah SAW.

26
)‫(رواه مسلم‬ .‫َو َمْن َعِم َل َعَم ًال َلْيَس َعَلْيِه َأْم ُرَنا َفُه َو َرٌّد‬
Artinya : “Barang siapa mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan
perintah kami, maka pekerjaan itu ditolak”. (HR. Muslim)

Talak tiga bukanlah perintah Rasulullah SAW, bahkan dilarang oleh beliau.
Oleh karena itu, talak tiga ditolak, berarti tidak sah.
Pendapat ketiga, jatuh talak satu. Dalam hal ini, berlaku hukum talak satu
seperti di atas, dan suami masih boleh rujuk kembali kepada istrinya. Sabda
Rasulullah SAW :
‫ِلِب ِا‬ ‫ِد ِد‬
‫ َطَّل َق ُرَك اَنُة ْبِن َعْب َيِزْي َاُخ و اْلُم َّط ْم َرَأَت ُه َثَالًث ا ْيِف‬: ‫َعِن اْبِن َعَّب اٍس َق اَل‬
‫ُل اِهلل َّلى ا َل ِه‬ ‫ِد‬ ‫ِل ِح ٍد‬
‫َص ُهلل َع ْي‬ ‫ َفَس َأَلُه َرُس ْو‬: ‫ َقاَل‬,‫ْجَم ٍس َوا َفَح ِزَن َعَلْيَه اُح ْزًنا َش ْيًد ا‬
: ‫ َقاَل‬,‫ َفَق اَل ىِف ْجَمِلٍس َواِح ٍد‬: ‫ َقاَل‬,‫ َطَّلْق ُتَه ا َثَالًثا‬: ‫ َقاَل‬,‫َو َس َّلَم َك ْيَف َطَّلْق َتَه ا‬
)‫ (رواه أمحد وابو يعلى‬.‫ َفِأَمَّنا ِتْلَك َواِح َد ٌة َفاْرِج ْع َه ا‬: ‫ َقاَل‬, ‫َنَعْم‬

Artinya : “Dari Ibnu Abbas, Sesungguhnya Rukanah telah menalak istrinya


dengan talak tiga pada satu waktu, kemudian ia merasa sangat sedih
atas perceraian itu. Nabi SAW bertanya kepadanya, “Bagaimana
caramu menalaknya” Jawab Rukanah “Talak tiga pada suatu ketika
(sekaligus)”. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya talak yang
demikian itu talak satu. Rujuklah engkau kepadanya”. (HR. Ahmad dan
Abu Ya’la, menurutnya hadits ini shahih)

Dari Ibnu Abbas, dia bercerita, “Pada masa Abu Bakar dan dua tahun pada
masa Khalifah Umar, berkata Umar, “Manusia suka terburu-buru pada urusan
mereka yang telah mereka putuskan. Kalau kita teruskan kehendak mereka, akan
teruslah merugikan mereka”. HR. Ahmad dan Muslim.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 229 :

‫اٍن‬ ‫َالَّطَالُق َّرَتاِن َفِأ اٌك ٍف َا َت ِر ِبِأ‬


‫ْم َس َمِبْع ُرْو ْو ْس ْيٌح َس‬
‫ْح‬ ‫َم‬
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
(QS. Al-Baqarah:229)

27
Dalam ayat tersebut, jelaslah bahwa talak itu dua kali, berarti terpisah
antara yang satu dan yang lain, tidak dapat diucapkan dalam satu perkataan untuk
menyatakan tiga kali.
Terkadang digunakan pula istisna. Istisna artinya mengurangkan maksud
perkataan yang telah terdahulu dengan perkataan yang kemudian. Istisna dalam
kalimat talak hukumnya sah, dengan syarat perkataan yang pertama berhubungan
dengan yang kedua, dan kalimat yang kedua tidak menghabisi maksud kalimat
pertama. Umpamanya si suami berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak tiga,
kecuali satu”, maka jatuhlah talak dua. Akan tetapi, kalau dikatakannya, “Engkau
ditalak tiga, kecuali tiga”, jatuh talak tiga karena kalimat kedua menghabiskan
maksud kalimat pertama.
Orang yang tidak sah menjatuhkan talak ada empat macam; (1) anak kecil,
(2) orang gila, (3) orang yang tidur, (4) orang yang dipaksa.
Keterangan pertama, kedua, dan ketiga adalah sabda Rasulullah SAW :

‫ َعِن الَّن اِئِم َح ىَّت َيْس َتْيِق َظ َو َعِن الَّص ِّيِب َح ىَّت ْحَيَتِلَم َو َعِن‬:‫َثَالَث ٍة‬ ‫َع‬ ‫َل‬
‫ُر َع ُم ْن‬ ‫َق‬‫ْل‬‫ا‬ ‫ِف‬
)‫ (رواه ابو داود والرتمذى‬. ‫َيْع ِق‬ ‫اْلَم ْج ُنْو ِن َح ىَّت‬
‫َل‬
Artinya : “Perbuatan tiga orang ini dipandang tidak sah, yaitu : (1) orang tidur
sampai dia bangun, (2) anak kecil hingga dia baligh, (3) orang gila
hingga dia sembuh”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Adapun mengenai orang yang dipaksa beralasan pada Nabi Muhammad


SAW :

)‫(رواه أبو داود وابن ماجه‬ . ‫َالَطَالَق َوَالَعَتاَق ْيِف ِغَالٍق‬


Artinya : “Tidak sah talak dan memerdekakan bagi orang yang dipaksa”. (HR.
Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Para ulama berbeda pendapat tentang talak yang dijatuhkan karena sebab-
sebab di bawah ini :
1. Talak karena paksaan,
2. Talak ketika mabuk,
3. Talak main-main,
4. Talak waktu marah,

28
5. Talak waktu lalai dan lupa,
6. Talak ketika tidak sadarkan diri.
Sebagai penjelasannya, di bawah ini terurai sebagai berikut :
1. Talak Karena Paksaan
Paksaaan atau terpaksa berarti bukan dengan kehendak dan pilihannya
sendiri. Kehendak dan pilihan merupakan dasar taklif (pembebanan agama).
Jika dua hal tersebut tidak ada, taklif juga tidak ada. Orang yang terpaksa
tidak bertanggung jawab atas segala tindakannya karena dia tidak mempunyai
kehendak, sehingga secara objektif dipandang melakukan kemauan
pemaksaan. Sebagaimana dalam suatu keterangan dikatakan bahwa barang
siapa dipaksa mengucapkan kata-kata “kufur”, dia tidak menjadi kufur karena
itu. (Sayyid Sabiq, 1988:18)
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 106 :

‫ِئ ِب ِأل ِن ِك‬ ‫ِب ِهلل ِم ِد ِا ِن ِا‬


‫َمْن َك َف َر ا ْن َبْع َمْيا ه َّال َمْن ُاْك ِرَه َو َقْلُب ه‘ ُمْطَم ٌّن ْا َمْيا َو ل ْن‬
‫ِظ‬ ‫ِم ِهلل‬ ‫ِه‬ ‫ِب‬
‫َّم ْن َش َرَح اْلُك ْف ِر َص ْد ًرا َفَعَلْي ْم َغَض ٌب َن ا َو ُهَلْم َعَذ اٌب َع ْيٌم‬
Artinya : “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir,
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan
tetapi, orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS.
An-Nahl:106)

Talak yang dilakukan suami karena terpaksa atau dipaksa hukumnya


tidak sah, sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad,
dan Imam Abu dawud dan para fuqoha pada umumnya, Umar bin Khattab,
Abdullah bin Umar, Ali, dan Ibnu Abbas.
Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa talak karena
paksaan, hukumnya sah, karena tidak ada dalil yang menyatakan talak karena
paksaan tidak sah, bahkan pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat
jumhur sahabat Nabi SAW. Akan tetapi, pendapat Imam Abu Hanifah ini
bertentangan dengan hadits Nabi SAW :

29
‫ ِف‬: ‫َل اِهلل َّلى ا َل ِه َّل َق اَل‬
‫ُء‬ ‫ا‬ ‫َط‬‫َخْل‬ ‫ا‬ ‫ىِت‬ ‫َّم‬
‫ُا‬ ‫ْن‬ ‫َع‬ ‫َع‬ ‫ُر‬ ‫َص ُهلل َع ْي َو َس َم‬ ‫ُرِوَي َاَّن َرُس ْو‬
)‫ (رواه ابن ماجه وابن حبان والدارقطىن والطربى واحلاكم‬.‫َوالِّنْس َياُن َو َم ااْس ُتْك ِرُه ْو ا َعَلْيِه‬

Artinya : “Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Umatku terbatas dari


akibat hukum karena perbuatan yang keliru (khilaf), karena lupa,
dan bagi mereka yang dipaksa untuk berbuat sesuatu”. (HR.
Daruquthni, Thabrani dan Hakim)

2. Talak Ketika Mabuk


Para fuqoha berpendapat bahwa talak ketika mabuk hukumnya sah,
karena mabuknya disebabkan oleh keinginannya sendiri. Bagi suami
pemabuk, apabila ia mengucapkan talak kepada istrinya, talaknya jatuh
seketika dan sah sebagai talak.
Ulama lainnya berpendapat bahwa talaknya tidak sah, karena orang
yang mabuk sedang hilang ingatan dan kedudukannya tidak jauh berbeda
dengan orang gila. Kedua orang ini sama-sama kehilangan akal, dan orang
yang dipandang sebagai mukallaf harus orang yang berakal. Sebagaimana
orang yang sedang mabuk lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Allah
berfirman dalam surat An-Nisa ayat 43 :

‫َيآُّيَه ا اَّلِذْيَن اَم ُنْوآ َال َتْق َرُبوا الَّص لوَة َوَاْنُتْم ُس كرى َح ىّت َتْع َلُمْوا َم ا َتُقْو ُلْو َن‬
Artinya : “Hai orang-orang beriman! Janganlah kamu dekati shalat, padahal
kamu sedang mabuk, sehingga kamu tahu apa yang kamu katakana”.
(QS. An-Nisa:43)

Menurut Utsman bin Affan dan semua sahabat, talak ketika mabuk
tidak sah. Ini juga menjadi pendapat Yahya bin Said Al-Anshari, Humaid bin
Abdurrahman, Rabi’ah, laits bin Sa’ad, Abdullah bin Husain, Ishaq bin
Rahawaih, Abu Tsaur, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, pendapat semua alihan
Zhahiri, pendapat Abu Ja’far Thahawi dan Abu Hasan Al-Karkhi dari mazhab
Hanafi. Menurut Sayyid Sabiq (1988:20), semua sepakat bahwa orang yang
mabuk dan mengucapkan talak, maka talaknya sia-sia atau tidak sah.
Pendapat pada ulama di atas diperkuat oleh Imam Asy-Syaukani
bahwa orang yang mabuk terkena sanksi ta’zir, dan jika orang yang sedang
mabuh menjatuhkan talak, tentu bukan hanya talaknya tidak sah, sanksinya

30
harus ditambah, karena ia bukan hanya kehilangan akalnya dengan minuman
haram, bahkan ia telah merusak tali perkawinan dengan istrinya dan mencerai-
beraikan hubungan kasih sayang dengan keluarganya. Dalam hal inilah,
menurut Sayyid Sabiq, pengadilan di Mesir menetapkan tentang tidak sahnya
talak yang dijatuhkan oleh suami yang sedang mabuk.
3. Talak Ketika Sedang Marah
Talak yang diucapkan dalam kemarahan yang mengakibatkan tidak
terkontrolnya ucapan dan tidak menyadari apa yang dikatakannya, adalah
tidak sah karena kemauan sehatnya hilang. Orang yang marah membabi buta,
menurut Sayyid Sabiq, sama dengan orang yang tertutup akalnya, sehingga ia
tidak berbeda dengan orang yang gila. Akan tetapi, kemarahan yang tidak
sampai menutup akal dan hatinya, seperti kemarahan yang terkendali dank
arena Allah, maka talaknya sah.
Menurut Ibnu Taimiyah, “Tertutu akal itu hakikatnya adalah seseorang
yang hatinya tertutup (tidak sadar) sehingga keluar ucapan yang tidak
dimaksudkannya atau tidak disadarinya, seolah-olah maksud dan kemauannya
tertutup. Termasuk dalam pengertian tertutup akalnya yaitu talak karena
paksaan, gila, orang yang hilang akalnya karena mabuk atau marah, semua
ucapan yang tidak disengaja dan ucapan-ucapan yang tidak disadari. Jika
keadaan demikian, talaknya tidak sah (Sayyid Sabiq, 1988:21).
Marah yang dialami manusia ada tiga macam akibat, yaitu :
a. Yang menghilangkan akal, sehingga apa yang dikatakannya tidak
disadarinya. Dalam keadaan seperti ini, “tidak sah talaknya”. Semua ulama
sepakat tentang ketidaksahan talaknya.
b. Kemarahan biasa yang pada dasarnya tidak mengakibatkan orang
kehilangan kesadaran atas apa yang dimaksud oleh ucapan-ucapannya.
Dalam keadaan begini, “talaknya tidak sah”.
c. Marah besar, tetapi tidak menghilangkan kesadaran akalnya, sehingga dia
kemudian menyesal atas ketelanjurannya mengucapkan kata-kata ketika
marah tadi. Dalam hal ini terdapat berbagai pendapat, tetapi pendapat yang
menyatakan talaknya tidak sah memiliki argument yang kuat.
Dengan demikian, talak yang diucapkan oleh suami dalam keadaan
marah hukumnya sah, jika keadaan marahnya tidak seperti orang gila yang

31
benar-benar kehilangan akalnya. Apabila keadaan marahnya membabi buta,
kesurupan, dan kehilangan ingatannya, talaknya tidak sah.
4. Talak Main-main
Para fuqaha kebanyakan berpendapat bahwa talak dengan main-main
dipandang sah, sebagaimana dipandang sahnya nikah dengan main-main.
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi meriwayatkan hadits yang
dihasankannya dan Hakim menshahihkannya.

‫ َثَالٌث ِج ُّد ُه َّن‬: ‫ َق اَل َرُس ْو ُل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم‬: ‫َعْن َاْيِب ُه َرْيَرَة َق اَل‬
‫ (رواه أمحد وأبو داود وابن ماجه‬.‫ِج ٌّد َوَه ْزُهُلَّن ِج ٌّد َالِّنَك اُح َوالَّطَالُق َوالَّرْجَع ُة‬
)‫والرتمذى‬

Artinya : Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tiga


perkara yang kesungguhannya dianggap benar, dan main-mainnya
dipandang benar pula, yaitu nikah, talak, rujuk”. (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Menurut Sayyid Sabiq, hadits itu sekalipun dalam sanadnya ada


Abdullah bin Habib, seorang rawi yang diperselisihkan, kemudian dinilai kuat,
karena dikuatkan oleh kadits-hadits lain.
Semua perbuatan bergantung pada niatnya. Jika talak dilakukan
dengan main-main, tentu tidak diniatkan. Oleh karena itu, talaknya tidak sah.
Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Baqir, Shadiq, dan Nashir. Niat adalah
kehendak yang diniatkan oleh orang untuk dikerjakan. Hal ini memerlukan
kemauan yang yang pasti untuk melakukan atau untuk meninggalkannya.
Akan tetapi, mempermainkan talak merupakan perbuatan yang buruk, karena
sama dengan mempermainkan syari’at Islam, mempermainkan syari’at Islam
sama dengan mempermainkan Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian,
mempermainkan talak hukumnya haram dan dianggp dosa besera meskipun
talaknya dinyatakan tidak sah oleh sebagian ulama.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 227 :

‫ِاْن وا الَّطَالَق َفِأَّن ا ِمَس ِل‬


‫َهلل ْيٌع َع ٌم‬
‫ْي‬ ‫َو َعَزُم‬

32
Artinya : “Dan jika mereka bertetap hati untuk menjatuhkan talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(QS Al-Baqarah:227)

Diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :

‫ِه‬ ‫ِهلل‬
‫ َالَّطَالُق َعْن‬: ‫ َق اَل َرُس ْو ُل ا َص َّلى اُهلل َعَلْي َو َس َّلَم‬: ‫َعِن اْبِن َعَّب اٍس َق اَل‬
)‫ (رواه البخارى‬. ‫َو ْطٍر‬

Artinya : Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda, “Talak itu hanya
tergantung niatnya”. (HR. Al-Bukhari)

Adapun talak karena keliru, yaitu orang yang keliru mengucapkan


kata-katanya sehingga terucapkan kata “talak”, para ahli fiqh golongan Hanafi
berpendapat, bahwa pengadilan boleh memutuskan berdasarkan lahir
ucapannya, tetapi secara agama, talaknya tidak berlaku dan istrinya tetap halal
baginya. (Sayyid Sabiq, 1988:23)
5. Talak Waktu Lupa
Sama hukumnya dengan talak yang diucapkan karena keliru dan main-
main adalah orang yang lupa, yakni tidak sah. Perbedaan antara keliru dan
main-main, yaitu bahwa talak main-main oleh agama maupun pengadilan
dipandang sah, sedangkan talak karena kekeliruan ucapan hanya dipandang
sah oleh pengadilan. Ini dikarenakan soal talak bukan merupakan objek main-
main.
6. Talak Ketika Tidak Sadarkan Diri
Orang yang tidak sadarkan diri, yaitu orang yang tidak tahu lagi apa
yang dikatakannya karena suatu kejadian hebat menimpanya, sehingga hilang
akalnya dan berubah pikirannya. Talak orang seperti ini tidak sah,
sebagaimana tidak sahnya talak orang gila, pikun, pingsan, dan orang yang
rusak akalnya karena tua atau sakit atau musibah yang tiba-tiba.
Talak yang dilakukan ketika orangnya sedang tidak sadar, sama dengan
talak yang tidak diniatkan, karena orang yang tidak sadarkan diri sama dengan
orang yang hilang ingatan sehingga talaknya tidak sah.

C. Hukum Talak

33
Penulis sengaja menampilkan mengenai hukum talak, karena ada kaitan
dengan mut’ah.
Adapun mengenai hukum talak, para ahli fiqh berbeda pendapat,
mengingat nash hukum yang berkenaan dengannya masih bersifat samar, yakni
harus dikaitkan dengan kondisi atau sebab-sebab terjadinya talak tersebut. Oleh
sebab itu, sampai kini berkembang pembahasan tentang keharusan adanya alasan
untuk terjadinya suatu talak (perceraian). Nash hukum yang berkenaan dengan
hukum talak itu, di antaranya hadits tersebut di atas,

)‫(رواه ابو داود واحلاكم‬ . ‫َاْبَغُض اَحْلَالَل ِعْنَد اِهلل الَّطَالُق‬


“Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah, ialah talak”. (HR. Abu Dawud
dan Hakim)

Menurut hadits ini, jelas bahwa talak itu halal namun wujud kehalalannya
dibarengi dengan sesuatu yang tidak disukai (makruh). Sedangkan ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan talak tidak menjelaskan tentang sebab dan alasannya, tetapi
hanya menyebutkan bilangan dan keharusan dilakukan dengan baik (ma’ruf).
Frman Allah SWT tersebut adalah :

‫ا‬ ‫ا‬ ‫َّت‬


‫ُق‬ ‫ا‬ ‫َة‬ ‫َّد‬ ‫آُّي ا االَّن ِاَذا َطَّلْق ُت الِّن آ َفَطِّلُق َّن ِلِع َّد ِهِتَّن َا ا اْلِع‬
‫َو ْو َهلل‬ ‫َو ْحُص ْو‬ ‫ْوُه‬ ‫ُم َس َء‬ ‫َي َه ُّيِب‬
‫َرَّبُك ْم‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu”. (QS.
Ath-Thalaq:1)

Syekh Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah menyebutkan bahwa


para ulama (ahli ilmu fiqh) berbeda pendapat tentang hukum prinsip talak ini dan
yang paling benar di antara pendapat mereka itu adalah “terlarang kecuali dengan
alasan yang benar”. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW :

)‫(احلديث‬ . ‫َلَعَن اُهلل ُك َّل َذَّواٍق ِم ْطَالٍق‬


“Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka mencerai dan bercerai (maksudnya
suka kawin dan cerai)”. (Al-Hadits)

34
Pemahaman mereka terhadap hadits tersebut sedemikian itu karena talak
(bercerai) itu kufur pada nikmat Allah SWT lantaran kawin itu merupakan nikmat-
Nya. Jadi talak itu tidak halal kecuali dengan alasan yang benar. Mereka yang
berpendapat demikian ini adalah kelompok mazhab Hanafi dan Hambali.
Berbeda dengan Al-Ghazali, dalam bukunya Menyingkat Hakikat
Perkawinan, ia menyebutkan bahwa talak atau perceraian itu hukumnya mubah
(dibolehkan). Namun demikian, ia merupakan perbuatan mubah yang paling
dibenci oleh Allah SWT, seperti tersebut dalam hadits Ibnu Umar r.a. di atas.
Selain itu talak tersebut dianggap mubah selama tidak disertai dengan gangguan
yang bertumpu pada kebatilan. Dari penyataan Al-Ghazali ini jelas bahwa
hendaknya talak itu harus bebas dari hal yang batil atau bersifat zalim kepada si
istri tersebut. Artinya, menjatuhkan talak itu harus ada alasan yang benar karena
kalau istri itu baik (tak ada masalah apa-apa) dan ia mencintai suami lantas ditalak
tanpa alasan, maka ia telah merasa dizalimi. Hal seperti ini tidak dibenarkan oleh
syari’at di mana Allah SWT berfirman :

‫َفِأْن َاَطْع َنُك ْم َفَالَتْبُغْوا َعَلْيِه َّن َس ِبْيًال‬


“Maka apabila istri-istrimu tetap mematuhimu, janganlah kamu mencari-cari
alasan untuk menceraikannya. (QS. An-Nisa:34)

Firman Allah SWT ini bila kita pahami secara mafhum (unsur tersirat)
menunjukkan adanya keharusanm terdapat alasan di dalam menjatuhkan talak
yang secara umum (mutlak) alasan terjadinya talak di sini disebutkan “tidak patu”.
Kategori “tidak patuh” meluas artinya meliputi berbagai alasan yang dapat
memicu kepada terjadinya kebolehan talak tersebut. Dari keharusan adanya alasan
ini pulalah, para ulama membagi hukum talak ini kepada wajib, haram, mubah
dan sunnah. Adapun rinciannya sebagai berikut :
a. Talak Wajib
Talak yang hukumnya dianggap wajib adalah talak yang dijatuhkan
oleh pihak hukum (dua orang penengah, satu dari pihak suami dan satu dari
pihak istri) sebagai akibat terjadinya perpecahan (perselisihan) yang sudah
parah antara suami istri dan menurut penilaiannya talaklah jalan satu-satunya
yang dapat menghentikan perpecahan tersebut dan inilah yang disebut syiqaq
dalam firman Allah SWT :

35
‫َوِاْن ِخ ْف ُتْم ِش َق اَق َبْيِنِه َم ا َف اْبَعُثْوا َح َك ًم ا ِّم ْن َاْه ِلِه َوَح َك ًم ا ِّم ْن َاْه ِلَه آ ِاْن‬
‫ُيِرْيَد آ ِاْص َالًح ا ُيَو ِّفِق اُهلل َبْيَنُه َم آ ِاَّن اَهلل َك اَن َعِلْيًم ا َخ ِبْيًرا‬
“Dan jika kamu mengkhawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam (juru pendamain) dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-
Nisa:35)
Peran kedua hakam di sini adalah berupaya mengungkap sebab-sebab
terjadinya syiqaq dan mengupayakan jalan keluarnya sehingga menghasilkan
suatu keputusan yang adil. Apabila hasil penelitian mereka menyatakan lebih
baik talak, maka talak yang diputuskan itu status hukumnya wajib karena hal
itulah satu-satunya jalan pemecahan yang terbaik. Talak inilah yang dalam
kitab fiqh disebut dengan talak hakamain.
Tentang peran hakam (juru pendamai) yang besar ini, Imam Ali bin
Abu Thalib r.a. pernah berkata : “Dua hakam, dengan keduanya itu Allah SWT
mengumpulkan (menyatukan yang berselisih) dan dengan keduanya pula Dia
memisahkan (antara suami istri tersebut)”.
Selain talak hakamain ini, termasuk talak wajib juga adalah talak
perempuan yang di’ila setelah berlalu waktu menunggu selama empat bulan,
sebagaimana firman Allah SWT :

‫ُف‬ ‫َغ‬ ‫ا‬ ‫َّن‬ ‫ِلَّل ِذ ُل َن ِم ِن آِئِه ُّب َا ِة َاْش ٍر َف ِأْن َف آ َف ِأ‬
‫َهلل ْوٌر‬ ‫ُءْو‬ ‫ْيَن ُيْؤ ْو ْن َس ْم َتَر ُص ْرَبَع ُه‬
‫ ِاْن وا الَّطَالَق َفِأَّن ا ِمَس ِل‬. ‫َّرِح‬
‫َهلل ْيٌع َع ٌم‬
‫ْي‬ ‫ْيٌم َو َعَزُم‬
“Kepada orang meng’ila istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berajam (bertetap
hati) untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. Al-Baqarah:226-227)

b. Talak Haram
Talak itu dianggap haram apabila dilakukan dengan tanpa alasan yang
benar. Syekh Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa sebab dianggap haramnya
karena pada dasarnya talak itu merugikan bagi suami dan istri, dan tidak
adanya kemaslahatan yang mau dicapai di balik talaknya itu. Jadi, talak yang

36
dilakukannya itu dianggap haram seperti haramnya merusakkan harta benda,
padahal Rasulullah SAW :

)‫(احلديث‬ . ‫َالَض َرَر َوَالِض َراَر‬


“Tidak (boleh) membahayakan orang dan tidak (boleh) pula membalas
dengan suatu bahaya”. (Al-Hadits)

Barangkali talak atau perceraian seperti inilah yang dibenci Allah SWT
yang diungkap oleh hadits Ibnu Umar, “Perbuatan halal yang dibenci Allah
adalah talak”, (HR. Abu dawud dan Hakim). Bahkan dalam riwayat Abu
dawud ditegaskan indikasi kebencian Allah SWT terhadap sesuatu yang halal
itu hanya terhadap talak. Sabda Nabi SAW :

)‫(رواه ابو داود‬ . ‫َم ا َاَح َّل اُهلل َش ْيًئا َاْبَغُض ِاَلْيِه ِم َن الَّطَالِق‬
“Allah tidak menghalalkan sesuatu tetapi dibenci-Nya selain daripada talak”.
(HR. Abu Dawud)

c. Talak Sunnah
Talak dianggap sunnah apabila disebabkan oleh pengabaian istri
terhadap kewajiban kepada Allah SWT, seperti shalat dan sebagainya,
sementara si suami tidak mampu memaksa si istri agar menjalankan kewajiban
tersebut, atau istri kurang rasa malunya (mempunyai tabi’at buruk yang tidak
mempan dinasehati). Bahkan kata Ibnu Qudamah, talak disebabkan salah satu
dua kondisi di atas (yaitu tidak taat kepada Allah SWT atau kurang rasa
malunya) barangkali hukumnya wajib.
Hal demikian inilah yang dimaksud “berbuat keji” dalam firman Allah
SWT yang berbunyi :

‫َيآُّيَه ا اَّل ِذ ْيَن اَم ُنْوا َالِحَي ُّل َلُك ْم َاْن َتِرُث وا الِّنَس آَء َك ْرًه ا َوَالَتْع ُض ُلْوُه َّن ِلَت ْد َه ُبْوا‬
‫ِب ِض آ ا ُت َّن ِاآل َاْن ْأِت ِبَف اِح َش ٍة ِّيَنٍة‬
‫ُمَب‬ ‫َي َنْي‬ ‫َبْع َم َء َتْي ُمْوُه‬
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata”.
(QS. An-Nisa:19)

37
Dalam ayat ini, kata “mengambil apa yang telah kamu berikan kepada
mereka (istri)”, maksudnya mentalak mereka. Hal ini tidak boleh dilakukan
kecuali istri itu melakukan perbuatan keji yang nyata. Apabila ia
mengerjakannya, maka mentalak mereka dianggap sunnah (tidak sekedar
boleh (mubah) karena ada manfaat yang baik yang dibolehkan suami, yaitu
terbebas dari tanggung jawab atas keburukan yang dilakukan oleh istri yang
tidak mempan oleh nasihat tersebut. Karena itu, Imam Ahmad berkata :
“Tidak patut memegang istri seperti ini karena dapat mengurangi keimanan
suami, tidak dapat membuat aman ranjangnya dari perbuatan rusaknya, dan
dapat melemparkannya kepadanya anak yang bukan dari darah dagingnya
sendiri. Dalam keadaan seperti ini, suami tidak salah untuk bertindak keras
kepada istrinya agar ia mau menebus dirinya dengan mengembalikan
maharnya untuk bercerai (talak)”.

D. Macam-macam Talak
Pertama, ditinjau dari segi bilangan dan kebolehan kembali kepada mantan
istri, talak terbagi dua, yaitu talak raj’i dan talak bain.
a. Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak satu atau dua, di mana mantan suami
dimungkinkan kembali kepada mantan istrinya dengan tanpa akad (baru),
yaitu manakala mantan istri itu masih dalam masa iddah dari talak satu atau
dua tersebut. Inilah barangkali maksud firman Allah SWT :

‫اٍن‬ ‫ِر ِبِأ‬ ‫ٍف‬ ‫ِن ِأ‬ ‫َّط‬


‫َال َالُق َم َّرَتا َف ْم َس اٌك َمِبْع ُرْو َاْو َتْس ْيٌح ْح َس‬
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-
Baqarah:229)

Selain tanpa akad baru, manurut Djamaan Nur, talak raj’i ini juga
boleh tanpa persaksian dan tanpa mahar baru.
b. Talak Bain
Talak bain adalah talak yang tidak memberikan hak rujuk (kembali)
kepada mantan suami terhadap matan istrinya (baik talak satu maupun talak
dua) lantaran masa iddah telah habis. Dalam kondisi ini, mantan suami masih

38
dibolehkan mengawini mantan istrinya itu dengan akad dan mahar baru. Inilah
yang disebut dengan talak bain sugra. Jadi, pada talak ini, suami kehilangan
hak rujuk (karena iddah telah habis), tetapi tidak menghilangkan hak nikah
baru kepada mantan istrinya. Talak yang termasuk dalam kategori ini adalah :
1. Talak yang terjadi sebelum mengadakan hubungan seksual antara suami
istri tersebut, di mana pada talak demikian ini tidak dikenakan masa iddah.
2. Talak dengan tebusan dari pihak istri (khulu).
3. Talak yang dijatuhkan berdasarkan keputusan Pengadilan Agama.
Talak tebus atau khulu adalah perceraian yang datang dari keinginan
pihak istri dengan lasan-alasan yang dibenarkan syara’. Keharusan adanya
alasan sebagaimana halnya dalam talak, karena ia memiliki aspek moral
sebagaimana yang dimiliki talak, yaitu bahwa khulu harus dilakukan sebagai
usaha terakhir dan bukan untuk mengumbar nafsu. Abul A’la Al-Maududi
menyebutkan bahwa wanita yang mempermainkan khulu adalah munafik,
dikutuk oleh Allah, para malaikat dan manusia.
Jika singkatnya, khulu harus didasarkan pada alasan-alasan yang
rasional dan dibenarkan oleh agama, seperti terjadi situasi yang menimbulkan
ketakutan akan dilanggarnya hukum-hukum Allah (masalah pergaulan suami
istri). Demikian pula harus dibayarkan uang tebus kepada suaminya, dan lebih
sempurnanya mengembalikan maskawin atau mahar yang pernah diberikan
oleh suaminya, sebagian atau seluruhnya.
Di masyarakat Indonesia (Kantor Urusan Agama) dalam akad nikah,
calon suami dianjurkan untuk membaca sighat ta’lik (bahkan dalam Kutipan
Akta Nikah atau buku nikah juga dicantumkan). Sighat ini memuat beberapa
point (unsur) yang apabila salah satunya dilanggar oleh suami dan si istri tidak
rela serta mengadukan halnya dengan membayar iwadh (uang pengganti).
Beberapa unsur yang dimuat dalam sighat ta’lik dan bisa dikatakan sebagai
dasar atau alasan khulu adalah :
1. Meninggakan istri dua tahun berturut-turut.
2. Tidak memberi nafkah wajib tiga bulan lamanya.
Dalam menjawab permohonan Jamilah ini, Rasulullah SAW bertanya :
“Maukah engkau mengembalikan kebun yang diberikannya (Tsabit)
kepadamu?”. Tentu, wahai Rasulullah”, jawab Jamilah. Rasulullah SAW pun

39
memanggil Tsabit dan memberitahukannya untuk menerima kembali kebun itu
dan menceraikan Jamilah”. Sejak itu terjadilah perceraian antara Tsabit dan
Jamilah.
Adapun yang terjadi pada talak ketiga kalinya adalah talak bain kubra.
Talak ini menghilangkan hak suami untuk rujuk dan kawin kembali kepada
mantan istrinya meskipun istri dengan akad dan mahar baru, kecuali apabila
mantan istri itu telah pernah menikah dengan laki-laki lain dan setelah lepas
darinya. Jadi, mantan suami dibolehkan mengawini kembali mantan istrinya
apabila matan istri itu telah diselang oleh perkawinannya dengan laki-laki
selainnya dan telah habis masa iddahnya. Hal demikian ini didasarkan kepada
firman Allah SWT :

‫َف ِأْن َطَّلَق َه ا َفَال ِحَت َّل َل ُه ِم ْن َبْع ُد َح ىَّت َتْنِكَح َزْوًج ا َغْيَرُه َف ِأْن َطَّلَق َه ا َفَال‬
‫َنا َل ِه ا َاْن ا آ ِاْن َظَّنآ َاْن ِق ا ُد اِهلل‬
‫ُي ْيَم ُح ْو َد‬ ‫ُج َح َع ْي َم َيَتَر َجَع‬
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya
akan dapat menjalankan hukum Allah”. (QS. Al-Baqarah:230)

Mengapa harus harus demikian? Apabila dipahami dengan cermat, kita


akan mengetahu bahwa sebab penetapan demikian ini tidak lepas
kebijaksanaan hukum Allah SWT yang senantiasa mengandung maslahat, di
mana tujuan utama dari penetapan hukum ini (Islam) adalah madarat (bahaya)
dan mendatangkan manfaat. Dalam masalah talak tiga ini, Allah SWT
mengingatkan para suami (laki-laki) agar tidak berbuat sewenang-wenang dan
mudah menjatuhkan talak sampai tiga kali. Hal ini juga merupakan antisipasi
talak pada masa jahiliyah Arab yang tidak ada batasnya sehingga laki-laki
telah berbuat zalim. Aisyah r.a. menyebutkan : “Laki-laki dengan sesuka
hatinya menceraikan istrinya. Perempuan dengan sesuka hatinya menerima
suaminya kalau dirujuk di waktu iddahnya, sekalipun sudah diceraikan
seratus kali atau lebih”.
Kedua, ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya. Dari sisi ini, talak terbagi
kepada tiga macam, yaitu :

40
a. Talak suni atau talak jawaz, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan
sunnah yang meliputi dua syarat berikut :
1. Istri yang ditalak sudah pernah digauli (disetubuhi).
2. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yakni ia dalam
keadaan suci dari haid dan belum digauli ketika talak dijatuhkan.
b. Talak bid’i atau talak haram, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan
tuntutan sunnah atau tidak memenuhi kriteria yang terdapat dalam talak suni
di atas. Talak ini diharamkan lantaran merugikan pihak istri, sebab iddahnya
lebih lama dari iddah talak suni. Adapun macam-macam talak yang termasuk
dalam kategori talak bid’i ini adalah :
1. Talak yang dijatuhkan kepada istri di saat sedang haid dan begitu pula
ketika nifas (40 hari setelah melahirkan).
2. Talak dijatuhkan kepada istri di saat ia dalam keadaan suci, tetapi pernah
digauli (disetubuhi) dalam rentang waktu suci tersebut.
Keharaman talak bid’i ini disandarkan kepada sabda Rasulullah SAW kepada
Umar bin Khattab r.a. agar menyuruh anaknya, Abdullah, merujuk istrinya
yang ditalak dalam keadaan haid. Kata Rasulullah :

‫ِا‬ ‫ِحَت‬ ‫ُم ْرُه َفْلُيَراِج ْع َه ا َّمُث ِلُيْم ِس َك َه ا َح ىَّت‬


‫َتْطُه َر َّمُث ْيُض َّمُث َتْطُه َر َّمُث ْن َش اَء‬
‫ِع‬ ‫ِت‬ ‫ِل ِا‬
‫َقْب َل َاْن َمَيَّس َف ْل َك اْل َّد ُة اَّلىِت َاَم َر اُهلل‬
‫َاْم َس َك َبْع َد ذ َك َو ْن َش اَء َطَّل َق‬
)‫ (رواه أبو داود وابن ماجه والنسائى‬.‫ُس ْبَح اَنُه َاْن ُتْطَلَق َهَلا الِّن اَء‬
‫َس‬
“Suruhlah ia (anakmu) untuk merujuknya kemudian memegang (tidak
mentalak) istrinya sampai waktu suci, kemudian ia haid lalu suci lagi.
Kemudian setelah itu, jika mau ia boleh memegangnya dan jika tetap hendak
menceraikannya sebelum menyetubuhinya, maka yang demikian itulah iddah
yang diperintahkan oleh Allah dalam hal mentalak istri”. (HR. Abu Dawud,
Ibnu Majah dan An-Nasa’i)

Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah, meskipun talak bid’i ini
diharamkan, namun ia tetap jatuh juga. Sebab itu, disunnatkan kembali
merujuk istri tersebut. Bahkan menurut Imam Malik, wajib rujuk karena
perintah dalam hadits di atas adalah perintah wajib. Sedangkan menurut
Jumhur Ulama hanya merupakan perintah yang berindikasi sunnat. Meskipun
demikian, ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa talak bid’i ini tidak

41
jatuh (tidak sah). Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul
Qoyyim, dan Ibnu Hazem.
c. Talak bukan suni dan bukan bid’i. talak yang bukan suni dan bukan bid’i
adalah talak yang dijatuhkan terhadap istri yang berkriteria salah satu hal
berikut :
1. Istri yang ditalak itu belum pernah digauli (disetubuhi).
2. Istri yang ditalak itu belum pernah haid atau telah lepas dari masa haid
(monopouse).
3. Istri yang ditalak itu dalam keadaan hamil.

E. Akibat Talak (Cerai Talak)


Apabila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami memiliki
beberapa kewajiban terhadap bekas istrinya berupa :
1. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
pun benda. Adapun besarnya mut’ah ini disesuaikan dengan kepatutan atau
kelayakan dan kemampuan bekas suami. Dalam al-Qur’an, Allah SWT
berfirman :

‫ِق‬ ‫ِف‬ ‫ِت‬ ‫ِل‬


‫َو ْلُم َطَّلَق ا َم َتاٌع ِباْلَم ْعُرْو َح ًّقا َعَلى اْلُم َّت َنْي‬
“Untuk perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi mut’ah
menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang
bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah:241)

2. Memberi nafkah (iddah), tempat tinggal atau pakaian kepada bekas istri
selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Allah SWT berfirman :

‫َالْخُتِر َّن ِم ِهِتَّن َالْخَي ِاَّال َاْن ْأِت ِبَف اِح َش ٍة ُّم ِّيَنٍة‬
‫َب‬ ‫َي َنْي‬ ‫ُجْوُه ْن ُبُيْو َو ُرْج َن‬
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji
yang nyata”.

3. Melunasi maskawin bila masih terutang seluruhnya dan separuhnya apabila


istri belum disetubuhi. Maka adalah suatu kewajiban atas suami merupakan
utang apabila belum dilunasi (diberikan) kecuali si istri telah merelakannya.

42
Karena itu, apabila terjadi suatu perceraian (talak) sedangkan mahar
(maskawin) belum dibayar (dilunasi) maka bekas suami berutang kepada
mantan istrinya.
4. Memberikan biaya hadlanah (pemeliharaan) untuk anak-anaknya yang belum
mencapai usia 21 tahun. Biaya pemeliharaan anak-anak tetap kewajiban suami
(ayahnya) meskipun telah terjadi perceraian dengan ibunya. Hubungan anak
dengan orang tua (ayah) tidak terputus dengan adanya perceraian sehingga
sanga ayah masih harus memberikan nafkah buat anak-anaknya itu.
Adapun yang termasuk hak bagi suami dari bekas istrinya setelah
perkawinan putus dapat disebutkan diantaranya adalah :
1. Ia (bekas suami) berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang masih
berada dalam masa iddah (talak raj’i). dalam kondisi mantan istri sedang
beriddah, maka bekas suaminya itulah yang paling berhak menikahi kembali
bekas istrinya (rujuk), seperti disebutkan Allah SWT dalam al-Qur’an :

‫َو ُبُعْو َلُتُه َّن َاَح ُّق ِبَرِّدِه َّن ىِف ذِلَك ِاْن َاَراُدوآ ِاْص َالًح ا‬
“Dan suami-suaminya lebih berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki islah (perbaikan)”. (QS. Al-
Baqarah:228)

2. Bekas istri selama dalam iddah wajib menjaga dirinya, tidak menerima
pinangan dan tidak menikah dengan laki-laki lain. Hal ini ditetapkan karena
pada dasarnya bekas istri di masa iddah itu belum benar-benar terputus ikatan
dengan mantan suaminya di mana dia (mantan suami) berhak rujuk kepadanya
dengan tanpa akad dan mahar baru serta masih diwajibkannya memberi
nafkah kepada mantan istrinya tersebut.
Atau, menurut keterangan yang lainnya, supaya lebih luas mengenai
pemahaman di atas, di bawah terurai keterangan lain :
1. Isteri yang dicerai dalam bentuk talak raj’i, dalam hal ini para ulama sepakat
bahwa hak yang diterima bekas isteri adalah penuh, sebagaimana yang berlaku
pada saat berumah tangga sebelum terjadi perceraian, baik sandang maupun
pangan dan tempat kediaman.
2. Seorang isteri yang dicerai dalam bentuk ba’in, apakah bain shugra atau ba’in
kubra, dan dia sedang hamil berhak atas nafkah dan tempat tinggal. Dalam hal

43
ini para ulama sepakat, dasar hukum yang diambil oleh golongan ini adalah al-
Qur’an surat Ath-Thalaq ayat. 6. Tetapi bila isteri tersebut dalam keadaan
tidak hamil, maka terdapat perbedaan pendapat seperti antara lain Ibnu
Mas’ud, Imam Malik dan Imam Syafi’i, bekas isteri tersebut hanya berhak
atas tempat tingga dan tidak berhak atas nafkah. Adapun Ibnu Abbas dan Daud
Adzzhahiriy dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa bekas isteri
tersebut tidak mendapat hak atas nafkah juga tempat tinggal, mereka
mendasarkan pendapatnya pada alasan bahwa perkawinan itu telah putus sama
sekali serta perempuan itu tidak dalam keadaan mengandung. Mungkin
pendapat ini yang dipakai dasar dalam ketentuan KHI, dalam hal isteri dijatuhi
dengan ba’in dan dalam keadaan tidak hamil, tidak mendapatkan nafkah,
maskan dan kiswah (Pasal 149 huruf (b) KHI (Kompilasi Hukum Islam).
3. Hak isteri yang ditinggal mati oleh suaminya. Bila si isteri tersebut dalam
keadaan mengandung, para ulama sepakat isteri itu berhak atas nafkah dan
tempat tinggal, namun bila tidak dalam keadaan hamil, para ulama terjadi
perbendaan pendapat, yaitu antara lain Imam Malik, Imam Syafi’i mengatakan
“berhak atas tempat tinggal”, sedangkan sebagian ulama lainnya seperti Imam
Ahmad berpendapat, bila isteri tidak hamil maka tidak berhak atas nafkah dan
tempat tinggal, karena ada hak dalam bentuk warisan.
Adapun mengenai hak-hak lainnya adalah :
1. Hak Isteri atas Harta Bersama
Harta bersama dalam khazanah fiqh Islam memang pada dasarnya
tidak popular, sehingga tidak ada pembahasan khusus dalam fiqh. Namun di
Indonesia harta sejenis ini memang dikenal dan ada di hampir semua daerah.
Sehingga lahirlah berbagai istilah yang ada di masyarakat, seperti antara lain
di Sunda dikenal dengan sebutan “guna kaya atau tumpang kaya”, di Madura
dikenal dengan sebutan “ghuna-ghuna”, istilah suku Jawa adalah “gono-gini”,
dan lain sebagainya. Mungkin atas dasar keadaan adat di Indonesia seperti
inilah sehingga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 35, 36
dan 37 serta tercantum pula dalam KHI mulai dari pasal 85 sampai pasal 97.
Berdasarkan kenyataan bahwa banyak suami isteri yang sama-sama
membanting tulang dalam upaya memenuhi kebutuhan nafkah keluarga
sehari-hari, dan fenomena kekinian yang justru banyak isteri yang mendapat

44
penghasilan lebih banyak daripada suami. Saat ini peraturan mengenai harta
bersama ini masih berlaku pembagian sama yang didapat oleh isteri maupun
suami, dengan tanpa melihat apakah dan siapakah yang paling banyak
menghasilkan income selama berumah tangga. Tetapi mungkin saat ini kita
boleh mengharap dengan adanya RUU Hukum Terapan Peradilan Agama
Bidang Perkawinan yang mudah-mudahan dapat melahirkan aturan yang
berkeadilan gender.
Dalam pembagian harta bersama ini mungkin diharapkan lebih pada
prinsip keadilan dan perlunya kesadaran dari kedua belah pihak, agar tidak
terjadi kezaliman yang berawal dari pelanggaran hak.
2. Hak atas Mut’ah
Menurut fiqh Islam telah disinggung sebelumnya, sedangkan dalam
KHI terdapat 3 (tiga) pasal yang membicarakan tentang mut’ah ini, yaitu
dalam pasal 158, 159, dan pasal 160, yang menyebutkan bahwa seorang suami
yang hendak mencerai isterinya wajib memberi mut’ah, dengan syarat :
a. Belum ditetapkan maharnya bagi isteri yang qobla dukhul,
b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Tetapi pemberian mut’ah ini hanyalah sunnah diberikan oleh bekas
suami bila tanpa syarat-syarat tersebut, dan besarnya mut’ah juga disesuaikan
dengan kepatutan dan kemampuan suami.
3. Hak atas Hadhlanah
Dalam istilah fiqh, hadhlanah ini disebut juga dengan kafalah, yang
pengertiannya sama yaitu pemeliharaan atau pengasuhan. Seorang isteri yang
bercerai dengan suaminya juga mempunyai hak atas pengasuhan anak yang
belum mumayiz, kecuali ditentukan lain oleh UU yang membatalkan haknya
tersebut.
Menurut guru besar fiqh Islam dari Suriyah Wahbah Az-Zuhaili, “Hak
hadlanah adalah hak berserikat antara ibu, ayah dan anak, meski bila terjadi
pertentangan hak yang diprioritaskan adalah hak anak. Ketika penulis
mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita dalam kegiatan
penyusunan best praktis hak-hak dalam keluarga, hak isteri atas hadhlanah ini
juga termasuk dibicarakan karena maraknya kasus tentang seorang isteri yang
dicerai oleh suaminya sangat alot dalam mempertahankan dan

45
memperjuangkan keinginannya untuk memelihara anaknya yang masih belum
mumayiz, yang oleh suaminya dipertahankan pula, dengan tanpa melihat
kepentingan si anak yang masih sangat membutuhkan dekapan kasih sayang
seorang ibu karena masih menyusu misalnya.

F. Ketika Perspektif Hukum Kurang Adil Gender


Ketika seorang isteri tidak lagi dapat menahan beban tekanan fisik dan
psikis, ekonomi bahkan seksual, yang akhirnya membawa langkah kakinya
memohon pada pengadilan untuk bercerai dengan suaminya dan memohon atas
hak tersebut, namun apa mau dikata, hukum dan keadilan yang diharapkannya
kerap tidak berpihak padanya, meski di pengadilan terungkap fakta bahwa di balik
alasan gugat cerainya itu adalah karena sudah sampai pada titik jenuh, muak dan
benci atas perilaku suami yang sudah tak dapat lagi ia tanggung, justru harus gigit
jari, karena hukum saat ini masing kurang pro gender.
Dinamuka sosial baru yang terus didukung berbagai kalangan diharapkan
dapat melakukan terobosan pembaharuan hukum yang adil gender, sehingga
melahirkan pembentukan perundang-undangan yang konstruktif bagi pemenuhan
hak-hak perempuan. Meski demikian, spirit dari pemikiran berkeadilan gender
saat ini telah dapat menginspirasi sebagian besar para hakim pengadilan agama,
baik karena adanya tuntutan balik dari pihak isteri atau pun atas dasar
kewenangan hakim secara ex officio, dapatlah memutus dengan adil gender yang
memang sudah seharusnya menjadi hak seorang isteri yang diceraikan oleh suami.

G. Akibat Cerai Gugat (Khulu)


Apabila perkawinan putus akibat cerai gugat, maka ada ketentuan bagi
mantan suami dan mantan istri sebagai berikut :
1. Perceraian yang dilakukan dengan jalan khulu ini mengurangi jumlah talak.
Ini artinya, meskipun keinginan cerai itu datang dari pihak istri, namun hal itu
tetap mengurangi jumlah bilangan talak yang dimiliki suami, yaitu bilangan
yang membolehkan si suami menikahi wanita tersebut di mana bila telah
terjadi talak tiga, maka mantan suami tidak halal menikahi mantan istrinya
kembali kecuali mantan istri tersebut telah menikah dengan laki-laki lain
terlebih dahulu.

46
2. Bekas istri yang melakukan khulu itu tidak dapat dirujuk. Ini berarti bahwa
cerai gugat itu jatuh sebagai talak bain langsung. Meskipun demikian, mantan
suami atau istri masih dibolehkan menikah kembali dengan akad dan mahar
baru. Ini artinya, perceraian khulu ini sifatnya hanya bain sugra.
3. Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dan hal-hal yang menjadi kewajiban
bekas suami sebagaimana tersebut di atas (mendapat mut’ah, pelunasan mahar
bila masih terutang, biaya hadhlanah apabila memiliki anak).

H. Iddah dan Macamnya


Kata iddah berasal dari addad, yang berarti menghitung. Maksudnya
perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa suci. Sedangkan dalam
istilah agama, iddah ini menjadi nama bagi masa lamanya seorang wanita
menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian atau setelah pisah (cerai) dari
suaminya.
Dalam buku Fiqh As-Sunnah, Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa iddah ini
merupakan tradisi yang telah dikenal sejak zaman jahiliyah Arab. Ketika Islam
datang, kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus karena ada beberapa kebaikan
padanya.
1. Hukum Iddah
Adapun hukum iddah, yakni keharusan wanita yang ditalak untuk
menunggu waktu tertentu guna diperbolehkannya menikah lagi, para ulama
telah sepakat bahwa hukumnya wajib. Adapun landasan yang menjadi dasar
kesepakatan itu adalah firman Allah SWT :

‫َل‬ ‫ا‬ ‫ْك‬‫َّي‬ ‫ْن‬‫َا‬ ‫َّن‬ ‫ُّل‬ ‫اْل َطَّلَق اِت َّب ِبَأ ُف ِس ِه َّن َثَالَثَة ٍء َال ِحَي‬
‫ْم َن َم َخ َق‬‫ُت‬ ‫ُهَل‬ ‫ُقُرْو َو‬ ‫َيَتَر ْص َن ْن‬ ‫َو ُم‬
‫اُهلل ىِف َاْرَح اِم ِه َّن ِاْن ُكَّن ُيْؤ ِم َّن ِباِهلل َواْلَيْو ِم ْاألِخ ِر‬
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir”.
(QS. Al-Baqarah:228

47
Selain itu, juga sabda Nabi SAW kepada Fatimah binti Qais yang
berbunyi :

)‫(احلديث‬ .‫ِاْعَتِد ْي ىِف َبْيِت ُاِّم ُك ْلُثْو َم‬


“Beribadahlah kamu di rumah Ummu Kultsum”. (Al-Hadits)
Ayat pertama (Al-Baqarah:228) secara jelas menyebutkan keharusan
menunggu (iddah) disertai jumlah waktu yang harus ditunggu itu, yaitu 3 kali
quru (suci atau haid). Ayat kedua (Ath-Thalaq:1) menjelaskan kepada para
suami bahwa dalam hal mentalak istri harus diperhatikan masa iddah yang
akan dialami oleh istri. Sedangkan sabda Nabi SAW menyuruh Fatimah binti
Qais untuk menghabiskan masa iddahnya di rumah Ummu Kultsum. Jadi,
jelas dalil-dalil di atas menyebutkan keharusan adanya iddah bagi para wanita
yang ditalak oleh suaminya.
2. Hikmah Iddah
Ketetapan adanya iddah bagi wanita yang ditalak oleh suaminya tidak
terlepas dari hikmah yang dikandungnya, di antaranya :
a. Untuk mengetahui bersihnya rahim wanita, sehingga tidak tercampur
antara keturunan seseorang dengan yang lain. Allah SWT berfirman :

‫ا َل ا ىِف َا اِم ِه َّن ِاْن ُكَّن ْؤ ِم َّن ِباِهلل‬ ‫ِحَي‬


‫ُي‬ ‫َوَال ُّل ُهَلَّن َاْن َّيْك ُتْم َن َم َخ َق ُهلل ْرَح‬
‫َواْلَيْو ِم ْاألِخ ِر‬
“Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir”. (QS. Al-
Baqarah:228)

b. Memberikan kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali


kepada kehidupan semula (perkawinan) dengan jalan rujuk, jika mereka
menganggap bahwa hal tersebut lebih baik. Firman Allah SWT :

‫َو ُبُعْو َلُتُه َّن َاَح ُّق ِبَرِّدِه َّن ىِف ذِلَك ِاْن َاَراُدوآ ِاْص َالًح ا‬
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah (perbaikan)”. (QS. Al-
Baqarah:228)

48
c. Menjungjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat menghimpun
orang-orang yang arif mengkaji masalahnya dan memberikan tempo
berpikir panjang.
d. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri
sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya. Jika terjadi sesuatu yang
memutuskan ikatan (perkawinan) tersebut, maka untuk mewujudkan tetap
terjaganya kelanggengan tersebut harus diberi tempo beberapa saat untuk
memikirkan dan memperhatikan kerugiannya.
3. Macam-macam Iddah
Iddah yang ditetapkan Islam ini bermacam-macam sesuai dengan
kondisi wanita yang ditalak, yaitu dibagi kepada lima kategori, istri yang
masih haid, istri yang sudah putus haid (menopause), istri yang ditinggal mati
suami, istri yang sedang hamil, dan istri yang belum pernah disetubuhi.
Adapun perincian dan lamanya masa iddah tersebut adalah :
a. Iddah Istri Masih Haid
Istri yang masih dalam usia haid apabila ditalak oleh suaminya, maka
iddahnya tiga kali quru (haid), sebagaimana firman Allah SWT :

‫اْل َطَّلَق اِت َّب ِبَأ ُفِس ِه َّن َثَالَثَة ٍء‬


‫ُقُرْو‬ ‫َيَتَر ْص َن ْن‬ ‫َو ُم‬
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru”. (QS. Al-Baqarah:228)

Kata quru dalam ayat ini berarti haid. Hal ini dikuatkan oleh Sabda
Rasulullah SAW kepada seorang wanita yang sedang haid :
“tinggalkanlah shalatmu selama quru’mu (maksudnya selama haidnya)”.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa
waktu tunggu yang masih berdatang bulan ini ditetapkan 3 (tiga0 kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari.
b. Iddah Istri yang Sudah Monopouse
Istri yang sudah mengalami masa monopouse apabila ditalak oleh
suaminya ia memiliki iddah selama tiga bulan. Ketentuan ini tidak hanya
bagi wanita yang pernah haid kemudian habis masanya, tetapi juga berlaku
bagi wanita yang belum pernah haid sama sekali. Allah SWT berfirman :

49
‫َواَّلِئى َيِئْسَن ِم َن اْلَم ِح ْيِض ِم ْن ِن آِئُك ْم ِاِن اْرَتْبُتْم َفِعَّد ُتُه َّن َثَالَثُة َاْش ُه ٍر‬
‫َس‬
‫َّلِئ ِحَي‬
‫َوا ى ْمَل ْض َن‬
“Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara istri-
istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka
adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak
haid”. (Ath-Thalaq:4)
c. Iddah Wanita Ditinggal Mati Oleh Suaminya
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, status perkawinannya
terputus (tertalak). Karena itu ia memiliki iddah yang fungsinya seperti
disebutkan dalam hikmah iddah di atas. Adapun masa iddah wanita seperti
ini adalah empat bulan sepuluh hari asalkan ia tidak sedang hamil, karena
wanita hamil memiliki iddah tersendiri. Tentang iddah wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya, Allah SWT berfirman :

‫َواَّل ِذ ْيَن ُيَت َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َي َد ُرْو َن َاْزَواًج ا َيَت َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِه َّن َاْرَبَع َة َاْش ُه ٍر‬
‫َر‬ ‫َو‬
‫َو َعْش ًرا‬
“Dan orang-orang yang mati di antara kamu sedangkan mereka
meninggalkan istri-istri, maka hendaklah mereka (istri-istri) menahan diri
selama empat bulan sepuluh hari” (QS. Al-Baqarah:234)

d. Iddah Wanita Hamil


Wanita yang ditalak suaminya dalam keadaan hamil beriddah
selama masa kehamilannya sampai melahirkan, baik karena ditalak atau
ditinggal mati oleh suaminya. Ketentuan ini didasarkan kepada firman
Allah SWT :

‫َوُاوَالِت ْاَألَمْحاِل َاَج ُلُه َّن َاْن َيَض ْع َن ْمَحَلُه َّن‬


“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. Ath-Thalaq:4)

Dalam kitab Zad Al-Ma’ad fi Hadyi Khair Al-Ibad, Ibnul Qayyim


menyebutkan bahwa ayat ini juga mencakup di dalamnya wanita yang
keguguran, melahirkan bayi hidup atau mati, sempurna atau cacat, ruhnya
telah ditiupkan atau belum.

50
Selain itu dapat dilihat pada riwayat yang diceritakan Subaiah Al-
Aslamiyah, yang ditinggal mati suaminya, Saad bin Khawalah, ketika haji
wada’ di saat Subaiah sedang hamil. Subaiah ketika bersih dari melahirkan
(nifas), ia berhias diri karena ingin ada yang melamarnya. Melihat itu, Abu
Sanabil bin Ba’kak, seorang laki-laki Bani Abduddar, datang dan berkata
kepadanya : “Apa sebab engkau berhias begini? Apakah engkau ingin
kawin lagi? Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak dapat kawin sebelum
lewat 4 bulan 10 hari”. Subaiah berkata : “Setelah ia berkata begitu
kepadaku, maka sore harinya aku kumpulkan pakaian lalu menemui
Rasulullah SAW dan menanyakan perkara tersebut, Rasulullah memberi
fatwa kepadaku bahwa aku telah halal sejak aku melahirkan. Beliau juga
menyuruh aku kawin jika sudah ada lelaki yang cocok buatku.
Imam Bukhari dan Imam Muslim juga meriwayatkan bahwa Ibnu
Syihab berkata :

‫ىِف‬ ‫ِا‬ ‫ِح‬


‫َّن‬
‫َا‬ ‫َغ‬ ‫ا‬ ‫ِّم‬
‫َد َه ْيَر ُه‬ ‫ْت‬‫َن‬ ‫ا‬ ‫َك‬ ‫ْن‬ ‫َوَال َأَرى َبْأًس ا َاْن َيَتَزَّوَج َنْي َو َض َعْت َو‬
)‫ (رواه البحارى ومسلم‬. ‫َالَيْق ُبَه ا َح ىَّت َتْطُه‬
‫َر‬ ‫َر‬
“Saya berpendapat tidak salah perempuan seperti ini kawin lagi sesudah
melahirkan, sekalipun mereka masih berdarah, tetapi suaminya tidak
boleh menyetubuhinya sebelum ia bersih (suci dari nifas). (HR. Bukhari
dan Muslim)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan


Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, juga sependapat
dengan ketetapan iddah setelah melahirkan tersebut (bukan 4 bulan 10
hari). Bunyi pasal yang dimaksud adalah : “Apabila perkawinan putus
sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan”.
e. Iddah Istri yang Belum Disetubuhi
Adapun istri yang belum pernah disetubuhi oleh suaminya, ia tidak
memiliki iddah (waktu tunggu). Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 39 ayat (2) menyatakan : “Tidak ada waktu tunggu bagi janda

51
yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin”.
Karena itu, wanita yang ditalak atau dicerai tapi belum disetubuhi
oleh suaminya, ia boleh melangsungkan pernikahan dengan lelaki lain
tanpa harus menunggu (beriddah). Masalah ini dijelaskan Allah SWT
dalam firman-Nya :

‫َيآُّيَه ا اَّل ِذْيَن اَم ُنْوآ ِاَذا َنَك ْح ُتُم اْلُم ْؤ ِم َن اِت َّمُث َطَّلْق ُتُم ْوُه َّن ِم ْن َقْب ِل َاْن‬
‫َمَتُّس ْوُه َّن َفَم اَلُك ْم َعَلْيِه َّن ِم ْن ِعَّد ٍة َتْع َتُّد ْو َنَه ا‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu
perhitungkan”. (QS. Al-Ahzab:49)

Itulah berbagai macam iddah bagi wanita yang dicerai atau ditalak
atau ditinggal mati oleh suaminya. Macam-macam iddah tersebut bila kita
renungkan adalah sangat bergantung pada kondisi wanita yang mengalami
perpisahan dengan suaminya.

I. Hikmah Adanya Bilangan Talak


Merupakan rahmat Allah SWT terhadap keluarga (manusia) menjadikan
talak ini berpisah-pisah tiga kali (talak satu, dua, dan tiga). Talak raj’i (talak satu
dan dua sebelum habis masa iddah) barangkali dapat memecahkan perselisihan
dan menerangkan keburukan dan kekerasannya, serta tampak bagi suami istri,
justru itu sejauh mana jurang yang mulutnya menganga guna menerkam keluarga
dan menyebabkan kehancuran perkawinan. Karena itu, dari pengalaman tersebut
diharapkan keduanya meringakan keberlebihan untuk melewati badai rumah
tangga dengan selamat serta mendambakan rumah tangga dan kedamainnya.
Bila demikian, talak itu merupakan salah satu macam pemeliharaan
terhadap keluarga yang ditetapkan oleh Allah SWT dengan ketidaksukaan
padanya sebagai terapi bagi kehidupan suami istri itu sendiri dan menjadikannya
suatu tempat yang memungkinkan suami istri menguji kejiwaan mereka serta
memelihara akibatnya dan masalah-masalah yang terjadi antara keduanya yang
berupa anak dan segala urusannya, membawa keduanya berpandangan tajam

52
dalam menyikapi berbagai masalah dan mengembalikan air kepada salurannya
(mengembalikan keharmonisan rumah tangga). Oleh sebab itu pula, pada masa
Khalifah Umar bin Khattab r.a, talak tiga dengan satu kali ucapan hanya jatuh
talak satu demi memelihara hikmah adanya bilangan talak yang diberikan oleh
Allah SWT ini. Atau dalam perkataan lain, toleransi (kebolehan) untuk menikahi
untuk kembali (mantan istri) telah diharamkan total oleh diri suami sendiri pada
kali pertama talak tersebut menghilangkan keistimewaan yang dipahami dari nash
al-Qur’an yang menjadikan talak yang dibolehkan rujuk sebanyak dua kali dan
barulah haram total pada talak yang ketiga kalinya.
Allah SWT tidak menjadikan talak sebagai suatu perkataan yang
dilontarkan suami terhadap istrinya, lalu membuat salah satunya diharamkan atas
yang lain untuk selamanya, tidak boleh kembali dan bersatu lagi. Akan tetapi,
Islam menempuh jalan terapi dan mengulang-ulang tahapannya sehingga
pandangan meluas. Setelah talak pertama masih diberi kesempatan untuk rujuk
dan kemudian perpisahan kedua agar suami menguji dirinya sendiri setelah kali
pertama dan kedua, serta melatihnya sabar dan tebah. Begitu pula agar istri
mencoba jiwanya, hingga apabila percobaab dan ujian tidak sukses dan terjadi
talak tiga, barulah ditetapkan antara keduanya dinding pemisah, yaitu tidak
dibolehkan lagi rujuk (mengulangi kehidupan suami istri) kecuali sudah
memenuhi satu syarat, yakni yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT :

‫ِك‬ ‫ِحَت ِم‬


‫َفَال َّل َلُه ْن َبْع ُد َح ىَّت َتْن َح َزْوًج ا َغْيَرُه‬
“Maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain”. (QS. Al-Baqarah:230)

Selama suami belum sampai kepada talak tiga, sesungguhnya Islam


menganjurkan kembali kepada istrinya (rujuk) dengan tanpa keharusan
memperbaharui akad, selama istrinya itu masih dalam masa iddah, sedang bila
telah habis masa iddahnya, harus dengan akad dan mahar atau maskawin baru.
Sekalipun Islam memberi keleluasaan adanya talak ini, tapi dalam
pelaksanaannya pun dipagari dengan beberapa ikatan. Di antaranya, Islam
mengharamkan menceraikan istri di saat ia sedang haid (menstruasi) atau ketika
suci tapi telah digaulinya secara biologis.

53
Dalam menafsirkan firman Allah SWT pada surat Ath-Thalaq ayat 1 yang
berbunyi :

‫َيآُّيَه ا االَّنُّيِب ِاَذا َطَّلْق ُتُم الِّنَس آَء َفَطِّلُقْوُه َّن ِلِعَّد ِهِتَّن‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar)”. (QS. Ath-Thalaq:1)

Ibnu Abbas r.a. menyatkan bahwa seseorang tidak boleh menceraikan


istrinya manakala ia sedang haid, tidak pula dalam keadaan suci namun pernah
digaulinya (disetubuhi) dalam masa tersebut. Akan tetapi, ia harus
membiarkannya sampai haid kembali lalu suci, kemudian barulah boleh
menceraikannya satu kali.
Dalam ketetapan hukum Allah Azza wa Jalla kepada hamba-Nya, dengan
mengingat bahwa seorang suami terkadang merasakan kesepian akibat perceraian
dengan istrinya itu dan terkadang mendapatkan kerisauan, kebimbangan serta
kesulitan yang tidak bisa diajak damai (sabar), dan jelas ia menyadari bahwa
talaknya telah menjerumuskan dirinya pada kondisi demikian, maka rahmat Allah
SWT menghendaki pergaulan hak ini (rujuk), sebagai penjagaan terhadap
kesulitan dan menyambung tali yang terputus dari kehidupan damai dan kasih
sayang.
Selain kesepian dan kerisauan hidup menyendiri perlu juga diperhatikan
masa depan anak-anak yang menjadi tanggung jawab orang tua. Karena itu,
adanya tahapan bilangan talak ini juga memberi kesempatan berpikir bagi suami
istri yang bercerai tentang anak-anak mereka jika selamanya harus berpisah.
Sedangkan hikmah dalam penetapan hak rujuk dua kali adalah bahwa
ajaran (nasihat) tidak sempurna hanya satu kali saja, karena itu Allah SWT
menetapkan dua kali. Sedang apabila terjadi talak ketiga terhadap istrinya, maka
syari’at ketika itu menetapkan perpisahan dan perceraian antara keduanya (tak
dapat rujuk kembali) kecuali setelah mantan istri itu menikah dengan laki-laki
lain.
Itulah beberapa hikmah adanya bilangan talak dan rujuk bagi suami
(mantan suami) yang semuanya mencerminkan betapa fleksibel dan tolerannya
hukum Islam dalam mengayomi umatnya.

54
BAB IV
KESIMPULAN

Sebagai akhir dari uraian permasalahan judul materi yang dipaparkan di


atas, maka penulis merangkum yang menjadi kesimpulannya, supaya menjadi
terang dan jelas akhirnya, diantaranya :
1. Ada tiga hal yang menyebabkan putusnya suatu ikatan perkawinan, yaitu
kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Kematian merupakan penyabab

55
putusnya perkawinan yang tidak bersifat kausalitas, sedang perceraian dan
putusnya pengadilan memiliki unsur kausalitas. Kedua hal terakhir ini bisa
merupakan talak (cerai talak) atau khulu (cerai gugat), yang masing-masing
memiliki sebab (alasan) terjadinya. Putus perkawinan lantaran cerai talak
adalah bila kehendak cerai itu datang dari pihak suami (pihak suami yang
mengajukan permohonan cerai). Sedangkan bila gugatan cerai itu datang dari
pihak isteri, maka perceraian itu disebut cerai gugat (khulu).
2. Adapun yang menjadi dasar perintah mut’ah itu sendiri ialah firman Allah
SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 236 :

‫ِا‬
‫َالُج َن اَح َعَلْيُك ْم ْن َطَّلْق ُتُم الِّنَس آَء َم اْمَل َمَتُّس ْوُه َّن َاْو َتْف ِرُض ْوا ُهَلَّن َفِرْيَض ًة‬
‫َّوَم ِّتُع ْوُه َّن َعَلى اْلُمْو ِس ِع َق َد ُره‘ َو َعَلى اْلُم ْق ِرِت َق َد ُره‘ َم َتاًع ا ِب اْلَم ْعُرْو ِف َح ًّق ا‬
‫ِس ِن‬
‫َعَلى اْلُم ْح َنْي‬
Artinya : “Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu
yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah, bagi yang
mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu
menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut,
yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat
kebaikan”. (QS. Al-Baqarah:236)

3. Setelah diuraikan dari berbagai landasan yuridis atau hukum mut’ah, yang
diberikan suami kepada isteri yang telah dicerai, maka dalam hal ini para
ulama terbagi dalam dua kelompok, diantaranya :
a. Pertama Menghukumi Sunnah
Artinya bahwa hukum mut’ah ini sebenarnya tidak wajib dan boleh
ditinggalkan. Mampu atau tidak mampu si bekas atau mantan suami itu, ia
boleh tidak memberikan mut’ah kepada bekas isterinya. Pendapat ini ialah
pendapat mazhab Imam Malik.
Mazhab ini berpendapat atas kesunnahan mut’ah itu berdasarkan
ayat yang telah disebutkan di atas tadi. Perintahnya memang jelas, yaitu
perintah untuk mut’ah, tetapi di akhir ayat Allah SWT menerangkan kalau
itu ialah kewajiban bagi mereka yang berbuat baik, “haqqan ‘alal
muhsinin”. Kata al-muhsinin dalam bahasa Arab berarti ia yang yang
berbuat baik, atau ia yang melakukan tambahan kebaikan.

56
Mazhab ini, seperti yang dijelaskan dalam kitab fiqihnya
beranggapan dengan ujung ayat tersebut, bahwa mut’ah itu hanya bagi
mereka yang ingin berbuat baik saja. Artinya kewajibannya tidak
mencakup semua muslim, hanya bagi yang ingin menambah kebaikannya.
b. Kedua yang Menghukumi Wajib
Bahwa yang mengungkapkan begitu, adalah pendapat yang dianut
oleh kebanyakan mazhab fiqih, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Namun
kewajibannya tidak mutlak. Ya ini wajib bagi beberapa orang yang
termasuk dalam kategori yang sudah ditentukan. Artinya kalau ada lelaki
yang menceraikan isterinya tetapi dia bukan termasuk dalam kategori
orang yang wajib bayar mut’ah (menurut masing-masing mazhab), maka
tidak ada kewajiban baginya.
4. Adapun mengenai besaran mut’ah, hal ini memang berdasarkan dalam nash-
nash syari’ah, tidak pernah disebutkan berapa besaran atau kisaran yang harus
dibayarkan oleh seorang mantan suami kepada mantan isterinya sebagai
mut’ah, semua tergantung atas kemampuan si suami.
5. Untuk lebih memahami makna mut’ah, tentu layak kita mengetahui makna
tersebut, baik dilihat dari segi bahasa maupun istilah. Maka disini diuraikan

supaya lebih luas pemahamannya. Bahwa, selain dibaca mut’ah ( ‫ )املتعه‬dengan

dhammah mim. Ia juga terkadang dibaca dengan mut’ah (dengan kasrah mim).

Kata mut’ah sendiri merupakan variasi lain dari kata al-mata’ ( ‫)املتاع‬, yang

berarti sesuatu yang dijadikan sebagai objek bersenang-senang ( ‫به‬ ‫)ما يستمتع‬,
secara devinitif makna mut’ah sejumlah harta yang wajib diserahkan suami
kepada isterinya, yang telah diceraikannya semasa hidupnya dengan cara talak
atau cara yang semakna dengannya.

‫مال جيب على الزوج دفعه المرأته املفارقة ىف احلياة بطالق ومن ىف معناه‬
6. Selanjutnya, mengenai hukum talak, itu ada lima :
a. Wajib
b. Makruh atau haram
c. Mubah (boleh)
d. Sunnat

57
e. Haram
Dan sebab-sebab yang boleh menjatuhkan talak dengan tiada dibenci
Allah SWT ialah :
a. Isteri berbuat zina.
b. Isteri nusyuz, setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya.
c. Isteri suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang mengganggu
keamanan rumah tangga
d. Atau lain-lain sebab yang berat, yang tidak dapat memungkinkan
mendirikan rumah tangga dengan damai dan teratur.
Sedangkan laki-laki yang sah menjatuhkan talak, ialah :
a. Suami atau wakilnya.
b. Baligh (kanak-kanak tidak sah talaknya).
c. Berakal (orang yang gila tidak sah talaknya).
d. Tidak ada paksaan. Suami yang dipaksa menjatuhkan talak dengan tiada
hak, maka tidak sah talaknya.

DAFTAR PUSTAKA

1. “Tafsir Al-Qur’an Al-Karim”, Terjemah Departemen Agama.


2. Drs. H. Djauharuddin AR, “Rumahku Surgaku”. Penerbit P2A Kantor
Wilayah Depag Propinsi Jawa Barat, Tahun 1991.
3. K.H. Misbah Musthofa, “Wanita dan Permasalahannya Dalam Islam”.
Penerbit Romadhani, Jl. Kenari, Solo, Tahun 1985.
4. H. Moch. Anwar, “Hukum Perkawinan Dalam Islam”. Penerbit PT. Al-
Ma’arif, Jl. Tamblong Bandung, Tahun 1978.
5. Sayyid Sabiq, “Fikih Sunnah”. Penerbit PT. Al-Ma’arif, Bandung, Tahun
1978.
6. Imam Al-Ghazali, “Menyingkap Hakikat Perkawinan”. Penerbit Karisma, Jl.
Dipatiukur Bandung, Tahun 1988.

58
7. Imam Abdul A’la Al-Maududi, “Pedoman Perkawinan Dalam Islam”.
Penerbit Darul Ulum Press, Jakarta, Tahun 1987.
8. “Membangun Keluarga Sakinah”, Kanwil Departemen Agama Prop. Jawa
Barat, Tahun 2004.
9. Cahyadi Takariawan, “Pernak-pernik Rumah Tangga Islam”. Penerbit Era
Intermedia, Karangasem Solo, Tahun 2000.

“HUKUM MUT’AH TALAK”

Makalah Dibuat dan Disusun untuk Kelengkapan Kenaikan


Pangkat dan Golongan (KNP) Dalam Jabatan Fungsional Penghulu

59
Disusun oleh :
Drs. H. ABDUL HALIM, MA
NIP. 19650115 1994031002

KEMENTRIAN AGAMA KABUPATEN GARUT


KANTOR URUSAN AGAMA KEC. BANYURESMI
Jl. KH. Hasan Arief No. 205 Telp. (0262) 442366
Tahun 2012

KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الّرمحن الّرحيم‬

Segala puja, puji dan rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi,
Allah ‘Azza wa Jalla, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, dan juga
atas limpahan berbagai macam nikmat yang telah penulis rasakan sampai saat ini.
Begitu juga, tak lupa semoga shalawat dan salam, selamanya tak terhingga
tetap dicurahkan kepada baginda junjungan kita, yaitu Rasulullah Muhammad
SAW. Selanjutnya juga semoga tercurahkan kepada keluarganya, para shohabat,
para tabi’in, atbaut-tabi’in, para ulama safat, khalaf, sampai akhir zaman. Amin.
Selanjutnya, dengan untaian ungkapan, ucapan alhamdulillah, dalam hal ini
penulis bisa menyelesaikan penyusunan judul “HUKUM MUT’AH TALAK”.
Pembahasan pemaparan judul di atas bisa dirangkum, untuk menempuh
kelengkapan pengajuan Kenaikan Pangkat dan Golongan Dalam Jabatan
Fungsional Penghulu Madya.

60
Kiranya di dalam pemaparan judul di atas, tentunya ada beberapa
kelemahan dan kekurangan, oleh karena itu kepada pihak yang menemukan,
dimohon agar meluruskan dan memperbaikinya.
Akhirnya, segala daya dan upaya yang telah dikiprahkan dan dicurahkan,
semoga semuanya mendapat imbalan dari Allah SWT. amin.

Garut, Desember 2012


Penulis,

Drs. H. ABDUL HALIM, MA


NIP. 19650115 1994031002

DAFTAR ISI

i Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pendahuluan ........................................................................... 1
B. Pengertian Mut’ah .................................................................. 6
BAB II LANDASAN YURIDIS HAK MUT’AH
A. Landasan Yuridis Hak Mut’ah ................................................ 8
B. Hukum Mut’ah Talak ............................................................. 10
C. Besaran Mut’ah ...................................................................... 17
D. Hukum Mut’ah di Indonesia .................................................. 18
BAB III PUTUSNYA PERNIKAHAN DAN AKIBAT YANG TIMBUL
DARI PADANYA
A. Pengertian Talak ..................................................................... 20
B. Dasar Hukum Talak ................................................................ 22
C. Hukum Talak .......................................................................... 36

61
D. Macam-macam Talak ............................................................. 41
E. Akibat Talak ............................................................................ 45
F. Ketika Perspektif Hukum Kurang Adil Gender ...................... 49
G. Akibat Cerai Gugat (Khulu) ................................................... 50
H. Iddah dan Macamnya ............................................................. 51
I. Hikmah Adanya Bilangan Talak ............................................. 56
BAB IV KESIMPULAN ........................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 63

62

Anda mungkin juga menyukai