Anda di halaman 1dari 18

Status Perkawinan Bagi Isteri yang Ditinggal Pergi

Suami Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif


(Studi Kasus di Desa Teluk Kecamatan Labuan
Kabupaten Pandeglang)

Oleh: Mia Mardiana

Abstrak
Dalam kehidupan berumah tangga setiap orang pasti mencita-
citakan kehidupan yang nyaman dan bahagia, tetapi saat ini
masyarakat menilai bahwasannya kehidupan bahagia adalah hidup
dengan kekayaan atau harta yang melimpah dan tidak serba
kekurangan. Namun, untuk membentuk rumah tangga bahagia
memang tidak semudah membalikkan telapak tangan dan banyak
yang mengalami kegagalan sebagaimana beberapa kasus yang terjadi di
Desa Teluk Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang tentang isteri
yang ditinggalkan suami untuk bekerja dan yang lainnya tetapi tidak
ada nafkah dan tidak ada kabar kepada isterinya sampai beberapa
tahun yang membuat isteri bingung akan status mereka apakah masih
isteri sahnya atau tidak dan dari kesulitan ekonomi sehingga sebagian
dari isteri memutuskan untuk menikah kembali.Dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode Kualitatif, jenis penelitian lapangan
(Field Research) dan teknik Deskriptif Analisis yaitu bertujuan
untuk memperoleh gambaran secara rinci dan menyeluruh mengenai
objek masalah yang diteliti dan kemudian dianalisa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa: Beberapa realita sosial isteri yang ditinggal pergi suami di Desa
Teluk yaitu: Mayoritas mereka para isteri ditinggalkan pergi suami
dengan alasanuntuk bekerja karena kekurangan ekonomi, ada juga
suami pergi begitu saja tanpa alasan, yang menyebabkan nusyuz suami
kepada isterinya yaitu suami tidak melaksanakan kewajibannya yang
bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajibannya yang
bersifat nonmateri diantaranya mu’asyarah bi al ma’ruf atau menggauli
isterinya dengan baik, bahkan adapula suami pergi meninggalkan

111
isterinya karena orang ketiga. Berdasarkan realita sosial yang
diuraikan di atas tentang status isteri yang ditinggalkan pergi suami
menurut Hukum Islam dan Positif dilihat dari mayoritas para
responden status perkawinannya masih tetap isteri sah suaminya, dan
perkawinan kedua dengan laki-laki lain dianggap tidak sah dengan
alasan dilarang melangsungkan perkawinan antara pria dan wanita
yang apabila wanita yang dikawini masih terikat suatu perkawinan
dengan pria lain. Dan sebagaimana telah dijelaskan di Pasal 38 huruf
c bahwasannya harus atas keputusan Pengadilan dan di Pasal 39 ayat
(1) dijelaskan Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha tidak
berhenti mendamaikan kedua belah pihak, sedangkan mayoritas dari
responden pasrah atau menerima nasib dan tidak mengusahkan untuk
mengajukan ke Pengadilan.
Kata kunci: Pekawinan, Isteri, Hilangnya Suami.

PENDAHULUAN
Islam sebagai agama dan sistem ajaran telah menjalani
proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam
rentang waktu yang panjang dan dalam ruang budaya yang
beragama, termasuk juga perkawinan merupakan ajaran Islam
yang tidak bisa dilepaskan dari konteks hukum dan budaya
dalam prosesnya.1 Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha
Esa.2 Bahwa ikatan lahir batin merupakan hal yang sangat
penting dari suatu perkawinan menunjukan bahwa tujuan
perkawinan bukan hanya untuk memenuhi hawa nafsu
semata, akan tetapi lebih kepada mewujudkan kehidupan
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha
Esa. Karena pada asasnya bahwa perkawinan adalah
merupakan ikatan yang kuat (mistaqan galidzan).3

112
Perkawinan merupakan jalan untuk menyalurkan naluriah
manusiawi, untuk memenuhi tuntunan nafsu syahwatnya
dengan tetap memelihara keselamatan Agama.Suami isteri
bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai
tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan
dapat memelihara anak-anaknya bisa menjadi generasi yang
berkualitas. Oleh karena itu, ikatan antara suami isteri adalah
ikatan yang paling suci dan kokoh, sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an surah An-Nisa/4: 21 sebagai berikut:4

‫َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِميثَاقًا َغلِيظًا‬ ٍ ‫ض ُك ْم إِلَى بَ ْع‬


َ ‫ض َوأ‬ ُ ‫ف تَأْ ُخ ُذونَهُ َوقَ ْد أَفْض ىبَ ْع‬
َ ‫َوَكْي‬
”Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat”.(Q.S. An-Nisa/4: 21)5

Dalam kehidupan berumah tangga setiap orang pasti


mencita-citakan kehidupan yang nyaman dan bahagia, yang
penuh dengan kasih sayang dan cinta kasih.Saat ini
masyarakat menilai bahwasannya kehidupan yang bahagia
adalah hidup dengan kekayaan atau harta yang melimpah dan
tidak serba kekurangan.Melihat fenomena yang ada banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya perselisihan di dalam
rumah tangga salah satunya perbedaan pendapat antara suami
dan isteri dalam menyikapi permasalahan rumah tangga.Akan
tetapi ego sering kali sudah tidak dapat di kendalikan dan
menyebabkan kondisi rumah tangga menjadi memanas dan
tidak harmonis.
Perceraian diakui dalam Islam sebagai salah satu jalan
keluar dari kemelut rumah tangga yang disebabkan oleh
pertengkaran yang tidak ada hentinya, atau sebab lain yang
mengakibatkan hubungan suami isteri yang awalnya dipenuhi
dengan kasih sayang namun akhirnya berubah menjadi
kebencian di antara mereka.6

113
Dalam fiqih, putusnya perkawinan atau perceraian ada
yang terjadi atas inisiatif, yang disebut talak, ada yang
merupakan inisiatif istri dengan cara mengajukan ganti rugi
yang disebut Khulu’ dan ada yang terjadi atas inisiatif pihak
ketiga yaitu hakim yang disebut fasakh.7
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bab XVI tentang
putusnya perkawinan pasal 113 berbunyi, perkawinan dapat
putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. Atas putusan Pengadilan.8

Sedangkan yang terjadi pada permasalahannya adalah


mengenai bagaimana status isteri yang ditinggal pergi suami,
mungkin karena sebab suami pergi jauh untuk mencari
rezeki, menuntut ilmu atau mengalami penculikan tanpa
pernah memberi kabar dan informasi tentang
keberadaannya.Sehingga tidak dapat menjalankan hak dan
kewajiban sebagaimana mestinya.
Allah swt telah menjelaskan hal ini dalam surat al-Baqarah
ayat 231, Allah SWT. Berfirman:
ِ ِ ِ ‫والتُم ِس ُكوه َّن‬
ُ‫ك فَ َق ْدظَلَ َم نَ ْف َسه‬
َ ‫ضَر ًارالتَ ْعتَ ُدو َاوَم ْن يَ ْف َع ْل َذل‬ ُ ْ َ
“Dan janganlah engkau tahan mereka untuk memberi
kemudharatan bagi mereka, karena demikian itu berarti kamu
menganiaya mereka.Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia
telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. al-Baqarah:
2/231).9

Sejauh ini bagi masyarakat awam dalam menanggapi


persoalan demikian akan bertindak secara instan, jika sang
suami sudah tidak memberi kabar pasti dari pihak keluarga
isteri menyarankan agar sang isteri melupakan suami dan
menikah dengan orang lain. Hal ini diperparah dengan
kondisi masyarakat yang tanpa pengajuan gugatan cerai

114
terlebih dahulu ke Pengadilan, hal ini secara Hukum berarti
menyalahi aturan yang ada.
Isteri tidak dapat memutuskan sendiri untuk dapat
menikah dengan orang lain tanpa mengajukan gugatan cerai
ke Pengadilan. Akan tetapi hal ini berbeda dengan realita
yang ada di masyarakat terutama di desa Teluk ini. Apabila
suami tidak ada kabar beritanya dan tidak memberi nafkah,
maka mereka melakukan pernikahan dengan orang lain.
Padahal isteri itu tetap isteri sah dari suaminya artinya
perkawinan keduanya belum terputus sampai adanya putusan
dari Pengadilan. Dan perkawinan yang kedua dapat
dibatalkan bila perempuan yang dikawini ternyata diketahui
masih menjadi isteri pria lain.

PEMBAHASAN
1. Status isteri yang ditinggal pergi suami
a. Pandangan Hukum Islam terhadap status Isteri
yang ditinggal pergi Suami
Seorang suami memiliki kewajiban untuk menafkahi
isterinya, dalam kitab Fiqh sunnah menurut Sayyid Sabiq
nafkah ialah pemenuhan kebutuhan kepada isteri terkait
makanan, tempat tinggal, layanan, dan obat meskipun ia
(isterinya) seorang yang kaya.10 Adapun nafkah isteri adalah
nafkah yang wajib diterima oleh isteri dari suaminya karena
sebab akad nikah.11
Para fuqoha sepakat, akan wajibnya nafkah untuk
isteri baik muslimah maupun kafir jika memang dinikah
dengan akad yang sah. Akan tetapi, jika pernikahannya fasid
atau batal maka suami berhak meminta nafkah yang telah
diambil oleh isterinya.

Sebagaimana dijelaskan Q.S. Ath-Thalaq ayat 7:


ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ٍ ُ‫لِي ْن ِفق ذ‬
ُ‫ف اللَّه‬
ُ ِّ‫وس َعةم ْن َس َعته َوَم ْن قُد َر َعلَْيه ِرْزقُهُ فَْليُْنف ْق م َّماآتَهُ اللَّهُ اليُ َكل‬َ ْ ُ
ٍ َّ
‫اسيَ ْج َع ُل اللهُ بَ ْع َدعُ ْسريُ ْسًرا‬ َ ِ‫نَ ْف ًساإ‬
َ ‫الماآتَ َه‬

115
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S. Ath-Thalaq: 7)12

Adapun syarat wajib nafkah menurut mayoritas ulama


ada empat macam sebagai berikut:
1. Isteri menyerahkan dirinya kepada suami dengan
sepenuhnya.
2. Isteri sudah dewasa dan mampu melakukan hubungan
suami isteri.
3. Akad nikah yang dilangsungkan termasuk akad nikah
yang sah.
4. Hak suami tidak hilang dalam hal penahanan isteri di
sisinya tanpa izin syar’i.13

Dalam pemberian wajib nafkah suami kepada isteri


sering kali tidak tertunaikan dengan sengaja berdasarkan
beberapa realita sosial yang terjadi di masyarakat yang telah
penulis wawancarai. Maka, dari hal tersebut bisa termasuk
kepada nusyuz suami.
Adapun nusyuz suami adalah pendurhakaan suami
kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap
isterinya. Nusyuz suami ini terjadi apabila suami tidak
melaksanakan kewajibannya yang bersifat materi atau nafaqah
atau meninggalkan kewajibannya yang bersifat nonmateri
diantaranya mu’asyarah bi al ma’ruf atau menggauli isterinya
dengan baik.14
Tindakan isteri bila menemukan pada suaminya sifat
nusyuz dijelaskan dalamQ.S. An-Nisa ayat 128 sebagai
berikut:

116
ِ ‫ضر‬
‫ت‬ ِ ‫صْلُ خي روأ‬ ِ ‫وإِ ِن امرأَةٌخافَت ِمن ب علِهانُشوزاأَوإِعراضافَالجنَاح علَي ِهماأَ ْن ي‬
َ ُْ
ْ َ ٌ ْ َ ُ ‫اُْل ًح َاوال ل‬
ُ ‫صل َحابَْي نَ ُه َم‬ ْ ُ َ ْ َ َ ُ ً َْ ْ ً ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ
‫لُ َوإِ ْن تُ ْح ِسنُو َاوتَتَّ ُقوافَإِ َّن اللَّهَ َكا َن بِ َماتَ ْع َملُو َن َخبِ ًيرا‬
َّ ‫س الش‬
ُ ‫األنْ ُف‬

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau


sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabi’atnya
kikir, Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (Qs. An-Nisa: 128).15
Hukum Islam mengakui adanya empat cara yang sah
untuk pemutusan perkawinan yaitu: (1) kematian dari salah
satu pihak, (2) talak, termasuk talaq dan talaq melalui syiqaq,
(3) khulu’, termasuk khulu’ melalui syiqaq dan (4) fasakh, isteri
dapat meminta cerai apabila suaminya ghaib atau tidak berada
ditempat selama beberapa waktu.16
Dari empat cara pemutusan perkawinan yang telah
disebutkan di atas dalam buku Fiqih Kontemporer karya Dr.
H. Sudirman bahwasannya beliau membatasi pemahaman
pada putusnya perkawinan, apabila suami ghaib atau tidak
berada di tempat selama beberapa waktu. Hal ini dapat kita
cantumkan beberapa pendapat ulama fiqih.17
Mengenai batas waktu hilangnya suami:
1) Imam Malik mengatakan setahun.
2) Imam Ahmad Ibn Hambal berpendapat bahwa waktu
tercepat bagi kebolehan isteri minta diceraikan adalah
enam bulan. Setelah enam bulan ini, ia boleh minta
dipisahkan, sebab waktu inilah yang paling lama bagi
wanita untuk bisa sabar atas hilangnya suami.
3) Imam Hanafi dan Imam syafi’I tidak membolehkan
seorang isteri mengajukan gugatan cerai walaupun suami
tersebut hilang, mengatakan hilangnya suami bukan
menjadi alasan bagi isteri untuk meminta putusnya
pernikahan karena thalaq itu kendali suami.

117
4) Sedangkan menurut Ijma
Bahwa isteri dari seorang yang ditawan tidak boleh
menikah sampai ia yakin akan kematian suaminya. Jika
ketidakberadaannya tidak terputus (hubungannya dengan
isterinya) sama sekali dimana laki-laki tersebut masih
diketahui tempatnya dan masih pula diterima kabar
beritanya. Maka, isterinya tidak boleh menikah dengan
laki-laki lain.18
Dan mengenai Suami yang ghaib jika seorang suami
tidak berada ditempat, tidak berada disisi isteri lebih dari
1 tahun lamanya tanpa adanya udzur yang bisa
dibenarkan, sementara sang isteri mengalami penderitaan
akibat keberadaan suami yang jauh itu maka merupakan
hak bagi isteri untuk membawa permasalahan yang
dihadapinya ke Pengadilan.19

b. Pandangan Hukum Positif terhadap status Isteri yang


ditinggal pergi Suami
Dalam hukum positif disebutkan jika suami hilang
selama 2 tahun berturut-turut tidak ada kabar serta isteri
sudah putus asa untuk mencarinya maka isteri berhak
mengajukan perceraian kepada pengadilan sebelum isteri
menikah kembali.20
Dalam Undang-undang ini ketentuan perceraian telah
diatur dalam Pasal 38 perkawinan dapat putus karena:
a. kematian
b. perceraian dan
c. atas putusan pengadilan.

Berdasarkan peraturan yang dijelaskan pada pasal 39


menjelaskan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
perceraian adalah:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

118
berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua
belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri.21

2. Realita sosial Isteri ditinggal pergi Suami di Desa Teluk


Berdasarkan wawancaradari beberapa responden yang
penulis wawancarai mayoritas mereka para isteri ditinggalkan
pergi suami dengan alasanuntuk bekerja karena kekurangan
ekonomi, ada juga suami pergi begitu saja tanpa alasan, yang
menyebabkan nusyuz suami kepada isterinya yaitu suami
tidak melaksanakan kewajibannya yang bersifat materi atau
nafaqah atau meninggalkan kewajibannya yang bersifat
nonmateri diantaranya mu’asyarah bi al ma’ruf atau menggauli
isterinya dengan baik, bahkan adapula suami pergi
meninggalkan isterinya karena orang ketiga.
Kondisi mayoritas dari mereka yang ditinggalkan pergi
oleh suaminya itu, kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya.Dan untuk memenuhi kebutuhannya mereka
bekerja sebagai serabutan, adapula yang bekerja sebagai
pembantu, buruh pabrik dan lainnya. Mayoritas isteri yang
ditinggalkan pergi suami itu dalam jangka waktu yang lama
bukan hanya beberapa bulan tetapi ada yang dari 2,5 tahun
sampai 9 tahun tanpa kabar dan nafkah yang diberikan.
Beberapa sikap isteri yang ditinggalkan pergi suaminya
ada yang memilih untuk tidak menikah lagi, ada juga yang
memilih untuk tetap menunggu suaminya sampai ada
kepastian, tetapi mayoritas dari para responden menikah lagi
dengan alasan ingin melanjutkan kehidupannya agar ada yang
menafkahi.

119
3. Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif tentang
Isteri yang ditinggal pergi Suami di Desa Teluk
a. Pandangan Hukum Islam tentang isteri yang
ditinggal pergi suami di Desa Teluk
Hukum Islam mengakui adanya empat cara yang sah
untuk pemutusan perkawinan yaitu (1) kematian dari salah
satu pihak, (2) talak, termasuk talaq dan talaq melalui syiqaq,
(3) khulu’, termasuk khulu’ melalui syiqaq dan (4) fasakh, isteri
dapat meminta cerai apabila suaminya ghaib atau tidak berada
ditempat selama beberapa waktu.22
Dari empat cara pemutusan perkawinan yang telah
disebutkan di atas dalam buku Fiqih Kontemporer karya Dr.
H. Sudirman bahwasannya beliau membatasi pemahaman
pada putusnya perkawinan, apabila suami ghaib atau tidak
berada di tempat selama beberapa waktu. Hal ini dapat kita
cantumkan beberapa pendapat ulama fiqih.23

Mengenai batas waktu hilangnya suami:


1. Imam Malik mengatakan setahun.
2. Imam Ahmad Ibn Hambal berpendapat bahwa waktu
tercepat bagi kebolehan isteri minta diceraikan adalah
enam bulan. Setelah enam bulan ini, ia boleh minta
dipisahkan, sebab waktu inilah yang paling lama bagi
wanita untuk bisa sabar atas hilangnya suami.
3. Imam Hanafi dan Imam syafi’I tidak membolehkan
seorang isteri mengajukan gugatan cerai walaupun suami
tersebut hilang, mengatakan hilangnya suami bukan
menjadi alasan bagi isteri untuk meminta putusnya
pernikahan karena thalaq itu kendali suami.
4. Sedangkan menurut Ijma
Bahwa isteri dari seorang yang ditawan tidak boleh
menikah sampai ia yakin akan kematian suaminya. Jika
ketidakberadaannya tidak terputus (hubungannya dengan
isterinya) sama sekali dimana laki-laki tersebut masih
diketahui tempatnya dan masih pula diterima kabar

120
beritanya. Maka, isterinya tidak boleh menikah dengan
laki-laki lain.

b. Pandangan hukum positif tentang isteri yang ditinggal


pergi suami di Desa Teluk
Dalam hukum positif disebutkan jika suami hilang
selama 2 tahun berturut-turut tidak ada kabar serta isteri
sudah putus asa untuk mencarinya maka isteri berhak
mengajukan perceraian kepada pengadilan sebelum isteri
menikah kembali.24
Dalam Undang-undang ini ketentuan perceraian telah
diatur dalam Pasal 38 perkawinan dapat putus karena: a.
kematian b. perceraian dan c. atas putusan pengadilan.
Berdasarkan peraturan yang dijelaskan pada pasal 39
menjelaskan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
perceraian adalah:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua
belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur
dalan peraturan perundangan tersendiri.

Berdasarkan realita sosial tentang status isteri yang


ditinggalkan pergi suami menurut Hukum Positif dilihat dari
mayoritas para responden status perkawinannya masih tetap
isteri sah suaminya, dan perkawinan kedua dengan laki-laki
lain dianggap tidak sah sebagaimana telah dijelaskan di Pasal
38 huruf c bahwasannya harus atas keputusan Pengadilan dan
di Pasal 39 ayat (1) dijelaskan Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha tidak berhenti mendamaikan

121
kedua belah pihak, sedangkan mayoritas dari responden
pasrah atau menerima nasib dan tidak mengusahakan untuk
mengajukan ke Pengadilan.

PENUTUP
Kesimpulan yang diambil dari tulisan ini yaitu, sebagai
berikut:
1. Beberapa realitas sosial isteri yang ditinggal pergi suami
di desa Teluk yaitu: Mayoritas mereka para isteri
ditinggalkan pergi suami dengan alasanuntuk bekerja
karena kekurangan ekonomi, ada juga suami pergi begitu
saja tanpa alasan, yang menyebabkan nusyuz suami
kepada isterinya yaitu suami tidak melaksanakan
kewajibannya yang bersifat materi atau nafaqah atau
meninggalkan kewajibannya yang bersifat nonmateri
diantaranya mu’asyarah bi al ma’ruf atau menggauli
isterinya dengan baik, bahkan adapula suami pergi
meninggalkan isterinya karena orang ketiga. Dan
mayoritas isteri yang ditinggalkan pergi suami itu dalam
jangka waktu yang lama bukan hanya bulanan tetapi ada
yang dari 2,5 tahun sampai 9 tahun tanpa kabar dan
nafkah yang diberikan. Beberapa sikap isteri yang
ditinggalkan pergi suaminya ada yang memilih untuk
tidak menikah lagi, ada juga yang memilih untuk tetap
menunggu suaminya sampai ada kepastian, tetapi
mayoritas dari para responden menikah lagi dengan
alasan ingin melanjutkan kehidupannya agar ada yang
menafkahi.
2. Status isteri yang ditinggal pergi suami menurut hukum
Islam dilihat dari mayoritas responden status
perkawinannya masih tetap isteri sah suami pertamnya
dan perkawinan yang kedua dengan laki-laki lain itu tidak
sah dan dapat dibatalkan. Karena dilarang

122

52
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
wanita dengan keadaan yang apabila wanita yang
dikawini ternyata diketahui masih terikat suatu
perkawinan dengan pria lain. Sedangkan menurut
Hukum Positif dilihat dari mayoritas para responden
status perkawinannya masih tetap isteri sah suaminya,
dan perkawinan kedua dengan laki-laki lain dianggap
tidak sah sebagaimana telah dijelaskan di Pasal 38 huruf c
bahwasannya harus atas keputusan Pengadilan dan di
Pasal 39 ayat (1) dijelaskan Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha tidak berhenti
mendamaikan kedua belah pihak, sedangkan mayoritas
dari responden pasrah atau menerima nasib dan tidak
mengusahakan untuk mengajukan ke Pengadilan.

Mia Mardiana, S.H., Alumni Fakultas Syari’ah UIN


SMH Banten

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Cv


Akademika Pressindo, 2010, Cetakan keempat.

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta:


Granit, 2004, Cetakan Pertama.

An’im, Abu, Referensi Penting Amaliyah NU dan Problematika


Masyarakat, Kediri: Mu’jizat Manivestasi Santri
Jawa Barat, 2010, Cetakan pertama.

Bunyamin, Mahmud dan Hermanto, Agus, Hukum


Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka setia, 2017,
Cetakan I.

123
Dimyati, Johni, Metodologi Penelitian Pendidikan& Aplikasinya,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, Cet
ke-1.

Giri P,EM, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
Jakarta Selatan: Transmedia Pustaka, 2007, Cetakan
Pertama.

Kementerian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan


Berpolitik, Di Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariahm, Direktorat Jenderal
Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2012,
Cetakan kedua.

Lestari, Novita Dwi, “Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan


Pendapat Madzhab Syafi’I tentang Batasan Masa Tunggu
Suami/Isteri Mafqud”, Jurnal Islam Nusantara vol 02
No. 01 (Januari-Juni 2018), Universitas Nurul
Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.

Mawardi, Udi Mufradi Teologi Pernikahan Internalisasi Nilai-


Nilai Teologis Islam Pasca Akad Nikah, Serang:
PUDPress, 2016.

Muthia, Aulia, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga,


Yogyakarta: PT Pustaka Baru, 2017, Cetakan
Pertama.

Moeleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 2006.

Rahman, Taufik, Hadis-Hadis Hukum, Bandung: CV Pustaka


Setia, 2000, Cetakan Pertama, h. 33.

124
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada: 2013, Cetakan ke-1.

Rulam, Ahmad, Metodologi Penelitian Kualitatif, Sleman


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016, Cetakan ketiga.

Sudirman, Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: Deepublish


Publisher, 2018, Cet. 1

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kulaitatif dan R&D,


Bandung: Alfabeta Cv, 2014, Cetakan ke 21.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta:


Kencana, 2006.

Syuaisyi’, Hafizh Ali, Kado Pernikahan, Jakarta: Pustaka Al-


Kautsar, 2015, Cetakan 1.

Tika, Moh Pabundu Metode Penelitian Geografi, Jakarta: Media


Grafika, 2005.

Tim Redaksi BIP, Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Bhuana


Ilmu Populer, 2017.

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung:


CV Nuansa Aulia, 2015, Cetakan ke-6.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen


Agama RI, Di Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Pustaka
Amani Jakarta, 2005.

Zainuddin bin Abdul Azis Al-Malibara, Fiqih Populer Terjemah


Fathul Mu’in, Penerjemah: Fikri Hakim, Abu
Sholahuddin, Kediri: Lirboyo Press, 2014

125
Catatan Akhir

1
Mahmudin Bunyamin, Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam,
(Bandung: CV Pustaka setia, 2017), Cetakan I, h. 4-5.
2
Tim Redaksi BIP, Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 2017), h. 2.
3
Novita Dwi Lestari, “Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pendapat
Madzhab Syafi’I tentang Batasan Masa Tunggu Suami/Isteri Mafqud”,
Jurnal Islam Nusantara vol 02 No. 01 (Januari-Juni 2018), Universitas Nurul
Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
4
Kementerian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik, Di Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (Jakarta: Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariahm, Direktorat Jenderal Bimas
Islam Kementerian Agama RI: 2012), Cetakan kedua, h. 343-344
5
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Di
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Jakarta: Pustaka Amani Jakarta: 2005), h. 105.
6
Aulia Muthia, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga,
(Yogyakarta: PT Pustaka Baru, 2017), Cetakan Pertama, h. 104.
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 243.
8
Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa
Aulia, 2015), Cetakan ke-6, h. 33.
9
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI…
h 46.
10
Gus Arifin, Sundus Wahidah, Fikih Wanita, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2018), Cetakan Pertama, h. 497.
11
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid Ke-10... Cetakan 1,
h. 110.
12
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI…
h.
13
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid Ke-10... Cetakan 1,
h. 133-134
14
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan… Edisi Pertama, h. 193
15
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI…
h
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia… h. 243
17
Sudirman, Fiqih Kontemporer... Cet. I. h. 128-129.
18 18
Sudirman, Fiqih Kontemporer... Cet. I. h. 129.
19
Muhammad Utsman Al-Khasyt,Fikih Wanita Empat Madzhab, (Bandung:
Ahsan Publishing, 2010), Cetakan Pertama, h. 359.
20
Sudirman, Fiqih Kontemporer... Cet. I. h. 130

126
21
EM Giri P, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta Selatan: Transmedia Pustaka,
2007), Cetakan Pertama, h. 17.
22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia… h. 243.
23
Sudirman, Fiqih Kontemporer... Cet. I. h. 128-129.
24
Sudirman, Fiqih Kontemporer... Cet. I. h. 130

127
128

Anda mungkin juga menyukai