Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa
adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan
perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami isteri tersebut.
Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya tetap utuh
sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pula perkawinan yang
dibina dengan susah payah itu berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak
selalu perkawinan yang dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun
sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik,
tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih untuk
membubarkan perkawinan.
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan
tanggung jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat di
luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara
mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam
suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam
memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun perceraian itu
merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci perceraian
tersebut.
Tujuan perkawinan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis yang
menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas, meliputi segala
aspek kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupun batiniah. Sejalan dengan tujuannya,
perkawinan memiliki sejumlah hikmah atau keuntungan bagi orang yang melakukannya. Dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (3, Ajaran, Perkawinan halaman 66), serta menurut Sayid
Sabiq, ulama fikih kontemporer (I. Istanha, Mesir, 1915) dalam bukunya Fiqh as-Sunnah,
mengemukakan sebagai berikut:
1. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.
2. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat menjaga
kelestarian hidup umat manusia.
3. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan rumahtangga
bersama anak-anak. Hubungan itu akan menumbuhkan rasa kasih sayang, sikap jujur, dan
keterbukaan, serta saling menghargai satu sama lain sehingga akan meningkatkan kualitas
seorang manusia. (QS.30:21, 16:72).
4. Melahirkan organisasi (tim) dengan pembagian tugas/tanggungjawab tertentu, serta
melatih kemampuan bekerjasama.
1

5. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga, sehingga memupuk rasa
sosial dan dapat membentuk masyarakat yang kuat serta bahagia.
Dalam mengayuh biduk rumah tangga tersebut, pada kenyataannya selalu ada aral dan
cobaan yang merintang. Selain itu kalau kita amati, seiring lemahnya pemahaman agama dan
kurangnya pemahaman tentang ketatanegaraan, seringkali kita menemukan sebagian yang
mengalami kebingungan apa dan bagaimana sejatinya perceraian itu. Karena itulah di sini
kami akan mencoba mengurai tentang perceraian tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian perceraian dalam islam?
2. Bagaimana putusnya perkawinan menurut islam?
3. Bagaimana putusnya perkawinan menurut UU Perkawinan dan kompilasi hukum
islam?
4. Faktor apa saja yang menyebabkan maraknya perceraian?
5. Apa kiat untuk menghindari perceraian?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui Pengertian perceraian dalam islam
2. Mengetahui Bagaimana putusnya perkawinan menurut islam
3. Mengetahui Bagaimana putusnya perkawinan menurut UU Perkawinan dan
kompilasi hukum islam
4. Faktor apa saja yang menyebabkan maraknya perceraian
5. Apa kiat untuk menghindari perceraian

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian perceraian
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, pereraian diartikan sebagai:
1. Pisah
2. Putusnya hubungan suami istri
3. Talak
Secara harfiah, pengertian perceraian (talak) adalah pemutusan ikatan pernikahan secara
agama dan hukum. Sedangkan berdasarkan istilah syara ialah melepaskan ikatan
pernikahan pernikahan atau perkawinan dengan kalimah atau lafaz yang menunjukkan
talak atau perceraian.
B. Pengembangan Makna Putusnya Perkawinan
1.
Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara
lain karena adanya thalaq dari suami, karena adanya putusan hakim, dan karena putus
dengan sendirinya (karena kematian). Di dalam makalah ini, putusnya perkawinan karena
kematian tidak akan penulis uraikan lebih lanjut karena putusnya perkawinan disebabkan
kematian dapat dimaklumi karena merupakan kehendak Allah SWT.
Adapun yang menyebabkan putusnya perkawinan sebagaimana yang penulis sebutkan di
atas adalah sebagai berikut:
a. Putusnya Perkawinan Karena Thalaq.
Kata Thalaq diambil dari kata ithlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan
atau secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Ia dipergunakan dalam syariah
untuk menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah perkawinan. Meskipun
Islam memperkenankan perceraian jika terdapat alasan-alasan yang kuat baginya, namun
hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.
Menurut Muhammad Ismail al-Kahlani, Thalaq adalah:
:
.C
Thalaq menurut bahasa yaitu membuka ikatan, yang diambil dari kata ithlaq yaitu
melepaskan, menanggalkan
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaily, Thalaq ialah :

.D
Thalaq menurut bahasa ialah membuka ikatan atau melepaskan.
Sementara itu Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa thalaq itu dapat dipahami sebagai
berikut:
Thalaq menurut istilah syarak ialah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya
hubungan perkawinan
Maksudnya ialah bahwa ikatan perkawinan itu akan putus dan berakhirnya hubungan
suami isteri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan thalaq kepada isterinya.
3

Memperhatikan beberapa pengertian Thalaq di atas baik secara bahasa maupun


istilah dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan thalaq adalah melepaskan
atau mengakhiri ikatan perkawinan antara suami dan isteri dengan ucapan atau dengan
tata cara yang ditetapkan.
Setelah ikatan perkawinan itu diangkat atau dilepaskan maka isteri tidak halal lagi
bagi suaminya. Hal ini terjadi bila suami melaksanakan thalaq bain. Tapi apabila suami
melaksanakan thalaq raji maka hak thalaq berkurang bagi suami, yang pada awalnya
suami memiliki hak menjatuhkan thalaq tiga kali, maka sekarang menjadi dua dan
menjadi satu. Dengan kata lain thalaqraji adalah mengurangi pelepasan ikatan
perkawinan.
Islam menentukan bahwa thalaq merupakan hak sepenuhnya yang berada
ditangan suami.Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami boleh
menjatuhkan thalaq kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Hal ini sesuai denagan
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah kecuali al-Nasa'isebagai berikut:

.E
( )
"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga perkara
sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-singguh dan main-main
menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq, dan rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah
kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-kan oleh Hakim)
Hal-hal yang menyebabkan suami mempunyai wewenang dalam menjatuhkan
thalaq kepada isterinya adalah karena suami diberi beban membayar mahar dan
menyelenggarakan nafkah isteri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan
menjamin nafkah bekas isterinya selama ia menjalani masa 'iddah. Disamping itu suami
pada umumnya tidak mudah terpengaruh oleh emosi terhadap masalah yang dihadapinya
dan senantiasa mempertimbangkan segala persoalan melalui pikirannya.Berbeda dengan
wanita yang sangat mudah dipengaruhi emosi dalam menghadapi berbagai kemelut,
termasuk kemelut Rumah Tangga. Oleh karena itu jika hak thalaq diberikan kepada isteri
maka keutuhan rumah tangga akan sering goyah. Disebabkan karena masalah kecil saja
dapat menyebabkan isteri menjatuhkan thalaq-nya, sesuai dengan tuntutan emosi
mereka.
b.

Putusnya perkawinan karena Khulu


Khulu berasal dari kata khulu al-tsaub yang berarti melepaskan atau
mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi laki-laki, dan
juga sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
Sama dengan hak yang diberikan bagi suami untuk menceraikan isterinya, maka si isteri
juga dapat menuntut cerai jika ada cukup alasan baginya. Jika suami berlaku kejam, maka
isteri dapat meminta cerai (khulu) dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang sekiranya
tidak patut baginya.
Khulu adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti
menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang
4

iwadhatau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau
khulu. Bila terjadi cerai dengan cara khulu maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk
kepada isterinya. Dari tinjauan sighat, khulu mengandung pengertian penggantungan
dan ganti rugi oleh pihak isteri. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar
sejumlah yang disyaratkan suami.
Perceraian yang disebabkan khulu adalah merupakan thalaq bain. Maka bila
suami telah melakukan khuluterhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju kembali
kepada isteri sekalipun isteri rela menerima kembali uang iwadh yang telah
dibayarkannya. Jika isteri bersedia kembali bekas suaminya tersebut ruju kepadanya,
maka suami harus melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi rukun dan
syaratnya.
c.

Putusnya perkawinan karena Fasakh


Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan. Adapun
pengertian fasakhmenurut istilah adalah memutuskan akan nikah karena ada sebab yang
nyata dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan suami isteri. Thalaq adalah hak
suami, khulu merupakan hak isteri, sementara fasakh merupakan hak bagi keduanya. Bila
sebab fasakhada pada isteri, maka hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses peradilan. Hakimlah
yang memberikan keputusan tentang berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya
perceraian karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alatalat bukti yng lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menimbulkan
keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau isteri merasa dirugikan oleh
pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai yang ditentukan agama
sebagai seorang suami atau isteri. Akibatnya salah seorang dari keduanya tidak lagi
sanggup melanjutkan perkawinan karena keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan
tidak mungkin untuk mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh.
Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami dan juga isteri, namun dalam praktek seharihari hak fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali karena suami lebih
banyak menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.
d. Putusnya perkawinan karena Lian
Lian secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara secara terminologi
adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh isterinya berzina dengan
empat kali sumpah dan menyatakan bahwa dia adalah termasuk orang yang benar dalam
tuduhan, dan pada sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima
laknat/kutukan Allah jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami melakukan lian kepada
isterinya, sedangkan isterinya tidak menerima, maka isteri boleh melakukan sumpah lian
juga terhadap suaminya.
Sehingga dengan demikian dipahami bahwa suami isteri saling menyatakan bersedia
dilaknati oleh Allah setelah masing-masing suami isteri mengucapkan persaksian empat
5

kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah
satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak
mengakui anak yang dikandung/dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya sendiri, dan
pihak isteri bersikeras pula menolak tuduhan suami sedang mereka tidak memiliki alat
bukti yang diajukan kepada hakim.
e.

Putusnya perkawinan karena Syiqaq


Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri.
Bila ini terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan
isteri setelah fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul isteri sebagai
upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil. Hal ini
berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa : 35
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.
jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal. (Q.S. An-Nisa : 35)
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa bila keutuhan rumah tangga
suami isteri terancam karena pertengkaran yang tak mungkin diatasinya maka perlu
diadakan juru damai dari kedua belah pihak. Sekiranya hal ini masih juga tidak
membuahkan hasil maka persoalannya wajar ditangani oleh hakim untuk memberi
putusan setelah pihak-pihak pendamai tidak berhasil mendamaikannya.
f.

Putusnya perkawinan karena Ila


Ilaialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan
bangsa Arab jahiliyah perkataan ila mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan
mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak
ditentukan dan selama itu isteri tidak di-thalaq ataupun diceraikan. Sehingga kalau
keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena
keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
1)
Suami yang meng-ila isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
2)
Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri
atau menthalaqnya. Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan
isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah
sumpah ila sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda
sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu
dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:
1) Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa
kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
2) Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
3) Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka
6

4) Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.


g.

Putusnya perkawinan karena Zihar


Salah satu perceraian antara suami isteri yang merupakan wewenang hakim untuk
menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada isterinya bahwa isterinya itu
disamakan dengan ibunya sendiri. Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian di zaman
jahiliyyah, bila suami tidak menyukai isterinya lagi dan juga tidak menginginkan
isterinya itu kawin dengan laki-laki lain sekiranya isterinya telah diceraikannya. Dengan
datangnya aturan Islam zhihar itu tidak lagi dibenarkan, karena menzhihar isteri dengan
menyamakannya dengan ibu berarti mengucapkan perkataan dusta dan mungkar. Suami
yang terlanjur menzhihar isterinya agar menarik kembali zhihar-nya dengan diwajibkan
membayar kafarat(denda) dengan memerdekakan seorang budak sebelum melakukan
hubungan suami isteri. Jika suami tidak mampu memerdekakan budak hendaklah ia
berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika juga tidak mampu maka hendaklah ia
memberi makan 60 orang miskin. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
Q.S Al-Mujadalah ayat : 3 dan 4 :
3.
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu,
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
4.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa
(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang
kafir ada siksaan yang sangat pedih.(Q.S. Al-Mujadalah : 3-4)
Sekiranya suami tidak ingin kembali lagi kepada isterinya, agar isterinya tidak
terkatung-katung maka suami diberi waktu 4 (empat) bulan untuk menentukan apakah ia
akan kembali kepada isterinya dengan membayar kafarat ataukah akan menceraikan
isterinya, maka dalam hal ini isteri berhak mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan.
Dengan demikian hakim dapat mengabulkan gugatan isteri bila terbukti kebenarannya.

2. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi


Hukum Islam (KHI).
Berlakunya
Undang-Undang
Perkawinan
secara
efektif
yaitu
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tanggal 1 Oktober 1975 memberikan arti
bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu berlaku sebagai hukum positif
untuk perkawinan beserta segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk
7

perceraian atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, bagi orang Islam tidak ada
kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian pula bagi
orang Kristen, Hindu, maupun Budha.
Khusus tentang putusnya perkawinan, Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas Keputusan
Pengadilan. Sementara pada pasal 39 disebutkan bahwa : 1. Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelan Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan. Bahwa di antara suami isteri tersebut tidak dapat hidup rukun sebagai suami
isteri. 3. Tatacara Perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam perundang-undangan
tersendiri.
Selanjutnya untuk membedakan perceraian yang tercantum pada huruf b pasal 38 UU
No. 1 Tahun 1974 dengan perceraian atas putusan Pengadilan sebagaimana yang terdapat
pada poin c, dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yakni sebagai berikut :
Peraturan Pemerintah ini menggunakan istilah cerai Thalaq untuk membedakan
pengertian percerain yang dimaksudkan oleh pasal 38 huruf b dengan pengertian perceraian
atas keputusan Pengadilan yang dimaksud pasal tersebut huruf c. Untuk yang terakhir ini
digunakan istilah cerai gugatan, dengan penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dapat
dimaklumi bahwa perceraian yang disebutkan pada huruf b pasal 38 UU Perkawinan adalah
cerai thalaq, yakni perceraian yang dilakukan atas kehendak suami terhadap isterinya.
Untuk mendapatkan bukti otentik perceraian thalaq tersebut perlu diajukan ke Pengadilan
sekaligus untuk mengetahui alasan-alasan yang memungkinkan untuk itu. Sedangkan
perceraian atas keputusan Pengadilan sebagaimana huruf c pasal 38 tersebut maksudnya
adalah cerai gugatan, yakni pengadilan menjatuhkan keputusan cerai terhadap suami isteri
yang telah melaksanakan perkawinannya atas atau berdasarkan gugatan salah satu pihak
(suami-isteri).
Selanjutnya dari segi pelaksanaannya untuk masing-masing cerai tersebut sesuai
dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
a.
Cerai Thalaq
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang sampai sekarang masih belum dapat
diterima oleh sebahagian umat Islam di Indonesia, adalah ketentuan yang terdapat pada pasal
115, yaitu: "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak".
Hal itu disebabkan karena dalam formulasi fiqih yang menjadi rujukan mayoritas
umat Islam di Indonesia, tidak ada pengaturan seperti itu. Bahkan thalaq dengan sindiran saja
di luar Pengadilan Agama juga dianggap telah jatuh.
Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan juga diatur mengenai tata cara
menjatuhkan thalaq. Jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan baik
mengenai hukum formil maupun materil, antara lain undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan, Undang-undang No. 7 tahun
8

1989 tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, maka tata cara menjatuhkan thalaq tersebut adalah sebagai berikut:
Suami yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan ke Pengadilan
Agama dalam hal ini Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan
bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta
kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Hal ini dijelaskan pada
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 14, undang-undang N0.7 Tahun 1989 pasal 66
dan pasal 129 Kompilasi Hukum Islam. Selanjutnya Pengadilan yang bersangkutan
mempelajari isi surat itu dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil
suami isteri tersebut untuk diadakan pemeriksaan seperlunya. Dan secara praktis pihak suami
disebut pemohon dan pihak isteri disebut termohon. Ketentuan terdapat dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 15, undang-undang nomor 7 tahun 1989 pasal 68 dan
pasal 131 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian pihak tersebut disebut pemohon
dan termohon, substansinya sama dengan perkara Contentius dan bukan perkara Volunter,
sehingga pihak isteri (termohon) tetap dianggap lawan perkara bagi pihak suami (pemohon).
Dalam setiap kesempatan sebelum terjadinya thalaq, pengadilan harus selalu berusah
untuk mendamaikan suami isteri dan berusaha agar maksud mengadakan perceraian tidak
jadi terlaksana. Dalam usaha mendamaikan tersebut pengadilan dapat meminta bantuan
kepada orang yang di pandang perlu ada suatu badan penasehat, seperti BP4 (Badan
Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian) atau badan lain untuk memberi nasehat
kepada suami isteri tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 1 undang-undang nomor 7
tahun 1989.Apabila pengadilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin
lagi didamaikan dan telah cukup alasan seperti tersebut di atas maka pengadilan menjatuhkan
putusan yang isinya mengabulkan permohonan pemohon.Yaitu memberi izin kepada
pemohon untuk mengikrarkan thalaq terhadap pemohon (di muka sidang) dan terhadap
putusan ini pihak isteri boleh mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 hari.
Apabila setelah tenggang waktu 14 hari itu termohon tersebut tidak mengajukan
banding maka putusan tersebut dinyatakan inkracht (mempunyai kekuatan hukum
tetap).Setelah itu pengadilan menentukan hari sidang guna menyaksikan ikrar thalaq dengan
memanggil para pihak (suami isteri atau wakilnya untuk hadir dimuka persidangan).Pada saat
sidang inilah suami atau wakilnya diperbolehkan untuk mengikrarkan thalaq terhadap
isterinya. Sesaat setelah ikrar thalaq diucapkan atau dibacakan, pengadilan menjatuhkan
penetapannya yang isinya bahwa perkawinan putus karena perceraian (thalaq) dan terhadap
penetapan ini isteri tidak berhak lagi mengajukan banding atau kasasi (pasal 70 jo pasal 71
Undang-undang nomor 7 tahun 1989). Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah dan
patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau
wakilnya dapat mengucapkan ikrar thalaq tanpa hadirnya isteri atau wakilnya (Pasal 70 ayat
5 undang-undang nomor 7 tahun 1989).
Apabila suami tidak mengucapkan ikrar thalaq dalam tempo 6 Bulan terhitung sejak
putusan pengadilan agama tentang izin ikrar baginya mempunyai kekuatan hukum tetap,
maka gugur kekuatan penetapan untuk mengikrarkan thalaqnya dan ikatan perkawinan tetap
9

utuh, suami tidak dapat mengajukan perceraian lagi dengan alasan yang sama (pasal 70 ayat
6 UU No. 7 tahun 1989 dan pasal 131 ayat 4 KHI). Namun jika hal ini terlaksana, maka
pengadilan membuat surat keterangan tentang adanya thalaq tersebut. Surat keterangan itu
dibuat rangkap lima. Helai pertama disimpan di pengadilan, helai kedua dan ketiga masingmasing dikirim kepada PPN setempat dan PPN tempat pernikahan dahulu untuk diadakan
pencatatan perceraian.Sedang helai keempat dan kelima diberikan kepada suami isteri (pasal
70 ayat 6 UU No. 7 tahun 1989).
b.

Cerai Gugatan
Yang dimaksud dengan cerai gugatanatau cerai gugat adalah perceraian dengan
keputusan pengadilan yang disebabkan adanya gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak
kepada pengadilan. Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan sebagaimana disebutkan :
Gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang suami atau isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami dan oleh seorang
isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama
Islam Secara terperinci tatacara gugatanperceraian ini diatur dalam PP. No. 9 Tahun 1975
pasal 20 sapai dengan pasal 36.
Berkenaan dengan perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata perceraian hanya
dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang. Dalam
kaitannya dengan hal ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah bubarnya
perkawinan dan istilah percraian. Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya
perkawinan.
Peratursn Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanan UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, pada pasal 19 disebutkan bahwa alsan yang dapat dipergunakan
sebagai alasan percraian adalah :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan terjadinya
perceraian adalah disebabkan karena :
10

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar talik thalaq.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Berdasarkan alasan-alasan perceraian sebagaimana yang telah disebutkan pada PP
No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI di atas, maka dapat diamati bahwa terdapat perbedaan
alasan-alasan perceraian yang diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI. Perbedaan yang
terjadi adalah berupa penambahan alasan perceraian yang diatur oleh KHI, yaitu
disebabkan suami melanggat talik thalaq, dan terjadinya peralihan agama/murtad.
C. Faktor-Faktor penyebab perceraian
Permasalahan di dalam rumah tangga sering kali terjadi, mungkin memang sudah
menjadi bagian dalam lika-liku kehidupan didalam rumah tangga, dan dari sini kita akan
mengambil contoh yaitu kasus Perceraian yang kerap kali menjadi masalah dalam rumah
tangga. Kesetian dan kepercayaan dalam hal ini memang menjadi faktor terpenting yang bisa
membuat sebuah rumah tangga langgeng, tetapi apakah hanya kedua faktor tersebut untuk
mencegah sebuah perceraian ? Berikut adalah beberapa faktor yang sering kali terjadi :
1. kesetiaan dan kepercayaan. didalam hal ini yang sering kali menjadi pasangan rumah tangga
bercerai, dalam hal ini baik pria ataupun wanita sering kali mengabaikan peranan kesetiaan
dan kepercayaan yang diberikan pada tiap pasangan, sehingga timbul sebuah perselingkuhan.
2. Komunikasi. Kurangnya kesempatan untuk melakukan komunikasi yang intens, dengan
kualitas yang baik. Bagi pasangan menikah, penting punya ruang dan emosi untuk bisa saling
curhat, mengungkapkan isi hati baik pujian, harapan, kesenangan maupun kekesalan.
Kedua belah pihak perlu punya kesadaran dan niat penuh untuk mendiskusikan persoalan
dengan kepala dingin. Tujuan diskusi adalah untuk mencari jalan keluar, bukan sekedar
meluapkan emosi.
3. Ekonomi. Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua pasangan harus
bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga seringkali perbedaan dalam
11

pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang
tidak memiliki pekerjaan.
4. Pernikahan Tidak Dilandasi Rasa Cinta. Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karena
faktor tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan yang sudah
ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering kali pasangan tersebut
tidak mengalami kecocokan.
5. Harapan Tidak Realistis. Berharap pasangan akan berubah setelah menikah. Hal ini
berhubungan dengan pemahaman masing-masing pihak terhadap pasangannya. Seringkali
perselisihan
terjadi
karena
mengharapkan
perubahan
dari
pasangan.
Padahal perilaku yang diprotes belum tentu membahayakan fisik maupun mental pasangan.
Pasangan suami-istri perlu rela hati menurunkan harapan atas perilaku pasangan yang tidak
prinsip.
6. Power Dalam Perkawinan. Ada yang ingin suami pegang kendali, ada yang ingin istri yang
mengatur. Padahal ini hanyalah masalah kesepakatan. Terlihat tidak penting, namun nyatanya
bisa mengantar pasangan ke pengadilan agama.
7. Konflik Peran. Dalam perkawinan akan ada pembagian peran, seperti siapa yang mengasuh
anak, siapa yang mencari nafkah. Ini bisa jadi sumber pertentangan dan menimbulkan
ketidakpuasan antar suami-istri. Terutama karena sekarang banyak istri berkarir.
8. Cinta Meredup. Ada yang bilang daripada diberi perasaan jatuh cinta, lebih baik diberi
kekuatan menjaga cinta. Karena cinta itu perlu dipupuk agar terus menyala. Pasangan yang
sudah menikah, berapa tahun pun, perlu tetap membakar cinta, salah satunya dengan
mengungkapkan rasa sayang. Biasanya orang bilang, Ah sudah nikah, untuk apa aku
menunjukkan rasa cinta, atau bilang, Ah buat apalah mesra, seperti orang pacaran saja.
Padahal jika satu dua tahun tanpa ekspresi, cinta bisa hambar.
9. Seks. Di dalam melakukan hubungan seks dengan pasangan kerap kali pasangan mengalami
tidak puas dalam bersetubuh dengan pasangannya, sehingga menimbulkan kejenuhan tiap
melakukan hal tersebut, dan tentunya anda harus mensiasati bagaimana pasangan anda
mendapatkan kepuasan setiap melakukan hubungan seks.
10. Affair (Orang Ketiga).
Adanya orang ketiga membuat sebuah perkawinan sulit
dipertahankan. Selain cinta yang membutakan, hal peling penting yang justru membuat
perkawinan bubar jalan adalah kepercayaan. Dalam sebuah perkawinan, rasa saling percaya
-yang melahirkan rasa aman dan nyaman- adalah tiang utama. Begitu kepercayaan itu hilang,
maka tidak ada lagi faktor penguat. Sehingga, pasangan yang sudah menikah perlu berpikir
panjang sebelum bermain api. Alasan tidak melibatkan perasaan ketika melakukan affair
adalah argumentasi lima menitan. Karena arah perasaan seringkali tidak bisa ditebak.
D. Kiat-Kiat Menghindari Perceraian
Proses menghindari perceraian adalah sesuatu yang harus dimulai pada awal dari sebuah
hubungan. Banyak orang yang mencari topik seperti ini, karena bagaimanapun juga banyak
orang yang merasa takut kehilangan pasangan mereka. Apalagi jika sudah mempunyai anak,
bukan hanya suami atau istri yang jadi korban akan tetapi anaklah yang menjadi korban
terberat akibat perceraian rumah tangga.Dalam sebuah keluarga tidak lepas dari suatu
12

masalah. Dari permasalahan itu banyak orang yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan
mereka atau bercerai. Kebanyakan pada saat itu hanya ego yang mereka gunakan, tanpa
melihat dampak buruk dari perceraian itu sendiri.Untuk itu kita harus waspada dan segera
mungkin mencari langkah-langkah untuk menghindari sikap dan perilaku yang dapat
menyebabkan
perceraian.
Tips Untuk Menghindari PerceraianBerikut adalah beberapa tips untuk menghindari
perceraian:
1. Tanamkan pada diri dan keluarga anda bahwa perkawinan adalah komitmen yang
serius dan tidak bisa dianggap enteng.
2. Pastikan bahwa pasangan anda tahu bahwa mereka adalah prioritas utama dalam
hidup.
3. Menjaga Komunikasi antar pasangan. Keterbukaan dalam segala hal membantu
anda dalam menghindari permasalahan dalam keluarga.
4. Kesampingkan ego pribadi, Jangan merasa diri selalu benar dan selalu
menyudutkan pasangan.
5. Ingat anak, cobalah ingat anak-anak, buah cinta kasih.
6. Jika mengalami keretakan, cobalah untuk mengenang dan memunculkan memori
pada saat menikah dulu.
7. Cemburu dan selingkuh, Bukan barang baru bahwa banyak perselisihan terjadi
gara-gara rasa cemburu, yang lebih sering berakar dari salah tafsir dan kurangnya
keterbukaan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi penyebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam
adalah disebabkan karena kematian, karena adanya thalaq dari suami, karena adanya
putusan hakim, dan putus dengan sendirinya. Dalam hal ini kematian merupakan bentuk
putusnya perkawinan dengan sendirinya. Secara keseluruhan penyebab putusnya
perkawinan adalah disebabkan karena Thalaq, Khulu, Fasakh, Syiqaq, Ila, Zhihar, dan
lian.
Sementara menurut peraturan perundang-undangan posotif, yaitu UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, dan juga KHI, putusnya perkawinan
tersebut dapat disebabkan karena Kematian, Perceraian, dan atas Keputusan Hakim.
Perceraian yang dimaksud adalah berupa cerai thalaq, sementara yang disebabkan atas
13

Keputusan Hakim disebut dengan cerai gugatan. Di samping itu KHI juga menambahkan
bahwa pelanggaran talik thalaq dan murtad juga merupakan penyebab putusnya
perkawinan.
Adapun kiat-kiat menghindari perceraian diantaranya dengan peningkatan rasa
kecercayaan dan kesetiaan juga komunikasi yang baik dll. Dengan begitu diharapkan
perceraian bisa dihindari sejauh mungkin.
B. Saran
Kepada siapapun yang hendak menikah hendakya memahami betul hakikat
pernikahan. Dengan pemahaman yang baik diharapkan orang tersebut bisa mengayuh
biduk dengan baik, sehingga jika timbul cobaan, badai masalah, ia dapat mengatasinya
dengan baik.
Pemakalah menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan dan penyusunan makalah ini. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan kemampuan
yang dimiliki, serta minimya literatur dan bahan yang mampu dikumpulkan. Untuk itu,
sangat diharapkan kritikan, saran serta sumbangan pemikiran konstruktif-edukatif untuk
kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, tiada gading yang tak retak. Mohon maaf atas segala kesalahan, dan
terima kasih atas segala kritikan dan sarannya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat
bagi kita semua, khusus bagi pemakalah pribadi.

DAFTAR PUSTAKA
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. I
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996)
Moh. Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung : Pustaka Dahlan, 1987), jilid 3
Salim,

Hadiyah.

Terjemah

Mukhtarul

hadits.

Bandung

Al

Ma;arif,

1983

Hasyimi, Sayyid ahmad. Mukhtarul Ahadits. Surabaya : Darul Ilmi, tanpa tahun
Departemen Agama. Al Jumanatul Ali, Alquran dan terjemahannya. Bandung : Penerbit J-Art,
2004

14

Anda mungkin juga menyukai