Anda di halaman 1dari 10

NAMA : NATASYA KURNIA SALMA

NIM : 012111022
MATKUL : AGAMA ISLAM PEKAN 11

RESUME
PERNIKAHAN,PERCERAIAN,IDDAH,RUJUK DAN HIKMAH PERNIKAHAN

Pernikahan dalam Islam: Pengertian, Hukum dan Tujuannya


Pengertian Nikah Dari pengertiannya menurut KBBI, nikah adalah perjanjian perkawinan antara
laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Secara istilah,
pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahramnya. Dari akad itu juga, muncul hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi masing-
masing pasangan.
Ketentuan mengenai pernikahan ini tergambar dalam firman Allah SWT dalam Alquran surah
Ar-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia [juga] telah menjadikan di
antaramu [suami, istri] rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,” (Ar-Rum [30]: 21).

Tujuan Pernikahan Dalam uraian "Indahnya Membangun Mahligai Rumah Tangga" yang
diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan beberapa tujuan
dilangsungkannya pernikahan.
Tujuan-tujuan ini berupaya untuk mengantarkan seorang muslim agar memperoleh kebahagiaan
di dunia dan akhirat.
1. Memenuhi kebutuhan dasar manusia Pernikahan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia. Kebutuhan itu terdiri dari kebutuhan emosional, biologis, rasa saling membutuhkan,
dan lain sebagainya. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwasanya
Rasululllah SAW bersabda: "Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya,
kecantikannya, dan karena agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, maka kamu tidak
akan celaka," (H.R. Bukhari dan Muslim).
2. Mendapatkan ketenangan hidup. Dengan menikah, suami atau istri dapat saling melengkapi
satu sama lain. Jika merasa cocok, kedua-duanya akan memberi dukungan, baik itu dukungan
moriel atau materiel, penghargaan, serta kasih sayang yang akan memberikan ketenangan hidup
bagi kedua pasangan.
3. Menjaga akhlak. Dengan menikah, seorang muslim akan terhindar dari dosa zina,
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian
berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan,
dan lebih membentengi farji [kemaluan]. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
puasa, karena shaum itu dapat membentengi dirinya,” (H.R. Bukhari dan Muslim).

4. Meningkatkan ibadah kepada Allah SWT Perbuatan yang sebelumnya haram sebelum
menikah, usai dilangsungkan perkawinan menjadi ibadah pada suami atau istri. Sebagai misal,
berkasih sayang antara yang berbeda mahram adalah dosa, namun jika dilakukan dalam mahligai
perkawinan, maka akan dicatat sebagai pahala di sisi Allah SWT. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
Muhammad SAW sebagai berikut:
“ ... 'Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!'. Mendengar sabda
Rasulullah para sahabat keheranan dan bertanya: 'Wahai Rasulullah, seorang suami yang
memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?' Nabi Muhammad SAW
menjawab, 'Bagaimana menurut kalian jika mereka [para suami] bersetubuh dengan selain
istrinya, bukankah mereka berdosa?' Jawab para shahabat, 'Ya, benar'. Beliau bersabda lagi,
'Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya [di tempat yang halal], mereka akan
memperoleh pahala!' (H.R. Muslim).
5. Memperoleh keturunan yang saleh dan salihah Salah satu amal yang tak habis pahalanya
kendati seorang muslim sudah meninggal adalah keturunan yang saleh atau salihah. Dengan
berumah tangga, seseorang dapat mendidik generasi muslim yang beriman dan bertakwa kepada
Allah SWT, yang merupakan tabungan pahala dan amal kebaikan yang berkepanjangan. "Allah
telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-
istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. An-Nahl[16]: 72).

Definisi Cerai dalam Islam

Cerai dalam Islam adalah adalah melepaskan status ikatan perkawinan atau putusnya
hubungan pernikahan  antara suami dan istri. Dengan adanya perceraian, maka gugurlah
hak dan kewajiban keduanya sebagai suami dan istri.

Artinya, keduanya tidak lagi boleh berhubungan sebagai suami istri, misalnya menyentuh
atau berduaan, sama seperti ketika belum menikah dulu. Alquran juga mengatur adab dan
aturan dalam berumah tangga, termasuk bagaimana jika ada masalah yang tak
terselesaikan dalam rumah tangga.
Islam memang mengizinkan perceraian, tapi Allah membencinya. Itu artinya, bercerai
adalah pilihan terakhir bagi pasangan suami istri ketika memang tidak ada lagi jalan
keluar lainnya.

Allah berfirman: “Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka
sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui,” (Al-Baqarah: 227)

Ayat tentang hukum perceraian ini berlanjut pada surat Al-Baqarah ayat 228 hingga ayat
232. Di sana diterangkan aturan-aturan mengenai hukum talak, masa iddah bagi istri,
hingga aturan bagi perempuan yang sedang dalam masa iddahnya.

Di dalam surat Ath-Thalaq ayat 1-7 juga dibahas aturan-aturan dalam berumah tangga. Di
situ disebutkan tentang kewajiban suami  terhadap istri hingga bagaimana aturan ketika
seorang istri berada dalam masa iddah.

Dari beberapa ayat tersebut, diketahui bahwa dalam Islam perceraian itu tidak dilarang,
namun harus mengikuti aturan-aturan tertentu. Tentu saja aturan-aturan ini sangat
memperhatikan kemaslahatan suami dan istri dan mencegah adanya kerugian di salah satu
pihak.

Jenis-jenis Cerai dalam Islam

Berikut ini adalah jenis-jenis cerai dalam Islam yang bisa dibedakan dari siapa kata cerai
tersebut terucap.

1. Cerai Talak oleh Suami


Perceraian ini yang paling umum terjadi, yaitu suami yang menceraikan istrinya. Hal ini
bisa saja terjadi karena berbagai sebab. Dengan suami mengucapkan kata talak pada
istrinya, masa saat itu juga perceraian telah terjadi, tanpa perlu menunggu
keputusan pengadilan .

Ada beberapa bagian dari talak ini, yaitu:

 Talak Raj’i. Pada talak raj’i, suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada
istrinya. Suami boleh rujuk kembali dengan istrinya ketika masih dalam masa
iddah. Namun, jika masa iddah telah habis, suami tidak boleh lagi rujuk kecuali
dengan melakukan akad nikah baru.
 Talak Bain. Ini adalah perceraian saat suami mengucapkan talak tiga kepada
istrinya, sehingga istri tidak boleh dirujuk kembali. Suami baru akan boleh
merujuk istrinya kembali jika istrinya telah menikah dengan lelaki lain dan
berhubungan suami istri dengan suami yang baru lalu diceraikan dan habis masa
iddahnya.
 Talak Sunni. Ini terjadi ketika suami mengucapkan cerai talak kepada istrinya
yang masih suci dan belum melakukan hubungan suami istri saat masih suci
tersebut.
 Talak Bid’i. Suami mengucapkan talak kepada istrinya saat istrinya sedang dalam
keadaan haid atau ketika istrinya sedang suci namun sudah disetubuhi.
 Talak Taklik. Pada talak ini, suami akan menceraikan istrinya dengan syarat-
syarat tertentu. Dalam hal ini, jika syarat atau sebab yang ditentukan itu berlaku,
maka terjadilah perceraian atau talak.

2. Gugat Cerai Istri


Berbeda dengan talak yang dilakukan oleh suami, gugat cerai istri ini harus menunggu
keputusan dari pengadilan. Ada beberapa kondisi yang menyertainya, seperti:

 Fasakh. Ini merupakan pengajuan cerai tanpa adanya kompensasi dari istri ke


suami akibat beberapa perkara, antara lain suami tidak memberi nafkah lahir batin
selama 6 bulan berturut-turut, suami meninggalkan  istri selama 4 bulan berturut-
turut tanpa kabar, suami tidak melunasi mahar yang disebutkan saat akad nikah
(baik sebagian atau seluruhnya) sebelum terjadinya hubungan suami istri, atau
adanya perlakuan buruk dari suami kepada istrinya.
 Khulu’. Ini adalah perceraian yang merupakan kesepakatan antara suami dan istri
dengan adanya pemberian sejumlah harta dari istri kepada suami. Terkait dengan
hal ini, penjelasannya terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 229.

Hukum Cerai dalam Islam

 Perceraian Wajib. Ini harus terjadi jika suami istri tidak lagi bisa berdamai.
Keduanya sudah tidak lagi memiliki jalan keluar lain selain bercerai untuk
menyelesaikan masalahnya. Bahkan, setelah adanya dua orang wakil dari pihak
suami dan istri, permasalahan rumah tangga tersebut tidak kunjung selesai dan
suami istri tidak bisa berdamai. Biasanya, masalah ini akan dibawa ke pengadilan
dan jika pengadilan memutuskan bahwa talak atau cerai adalah keputusan yang
terbaik, maka perceraian tersebut menjadi wajib hukumnya.
 Perceraian Sunah. Ternyata, perceraian juga bisa mendapatkan hukum sunnah
ketika terjadi syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah ketika suami tidak
mampu menanggung kebutuhan istri. Selain itu, ketika seorang istri tidak lagi
menjaga martabat dirinya dan suami tidak mampu lagi membimbingnya.
 Perceraian Makruh. Jika istri memiliki akhlak yang mulia, mempunyai
pengetahuan agama yang baik, maka hukum untuk menceraikannya adalah makruh.
Hal ini dianggap suami sebenarnya tidak memiliki sebab yang jelas mengapa harus
menceraikan istrinya, jika rumah tangga sebenarnya masih bisa diselamatkan.
 Perceraian Mubah. Ada beberapa sebab tertentu yang menjadikan hukum bercerai
adalah mubah. Misalnya, ketika suami sudah tidak lagi memiliki keinginan
nafsunya atau ketika istri belum datang haid atau telah putus haidnya.
 Perceraian Haram. Hal ini terjadi jika seorang suami menceraikan istrinya saat
istri sedang haid atau nifas, atau ketika istri pada masa suci dan di saat suci
tersebut suami telah berjimak dengan istrinya. Selain itu, suami juga haram
menceraikan istrinya jika bertujuan untuk mencegah istrinya menuntut hartanya.
Tidak hanya itu, diharamkan juga untuk mengucapkan talak lebih dari satu kali.

Mengenal Masa Iddah Bagi Muslimah

Madzhab Maliki mengatakan bahwa iddah adalah waktu atau masa yang dijadikan sebagai bukti
atas bersihnya rahim karena terjadinya perpisahan dalam pernikahan ataupun karena kematian
suami atau karena talak dari suami.

Masa  iddah ini disepakati para ulama sebagai hal yang wajib diikuti oleh tiap muslimah yang
ditinggal meninggal suami atau ditalak. Hal ini karena perihal iddah telah dijelaskan dalam
Alquran dan sunnah. Dalam QS al-Baqarah ayat 228, Allah SWT berfirman, "Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'."

Dalam HR Bukhari disebutkan dari Ummu Salamah istri Nabi SAW bahwasanya seorang wanita
dari Aslam bernama Subai'ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu
Sanabil bin Ba'kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata,
"Demi Allah, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling
panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi SAW dan Nabi
bersabda, "Menikahlah!"

Masa iddah tidak berlaku bagi muslimah yang berpisah dari suaminya namun belum pernah
melakukan hubungan badan. Aturan masa iddah hanya berlaku bagi yang telah melakukan
hubungan suami istri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS al-Ahzab ayat 49, "Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya."

Adapun disebutkan fungsi lain dari masa iddah adalah untuk menjaga keturunan. Ketika seorang
berpisah dan menjalankan masa iddah, fungsinya adalah untuk memastikan rahim perempuan itu
benar-benar bersih. Sehingga jika ada laki-laki yang menikahi perempuan itu, maka benar-benar
sudah bersih dan tidak ada lagi campuran air mani dari suami sebelumnya. Jika sampai terjadi
campuran,dikhawatirkan mengakibatkan ketidakjelasan kandungan itu anak siapa, juga
hilangnya keturunan yang jelas.
Masa iddah seorang muslimah tergantung pada kondisinya saat itu. Wanita yang ditinggal mati
suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya baru berakhir setelah ia melahirkan sang
buah hati.

Aturan ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS ath-Thalaq ayat 4, "Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya." Ayat ini dikuatkan dengan HR Bukhari dan Muslim yang menyebutkan,
"Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian
suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi lantas meminta izin untuk menikah (lagi). Kemudian beliau
mengizinkannya, dan ia segera menikah (lagi)."

Bagi muslimah yang ditinggal meninggal oleh suami tidak dalam kondisi hamil, maka
masa iddah nya adalah empat bulan sepuluh hari. Dalam al-Baqarah ayat 234 Allah SWT
berfirman, "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah Para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian
apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat."

Aturan lain berlaku bagi wanita yang diceraikan atau ditalak oleh sang suami. Ada dua macam
talak yang bisa dikenakan suami kepada sang istri, yakni talak raj'i atau talak yang masih bisa
rujuk, dan talak ba'in atau talak tiga dan ini tidak bisa kembali rujuk.

Bagi wanita yang dicerai dengan talak raj'i saat dalam keadaan haid, maka masa iddah muslimah
ini adalah tiga kali haid. Bagi wanita yang tidak haid masa iddah yang berlaku adalah tiga bulan.
Sementara bagi yang sedang hamil, maka sesuai yang disebutkan sebelumnya, masa iddah
muslimah ini hingga sang anak lahir.

Sementara bagi wanita yang telah di talak tiga, hanya perlu menunggu sekali haid untuk
memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, "Wanita yang
dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh." Dengan wanita ini mengalami haid,
maka dipastikan jika ia tidak hamil sehingga boleh menikah dengan lelaki lain.

Aturan masa iddah sekali haid juga berlaku bagi muslimah yang menggugat cerai. Dalam HR
Abu Daud dan Tirmidzi disebut, "Dari Ibnu Abbas ra bahwa istri Tsabit bin Qais
menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi. Lalu Nabi memerintahkannya untuk
menunggu sekali haid." 

RUJUK

Rujuk adalah bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis
masa menunggu (iddah).[1] Rujuk hanya boleh dilakukan di dalam masa ketika suami boleh rujuk
kembali kepada isterinya (talaq raj’i), yakni di antara talak satu atau dua.[1] Jika seorang suami
rujuk dengan istrinya, tidak diperlukan adanya akad nikah yang baru karena akad yang lama
belum seutuhnya terputus

Persyaratan
Ada beberapa syarat yang menjadikan rujuk sah:

1. Istri yang ditalak telah disetubuhi sebelumnya. Jika suami menceraikan (talak)) istrinya
yang belum pernah disetubuhi, maka suami tersebut tidak berhak untuk merujuknya. Ini
adalah persetujuan (ijma) para ulama‟.
2. Talak yang dijatuhkan bukan merupakan talak tiga (talak raj‟i).
3. Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, maka istri menjadi talak bain atau
tidak dapat merujuk lagi istrinya.
4. Rujuk dilakukan pada masa menunggu atau masa iddah dari sebuah pernikahan yang sah.
Jika masa menunggu (iddah) istri telah habis, maka suami tidak berhak untuk
merujuknya. Ini adalah kesepakatan (ijma) para ulama fiqih.

Hukum

Pada dasarnya hukum rujuk adalah boleh atau jaiz, kemudian hukum rujuk dapat berkembang
menjadi berbeda tergantung dari kondisi suami istri yang sedang dalam perceraian. Dan
perubahan hukum rujuk dapat menjadi sebagai berikut:

1. Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan apabila pernyataan
cerai (talak) itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan. Maksudnya adalah,
seorang suami harus menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia menceraikannya.
Apabila belum terlaksana, maka ia wajib merujuk kembali isrinya.
2. Sunnah, yaitu apabila rujuk itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat
dibanding mereka rujuk kembali.
3. Haram, yaitu apabila dengan adanya rujuk si istri semakin menderita.

Rukun Rujuk

1. Istri, keadaannya disyaratkan sebagai berikut: istri telah dicampuri atau disetubuhi (ba’da
dukhul), dan seorang istri yang akan dirujuknya, ditalak dengan talak raj’i, yakni talak
dimana seorang suami dapat meminta istrinya kembali dan syarat selanjutnya adalah istri
tersebut masih dalam masa menunggu (iddah)
2. Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat
akal Adanya saksi.
3. Adanya sighat atau lafadz atau ucapan rujuk yang dapat dimengerti dan tidak
ambigu yaitu ada dua cara:

 Secara terang-terangan, misalnya: “Saya rujuk kepadamu”.


 Secara sindiran, seperti kata suami: “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Perkataan ini
disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti, tidak digantungkan dengan sesuatu, misalnya
saya rujuk kepadamu jika bapakmu mu.[1] Rujuk dengan kalimat seperti di atas hukumnya
tidak sah

Ketentuan

Rujuk hanya boleh dilakukan apabila akan membawa kemaslahatan atau kebaikan bagi istri
dan anak-anak. Rujuk hanya dapat dilakukan jika perceraian baru terjadi satu atau dua kali.

1. Rujuk hanya dapat dilakukan sebelum masa menunggu atau masa iddah habis

Tata cara
Rujuk dapat dilakukan dengan:

 Ucapan
Rujuk dengan ucapan adalah dengan ucapan-ucapan yang menunjukkan makna rujuk.Seperti
ucapan suami kepada istrinya, ” Aku merujuk‟mu” atau ”Aku kembali kepadamu” dan yang
semisalnya Perbuatan
Rujuk dapat dilakukan dengan perbuatan seperti; suami menyentuh atau mencium isterinya
dengan nafsu atau suami mensetubuhi istrinya Dan perbuatan semacam ini memerlukan niat
untuk rujuk. Ini adalah pendapat Malik, Ahmad, Ishaq, dan pendapat yang dipilih adalah
pendapat Ibnu Taimiyyah

Batasan
Apabila seorang suami telah menjatuhkan/menceraikan istrinya sebanyak tiga kali. maka ia tedak
boleh merujuk kembali istrinya kecuali setelah adanya 5 syarat, yaitu:
1. Telah berakhir masa menunggu (iddah) sang perempuan dari suami yang mentalaknya.
2. Istri tersebut telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan perkawinan yang sah Suami yang
lain (Suami kedua) telah mencampurinya
3. Pernikahannya dengan suami kedua telah rusak atau suami keduanya telah
menjatuhkan talak Ba-in kepadanya
4. Telah habisnya masa iddah atau masa menunggu bagi sang istri dari suami yang kedua.

Hikmah Pernikahan dalam Islam


Hikmah pernikahan sangat erat kaitannya dengan tujuan diciptakannya manusia di muka bumi.
Allah menciptakan manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana segala isi dan
ketentuan di dalamnya diciptakan untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Ada begitu banyak hikmah pernikahan yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun aqliyah.
Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi Tuntutan Fitrah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan rasa tertarik kepada lawan jenisnya. Laki-laki
tertarik dengan wanita, begitu pun sebaliknya. Ketertarikan ini merupakan fitrah yang telah Allah
tetapkan kepada manusia.
Oleh karena itu, pernikahan disyari’atkan dalam Islam dengan tujuan memenuhi fitrah tersebut.
Islam tidak menghalangi dan menutupi keinginan ini, bahkan melarang kehidupan umat Muslim
yang menolak pernikahan ataupun bertahallul (membujang).
2. Menghindari Perusakan Moral
Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat, salah satunya adalah fitrah untuk
berhubungan seksual. Namun, fitrah ini akan berakibat negatif jika tidak diberi batasan yang
dibenarkan dalam syariat.
Nafsunya akan berusaha untuk memenuhi fitrah tersebut dengan berbagai cara yang dilarang
agama. Hal ini bisa menimbulkan perusakan moral dan perilaku menyimpang lainnya seperti
perzinaan, kumpul kebo, dan lain-lain.
Islam hadir memberikan solusi melalui pernikahan. Ini menjadi salah satu hikmah pernikahan
yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ustadz Muharrar, Lc. Dalam ceramah singkatnya di Chanel
Youtube Yuvid TV, beliau mengatakan:
“Di antara maslahat dan hikmah menikah adalah menjaga (himayah) masyarakat dari
tersebarnya perilaku-perilaku buruk, perilaku-perilaku menyimpang seperti zina,
perselingkuhan, dan lain sebagainya.”
3. Mewujudkan Ketenangan Jiwa
Mengutip jurnal berjudul "Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam" oleh Ahmad
Atabik, dkk., salah satu hikmah pernikahan yang terpenting adalah ketenangan jiwa karena
terciptanya perasaan-perasaan cinta dan kasih.
Dengan melakukan perkawinan, manusia akan mendapatkan kepuasan jasmaniah dan rohaniah
berupa kasih sayang, ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan hidup. Allah SWT berfirman:
ٍ ‫ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُ ْٓوا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً و ََّرحْ َمةً ۗاِ َّن فِ ْي ٰذلِكَ اَل ٰ ٰي‬
َ‫ت لِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ َ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن خَ ل‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-
pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum:
21)
4. Menyambung Keturunan
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang shalih, beriman dan bertakwa. Anak yang
cerdas secara emosional dan intelektual juga dibutuhkan untuk melanjutkan syiar agama yang
dibawa orangtuanya.
Dengan menikah, semua hal itu dapat terwujud. Sehingga keturunan dan generasi Islam yang
unggul pun dapat terus ada dan berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai