Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sangat majemuk,artinya agama islam memberikan
tuntunan dan petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupan, dan tidak sekedar saja
dalam member petunjuk namun agama islam memberikan penjelasn-penjelasanya dari
hal yang terkecil sampai yang terbesar.
Seperti halnya dalam bidang perkawinan,yakni juga memberikan petunjuk dan
penjelasan secara mendalam.Semua dapat kita gali didalam al-Quran.Misalnya saja
sperti; petunjuk dalam pernikahan yang meliputi syarat,rukun,serta larangan dalam
pernikahan.Begitupun juga apabila terjadi putus dalam perkawinan agama islam
memberikan tuntunan yang sangat kompeten bagi umatnya,diantaranya; hukum-hukum
yang berlaku ketika terjadi perpisahan yang termasuk didalamnya masa iddah dan rujuk.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perceraian?
2. Jelaskan tata cara perceraian!
3. Jelaskan pengertian masa iddah!
4. Apa yang dimaksud dengan rujuk?

C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui pengertian perceraian
2. Mengetahui cara perceraian
3. Memahami pengertian masa iddah
4. Untuk mengetahui pengertian rujuk

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan kata yang terdiri dari cerai yang berarti pisah,
mendapatkan imbuhan per-an sehingga secara bahasa berarti putusnya hubungan suami
isteri, talak, hidup perpisahan antara suami isteri selagi kedua-duanya masih hidup.
Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 38 dan KHI pada Pasal 113 menyatakan
bahwa perceraian itu merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Sedangkan
menurut istilah agama talak dari kata “ithlaq”, artinya “melepaskan atau
meninggalkan”. Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan. Cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya,
sehingga perkawinan mereka menjadi putus. Seorang suami bermaksud menceraikan
isterinya harus lebih dahulu mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang
berkedudukan di wilayah tempat tinggalnya. Sedangkan cerai gugat adalah cerai yang
didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan
suaminya menjadi putus. Seorang isteri yang bermaksud bercerai dari suaminya
harus lebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
perceraian adalah putusnya hubungan suami isteri selagi keduanya masih hidup atau
putusnya perkawinan, yang dapat terjadi dengan talak (cerai talak) ataupun khuluk (cerai
gugat). 2. Dasar Hukum Perceraian Dasar hukum perceraian pada Undang-Undang
Perkawinan terdapat pada Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya Pasal
38 dan Pasal 39 sedangkan pada KHI pada Bab XVI tentang Putusnya Perkawinan Pasal
113-Pasal 128. Selain dalam aturan-aturan yang dikoodifikasi, para ahli-ahli fiqih juga
memiliki pendapat yang berbeda mengenai hukum percerain menurut Islam,
pendapat yang paling benar diantara semua itu yaitu yang mengatakan “terlarang”,
kecuali karena alasan yang benar. Mereka yang berpendapat seperti ini ialah
golongan Hanafi dan Hambali. Adapun alasannya yaitu: Rasulullah SAW bersabda:
“Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan bercerai.” (Maksudnya: suka

2
kawin dan bercerai). Ini disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan
kawin adalah suatu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi tidak halal
bercerai, kecuali karena darurat. Darurat memperbolehkan cerai bila suami
meragukan kebersihan tingkah laku isteri, atau sudah tidak punya cinta dengannya.
Golongan Hambali lebih menjelaskannya secara terperinci dengan baik, yang ringkasnya
sebagai berikut: “Talak itu, adakalanya wajib, adakalanya haram, adakalanya mubah
dan adakalanya sunnah”
Menurut Sayyid Sabiq, talak wajib yaitu talak yang dijatuhkan oleh pihak hakam
(penengah), karena perpecahan antara suami isteri yang sudah berat. Ini terjadi jika
hakam berpendapat bahwa talaklah jalan satu-satunya menghentikan perpecahan. Talak
haram yaitu talak tanpa ada alasan. Oleh karena merugikan bagi suami dan isteri serta
tidak ada kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan talaknya itu, jadi talaknya
haram. Dalam riwayat lain dikatakan talak dibenci oleh Allah SWT, Rasulullah
SAW bersabda: perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak, dalam kalimat
lain disebutkan: “tidak ada sesuatu yang dihalalkan Allah, tetapi dibenci-Nya selain
daripada talak”. Talak itu dibenci bila tidak ada alasan yang benar, sekalipun Nabi SAW.
Menamakan talak sebagai perbuatan halal karena ia merusak perkawinan yang
mengandung kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh agama. Talak sunnah yaitu
dikarenakan isteri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti sholat dan
sebagainya, sedangkan suami tidak mampu memaksanya agar isteri menjalankan
kewajibannya tersebut, atau isteri kurang rasa malunya. Dalam keadaan seperti ini suami
tidak salah untuk bertindak keras kepada isterinya, agar dia mau menebus dirinya dengan
mengembalikan maharnya untuk bercerai. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surah
An-Nisaa Ayat 19 : Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karen hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakuka perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah
dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak”.

3
Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, yang
dapat memicu timbulnya keingin- untuk memutus/terputusnya perkawinan.
1. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri Adapun petunjuk mengenai langkah
menghadapi isteri melakukan nusyuz, surat al-Nisa, 4:34.
2. Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Dalam surah al-nisa 4:128, menyatakan: "Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi kedua- nya
mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perda- maian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan
baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengeta- hui apa yang kamu kerjakan".
3. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri, yang dalm alquran
disebut syiqaq.
4. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisyah, yang
menimbulkan saling tuduh menduh antar keduanya.

B. Tata cara perceraian


Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran
Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian,
dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau
tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian.
Tata cara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali
terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut.
1. Cerai Talak (Suami yang Bermohon untuk Bercerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk
menceraikan istrinya, kemudian istrinya menyetujuinya disebut cerai talak. Hal
ini diatur dalam pasal 66 UUPA. Sesudah permohonan cerai talak diajukan ke
Pengadilan Agama, pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-
alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut.
2. Cerai Gugat (Istri yang Bermohon untuk Bercerai)

4
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat
permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian
termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan
permohonan dimaksud. Cerai gugat diatur dalam pasal 73 UUPA. Mengenai
alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam pasal 74,
75, dan 76 UUPA dan Pasal 133, 134, dan 135 KHI. Gugatan tersebut gugur
apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai
gugatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh
penggugat sebelum perdamaian tercapai.

C. Masa Iddah
Masa iddah (waktu tunggu) adalahs eorang istri yang putus perkawinannya dari
suaminya, baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan.
Masa iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami
istri. Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan-hubungan suami istri, tidak
mempunyai masa iddah.
Pengklasifikasian masa iddah diuraikan sebagai berikut.
1. Putusnya Perkawinan kartena Ditinggal Mati Suami
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
Ketetapan ini, berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak
hamil. Lain halnya, bila istri yang ditinggal dalam keadaan hamil, waktu tunggunya
adalah sampai ia melahirkan.
2. Putus Perkawinan karena Perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya, maka memungkinkan mempunyai
beberapa waktu tunggu. Dalam keadaan hamil, istri diceraikan oleh suaminya dalam
keadaan hamil maka iddah-nya sampai ia melahirkan kandungannya. Dalam keadaan
tidak hamil, istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi hubungan kelamin, bagi
seorang istri yang masih dating bulan, waktu tunggunya berlaku 3 (tiga) kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 hari. Bagi seorang istri yang tidak dating bulan massa
iddahnya tiga bulan atau 90 hari. Bagi seorang istri yang pernah haid. Namun, ketika

5
menjalani masa iddah ia tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu
suci. Dalam keadaan menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila
dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga
kali suci.
3. Putus Perkawinan karena Khulu’, Fasakh, dan Li’an
Kalau masa iddah bagi janda yang putus ikatan perkawinannya karena Khulu (cerai
gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), Fasakh (putus iketan perkawinan karena
salah satu di antara suami atau istri murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak
dibenarkan kawin), atau Li’an, maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
4. Istri ditalak Raj’I kemudian Ditinggal Mati Suami dalam Masa Iddah
Apabila seorang istri tertalak raj’I kemudian di dalam menjalani masa iddah ditinggal
mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau
130 hari yang mulai perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya.Karakteristik
masa iddah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu
hitungan masa iddah dalam hukum perkawinan Islam. Di antara hikmah yang penting
dalam masalah iddah, selain untuk mengetahui keadaan rahim, juga menentukan
nasab anak, member alokasi waktu yang cukup untuk merenungkan tindakan
perceraian, bagi istri yang ditinggal mati suaminya adalah untuk turut berduka cita
atau berkabung sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
Ketentuan tersebut, bukan hanya mengatur masa iddah dalam hal berkabung,
melainkan juga mengatur masalah masa berkabung bagi suami yang ditinggal mati
oleh istrinya. Berarti pengaturan hukum perkawinan Islam dalam masa iddah bukan
hanya semata-mata mementingkan aspek yuridis normative, tetapi juga
mementingkan aspek yuridis empiris yang memuat aspek rasa, toleransi, dan
kepatutan.
5. Tenggang waktu hitungan masa 'iddah.
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa salah satu prinsip atau asas yang
ditekankan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia adalah mempersulit terjadinya
perceraian, maka perce- raian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak (ps. 115 KHI).

6
Oleh karena itu, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadil- an
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami (ps. 39 ayat
(3) PP. jo. ps. 153 ayat (4) KHI) Ketentuan hukum tentang tenggang waktu hitungan
waktu tunggu tersebut adalah sebagai idealitas hukum.
Dalam kenyataannya, memungkinkan timbulnya persoalan. Yaitu apabila karena
faktor emosi yang tidak terkendali, sehingga scorang suami dengan sangat gampang
mengucapkan talak atau menceraikan istrinya, dan diperburuk oleh kekurangtahuan
tentang prosedur perceraian di pengadilan, sehingga ia tidak dapat menahan diridalam
mencerai isterinya di depan sidang pengadilan, dan mengucap talak pada waktu itu
juga, maka sejak saat itulah terjadi perceraian.
Untuk itu, tenggang waktu tunggu telah mulal berlaku. Langkah berikutnya
adalah penetapan atau penyaksian talak ke pengadilan, yang disebut dengan isbat al-
talaq. Sabda Nabi SAW riwayat dari Abu Hurairah menyatakan:
"Tiga hal yang dapat terjadi baik dengan sungguh-sungguh atau gurauan, yaitu nikah,
talak, dan rujuk (Riwayat Abu Dawud, al- Tirmizi, dan Ibn Majah)".
Maksud hadis tersebut tentu saja tidak untuk disalahgunakan tetapi untuk memberi
rambu agar setiap suami tidak ceroboh dan mudah mengumbar perceraian. Oleh
karena itu sebagai peringat- an, hendaknya kepada suami dapat menahan diri -lebih-
lebih pada saat-saat konflik suami isteri mencapai situasi kritis dalam memilih
perceraian sebagai alternatif. Yaitu, apabila alter- natif tersebut harus ditempuh,
seyogyanya diselesaikan di depan sidang pengadilan. Ini dimaksudkan agar semua
tindakan hukum yang terjadi, memiliki kekuatan hukum tetap dan dapat
dipertanggung jawabkan Sebenarnya apabila dikaji lebih jauh, keterlibatan
pengadilan dalam perceraian antara suamil dan isteri, maksud dan tujuannya sangat
positif.
Selain untuk kepentingan yuridis formal tersebut proses persidangan yang hampir
tidak dapat terselesaikan dalam sekali atau dua kali sidang, adalah memberi
kesempatan kedua belah pihak untuk selalu memikirkan langkah mereka untuk
melakukan perceraian.

7
Terlebih lagi, menjadi suatu keharusan bagi pengadilan untuk mengupayakan
perdamaian antara kedua belah pihak dalam setiap kesempatan Memang kadang-
kadang, proses peradilan menambah beban bagi kedua belah pihak.
Yaitu apabila proses perceraian di penga- dilan, disertai upaya-upaya hukum, banding
dan atau kasasi, yang memakan waktu bertahun-tahun Karena itu pula dituntut bagi
semua pihak baik aparat hukum, subyek atau pelaku hukum untuk dapat bersama-
sama mewujudkan keadilan dengan cara tidak mempersulit kepada pihak lain Di
antara hikmah terpenting diaturnya masalah 'iddah ini, selain untuk mengetahui
keadaan rahim, demi menentukan hu- bungan nasab anak, memberi alokasi waktu
yang cukup untuk merenungkan tindakan perceraian, bagi isteri yang ditinggal mati
suaminya adalah untuk turut berduka cita-atau berkabung dan sekaligus menjaga
timbulnya fitnah. Kompilasi pasal 170 menegaskan:
(I) Isteri yang ditinggal mati suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama
masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah
Anjuran berkabung demikian tidak secara khusus mengaturnya bagi laki-laki yang
ditinggal mati isterinya-tentu tidak dapat dipahami hanya untuk pihak isteri yang
ditinggal mati suaminya. Karenaitu, kompilasi mencoba menegaskannya dalam pasal
170 ayat (2). "suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung
menurut kepatut an" Jadi dalam masalah ini, tidak semata-mata persoalan yuridis
formal, namun lebih menekankan kepada aspek rasa, toleransi, dan kepantasan. Dan
ini pun wajar dan perlu mendapat perhatian Allah a'lam.

D. Rujuk
1. Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian
terminology adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah
dicerai raj’I, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa iddah.Rujuk dalam
hukum perkawinan Islam merupakan tindakan hukum yang terpuji. Sebab, sesudah
sepasang suami istri melewati masa kritis konflik yang diakhiri dengan perceraian,
kemudian timbul kesadaran untuk menyambung tali perkawinan yang pernah putus
dalam menyongsong hari esok yang lebih baik.

8
Apabila suami melakukan rujuk berarti melakukan akad nikah kembali. Dengan
demikian, istri yang akan dirujuk oleh suaminya menyetujui dan disaksikan oleh dua
orang saksi. Di lain pihak, walaupun sang bekas suami ingin rujuk kepada bekas
istrinya yang masih dalam masa iddah, tetapi sang istri tidak menerimanya maka hal
itu tidak akan terjadi rujuk. Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat
dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Hikmah rujuk diantaranya:
a. bertaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad
memperbaiakinya.
b. Menghindari murka dan kebencian Allah SWT, untuk menjaga keutuhan dan
keselamatan keluarga, khususnya masa depan anak-anak.
c. Mewujudkan islah atau perdamaian.
2. Tata Cara Rujuk
Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam pasal 32, 33, 34, dan 38 peraturan
Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah
dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-
Undangan Perkawinan bagi yang beragama Islam.Prinsip rujuk baru dapat
dilaksanakan setelah persyaratan yuridis normative dan teknis yuridis empiris
terpenuhi. Sesudah rujuk dilaksanakan, maka hal-hal yang bersifat administrative,
yang menjadi tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah diatur dalam pasal 168
KHI. Selanjutnya pasal 169 KHI menguraikan langkah-langkah administrative
lainnya. Pasal 167 Kompilasi menyatakan:
(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawa Pencatat Nikah yang mewilayahi
tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan
surat keterangan lain yang diperlukan (Dalam pasal 32 ayat (1) Permenag RINO. 3/75
hanya menye- but PPN atau P3NTR yang mewilayahi tempat tinggal isteri).
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri di hadapan Pegawal Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat memeriksa dan
menyelidiki apakah suami yang akan meru- juk itu memenuhi syarat-syarat merujuk

9
menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu dalam 'iddah talak
raj'i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-ma- sing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah menasihati suami isteri tentang hukum-hukum dan
kewajiban mereka yang berhu- bungan dengan rujuk Lihat ps. 32 ayat (2), (3), (4),
dan (5) Permenag. Nomor 3 1975).
Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa prinsipaya rujuk baru dapat
dilaksanakan setelah persyaratan normatif maupun teknis telah dipenuhi. Yang
normatif misalnya, apakah isteri yang akan dirujuk itu masih dalam masa 'iddahnya,
atau apakah perem- puan yang akan dirujuk itu adalah benar-benar bekas isterinya.
Begitu juga dengan kehadiran dua orang saksi. Yang teknis, apakah petugas PPN atau
P3N yang ditunjuk sesuai dengan kom- petensi wilayahnya.
Selanjutnya, setelah rujuk dilaksanakan, lebih banyak bersifat teknis
administratif, yang menjadi tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah atau
P3NTR. Kompilasi pasal 168 menyatakan:
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawal Pencatat Nikah,
daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing
yang bersangkutan be- serta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk
dicatat dalam Buku Pendaftaran rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk
dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua dengan berita acara
tentang sebab-sebab hilangnya.
Selanjutnya pasal 169 Kompilasi menguraikan langkah administratif lainnya:
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinyarujuk
dan pengirimannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnyatalak yang

10
bersangkutan, dan kepada suami-isteri masing-masing diberikan Kutipan Bukti
Pendaftaran rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh menteri agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran
Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu
untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang ber-
sangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama da- lam ruang yang telah
tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk
dikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan
panitera (Pasal 34 Permenag Nomor 1/1975)
Ketentuan mengenai rujuk sama halnya dengan perkawinan, yaitu hanya dapat
dibuktikan dengan akta nikah. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban
hukum dan administrasi dalam ikatan perkawinan yang disebut dalam kaidah ushul
maslahat mursalah, yaitu mewujudkan suatu hukum untuk mencapai kemaslahatan,
sementara tidak ada nsah yang mengatur atau melarangnya.

11
BAB III

PENDAHULUAN

A. Kesimpulan
Perceraian merupakan kata yang terdiri dari cerai yang berarti pisah, mendapatkan
imbuhan per-an sehingga secara bahasa berarti putusnya hubungan suami isteri, talak,
hidup perpisahan antara suami isteri selagi kedua-duanya masih hidup.
Iddah (waktutunggu) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya,
baik putus karena perceraian, kematian, maupun atas keputusan pengadilan. Masa
iddah tersebut, hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri.
Lain halnya bila istri belum melakukan hubungan-hubungan suami istri, tidak
mempunyai masa iddah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad.Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1995

http://indahlestari111000407.blogspot.com/2012/09/putus-perkwinan-tata-cara-
perceraian.html?m=1

http://www.academia.edu/8951010/perceraian_iddah_dan_rujuk

13

Anda mungkin juga menyukai