Anda di halaman 1dari 14

HUKUM PERDATA ISLAM

Pembatalan Perkawinan

DISUSUN OLEH :

NAMA/NIM: 1. Ayu Sania / 2110100014

2. Zulfadli / 2110100019

PRODI : Ahwal Al-Syakhsiah

DOSEN PENGAMPU: Prof. Dr. Ibrahim Siregar.MCL

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYEKH ALI HASAN AHMAD AD-DARRY

PADANGSIDIMPUAN

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa, atas limpahan rahmat
dan hidayahnya sehingga masih dapat kami menyelesaikan makalah ini, dengan semampu
dan sebisa kami. Makalah kami ini merupakan tugas yang di buat untuk memenuhi kriteria
matakuliah. Shalawat dan salam kami panjatkan kepada ruh junjungan baginda Rasullah
Muhammad SAW, keluarga, para sahabat serta seluruh umat muslim.

Kami menyadari bahawa dalam makalah kami ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami harapkan kritik dan saran dari segala pihak
yang dapat membangun menuju ke arah yang lebih baik lagi. Marilah bersama kita
memohon kepada Allah SWT, agar memberikan kita pemahaman, taufiq dan hidayah nya
dan memberikan keberkahan ilmu.

Padangsidimpuan, 12 Maret 2023

Penulis

2
Daftar Isi

KATA PENGANTAR......................................................................................

Daftar Isi.............................................................................................................

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................................
B. Rumusan Masalah......................................................................................

PEMBAHASAN

A. Defenisi Pembatalan Perkawinan................................................................


B. Pembatalan Perkawinan menurut UU dan KHI............................................
C. Pencegahan Pembatalan Perkawinan.............................................................

KESIMPULAN............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................

3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasal 22 UU perkawinan menyatakan bahwa, perkawinan dapat di batalakan,
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pengadilan yang berwenang untuk membatalkan perkawinan adalah pengadilan yang
daerah kekuasaan nya meliputi tempat berlangsung nya perkawinan atau di tempat tinggal
suami istri.
Bagi mereka yang beragama Islam pembatalan dilakukan di pengadilan Agama,
sedangkan di pengadilan Negeri bagi mereka yang non-Islam. Kewenangan pembatalan
perkawinan ada pada pengadilan, tersebut mengingat pembatalan perkawinan dapat
membawa dampak yang jauh bagi kehidupan suami istri maupun keluarga nya, maka
ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan
oleh instansi lain di luar pengadilan.
Bagi masyarakat muslim di Indonesia, aturan mengenai pembatalan perkawinan,
selain diatur secara umum dalam UU perkawinan dan perubahanya serta diatur dalam pasal
70 – pasal 76 KHI, batalnya perkawinan merupakan konsekuensi logis atau akibat dari
larangan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apasaja dampak dari pembatalan perkawinan?
2. Apa akibat hukum dari pembatalan perkawinan?
3. Bagaimana pencegahan pembatalan perkawinan?

4
PEMBAHASAN

A. Defenisi Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya


merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan
ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.1

Terjadinya fasakh menurut mazhab Syafi’iy dan Hanbaly, adalah karena:

1. Pisah karena cacat salah seorang suami istri.

2. Perceraian karena berbagai kesulitan (i’sar) suami.

3. Pisah karena li’an. 4. Salah seorang suami isteri itu murtad.

5. Perkawinan itu rusak (fasad).

6. Tidak ada kesamaam status (sekufu).

Sedangkan menurut mazhab Hanafy, yaitu:

1. Pisah karena suami isteri murtad.

2. Perceraian karena perkawinan itu fasad(rusak).

3. Perpisahan karena tidak seimbangnya status (sekufu) atau suami tidak dapat
dipertemukan.2

Adapun berdasarkan mazhab Maliky terjadinya fasakh yaitu:

1. Terjadinya li’an.

2. Fasadnya perkawinan.

3. Salah seorang pasangan itu murtad.3

Menurut Amir Syarifuddin fasakh dapat disebabkan oleh dua macam

1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, (Yogyakarta: UII Press, 2000)., hlm. 85
2
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hlm. 309.
3
A. Rahman I Doi, Kharakteristik Hukum. hlm. 310.

5
yaitu:

1. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau

terdapat adanya halangan perkawinan.

2. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak

memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.4

Selanjutnya Amir Syarifuddin menambahkan bahwa ada beberapa faktor

yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan atau fasakh, yaitu:

1. Syiqaq

Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus.

sebagaimana firman Allah di dalam surat an Nisa ayat 35:

2. Cacat

Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani

atau cacat rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan,

namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi akad

perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah suami isteri bergaul atau

belum.

3. Suami tidak mampu memberi nafkah

Nafkah yakni berupa nafkah lahir atau nafkah batin, yang menyebabkan

penderitaan dipihak isteri.

4. Mafqud (Suami ghaib)

Suami ghaib adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak

4
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,
(Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 253.

6
diketahui kemana perginya dan di mana keberadaannya dalam waktu yang lama.

5. Melanggar perjanjian dalam perkawinan

Sebelum akad nikah suami dan isteri dapat membuat perjanjian

perkawinan. Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan tersebut dapat

menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan.

B. Pembatalan Perkawinan menurut UU dan KHI


Pembahasan tentang pembatalan perkawinan secara lengkap dan terperinci telah
dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22,
dinyatakan dengan tegas bahwa “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsung-kan perkawinan.” Sedangkan di dalam
Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada pasal 71 sampai Pasal 76. sebagai berikut :
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
isteri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang N o .l. tahun 1974;
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri

7
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah
itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.

Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami atauisteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau
perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a. perkawinan yang batal karena salah satu sumai atau isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber'itikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekuatan hukum yang
tetap.
Pasal 76

8
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum
antara anak dengan orang tuanya.5
Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan adalah:
1. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang.
2. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah,
4. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi,
5. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum,
6. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau istri.6
Namun, walaupun terdapat alasan untuk melakukan pembatalan
perkawinan, tetapi tidak semua orang dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
Sedangkan pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh salah satu dari suami istri
yang bersangkutan, antar lain karena anggota keluarga sedarah dalam garis lurus
ke atas dari suami atau istri. Selain itu, dapat pula diajukan oleh pejabat yang
berwenang atau pejabat yang ditunjuk atau orang lain yang berkepentingan hukum
secara langsung terhadap perkawinan tersebut.
C. Pencegahan Pembatalan Perkawinan
Dalam mencegah terjadi pembatalan perkawinan, maka hal yang dapat dilakukan
oleh lembaga pemerintah seperti KUA adalah sebagai berikut:
1. Memeriksa kelengkapan administrasi pendaftaran dan melakukan pemeriksaan
status/kebenaran data pada berkas pendaftaran pada saat pendaftaran dengan
teliti dan sesuai dengan peraturan.

Orang yang mendaftar nikah ke KUA ialah wali dan calon mempelai wanita.
Supaya pihak KUA juga dapat langsung meneliti apakah benar calon penganti wanita
adalah anak kandung dari wali atau wali adalah wali yang sah bagi calon mempelai wanita.

Adapun syarat administrasi yang harus diserahkan, sebagai berikut:

5
HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN KOMPILASI HUKUM
ISLAM DENGAN PENGERTIAN DALAM PEMBAHASANNYA, hlm.80-82

6
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 26 ayat (1).

9
1. Surat persetujuan calon mempelai.

2. Akta kelahiran/Surat keterangan asal usul.

3. Surat keterangan orang tua

4. Surat keterangan untuk nikah (Model N1)

5. Surat izin kawin bagi anggota TNI/POLRI.

6. Akta Cerai, bila janda/duda.

7. Surat kematian suami/isteri, bila janda/dudanya karena kematian salah seorang.

8. Dispensasi dari pengadilan, bila belum cukup umur.

9. Dispensasi dari Camat, bila pernikahannya kurang 10 hari sejak pengumuman.

10. Surat keterangan tidak mampu, bila mereka tidak mampu.

11. Bagi warga asing: Paspor, Surat izin dari kedutaan dan surat status dari
negaranya.7

Dalam hal pendaftaran nikah harus dilakukan oleh wali, calon mempelai wanita,
dan calon mempelai pria. Berkaitan dengan siapa yang harus mendaftarkan nikah telah
diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa
orang yang mendaftar nikah/orang yang memberitahukan kehendak nikah ke KUA/PPN
adalah calon mempelai, orang tua, atau wakilnya.8

2. Memasang pengumuman kehendak nikah

Memasang pengumuman kehendak nikah, sebagaimana yang disebutkan dalam


Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, sebagai berikut:

“Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada


sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman

7
Dirjen Bimas Islam Depag. RI, Pedoman Penghulu , (Jakarta: Dirjen Bimas RI, 2008), hlm. 37-38.

8
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12

10
tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor
Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca
oleh umum.”9

Maksud daripada pengumuman kehendak nikah adalah untuk memberi


kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan
bagi dilangsungkannya suatu perkawinan apakah yang demikian itu diketahuinya
bertentangan dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu yang bersangkutan
atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan lainnya.

3. Memeriksa kembali kebenaran pernyataan calon mempelai atau wali pada saat
pendaftaran sebelum proses akad nikah dilaksanakan.
Adapun cara yang digunakan adalah mengajukan pertanyaan dengan
mencocokkan dengan surat-surat dan syarat administratif lainnya, seperti ijazah,
KK, KTP, dan lain sebagainya. Menghadirkan kedua calon mempelai pada saat
akad nikah dan mengidentifikasi suara.
4. Mengumumkan kepada saksi bahwa calon pengangtin dapat segera dinikahkan
dan sebelumnya memberitahu saksi mengenai fungsi dan tugasnya dalam
proses akad nikah.
Sebelum akad nikah dilaksanakan, penghulu memberi pengarahan dan
penjelasan kepada seluruh hadirin yang dijadikan sebagai saksi bahwa mereka
bertugas mengawasi apakah rukun dan syarat perkawinan yang akan
dilaksanakan tersebut telah terpenuhi atau apakah terdapat halangan-halangan
perkawinan.
5. Memberitahu kepada seluruh hadirin mengenai syarat dan rukun nikah
Sama halnya dengan memberitahu saksi mengenai fungsi dan tugasnya
dalam majelis perkawinan, memberitahu para hadirin sebagai saksi nikah
mengenai rukun dan syarat nikah merupakan salah satu upaya mengindari
terjadinya pembatalan perkawinan.
6. Melakukan penolakan nikah jika ditemukan penghalang nikah

9
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12

11
Misalnya dalam hal calon pengantin tidak cukup umur, sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa seseorang yang
hendak melangsungkan perkawinan harus berusia minimal 21 tahun. Apabila
kurang dari itu harus mendapat dispensasi dari Pengadilan.
7. Menanyakan setuju tidaknya calon mempelai untuk menikah
Di antara syarat perkawinan sesuai yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ialah bahwa perkawinan harus
berdasarkan atas persetujuan kedua mempelai. Begitu pula yang disebutkan
dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007.
Oleh karena itu, pada saat pemeriksaan perkawinan penghulu juga
menanyakan mengenai setuju atau tidaknya calon mempelai untuk menikah.
Apabila kedua calon mempelai atau salah satunya tidak berkehendak untuk
menikah, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Ini menunjukkan bahwa
KUA memperhatikan dan melaksanakan aturan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.

12
KESIMPULAN

Pembatalan perkawinan tidak seharusnya dilaksanakan karena pembatalan perkawinan


sama dengan perceraian di mana memisahkan ikatan perkawinan yang telah sah menurut agama
dan Negara. Sedangkan fasakh dapat disebabkan oleh dua macam yaitu: Pertama, Disebabkan oleh
perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan.
Kedua, Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan
rumah tangga itu dilanjutkan.

Pengadilan dan KUA berupaya melakukan pencegahan pembatalan perkawinan, seperti


yang telah di paparkan, mengingat perkawinan merupakan hubungan yang bersifat religius dan
tidak boleh di permainkan, yang tidak hanya mengikat hubungan wanita dan pria. Tapi juga
menghubungan nasab garis keturunan. Sehingga sebuah perkawinan tidak mudah untuk dibatalkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Basyr azhar, Hukum Perkawinan, 2000, Yogyakarta: UII Press

A. I doy Rahman, karakteristik hukum,1996, Jakarta: Grafindo Persada


Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
undang Perkawinan, 2006, Jakarta: Kencana

14

Anda mungkin juga menyukai