PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Akad perkawinan dalam hukum Islam adalah bukan perkara perdata
semata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang terkait dengan
keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah
dalam perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik. Suatu
perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami istri yang
harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan
bahagia sepanjang masa. Setiap sepasang suami istri selalu mendambakan
agar ikatan lahir batin yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin
kokoh terpateri sepanjang hayat masih dikandung badan. Namun demikian
kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan
kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah
dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang
harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor
psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup,
dan sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat
menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.
Muculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri,
timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan
hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga
yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi
pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal
yang harus ditampung dan diselesaikan.
Mengenai hal tersebut, berikut penulis akan memaparkan bagaimana
putusnya perkawinan dan bagaimana penyelesaiannya.
2. Rumusan masalah
a. Apa yang dimaksud dengan putusnya perkawinan?
b. Bagaimana akibat hukum putusnya perkawinan?
3. Tujuan
Mengetahui bagaimana putusnya perkawinan serta akibat hukum dari
putusnya perkawinan
II. PEMBAHASAN
A. Putus perkawinan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang
wanita sudah putus. Putus ikatan berarti salah seorang diantara keduanya
meninggal dunia, antara pria dengan seorang wanita sudah bercerai, dan salah
seorang antara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada
beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah
meninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan perkawinan suami istri dapat
putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang
diikat dengan tali perkawinan.1
Perceraian dalam hukum Islam ialah sesuatu perbuatan halal yang
mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT, berdasarkan hadits Nabi
Muhammad SAW :
Putusnya perkawinan mungkin atas inisiatif suami, mungkin pula atas inisiatif
istri. Menurut fiqih hanya suami yang berhak menceraikan istrinya yaitu
dengan talak dan cukup secara lisan tanpa melalui penguasa. Istri dapat
memohon cerai melalui pengadilan dengan jalan khulu’ dengan
mengembalikan mahar (iwadh). Akan tetapi dalam hukum di Indonesia
mengatur so’al perceraian tidak demikian sederhana, semula karena tadinya
suami mempunyai hak untuk menalak istrinya seolah-olah tindakan sepihak,
maka bentuk acaranya ialah dengan mengajukan permohonan cerai kepada
pengadilan agama. Tetapi dalam pelaksanaanya kemudian meskipun bernama
permohonan (bersifat voluntair atau sepihak) menurut instruksi pihak
termohon (istri) harus didengar, bahkan berhak mohon banding bila keputusan
tidak menyenangkan baginya, jadi tidak ada bedanya dengan gugatan (bersifat
contentious/dua pihak). Apabila menurut fiqih dulu suami telah dengan
1
Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) Hal. 73
2
Zainuddin Ali. Loc.Cit. Hal. 73
sungguh artinya mengucapkan talak, tidak ada lagi upaya hukum yang
tersedia, kini tidak demikian lagi.3
3
Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya. (Jakarta : Sinar
Grafika, 1996) Hal. 28-29
4
Sidik Soedarsono. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa.
Dara, 1964) Hal. 91
lebih bersabar dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu.
Semua itu bertujuan agar perceraian tidak terjadi.
c. Terjadinya syiqaq
Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan
syiqaq. Dalam penjelasan UU No. 7/1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah
perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Untuk sampai
pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan harus melalui
beberapa proses.
d. Salah satu pihak melakukan perbuatan zinah (fahisyah), yang menimbulkan
saling tuduh menuduh antara keduannya. Cara membuktikannya adalah
dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwaan dengan cara li’an.5
Persoalan putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
disebutkan bahwa :
Pasal 38
a. Kematian;
b. Perceraian;
c. Keputusan pengadilan.6
Selain itu, KHI menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan perceraian :
1) Talak
Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI). Talak ada dua macam
yaitu :
a) Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selam istri dalam masa iddah (pasal 188 KHI).
b) Talak ba’in, dibagi menjadi dua yaitu :
1) Talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah
(pasal 119 KHI ayat 1). Talak ba’in sughra dapat dibagi menjadi :
5
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op.Cit. Hal. 209-214.
6
Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 73
Talak yang terjdi qabla al-dukhul;
Talak dengan tebusan atau khulu’;
Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama (pasal 119 KHI ayat
2).
2) Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikah kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan
orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan habis
masa iddah (pasal 120 KHI).
c) Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan
kepada seorang istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu
suci tersebut (pasal 121 KHI).
d) Talak bid’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalm keadaan suci tapi sitri
dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122 KHI)
2) Khuluk, merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh istri ntuk menebus
dirinya dari ikatan suaminya.7
3) Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-
lamanya (pasal 125 KHI). Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat
zina dan atau mengingkari anak dalam kadungan atau yang sudah lahir dari
istrinya sedang istri menolak tuduhan atau pengingkaran (pasal 126 KHI).8
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
7
Aris Bintania. Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqih Al-Qadha. ( Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2012) hal. 135
8
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia . ( Jakarta : Akademika, 1992) Hal. 141-142.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara suami/istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.9
Dalam KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang berlaku
khusus kepada suami istri (pasangan perkawinan) yang memeluk agama Islam, yaitu
suami melanggar taklik talak, Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Ketentuan pasal 149 KHI tersebut bersumber dari surat Al-Baqarah ayat 235 dan
236 sebagai berikut :
9
Abdurrahman. Ibid. Hal. 141
ت َْذ ُكرُونَه َُّن َو ٰلَ ِكن اَّلk ُك ْم ۚ َعلِ َم ٱهَّلل ُ َأنَّ ُك ْم َسkٓا ِء َأوْ َأ ْكنَنتُ ْم فِ ٓى َأنفُ ِسk ِة ٱلنِّ َسkَطب
ْ تُم بِِۦه ِم ْن ِخkَّض
ْ َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َعر
َ و ۟ا َأ َّن ٱهَّللk
ٓ k َغ ْٱل ِك ٰتَبُ َأ َجلَهۥُ ۚ َوٱ ْعلَ ُمkُاح َحتَّ ٰى يَ ْبلk ۟ وا قَوْ اًل َّم ْعرُوفًا ۚ َواَل تَع
ِ k َدةَ ٱلنِّ َكkْز ُموا ُع ْق ِ
۟ ُتُ َوا ِعدُوه َُّن ِس ًّرا ٓاَّل َأن تَقُول
ِإ
ُ َ هَّلل َّ َأ ۟ َ ْ
)٢٣٥( يَ ْعل ُم َما فِ ٓى نف ِسك ْم فٱحْ ذرُوهُ ۚ َوٱعل ُم ٓوا ن ٱ َ غفو ٌر َحلِي ٌم َ َ ُ ُ َأ َ
Artinya :
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum
kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah
kamu beri mereka mut’ah. Bagi yang mampu menurut kemampuanya dan bagi
yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang
patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS.
Al-Baqarah : 235-236)
Artinya :
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan diganti oleh :
10
Zainuddin Ali. Op.Cit. Hal. 77-80
III. PENUTUP
1. Kesimpulan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita
sudah putus. Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, keputusan
pengadilan. Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara
seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik
yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun yang tertulis
dalam KHI, seperti pemberian nafkah kepada istri dan anak, pemeliharaan
anak (hadlanah), dan waris mewarisi antara seorang apabila putusnya
perkawinan tersebut akibat kematian salah satu pihak. Tatacara perceraian bila
dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian
dapat dibagi dalam dua aspek yaitu cerai talak (yang diajukan oleh pihak
suami) dan cerai gugat (yang diajukan oleh pihak istri) yang masing-masng
diatur dalam pasal 66 dan 68 UUPA dan pasal 131 KHI untuk cerai talak dan
diatur dalam Pasal 73, 74-78 UUPA untuk cerai gugat, Adapun pada pasal 87
UUPA menjelaskan perceraian yang berdasarkan alasan zina.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa peran pengadilan pasif hanya
bersifat pasif, hanya untuk melegalkan ikrar talak. Tetapi pada dasarnya peran
pengadilan sangatlah efektif untuk mencegah adanya perceraian dan untuk
meluruskan keluarga yang bertikai. Yang menarik dari perkembangan hukum
perceraian adalah diman Undang-Undang dalam kasus perceraian apakah
melalui talak atau cerai gugat telah menempatkan laki-laki dan perempuan
dalam posisi yang setara sama-sama dapat mengajukan permohonan cerai, dan
pengadilan adalah pihak yang menentukan dapat atau tidaknya perceraian itu
terjadi dengan mempertimabngkan hal-hal tertentu.
2. Kritik dan saran
Demikianlah makalah tentang putus perkawinan dan akibat hukumnya serta
tatacara perceraian yang telah penulis paparkan guna memenuhi tugas ujian
akhir semester. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu
kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan
makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi
pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)
Hamid, Andi Tahir. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya.
(Jakarta : Sinar Grafika, 1996)
Bintania, Aris. Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqih Al-Qadha.
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012)