Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

“Pernikahan Melalui Telepon”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Kontemporer

Dosen Pengasuh Agus Ma’arif, LC., M.M.

Disusun oleh :

Muhammad Syaiful (162121055)

Ainur Rahmi Jinantika A (162121062)

Indarka Putra P (162121064)

Usti Diana Meilawati (162121080)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SURAKARTA

TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sebagai fuqoha’ dalam mengemukakan hakekat perkawinan hanya
menonjolkan aspek lahiriyah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat sahnya
sebuah perkawinan hanya sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang
sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan antara laki-laki dengan
perempuan. Dengan demikian yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah akad
(pernikahan) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon
mempelai laki-laki.
Perkawinan umat Islam di Indonesia juga mengacu pada pedoman hukum
Islam. Dengan perkataan lain hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai
dengan hukum Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqoha’. Perkawinan juga
bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta
membangun masa depan individu keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Oleh
karena itu, jika telah ada kesepakatan antara orang pemuda dengan seorang pemudi
untuk melaksanakan akad nikah pada hakekatnya kedua belah pihak telah sepakat
untuk merintis jalan menuju kebahagiaan lahir batin melalui pembinaan yang
ditetapkan agama.
Barangkali, faktor-faktor yang ditetapkan terakhir inilah yang lebih mendekati
tujuan hakekat dari perkawinan yang diatur oleh Islam. Oleh sebab itu, sah tidaknya
perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada akadnya. Karena sedemikian rupa
pentingnya akad dalam perkawinan itu maka berdasarkan dalil-dalil yang ditemukan,
para fuqoha’ telah berijtihad menetapkan syarat-syarat dan rukun untuk sahnya
sesuatu akad nikah.
Sebagaimana hasil ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai permasalahan
baru dalam soal perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya
dilaksanakan melalui telepon.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pengertian pernikahan dan rukun pernikahan ?
b. Bagaimana hukum nikah lewat telepon menurut hukum Islam ?
c. Bagaimana contoh kasus tentang pernikahan lewat telepon ?

1|Fiqh Kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Pernikahan dan Rukun Pernikahan


Akad (nikah dari bahasa Arab ‫ )عقد‬atau ijab qabul, merupakan ikrar
pernikahan. Yang dimaksud akad pernikahan adalah ijab dari pihak wali perempuan
atau wakilnya dari qabul dari pihak calon suami atau wakilnya. Menurut syara’ nikah
adalah satu akad yang berisi diperbolehkannya melakukan persetubuhan dengan
menggunakan lafadz ‫(انكاح‬menikahkan) atau ‫( تزويج‬mengawinkan). 1
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang dimaksud
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ada yang menjadi rukun pernikahan ialah :
a. Wali
b. Pengantin laki-laki
c. Pengantin perempuan
d. Dua saksi laki-laki
e. Akad nikah
Akad nikah merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan
menurut Islam akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru
nikah. Syarat (akad) yaitu adanya akad itu jelas keluar dari lafadz ‫ نكاح‬atau ‫( تزويج‬aku
nikahi) walaupun akad tersebut tanpa menggunakan bahasa arab sekitarnya kedua
lafadz itu dipahami oleh dua orang yang akad dan dua saksi.2
Dan tidak sah akad nikah kecuali dengan wali yang adil, atau orang yang
mendapatkan ijin wali. Syarat dalam wali itu disyaratkan tidak fasiq di sebagian
nusakh itu harus wali laki-laki yang lebih diunggulkan dari pada wanita, karena
sesungguhnya wanita itu tidak bisa menikahkan diri sendiri atau menikahkan orang
lain. Dan tidak sah juga akad nikah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang
adil.3
2. Nikah Lewat Telepon Menurut Ulama Fiqh

1
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdat Islam di Indonesia (Cet.III;Jakarta: Kencana,
2006), hlm.67
2
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Cet 9, Yogyakarta : UII
3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Gema Media, 2001) hlm.105

2|Fiqh Kontemporer
Telepon merupakan salah satu alat komunikasi jarak jauh selain telegraf dan
internet. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, telepon adalah pesawat dengan
listrik dan kawat untuk bercakap-cakap antara dua orang yang berjauhan tempatnya,
jenisnya bermacam-macam antara lain telepon genggam, telepon koin, telepon seluler,
dan radio.Berbeda dengan internet, komunikasi melalui telepon cenderung lebih
mahal terutama pada percakapan lintas negara. Jika proses pernikahan pada umumnya
dilakukan secara face to face dalam satu tempat, namun dalam pernikahan via telepon,
akad dilakukan tidak di satu tempat. Bentuknya pun bisa beragam, ada yang antara
wali dengan kedua mempelai terpisah, ada pula yang antara mempelai laki-laki
dengan mempelai perempuannya saling berjauhan.
Secara keseluruhan, dalam masalah tersebut, salah satu atau beberapa unsur
pelaku akad tidak saling bertemu dalam satu tempat. Seiring perkembangan teknologi,
percakapan lewat telepon pun semakin canggih. Jika dahulu orang-orang dapat
bercakap dengan hanya saling memperdengarkan suara, namun pada masa kini
telepon sudah dilengkapi dengan fasilitas video dan layar sehingga penggunanya
dapat saling melihat wajah dan gambar. Di Indonesia, pernikahan dengan
menggunakan fasilitas video tersebut pertama kali terjadi pada tahun 2006 silam. Pada
perkembangannya, pernikahan yang dilakukan melalui fasilitas telepon bukan hanya
disebabkan oleh kondisi darurat, tetapi juga karena sudah dianggap lebih praktis dan
efektif dibanding jika harus mempertemukan semua unsur pernikahan dalam satu
tempat. Jadi Pernikahan via telepon dalam konteks bahasa yaitu, pernikahan yang
akad nikahnya dilakukan melalui jalan telekomunikasi lewat suara atau yang disebut
sebagai via telepon.
Secara istilah umumnya bahwa pernikahan via telepon merupakan pernikahan
yang dilakukan oleh sebagian orang yang memungkinkan untuk melaksanakan
pernikahan, dan yang berada dalam keadaan jarak jauh, dimana sebagian dari syarat
dan rukun dalam pernikahan yang tidak biasa dilaksanakan sesuai hukum yang ada.
Dan sehingga mengharuskan untuk terjadinya proses pernikahan atau poses ijab qabul
dengan melalui jalan telekmunikasi suara.
Dalam kitab-kitab fikih klasik, masalah pernikahan pada umumnya mencakup
masalah-masalah sebelum menikah (muqaddimat al-nikah) hingga urusan berumah
tangga. Di sini terlihat atensi ulama fikih terhadap masalah tersebut meskipun hal-hal
dalam pernikahan tidak terlepas dari perdebatan atau ikhtilaf. Pernikahan dianggap
sah secara syariat jika syarat dan rukun- rukunnya terpenuhi. Menurut Jumhur, rukun

3|Fiqh Kontemporer
nikah ada empat yaitu ijab kabul atau sigat, ada calon istri, calon suami, dan wali,
sedangkan Hanafiyah berpendapat bahwa rukun nikah hanya mencakup ijab dan
Kabul. Meski pernikahan via telepon tidak dibahas oleh ulama-ulama fikih klasik,
namun ada beberapa hal yang dapat diindentifikasi melalui perspektif fikih yaitu
masalah syarat ijab kabul dan kehadiran saksi.
Pada kasus pernikahan melalui telepon, syarat yang dipermasalahkan adalah
bersatunya majelis ijab dan kabul. Penyatuan majelis di sini bermakna bahwa ijab dan
kabul tidak diselingi atau dipisahkan oleh kalimat asingatau aktivitas lain di luar sigat
nikah. Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa meski lafaz kabul tidak
diucapkan secara beriringan, misalnya mempelai lelaki sempat terdiam lama sebelum
mengucapkan kabul maka akad nikah tetap sah selama tidak diselingi oleh kalimat
dan aktivitas lain. Syafi’iyah dan Malikiyah mengemukakan bahwa disyaratkan untuk
bersegera mengucapkan lafaz kabul setelah kalimat ijab selesai. Artinya, tidak boleh
ada jeda waktu antara kedua lafaz tersebut yang menunjukkan bahwa pihak mempelai
tidak menyetujui akad tersebut. Malikiyah berpendapat jika selang waktu antara ijab
dan kabul tidak terlalu lama maka sigat tetap sah, sedangkan Syafi’iyah lebih bersikap
ketat dengan tidak memberikan toleransi adanya selang waktu yang lama. Contohnya
mempelai pria terdiam lama setelah ijab diucapkan yang bisa mengisyaratkan adanya
ketidaksepakatan.
Dari beberapa pendapat tersebut, adanya syarat penyatuan majelis ijab dan
kabul ditekankan pada kesinambungan waktu antara ijab dan abul agar kedua belah
pihak saling menunjukkan kerelaan dan persetujuan dalam akad nikah. Oleh karena
itu, meski pernikahan dengan media telepon tidak mempertemukan kedua belah pihak
dalam satu tempat, namun tetap dianggap sah jika memenuhi kriteria kesinambungan
waktu ijab dan kabul. Jika pada saat proses ijab dan kabul dilaksanakan, kemudian
terjadi masalah seperti operator telepon menyela ijab dan kabul atau koneksi tiba-tiba
terputus maka sebaiknya akad diulang dengan berpegang pada pendapat Syafi’iyah
untuk lebih berhati-hati.
Di zaman Rasulullah, pernikahan yang tidak mempertemukan para pelaksana
akad dalam satu tempat juga pernah terjadi. Bedanya, pernikahan di zaman itu
menggunakan sistem perwakilan atau media tulisan yang dibawa oleh seorang utusan
(al-mukatabah). Dalam kasus seperti ini, salah satu pihak menulis kalimat ijab dengan
tulisannya sendiri lalu menyerahkan kepada seorang utusan yang membawa surat

4|Fiqh Kontemporer
tersebut kepada pihak perempuan. Lalu pihak perempuan atau walinya menuliskan
kalimat Kabul sebelum surat tersebut dibawa kembali oleh utusan tadi.
3. Contoh Kasus Nyata
Peristiwa akad nikah lewat telepon itu mengundang reaksi yang cukup luas
dari masyarakat contohnya pada tanggal 13 Mei 1989 terjadi akad nikah jarak jauh
Jakarta-Bloomington Amerika Serikat lewat telepon, yang dilangsungkan di kediaman
Prof. Dr. Baharuddin Harahap di Kebayoran Baru Jakarta. Calon suami drs. Ario
Sutarto yang sedang bertugas belajar di Program Pasca Sarjana Indiana University
AS, sedangkan calon istri adalah dra. Nurdiani, putri guru besar IAIN Jakarta itu.
Kedua calon suami istri itu sudah lama berkenalan sejak sama-sama belajar dari
tingkat satu IKIP Jakarta, dan kehendak keduanya untuk nikah juga sudah mendapat
restu dari orang tua kedua belah pihak.4
Sehubungan dengan tidak bisa hadirnya calon mempelai laki-laki dengan
alasan tiadanya biaya perjalanan pulang pergi AS- Jakarta dan studinya agar tidak
terganggu, maka disarankan oleh pejabat pencatat nikah (KUA) agar diusahakan
adanya surat taukil (delegation of authority) dari calon suami kepada seseorang yang
bertindak mewakilinya dalam akad nikah (ijab qobul) nantinya di Jakarta.
Setelah waktu pelaksanaan akad nikah tinggal sehari belum juga datang surat
taukil itu, padahal surat undangan untuk walimatul urs sudah tersebar, maka
Baharuddin sebagai ayah dan wali pengantin putri mempersiapkan segala sesuatu
yang berkaitan dengan upacara akad nikah pada tanggal 13 Mei 1989, antara lain
dengan melengkapi pesawat telepon dirumahnya dengan alat pengeras suara
(mikrofon) dan dua alat perekam, ialah kaset, tape recorder dan video. Alat pengeras
suara itu dimaksudkan agar semua orang yang hadir di rumah Baharuddin dan juga di
tempat kediaman calon suami di AS itu bisa mengikuti upacara akad nikah dengan
baik, artinya semua orang yang hadir di dua tempat yang terpisah jauh itu dapat
mendengarkan dengan jelas pertanyaan dengan ijab dari pihak wali mempelai putri
dan pernyataan qobul dari pihak mempelai laki-laki ; sedangkan alat perekam itu
dimaksudkan oleh Baharuddin sebagai alat bukti otentik atas berlangsungnya akad
nikah pada hari itu.
Setelah akad nikah dilangsungkan lewat telepon, tetapi karena surat taukil dari
calon suami belum juga datang pada saat akad nikah dilangsungkan, maka kepala
4
Sabir, Muhammad, Pernikahan Via Telepon, Jurnal Al-Qadau Volume 2 Nomor 2, 2015, hlm. 198

5|Fiqh Kontemporer
KUA Kebayoran Baru Jakarta Selatan tidak bersedia mencatat nikahnya dan tidak
mau memberikan surat nikah, karena menganggap perkawinannya belum memenuhi
syarat sahnya nikah, yakni hadirnya mempelai laki-laki atau wakilnya.
Peristiwa nikah tersebut mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat,
terutama dari kalangan ulama dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka
menganggap tidak sah nikah lewat telepon itu, antara lain Munawir Syadzali, M.A
Mentri Agama RI, K.H. Hasan Basri, ketua umum MUI pusat, dan Prof. Dr.
Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka dapat membenarkan tindakan kepala KUA
tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya dan tidak memberikan surat nikahnya.
Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah itu termasuk ibadah, mengandung nilai
sakral, dan nikah lewat telepon itu bisa menimbulkan confused (keraguan) dalam hal
ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun nikah dan syarat-syarat secara sempurna menurut
hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa status nikah lewat telepon itu syubhat,
sehingga perlu tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis
kelaminnya itu melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula
ulama yang berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali
dalam keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim
menganggap nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.

6|Fiqh Kontemporer
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
a. Hukum pernikahan via telepon merupakan persoalan yang baru sebab dalam
kitab-kitab fiqih klasik tidak ditemukan mengenai persoalan tersebut. Namun
dalam kenyataanya di zaman modern ini teknologi makin canggih dan pernikahan
hal semacam itu pun terjadi. Maka terjadilah ikhtilaf di kalangan ulama
kontemporer. Ada yang mengatakan bahwa pernikahan tersebut tidak sah dan ada
yang membolehkan. Pandangan yang menganggap pernikahan tersebut tidak sah
karena ia merujuk pandangan Imam Syafii dengan alasan bahwa yang melakukan
aqad harus dalam satu majelis. Dan yang membolehkan praktek pernikahan
tersebut ia mengikuti pandangan Imam Hanafiyah.
b. Secara Undang-Undang, pernikahan via telepon belum memiliki status hukum
yang jelas karena UU Perkawinan No.1/1974 tidak mengatur masalah akad nikah.
Di sisi lain, Kompilasi Hukum Islam juga belum membahas masalah ini meski
masalah ijab dan kabul serta kehadiran saksi telah dibahas mengikuti sistematika
dalam fikih klasik.
2. Saran
Dalam penyusunan makalan ini, kami sadar masih terdapat banyak
kekurangan baik dalam segi sistematika penulisan maupun substansi materi makalah.
Maka dari itu, saran dari berbagai pihak sangat kami perlukan demi tercapainya karya
yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

7|Fiqh Kontemporer
DAFTAR PUSTAKA

Sadiani, 2000, Nikah Via Telepon, Menggagas Pembaruan Hukum Perkawinan di


Indonesia, STAIN Palangkaraya

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Taringan, 2006, Hukum Perdat Islam di
Indonesia, Cet.III, Jakarta: Kencana

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Cet 9, Yogyakarta: UII

Rofiq, Ahmad, 2001, Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gema Media

Sabir, Muhammad, Pernikahan Via Telepon, Jurnal Al-Qadau Volume 2 Nomor 2,


2015

8|Fiqh Kontemporer

Anda mungkin juga menyukai