Anda di halaman 1dari 17

‘IDDAH DAN RUJUK

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penyelenggaraan Syariah

Diampu Oleh Bapak Hosen, M. HI.

Oleh kelompok 3 :

Rusmia Laras Sati


Luluk Rizkiyatul Mukarromah
Alif Irham Ramadani
Rahmat Firdausi
Abd. Wafi

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2021
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas


terselesaikannya makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad saw.
Terimakasih kepada Bapak Hosen, M. HI. yang telah memberikan kami
kesempatan untuk menyelesaikan makalah tentang “‘IDDAH DAN RUJUK”.
Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita
mengenai ‘iddah dan rujuk.
Penulis menyadari pembuat makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca. Terlepas
dari kekurangan yang ada pada makalah ini, penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Pamekasan, 14 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. ‘Iddah............................................................................................................3

1. Pengertian ‘Iddah......................................................................................3

2. Dasar Hukum dan Ketentuan Lamanya ‘Iddah.........................................4

3. Larangan Di Masa ‘Iddah..........................................................................6

4. Hak-Hak Istri Selama Masa ‘Iddah...........................................................7

B. Rujuk.............................................................................................................8

1. Pengertian Rujuk.......................................................................................8

2. Hukum Dan Ketentuan Rujuk...................................................................9

3. Tata Cara Pelaksanaan Rujuk..................................................................11

BAB III PENUTUP...............................................................................................13

A. Kesimpulan.................................................................................................13

B. Saran............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akad perkawinan dalam islam bukanlah perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci antara seorang laki-laki dan wanita yang terkait
keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian ada
dimensi ibadah yang terkandung dalam suatu rangkain perkawinan. Untuk
itu perkawinan harus dijaga dengan baik sehingga dapat mepresentasikan
tujuan perkawinan yang sebenarnya yaitu menjadi keluarga sakinah,
mawaddah, warohmah.
Namun sering kali yang terjadi di lapangan tujuan perkawinan
tersebut kandas di tengah perjalanan. Konsekuensi lepasnya sebuah akad
perkawinan adalah talak. Makna dasar dari talak adalah melepaskan
perjanjian. Islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagia dan
kekal dan menghindarkan dari perceraian (talak). Dapat dikatakan, pada
prinsipnya islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian
kecuali pada hal-hal yang darurat yang terjadi dalam kehidupan rumah
tangga.
Bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya,
berlaku baginya waktu tunggu (masa ‘iddah), kecuali apabila seorang istri
ditalak suaminya sebelum berhubungan (qabla al-dukhul), baik karena
kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Setelah terjadi
perceraian pada hakikatnya si suami harus memberikan minimal
perumahan pada mantan istri dan anaknya. Berkenaan dengan itu
kewajiban suami tersebut, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 18 ayat 1
yang berbunyi “suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan
anak-anaknya atau mantan istrinya yang masih dalam masa ‘iddah”.
Agama Islam mensyari’atkan adanya ‘iddah ketika terjadi
perceraian hal ini untuk memberi peluang bagi keluarga yang mengalami
perceraian, manfaat ‘iddah salah satunya untuk memberi kesempatan
kepada keduanya yakni suami dan istri untuk berfikir secara jernih serta
untuk sekali lagi mencoba membangun kembali sebuah keluarga yang
sakinah mawaddah warahmah sebagaimana yang meraka inginkan. Upaya
untuk berkumpul lagi setelah perceraian disebut rujuk, para ulama sepakat
bahwa rujuk diperbolehkan dalam Islam. Upaya rujuk ini diberikan
sebagai alternatif terakhir untuk menyambung kembali hubungan lahir
batin yang telah terputus.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ‘iddah?
2. Bagaimana dasar hukum dan ketentuan lamanya ‘iddah?
3. Apa saja larangan di masa ‘iddah?
4. Apa saja hak-hak istri selama masa ‘iddah?
5. Apa yang dimaksud dengan rujuk?
6. Bagaimana ketentuan rujuk?
7. Bagaimana tata cara pelaksanaan rujuk?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian ‘iddah.
2. Dapat menjelaskan dasar hukum dan ketentuan lamanya ‘iddah.
3. Dapat menjelaskan larangan di masa ‘iddah.
4. Dapat menjelaskan hak-hak istri selama masa ‘iddah.
5. Dapat mengetahui yang dimaksud dengan rujuk.
6. Dapat menjelaskan ketentuan rujuk.
7. Dapat menjelaskan tata cara pelaksanaan rujuk.
BAB II

PEMBAHASAN
A. ‘Iddah
1. Pengertian ‘Iddah
Kata ‘iddah secara etimologis berasal dari kata kerja ‘adda-
ya’uddu yang berarti menghitung sesuatu (ihsa’u al-syai’). Adapun
kata ‘iddah memiliki arti seperti kata al-‘adad yaitu ukuran dari
sesuatu yang dihitung atau jumlahnya.1 Jika kata ‘iddah tersebut
dihubungkan dengan kata al-mar’ah (perempuan) maka artinya
hari-hari haid/sucinya, atau hari-hari ihdadnya terhadap
pasangannya atau hari-hari menahan diri dari memakai perhiasan
baik berdasarkan bulan, haid /suci, atau melahirkan. Al Sayyid
Sabiq menyatakan ‘iddah dari segi bahasa adalah menghitung hari-
hari dan masa bersih seorang perempuan. 2 Adapun menurut Abd
al-Rahman al-Jaziri kata ‘iddah mutlak digunakan untuk menyebut
hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.
Sedangkan menurut istilah, para ahli fikih telah
merumuskan definisi ‘iddah dengan berbagai ungkapan, meskipun
dalam redaksi yang berbeda tetapi memiliki kesamaan secara garis
besarnya sebagai berikut:
a. Muhammad al-Jaziri memberikan pengertian bahwa
‘iddah merupakan masa tunggu seorang perempuan yang
tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi
kadang-kadang juga didasarkan pada bilangan bulan atau
dengan melahirkan dan selama masa tersebut seorang
perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki.3
b. Al-Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa
lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh
kawin setelah kematian suaminya.

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 303.
2
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 277.
3
Abd Ar-Rahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh (Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubra,1969), 513.
c. Abu Yahya Zakariyya al-Ansari memberikan definisi
‘iddah sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk
mengetahui kesucian rahim atau untuk ta’abbud
(beribadah) atau untuk tafajju’ (bela sungkawa) terhadap
suaminya.4
Selain pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-
pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya
pengertian tersebut hampir bersamaan maksudnya yaitu
bermaknakan dengan masa tunggu bagi seorang perempuan untuk
bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh
kawin lagi.
2. Dasar Hukum dan Ketentuan Lamanya ‘Iddah
Wanita yang putus perkawinannya menurut Ibnu Rushd
dikategorikan dalam beberapa penggolongan:
a. Wanita yang pada saat putus perkawinannya masih belum
pernah berhubungan badan dengan suami. Menurut Ibnu
Rushd, ijma’ menyatakan tidak berlakunya ‘iddah bagi
wanita ini. Berdasarkan firman Allah surat Al-Ahzab ayat
49 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya. Maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
b. Wanita yang pada saat putus perkawinannya telah
melakukan hubungan badan dengan suami. Bagi wanita
golongan ini berlaku hukum ‘iddah.5 ‘iddah bagi wanita ini
ada tiga bentuk:
1) ‘iddah dengan quru’. ‘iddah jenis ini berlaku bagi
wanita normal yang kebiasaannya mengeluarkan
4
Abu Yahya Zakariyya Al-Ansari, Fath al-Wahhab (Semarang: Toha Putra, 1998), 103.
5
Ibnu Rushd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 66.
darah haid. Ulama sepakat bahwa ‘iddah wanita ini
adalah tiga quru. Hal ini didasarkan pada firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228: “wanita-
wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'…”
2) ‘iddah dengan ash-hur (bulan). ‘iddah jenis ini
berlaku bagi wanita yang ditinggal mati suaminya
baik telah disetubuhi atau belum, baik tergolong
wanita yang biasa haid atau bukan. Hal ini
didasarkan pada firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 234 yang artinya: “orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri
itu) menangguhkan dirinya (ber-’iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat”
Alasan hukum diwajibkannya ‘iddah jenis
ini adalah agar memperlihatkan kesedihan karena
putusnya nikmat pernikahan. Selain wanita yang
ditinggal mati suaminya, wanita menoupouse dan
wanita kecil yang belum haid, ‘iddahnya sebanyak 3
bulan. Sesuai dengan surat al-Talaq ayat 4 yang
artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
‘iddahnya), maka masa ‘iddah mereka adalah tiga
bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. dan perempuanperempuan yang
hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. dan barang
siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
c. ‘Iddah dengan melahirkan. ‘Iddah jenis ini berlaku bagi
wanita yang ketika ditalak dalam keadaan hamil. Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt. surat al-Talak ayat 4 yang
artinya: “dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. dan barang siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya”. ‘Iddah wanita hamil sampai wanita itu
melahirkan, hal ini juga sesuai dengan alasan bahwa ‘iddah
disyariatkan untuk mengetahui isi rahim wanita, dan
melahirkan merupakan pertanda bahwa isi rahim telah
keluar. Bahkan jika antara talak dengan masa kelahiran
terbilang singkat, ‘iddah-nya tetap dianggap sah.6
3. Larangan Di Masa ‘Iddah
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa istri yang sedang
menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumah
dimana dia dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai masa
‘iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar dari rumah
tersebut. Sedangkan si suami juga tidak boleh mengeluarkan ia
dari rumahnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
pada surat al-Thalak ayat pertama. Seandainya terjadi perceraian
diantara mereka berdua, sedang istrinya tidak berada di rumah
dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga,
maka si istri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar
suaminya mengetahuinya dimana ia berada.7 Ulama fiqh
mengemukakan bahwa ada beberapa larangan bagi perempuan
yang sedang menjalani masa ‘iddahnya antara lain:

6
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh (Jakarta : Gema Insani, 2011), 595-598.
7
Imam Syafii, Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al-Fiqh (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 513.
a. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-
terangan maupun melalui sindiran, akan tetapi untuk wanita
yang menjalani ‘iddah kematian suami pinangan dapat
dilakukan secara sindiran.
b. Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama fiqh selain Mazhab
Hanbali sepakat menyatakan bahwa perempuan yang
menjalani ‘iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada
keperluan mendesak, akan tetapi Ulama Mazhab Hanbali
berpendapat bahwa wanita yang dicerai baik cerai hidup
maupun cerai mati boleh keluar rumah.8
c. Al-Ahdad artinya membatasi diri. Yang dimaksud dengan
membatasi diri disini ialah larangan memakai perhiasan
yang bermewah-mewah dan wangi-wangian.9
4. Hak-Hak Istri Selama Masa ‘Iddah
Fuqaha sependapat bahwa istri yang sedang ber-’iddah baik
talak raj’i maupun hamil memperoleh nafkah dan tempat tinggal.
Berdasarkan firman Allah dalam surah At-Thalaq ayat 6 yang
artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di
antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya.”
Kemudian fuqaha berselisih pendapat mengenai tempat
tinggal dan nafkah bagi istri yang ditalak. Diantara pendapat
tersebut adalah:

8
Sayyid Sabiq, Terjemah Fiqih Sunnah jilid 3 (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 234.
9
Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2 (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
378.
a. Wanita yang taat dalam ‘iddah raj’i berhak menerima
tempat tinggal, pakaian, dan segala keperluan hidupnya,
kecuali istri durhaka yang tidak berhak menerima apa-apa.
b. Wanita yang berada dalam ‘iddah ba’in, jika mengandung
maka ia juga berhak atas tempat tinggal, makanan dan
pakaian.
c. Wanita yang berada dalam ‘iddah ba’in yang tidak hamil,
hanya berhak mendapatkan tempat tinggal, tidak untuk
yang lain.
B. Rujuk
1. Pengertian Rujuk
Kata rujuk, diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata
raja’ayarji’u-raj’an, artinya kembali atau mengembalikan.10 Dalam
Bahasa Indonesia, rujuk diartikan sebagai kembalinya suami
kapada isterinya yang ditalak, talak satu atau talak dua, ketika isteri
masih dalam masa ‘iddah, atau kembali bersatu (bersahabat dan
sebagainya).11
Dalam hukum perkawinan Islam, istilah rujuk sering
didefenisikan sebagai keadaan seorang suami kembali dan hidup
bersama dengan isteri setelah terjadinya perceraian. Menurut
istilah, kata rujuk memiliki beragam rumusan dibuat oleh para
ulama. Di antaranya, menurut mazhab Hanafi, rujuk sebagai
pelestarian kembali perkawinan dalam masa ‘iddah talak raj’i.
Menurut mazhab Syafi’i, rujuk adalah mengembalikan status
hukum perkawinan sebagai suami isteri di tengah-tengah ‘iddah
setelah terjadinya talak raj’i. Sementara itu, menurut al-Mahalli
sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin menyebutkan rujuk
merupakan kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai
yang bukan ba’in, selama dalam masa ‘iddah.12
2. Hukum Dan Ketentuan Rujuk
10
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 285.
11
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahas Indonesia (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2009), 521.
12
Amir Syarifuddin, Hukum Pekawinan Islam di Indonesia; antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang perkawinan (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2009), 337.
Pada asalnya, hukum rujuk adalah mubah. Karena rujuk
adalah hak suami. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
yang Artinya: “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.
Hak rujuk yang terkandung pada ayat di atas adalah hak yang
diberikan oleh syari’at Islam kepada bekas suami selama masa
‘iddah. Rujuk dapat dilakukan manakala talak yang dijatuhkan
suami adalah talak raj’i, bukan talak bain. Hukum rujuk bisa
menjadi wajib ketika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan
talak satu (atau dua) dalam keadaan istri yang haid. Namun
menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, hukum rujuk dalam keadaan
tersebut adalah sunnah.
Dan hukum rujuk menjadi sunnah (mandub) apabila suami
istri itu menyesali terjadinya talak, terutama apabila mereka
memiliki anak-anak yang mana kemaslahatan menuntut mereka
untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. Maka rujuk menjadi sunnah
karena memandang kemaslahatan yang diperhatikan oleh Allah
yang membuat syariat ini. Dan rujuk menjadi makruh apabila
suami memandang dia tidak akan bisa menegakkan batasan-
batasan Allah dalam rumah tangga apabila dia merujuki istrinya
kembali.
Bagi suami yang merujuk istrinya yang telah ditalak harus
memenuhi syarat-syarat yakni yang pertama, keadaan sumi yang
akan melakukan rujuk sehat akal. Kedua, suami yang akan
melakukan rujuk harus sudah dewasa. Ketiga, suami yang rujuk
harus bebasa memilih dan tampa adanya keterpaksaan dari pihak
manapun. Dilain sisi syarat-syarat rujuk dibagi menjadi dua
komponen utama yang harus dipenuhi sebelum melakukan rujuk
yaitu:
a. Istri. Istri yang dapat di rujuk istrinya adalah istri yang
masih dalam bataan talak raj’i (talak pertama dan kedua),
istri yang tidak dicerai dengan jalan khulu, terjadinya
perceraian tidak dengan jalan fasakh.
b. Suami. Suami yang merujuk harus berakal sehat tidak
dalam keadaan memilki kelainan jiwa, dilakukan atas
kemauan dan kesadaranya sendiri
Sedangkan menurut ulama mazhab memiliki sudut pandang
yang berbeda pendapat seperti syarat hanafiyah, menurut imam
Hanafi syarat rujuk yaitu: Pertama, harus talak raj’i, tidak ada
syarat memilih, tidak sah jika rujuk itu tergantung misalnya suami
mengatakan, “jika terjadi demikian, aku telah merujuk mu”.
Setelah syarat tersebut telah tepenuhi maka seorang suami
memiliki kewajiban untuk merujuk istrinya.
Adapun Ibnu Rusyd membagi rujuk kepada dua macam,
yaitu ruju pada talak raj’i dan rujuk pada talak bain.
a. Rujuk pada talak raj’i. Kaum muslimin telah sependapat
bahwa suami mempunyai hak merujuk istri pada talak raj’i,
selama istri masih berada dalam masa ‘iddah, tanpa
mempertimbangkan persetujuan istri,13 berdasarkan firman
Allah subhanahu wa ta’ala pada surah al Baqarah 228, yang
artinya “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah”. Fuqaha juga sependapat bahwa syarat talak raj’i ini
harus terjadi setelah dukhul (bersetubuh) dan rujuk dapat
terjadi dengan kata-kata dan saksi.
b. Rujuk pada talak bain Rujuk terhadap wanita yang ditalak
bain terbatas hanya terhadap wanita yang ditalak melalui
khulu’, dengan terbusan, dengan syarat dicampuri dan
hendaknya talaknya tersebut bukan talak tiga.
3. Tata Cara Pelaksanaan Rujuk
Cara untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk
kepada istri yang ditalak, atau dengan perbuatan. Rujuk dengan

13
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: kencana, 2008), 289.
ucapan ini disahkan secara ijma’ oleh para ulama, dan dilakukan
dengan lafazh yang sharih (jelas dan gamblang), misalnya dengan
ucapan “saya rujuk kembali kepadamu” atau dengan kinayah
(sindiran), seperti ucapan “sekarang, engkau sudah seperti dulu”.
Kedua ungkapan ini, bila diniatkan untuk rujuk, maka sah.
Sebaliknya, bila tanpa diniatkan untuk rujuk, maka tidak sah.
Sedangkan rujuk dengan perbuatan, para ulama masih bersilang
pendapat, namun yang rajih (kuat) yaitu dengan melakukan
hubungan suami istri atau muqaddimahnya, seperti ciuman dan
sejenisnya dengan disertai niat untuk rujuk.14
Adapun tata cara dan syarat-syarat rujuk telah diatur
dengan jelas dalam kompilasi hukum islam (KHI) sebagai berikut:
a. Pasal 167 ayat 1 ”Suami yang hendak merujuk istrinya
datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi
tempat tinggal istri dengan membawa penetapan tentang
terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan”.
b. Pasal 167 ayat 2 “ Rujuk dilakukan dengan persetujuan
isteri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah”.
c. Pasal 167 ayat 3 ”Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah. Memeriksa dan menyelidiki
apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-
syarat menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang
dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i, apakah
permpuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya”.
d. Pasal 167 ayat 4 ”Setelah itu suami mengucapkan rujuknya
dan masing-masing bersangkutan beserta saksi
mendatangani Buku Pendaftaran Rujuk”.
e. Pasal 167 ayat 5 ”Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai
Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
14
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh munakahat KHI (Kompilasi hukum islam) BAB XVIII
RUJUK Pasal 63 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 226.
menasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan
kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk”.15

15
Arso Sostroadmodjo, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Grapindo Persada, 1978), 202.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari definisi diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa pada masa
tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus
perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau
dengan melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah
(ta’abbud) maupun bela sungkawa atas suaminya, Selama masa tersebut
perempuan (isteri) dilarang menikah dengan laki- laki lain.
Larangan pada perempuan saat masa ‘iddah diantaranya yaitu tidak
boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-terangan maupun
melalui sindiran, dilarang keluar rumah, dan membatasi diri. Fuqaha
sependapat bahwa istri yang sedang ber-’iddah baik talak raj’i maupun
hamil memperoleh nafkah dan tempat tinggal.
Rujuk adalah kembalinya suami kepada istri yang dijatuhi talak
satu dan atau dua, dalam masa ‘iddah dengan tanpa akad nikah yang baru.
Hukum rujuk adalah mubah. Bisa menjadi wajib ketika seorang laki-laki
mentalak istrinya dengan talak satu (atau dua) dalam keadaan istri yang
haid, dan bisa menjadi sunnah apabila suami istri itu menyesali terjadinya
talak, terutama apabila mereka memiliki anak-anak yang kemaslahatan
menuntut mereka untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. Dan hukum rujuk
menjadi haram apabila suami merujuki istrinya dengan tujuan untuk
menyusahkan dan memberikan mudharat kepada istrinya.
Cara untuk rujuk, ialah dengan menyampaikan rujuk kepada istri
yang ditalak, atau dengan perbuatan.
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya untuk
penyusun. Dan penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik
dan sarannya agar makalah yang kami susun kedepannya jauh lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminudin. Fiqh munakahat KHI (Kompilasi hukum islam)
BAB XVIII RUJUK Pasal 63. Bandung: CV Pustaka Setia. 1999.

Al-Ansari, Abu Yahya Zakariyya. Fath al-Wahhab. Semarang : Toha Putra. 1998.

Al-Jaziri, Abd Ar-Rahman. Kitab al-Fiqh. Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubra.


1969.

Az-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh. Jakarta : Gema Insani. 2011.

Ghazali, Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group. 2012.

Mas’ud, Ibnu. Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2. Bandung:


Pustaka Setia. 2007.

Phoenix, Tim Pustaka. Kamus Besar Bahas Indonesia. Jakarta: Pustaka Phoenix.
2009.

Rushd, Ibnu. Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr


1998.

Sabiq, Al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr. 1983.

Sabiq, Sayyid. Terjemah Fiqih Sunnah jilid 3. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
2007.

Syafii, Imam. Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al-Fiqh. Jakarta: Pustaka Azzam.


2007.

Syarifuddin, Amir. Hukum Pekawinan Islam di Indonesia; antara Fiqh


Munakahat dan Undang-Undang perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada
media Group. 2009.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.


2006.

Anda mungkin juga menyukai