TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Penulisan makalah ini dengan tema “Iddah dan Rujuk” bertujuan untuk
memenuhi mata kuliah Fiqhi Munakahat. Pada makalah ini berisi tentang definisi
iddah dan dan rujuk
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iddah adalah penantian selama masa tertentu yang dijalani oleh seorang
perempuan agar bisa diketahui apakah ia mengandung atau tidak. Menurut
kesepakatan ulama, iddah hukumnya wajib menurut syara’, sehingga wanita muslim
yang berusaha taat terhadap islam, ketika mengalami cerai, wajib baginya untuk
melakukan iddah. Sayyid sabiq memberikan definisi iddah yaitu “ Nama bagi suatu
masa seorang wanita menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena
wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya.
Rujuk dapat diartikan sebagai perihal mengembalikan status hukum
perkawinan setelah terjadinya talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap
bekas istrinya dalam masa iddah. Kata rujuk secara bahasa yaitu kembali, artinya
adalah kembali hidup bersama suami istri antara laki-laki dan perempuan yang
melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i selama masih dalam masa iddah.
Upaya untuk berkumpul lagi setelah perceraian, dalam rujuk para
ulamasepakat rujuk itu dibolehkan dalam islam, upaya rujuk ini diberikan sebagai
alternatif terakhir untuk menyambung kembali hubungan lahir btin yang telah
terputus. Selanjutnya masalah saksi dalam rujuk, dimana menurut ulama saksi tidak
diperlukan bagi suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan tetapi, ulama sepakat
mengatakan bahwa adanya saksi itu dianjurkan untuk berhati-hati belaka.
Dalam konteks di Indonesia, dalam pasal 163 sampai dengan pasal 169 KHI
bagi suami yang ingin merujuk mantan istrinya yang telah ia talak dan dicatatkan
pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN), tidak boleh seenaknya langsung mencampurinya
tanpa menghiraukan prosedur yang harus dipenuhi. Apabila prosedur tersebut tidak
terpenuhi, maka rujuknya dianggap tidak sah atau catat hukum dan tidak mengikat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan dasar hukum iddah?
2. Bagaimana hikmah dan macam-macam iddah?
3. Bagaimana hak istri dalam masa iddah?
4. Bagaimana pengertian dan dasar hukum rujuk?
5. Bagaimana hikmah dan macam-macam rujuk?
6. Bagaimana tata cara pelaksanaan rujuk?
7. Bagaimana mengkomparasikan iddah dan rujuk antara hukum fiqhi dan UU
Perkawinan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum iddah?
2. Untuk mengetahui hikmah dan macam-macam iddah?
3. Untuk mengetahui hak istri dalam masa iddah?
4. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum rujuk?
5. Untuk mengetahui hikmah dan macam-macam rujuk?
6. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan rujuk?
7. Untuk mengetahui mengkomparasikan iddah dan rujuk antara hukum fiqhi dan
UU Perkawinan?
BAB II
PEMBAHASAN
َو َم ْن ُقِدَر َع َلْي ِه ِر ْز ُقٗه َفْلُيْن ِفْق ِمَّمٓا ٰا ٰت ىُه ِلُيْن ِفْق ُذ ْو َس َع ٍة ِّمْن َس َع ِتٖۗه
َم ٓا ٰا ٰت ىَه ۗا َس َي ْج َع ُل ُهّٰللا َب ْع َد ُعْس ٍر ُّيْس ًر ا ُهّٰللاۗ اَل ُيَك ِّلُف ُهّٰللا َن ْف ًسا ِااَّل
Terjemahnya:
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut
kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinhya, hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani
kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.”
َو اْلُم َط َّلٰق ُت َي َت َر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِه َّن َث ٰل َث َة ُقُر ْۤو ٍۗء َو اَل َي ِحُّل َلُهَّن َاْن َّي ْك ُتْم َن َم ا
َخ َلَق ُهّٰللا ِفْٓي َاْر َح اِم ِه َّن ِاْن ُك َّن ُيْؤ ِمَّن ِباِهّٰلل َو اْلَي ْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر َو ُبُعْو َلُتُهَّن
َاَح ُّق ِبَر ِّد ِهَّن ِفْي ٰذ ِلَك ِاْن َاَر اُد ْٓو ا ِاْص اَل ًح اۗ َو َلُهَّن ِم ْث ُل اَّلِذ ْي َع َلْي ِه َّن
ِباْلَم ْع ُرْو ِۖف َو ِللِّر َج اِل َع َلْي ِه َّن َد َر َج ٌة ۗ َو ُهّٰللا َع ِز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم
Terjemahnya:
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menungggu) tiga kali quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah
dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka
dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para
perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
6
Ibnu Rusyd, ‘Bidayatul Mujtahid (Analisa Fikih Para Mujtahid), Terj’, Imam Ghazali Said Dan Achmad Zaidun.
Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
7
Syaikh al-Allamah Muhammad bin‘Abdurrahman, ‘Ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi, Bandung, Cet’
(XVI, 2013)..
b) Bertobat menyesali kesalahan-kesalahan yang lau untuk bertekad
memperbaikinya.
c) Untuk menjaga keutuhan keluarga, dan menghindari perpecahan keluarga.
Terlebih lagi adalah untuk menyalamatkan masa depan anak, bagi pasangan
yang telah mempunyai keturunan. Telah diketahui bahwa perceraian yang
terjadi dengan alasan apapun tetap saja menimbulkan efek negatif pada anak.
d) Mewujudkan islah dan perdamaian. Meski hakikatnya hubungan perkawinan
suami istri bersifat pribadi, namun hal ini sering melibatkan keluarga besar
masing-masing.8
8
Amir Nuruddin and Azhari Akmal Tarigana, ‘Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Jakarta: Kencana 2006, Cet’, Panduan Lengkap Nikah,
2004.
Demikian juga dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak menemukan
rumusan yang tegas tentang rujuk.9
Mengenai hukumnya, bahwa ulama sepakat bahwa suami boleh merujuk istri
yang telah diceraikan. Hal ini berdasarkan beberapa ketentuan Al-Qur’an, salah
satunya dalam surah Al-Baqarah ayat 228-229 yang merupakan dasar hukum
dibolehkannya suami merujuk istri dalam masa iddah. Terkait dengan hal ini, ulama
sepakat bahwa iddah wanita yang di talak dapat dirujuk kembali dengan cara yang
ma’ruf artinya ditujuk dengan baik-baik.
Dalam kitab fiqih dinyatakan rujuk dipandang sebagai peristiwa personal yang
hanya melibatkan suami istri. Untuk hukum yang berlaku di negara muslim, ternyata
hak penuh untuk merujuk istri ini telah digeser menjadi wilayah yang sedikit terbuka.
Sehingga persyaratan administrasi menjadi sangat penting, selain itu syarat utamanya
adalah dalam rujuk harus ada izin istri.10
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berlaku secara efektif
pada tanggal 1 Oktober 1975. Undang-undang ini juga ditunjang dengan perangkat
peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975, karena
hukum Islam tentang perkawinan yang berlaku bagi warga Indonesia yang beragama
Islam diperbolehkan oleh peraturan yang tersusun secara sistematis, terdiri dari
beberapa BAB dan pasal-pasal yang saling berhubungan yaitu Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Diantara pasal-pasal yang telah dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam, ada
beberapa pasal yang berkaitan dengan pendapat para Imam Mazhab terkait masalah
konsep rujuk, yaitu:
1. Pasal 163 ayat 1
“Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah”.
2. Pasal 163 ayat (a)
“Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali dan
talak yang dijatuhkan qabla al-dukhul”.
3. Pasal 167 ayat 4
“Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi menendatangani buku pendaftaran rujuk”.
9
Amiur Nuruddin and Azhari Akmal Tarigan, ‘Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam Dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Sampai Kompilasi Hukum Islam’, 2019.
10
Arifin Abdullah and Delia Ulfa, ‘Kedudukan Izin Rujuk Suami Dalam Masa ‘Iddah (Analisis Perspektif Hukum
Islam)’, SAMARAH: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam, 2.2 (2019), 417–32.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata iddah diambil dari kata al ‘adad atau bilangan, karena maknanya
mengandung definisi bilangan (quru’) dan bulan. Menurut Istilah, kata iddah adalah
sebutan atau nama bagi suatu masa dimana seorang wanita menanti atau
menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggal mati oleh suaminya atau setelah
dicereikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya. Iddah adalah penantian selama
masa tertentu yang dijalani oleh seorang perempuan agar bisa diketahui apakah ia
mengandung atau tidak. Definisi lain dari iddah adalah masa yang ditentukan oleh
Allah dalam syariat islam untuk menghilangkan tanda-tanda dari mantan suaminya
setelah terjadi perceraian, baik itu karena cerai talak mauoun cerai mati.
Ada beberapa hikmah iddah sesuai dengan macam-macam iddah dengan
ditetapkan oleh syarah’, yaitu hikmah talak raj’i, hikmah tidak adanya iddah bagi istri
yang belum dicampuri, hikmah iddah hamil, dan hikmah iddah kematian. Istri yang
akan menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya perceraian,
yaitu kematian suami, sudah dicampuri dalam keadaan hamil, sudah dicampuri tidak
dalam keadaan hamil dan masih dalam keadaan haid, sudah dicampuri tidak dalam
keadaan hamil dan sudah terhenti masa haidnya, dan istri yang belum dicampuri
syarat diwajibkannya yaitu istri yang sudah bergaul dengan suami.
Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah iddah kepada istrinya dalam
perceraian talak, karena nafkah iddah merupakan hak seorang istri yang telah ditalak.
Selama menjalani masa iddah, seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin
suaminya mengingat statusnya sebagai seorang istri belum hilang sepenuhnya.
Rujuk menurut istilah adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara
penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas
istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu. Dasar hukum rujuk terdapat
dalam QS. Al-Baqarah/2: 228.
Adapun macam-macam rujuk dan hukumnya yaitu hukum rujuk pada talak
raj’i, dan hukum rujuk pada talak bain. Dari berbagai hukum rujuk yang telah
dikemukakan, yang paling utama ada lima macam, antara lain: wajib, haram, makruh,
mubah, dan sunah.
Adapun tata cara pelaksanaan rujuk yaitu dihadapan PPN (Pegawai Pencatat
Nikah), PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, PPN membuatkan kutipan
buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama, kutipan
diberikan kepada suami istri yang rujuk, suami istri dengan membawa kutipan buku
pendaftaran buku datang ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan kembali akta
nikahnya masing-masing dan Pengadilan Agama memberikan akta nikah yang
bersangkutan dengan menahan kutipan buku pendaftaran rujuk.
Mengenai hukumnya, bahwa ulama sepakat bahwa suami boleh merujuk istri
yang telah diceraikan. Hal ini berdasarkan beberapa ketentuan Al-Qur’an, salah
satunya dalam surah Al-Baqarah ayat 228-229 yang merupakan dasar hukum
dibolehkannya suami merujuk istri dalam masa iddah. Dalam kitab fiqih dinyatakan
rujuk dipandang sebagai peristiwa personal yang hanya melibatkan suami istri. Untuk
hukum yang berlaku di negara muslim, ternyata hak penuh untuk merujuk istri ini
telah digeser menjadi wilayah yang sedikit terbuka. Sehingga persyaratan administrasi
menjadi sangat penting, selain itu syarat utamanya adalah dalam rujuk harus ada izin
istri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Arifin, and Delia Ulfa, ‘Kedudukan Izin Rujuk Suami Dalam Masa ‘Iddah
(Analisis Perspektif Hukum Islam)’, SAMARAH: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum
Islam, 2.2 (2019), 417–32
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, ‘Terjh: Muammal Hamidy Dan Imron A’, Manan.
Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Surabaya: Bina Ilmu. Cet-4, 2003
Hidayati, Nuzulia Febri, ‘Konstruksi ‘iddah Dan Ihdad Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI)’, MISYKAT: Jurnal Ilmu-Ilmu Al-Quran, Hadist, Syari’ah Dan Tarbiyah, 4.1
(2019), 163–89
Nuruddin, Amir, and Azhari Akmal Tarigana, ‘Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Jakarta:
Kencana 2006, Cet’, Panduan Lengkap Nikah, 2004
Nuruddin, Amiur, and Azhari Akmal Tarigan, ‘Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Sampai Kompilasi Hukum Islam’, 2019
Rusyd, Ibnu, ‘Bidayatul Mujtahid (Analisa Fikih Para Mujtahid), Terj’, Imam Ghazali Said
Dan Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2007
Syarifuddin, Amir, ‘Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan’, 2011