Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KELOMPOK DOSEN PENGAMPU

BIMBINGAN PERKAWINAN KEMAS MUHAMMAD


GEMILANG, S.H.I., M.H.

MAKALAH
PERKAWINAN

OLEH,
1. AULIA GUSMI (12020125007)
2. HUSNUL KHOTIMAH (12020124942)
3. ROJALY NASUTION (12020115271)

LOKAL HK (E)
JURUSAN HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM


RIAU
TAHUN AJARAN 2022/2023 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang maha megetahui dan maha bijaksana yang
telah memberi petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya, Shalawat serta
Salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membimbing
umat nya degan suri tauladan-Nya yang baik .
Dan segalah syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan anugrah,
kesempatan dan pemikiran kepada penulis untuk dapat menyelesaikan makalah ini.
makalah ini merupakan pengetahuan tentang “Perkawinan”. Semua ini di rangkup
dalam makalah ini, agar pemahaman terhadap permasalahan lebih mudah di
pahami dan lebih singkat dan akurat. Sistematika makalah ini dimulai dari
pengantar yang merupakan apersepsi atas materi yang telah dan akan dibahas
dalam bab tersebut .Selanjutnya pembaca akan masuk pada inti pembahasaan dan
di akhiri dengan kesimpulan dan saran dari makalah ini. Diharapkan pembaca
dapat mengkaji berbagai permasalahan tentang makalah ini.
Kami sadar bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, diharapkan masukan serta kritik yang membangun demi
kesempurnaan pembuatan makalah ini kedepannya. Kami selaku penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses
pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaaat bagi kita semua.

Pekanbaru, September 2022

Kelompok 1,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah......................................................................................................... 2

C. Tujuan............................................................................................................................ 2

D. Manfaat......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hukum Melangsungkan Perkawinan .................................................. 4

1. Pengertian Perkawinan............................................................................................... 4

2. Hukum Melangsungkan Perkawinan.......................................................................... 7

B. Hikmah Melangsungkan Perkawinan didalam Islam.................................................... 10

C. Hikmah Melangsungkan Perkawinan bagi Kesehatan dan Sosial................................ 12

1. Di bidang Kesehatan................................................................................................... 12

2. Di bidang Sosial.......................................................................................................... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................................... 15

B. Saran.............................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar
atau dibaca dalam media masa. Namun kalau ditanyakan apa yang dimaksud
dengan istilah tersebut, maka biasanya orang akan berfikir terlebih dahulu untuk
mendapatkan formulasi, walaupun sebenarnya apa yang dimaksud dengan istilah
itu telah ada dalam pikiran dengan jelas.1
Pernikahan merupakan sebuah perintah agama yang diatur oleh syariat
Islam dan merupakan satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh
agama Islam. Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan
pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk
melakukan perintah agama (syariat), namun juga memiliki keinginan memenuhi
kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Dalam kehidupan ini, manusia ingin memenuhi berbagai kebutuhannya,
begitu juga kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Sebagai agama
yang rahmatan lil ‘alamin, Islam telah menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk
memenuhi kebutuhan biologis seeorang yaitu hanya dengan cara pernikahan,
pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati
kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Al-Qur’an telah menjelaskan
bahwa di antara tujuan pernikahan adalah agar pembelai laki-laki dan perempuan
mendapatkan kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti
pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran
kebutuhan seks namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian
hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di
dalamnya. Inilah hikmah disyari’atkannya pernikahan dalam Islam, selain
memperoleh ketenangan dan kedamain, juga dapat menjaga keturunan (hifdzu al-
nasli).

1
Bimo Walgito, Bimbingan&Konseling Perkawinan, 2000, Yogyakarta: ANDI OFFSET, hlm. 11

1
Islam mensyari’atkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga
sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup. Islam juga mengajarkan
pernikahan merupakan suatu peristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur
dan gembira. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun
proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang
shahih. Oleh karena itu pada pembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai apa
saja hikmah-hikmah yang bisa didapatkan dari pekawinan yang bisa menafikkan
kemungkinan terjadinya perceraian bagi pasangan suami istri.2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut.
1. Apa itu perkawinan dan hukum melaksanakannya ?
2. Apa hikmah melangsungkan perkawinan didalam islam ?
3. Apa hikmah melangsungkan perkawinan bagi kesehatan dan sosial ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan tujuan
sebagai berikut.
1. Untuk menjelaskan apa itu perkawinan dan hukum melaksanakannya
2. Untuk mendeskripsikan hikmah melangsungkan perkawinan didalam islam
3. Untuk menjelaskan hikmah melangsungkan perkawinan bagi kesehatan dan
sosial

D. Manfaat
Berdasarkan tujuan diatas, dapat diambil manfaat sebagai berikut.
1. Bagi mahasiswa, makalah ini dapat dijadikan pembelajaan lebih untuk
mengetahui tentang permasalahan menyangkut perkawinan didalam islam

2
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam,
2014, Yudisia, Vol. 5, No. 2, hlm. 286-287

2
2. Bagi dosen, makalah ini dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam
proses pembelajaran.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hukum Melangsungkan Perkawinan


1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut
dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang dipakai dalam
kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis
Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin,3 seperti
dalam surat an-Nisa’ ayat 3 :

Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka
kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat
orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang.
Demikian pula banyak kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin,
seperti pada surat al-Ahzab ayat 37 :

Maka takkala Zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan) istri-nya; kami


kawinkan kamu dengan dia supaya dia tidak ada keberatan bagi orang yang
mukmin untuk (mengawini) mantan istri-istri anak angkat mereka……
Secara arti kata nikah berarti “bergabung”,”hubungan kelamin” dan juga
berarti “akad”. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat

3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, 2011, Jakarta: Kencana, hlm. 35

4
dalam Al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut. 4Kata nikah yang
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 230 :

Maka jika suami menalaknya (sesudah talak dua kali), maka perempuan itu tidak
boleh lagi dinikahkan hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain
mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena
ada petunjuk dari hadis nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua
perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang
kedua sudah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan
tersebut.5
Tetapi dalam Al-Qur’an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti
tersebut dalam firman Allah surat an-Nisa’ayat 22:

Janganlah kamu menikahi perempuan yang pernah dinikahi oleh ayahmu kecuali
apa yang sudah berlalu.
Ayat tersebut diatas mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi
oleh ayah itu haram dinikahi dengan semata ayah telah melangsungkan akad
nikah dengan perempuan tesebut, meskipun di antara keduanya belum
berlangsung hubungan kelamin.
Meskipun ada dua keungkinan makna dari kata na-ka-ha itu, namun di
antara dua kemungkinan tesebut yang mengandung arti sebenarnya terdapat beda
pendapat diantara ulama. Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata
nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki); dapat berarti juga
untuk hubungan kelamin, namun dalam arti tidak sebenarnya (arti majazi).

4
Ibid hlm. 36
5
Ibid hlm. 36

5
penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu memelukan penjelasan di luar
dari kata itu sendiri. (al-Mahalliy, III, hlm. 206)6
Sebaliknya, ulama Hanafiyah bependapat bahwa kata nikah itu
mengandung arti secara hakiki untu hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk
lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan
untuk maksud tersebut. (Ibn al-Humam, III, hlm. 185).7
Negara-negara muslim waktu merumuskan Undang-Undang
Perkawinannya melengkapi definisi tersebut dalam penambahan hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan perkawinan itu. UU Perkawinan yang berlaku di
Indonesia merumuskannya dengan:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seoang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 1 UU No. 1
Tahun 1974)
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut diatas yang pelu diperhatikan,
yaitu8:
Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung
arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini
menolak perkawinan sesama jenis yang waktu itu telah dilegalkan oleh beberapa
negara barat.
Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu
rumah tangga, bukan hanya dalam istilah :hidup bersama”.
Ketiga, dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus
perawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan
perkawinan tahlil.

6
Ibid hlm.37
7
Ibid hlm. 37
8
Ibid hlm.40

6
Keempat, disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan
bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk
mematuhi perintah agama.
Disamping definisi yang diberikan UU No. 1 Tahun 1974 tersebut diatas,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan definisi lain yang tidak
mengurangi arti-arti definisi UU tersebut, namun besifat menambah penjelasan,
dengan rumusan sebagai berikut:
Perkawinan menuut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mittsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. (Pasal 2 KHI)
Ungkapan: akad yang sangat kuat atau mittsaqan ghalizhan merupakan
penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UU
yang mengandung arti bahwa akad pekawinan itu bukanlah semata perjanjian
yang besifat keperdataan.
Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” dalam UU. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat
Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang
melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.9

2. Hukum Melangsungkan Perkawinan


Dengan melihat kepada hakikat perkawinan ini merupakan akad yang
memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya
tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu
adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunah
Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal
perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
melangsungkan akad pekawinan disuruh oleh agama dan dengan telah

9
Ibid hlm. 41

7
belangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan
menjadi mubah.10
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga
disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-Qur’an untuk
melaksanakan pekawinan. Di antaranya firman-Nya dalam surat an-Nur ayat 32:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang


yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.
Begitu banyak pula suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan
perkawinan. Di antaranya, seperti dalam hadis Nabi dari Anas bin Malik menurut
riwayat Ahmad dan disahkan oleh Ibnu Hibban, sabda Nabi yang berbunyi:

Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena


sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum dihari kiamat.
Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan
perkawinan itu, maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah
dan Nabi untuk dilakukan. Namun suruhan Allah dan Rasul untuk melangsungkan
perkawinan itu tidaklah berlaku secara mutlak tanpa persyaratan.11 Persyaratan
untuk melangsungkan pekawinan itu terdapat dalam hadis dari Abdullah bin
Mas’ud muttafaq alaih yang bunyinya:

10
Ibid hlm. 43
11
Ibid hlm. 44

8
Wahai para pemuda siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan dari
segi “al-baah” hendaklah ia kawin, karena perkawinan itu lebih menutup mata
dari penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak
mampu untuk kawin hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang
hawa nafsu.
Kata-kata al-baah mengandung arti kemampuan melakukan hubungan
kelamin dan kemampuan dalam biaya hidup perkawinan. Kedua hal ini
merupakan persyaratan suatu pekawinan. Pembicaraan tentang hukum asal dari
suatu perkawinan yang diperbincangkan dikalangan ulama berkaitan dengan telah
dipenuhinya persyaratan tesebut.12
Dalam hal menetapkan hukum asal suatu perkawinan terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum
perkawinan itu adalah sunnah. Hal ini didasari pada banyaknya suruhan Allah dan
Nabi untuk melangsungkan perkawinan. Sementara golongan Zhahiriyah
mengatakan hukum perkawinan bagi orang yang mampu melakukan hubungan
kelamin dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardu. (Ibn Hazm, IX, hlm. 440).
Sementara itu, Ulamam Syafi’iyah secara rinci menyatakan hukum perkawinan itu
dengan melihat keadaan orang-orang tertntu, sebagai berikut13:
a. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas
untuk kawin dan ia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan
perkawinan.
b. Makruh bagi orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan
untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada.
Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk kawin, namun fisiknya

12
Ibid hlm. 44
13
Ibid hlm. 45

9
mengalami cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka, atau
kekurangan fisik lainnya. (al-Mahally, 206)
Ulama Hanafiyah menambahkan hukum secara khusu bagi keadaan dan
orang tertentu sebagai berikut:14
1. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk
kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin; ia takut akan terjerumus
berbuat zina kalau ia tidak kawin.
2. Makruh bagi orang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia
merasa akan berbuat curang dalam perkawinannya itu. (Ibn Humam III, 187)
Ulama lain menambahkan hukum perkawinan secara khusus untuk
keadaan dan orang tertentu sebagai berikut:15
1. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi kebutuhan syara’
untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan
mencapai tujuan syara’, sedangkan ia menyakini perkawinan itu akan
merusak kehidupan pasangannya.
2. Mubah bagi orang-orang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan
perkawian itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada
siapapun.

B. Hikmah Melangsungkan Perkawinan dalam Islam


Mengenai hikmah pernikahan, menurut Al-Jurjawi yang dikutip oleh
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah menjelaskn bahwa Tuhan menciptakan
manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana segala isinya diciptakan
untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara
lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada.
Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga
eksistensi bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia sia. Seperti
diingatkan oleh agama, pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui
pernikahan, sehingga demi memakmurkan bumi, pernikahan mutlak diperlukan.

14
Ibid hlm. 46
15
Ibid hlm. 46

10
Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi. (Ali Ahmad al-Jurjawi, tt:
hlm. 6-7) 16
Lebih lanjut al-Jurjawi menuturkan, kehidupan manusia tidak akan rapi,
tenang dan mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa
diwujudkan jika ada tangan terampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut
perempuan, yang memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara
baik, rapi dan wajar. Karena itu pernikahan disyari’atkan, kata al-Jurjawi, bukan
hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya
kehidupan manusia yang teratur dan rapi dapat tercipta. Dengan demikian
kehadiran perempuan di sisi suami, melalui pernikahan sangatlah penting. (Ali
Ahmad al-Jurjawi, tt: hlm. 6-7) 17
Menurut Mustafa al-Khin yang dikutip oleh Ahmad Atabik dan Khoridatul
Mudhiiah, bahwa dalam pernikahan sesungguhnya terdapat hikmah-hikmah yang
agung yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun aqliyah. Di antara hikmah-
hikmah tersebut adalah: (Mustafa al-Khin dkk, 1987: hlm. 13)18
1. Memenuhi tuntutan fitrah. Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki
insting untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan wanita
dan sebaliknya. Ketertarikan dengan lawan jenis merupakan sebuah fitrah
yang telah Allah letakkan pada manusia. Islam adalah agama fitrah, sehingga
akan memenuhi tuntutan-tuntutan fitrah; ini bertujuan agar hukum Islam
dapat dilaksanakan manusia dengan mudah dan tanpa paksaan. Oleh karena
itulah, pernikahan disyari’atkan dalam Islam dengan tujuan untuk memenuhi
fitrah manusia yang cenderung untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Islam
tidak menghalangi dan menutupi keinginan ini, bahkan Islam melarang
kehidupan para pendeta yang menolak pernikahan ataupun bertahallul
(membujang). (At-Turmuzi, tt: hlm.393 III) Akan tetapi sebaliknya, Islam
juga membatasi keinginan ini agar tidak melampaui batas yang dapat

16
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam,
2014, Yudisia, Vol. 5, No. 2, hlm. 306
17
Ibid hlm. 306
18
Ibid hlm. 307-308

11
berakibat rusaknya tatanan masyarakat dan dekadensi moral sehingga
kemurnian fitrah tetap terjaga.
2. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan batin. Salah satu hikmah
pernikahan yang penting adalah adanya ketenangan jiwa dengan terciptanya
perasaanperasaan cinta dan kasih. QS. Ar-Rum: 21 ini menjelaskan bahwa
begitu besar hikmah yang terkandung dalam perkawinan. Dengan melakukan
perkawinan, manusia akan mendapatkan kepuasan jasmaniah dan rohaniah.
Yaitu kasih sayang, ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3. Menghindari dekadensi moral. Allah telah menganugerahi manusia dengan
berbagai nikmat, salah satunya insting untuk melakukan relasi seksual. Akan
tetapi insting ini akan berakibat negative jika tidak diberi frame untuk
membatasinya, karena nafsunya akan berusaha untuk memenuhi insting
tersebut dengan cara yang terlarang. Akibat yang timbul adalah adanya
dekadensi moral, karena banyaknya perilaku-perilaku menyimpang seperti
perzinaan, kumpul kebo dan lain-lain. Hal ini jelas akan merusakfundamen-
fundamen rumah tangga dan menimbulkan berbagai penyakit fisik dan mental.
(At-Turmudzi, tt hlm. 393 III)
4. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat
kewanitaan yang diciptakan. Dari uraian di atas hanya sekilas tentang hikmah
yang dapat diambil dari pernikahan, karena masih banyak hikmah-hikmah
lain dari pernikahan, seperti penyambung keturunan, memperluas
kekerabatan, membangun asas-asas kerjasama, dan lain-lain yang dapat kita
ambil dari ayat al-Qur’an, hadis dan growth-up variable society

C. Hikmah Melangsungan Perkawinan bagi Kesehatan dan Sosial


1. Di bidang Kesehatan
Dikutip oleh Mohd. Idris Ramulyo, dalam Junus Mahmud19, bersabda
Nabi Muhammad SAW: artinya “bahwasannya perkawinan lebih merendahkan
pandangan mata (menjauhkan dari mata keranjang) dan lebih memelihara
kehormatan (menghindarkan diri dari perzinaan).”

19
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, 1996, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 33

12
Para dokter telah sepakat, bahwa perzinaan itu menyebabkan penyakit-
penyakit kotor, di mana banyak orang melakukan pekerjaan keji itu maka
disanalah mucul penyakit-penyakit kotor.
Dr. H.W. Miller, M.A, M.D. dalam bukunya: Jagalah kepada kesehatan,
menerangkan dengan jalan demikian: Sifilis atau raja singa dan Gonorhoa atau
kencing nanah ialah dua jenis penyakit kotor yang berbahaya dan banyak terdapat
di zaman sekarang.20
Sesungguhnya hama penyakit ini dapat juga masuk dalam badan dengan
tidak melalui kemaluan tetapi bisa dikatakan bahwa penyakit-penyakit ini hampir
selalu disebabkan oleh persetubuhan.
Kedua macam penyakit ini telah banyak membinasakan jiwa manusia.
Penyakit kotor itu turun-temurun sampai pada sekarang. Raja singa atau kencing
nanah tidak saja melemahkan jasmani dan rohani, tetapi juga membahayakan
keselamatan rumah tangga. Maka daripada itu,
1. Hindarilah penularan dengan menjauhkan diri dari perzinahan bebas.
2. Jagalah orang yang menderita penyakit ini supaya ia tidak dapat menularkn
penyakitnya itu kepada orang lain. (lihat: Jalan Kepada Kesehatan hlm. 413)21

2. Di bidang Sosial
Islam menyukai perkawinan dan segala akibat baik yang bertalian dengan
perkawinan, bagi yang bersangkutan, bagi masyarakat maupun bagi kemanusiaan
pada umumnya.
Diantara manfaat perkawinan ialah: Bahwa perkawinan itu menentramkan
jiwa, meredam emosi, menutup segala pandangan yang dilarang Allah dan untuk
mendapat kasih sayang suami istri yang dihalalkan oleh Allah,22 sesuai dengan
firman-Nya:

20
Ibid hlm. 33
21
Ibid hlm. 33
22
Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), 1989, Jakarta: Pustaka Amani, hlm. 6

13
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesunguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S.
Ar-Rum/30: 22)
Manfaat lainnya yaitu: Bahwa perkawinan itu akan mengembangkan
keturunan dan untuk menjaga kelangsungan hidup,23 Nabi SAW bersabda:

Kawinilah perempuan yang kamu cintai dan yang subur, karena saya akan
bangga dengan jumlahmu di hadapan Nabi-nabi lain di hari kiamat. (H.R Ahmad)
Hikmah lainnya yaitu untuk menjalin ikatan kekeluargaan, keluarga suami
dan keluarga istrinya, untuk memperkuat ikatan kasih sayang antara mereka24.
Karena keluarga yang diikat dengan ikatan cinta kasih dan sayang adalah keluarga
yang akan kokoh dan kekal bahagia.

23
Ibid hlm. 7
24
Ibid hlm. 7

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan pada dasarnya merupakan salah satu aktivitas individu.
Aktivitas individu umumnya akan berkaitan pada suatu tujuan yang ingin dicapai
oleh individu yang bersangkutan, demikian pula dalam hal perkawinan. Berbicara
mengenai tujuan memang tidak mudah, karena masing-masing individu
mempunyai tujuan yang mungkin berbeda satu sama lain. Demikian pula halnya
dalam perkawinan. Namun demikian karena sudah menyangkut hubungan antara
suami dan istri maka untuk membentuk keluaga yang bahagia perlu
mempersatukan tujuan yang akan dicapai dalam perkawinan itu. Hal ini memang
tidak mudah, tetapi bukan tidak berarti bahwa tidak dapat dilaksanakan.
Disamping tujuan perkawinan itu untuk membentuk keluarga yang
bahagia, tetapi juga kekal. Ini berarti bahwa dalam perkawinan perlu diinsafi
sekali kawin untuk seterusnya, berlangsung untuk seumur hidup, untuk selama-
lamanya. Pasangan suami istri akan berpisah bila salah satu pasangan tersebut
meninggal dunia, karena itu diharapkan agar pemutusan suami istri itu tidak
terjadi kecuali karena kematian; sedangkan pemutusan lain diberikan
kemungkinan yang sangat ketat. Pemutusan suami istri dalam bentuk perceraian
hanyalah merupakan jalan yang terakhir, bila memang usaha-usaha lain memang
benar-benar sudah dilakukan dengan semaksimal mungkin.
Maka jika hal-hal tersebut telah berjalan beriringan dengan substansi
pernikahan itu sendiri, maka sudah pasti dapat melahirkan berbagai macam
hikmah-hikmah yang positif yaitu: dengan perkawinan maka akan menjaga hawa
nafsu dari hal-hal yang dilarang oleh Allah, halalnya melakukan hubungan
biologis dengan pasangan karena sudah terikat tali perkawinan yang tentu saja ini
akan mendatangkan manfaat lanjutan layaknya efek domino, seperti menghindari
diri dari penyakit akibat seks bebas dan menjaga hubungan sosial antara sesama,
baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat luas.

15
B. Saran
Dengan pernikahan, maka segala macam bentuk penyimpangan akibat
hubungan yang dilarang akan teratasi. Hal ini sejalan dengan tujuan dari
pernikahan itu sendiri. Disamping menyangkut masalah kesehatan jasmani,
dengan pernikahan juga akan menjaga kesehatan rohani seseorang karena
urgensitas lain dari pernikahan ialah untuk mendapatkan kedamaian hidup bagi
pasangan suami istri. Oleh karena itu dengan barbagai hikmah yang sudah
dipaparkan diatas, maka sudah sewajarnya pernikahan merupakan satu-satunya
jawaban atas berbagai penyimpangan yang terjadi akibat dari ketidamampuan
menguasai diri (self control).

16
DAFTAR PUSTAKA

Hamdani, Al. 1989. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). (Jakarta: Pustaka
Amani).
Idris Ramulyo, Mohd. 1996. Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara).
Ed. 2, Cet. 2
Syarifuddin, Amir. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan). (Jakarta: Kencana) Ed.
1, Cet. 3
Walgito, Bimo. 2000. Bimbingan & Konseling Perkawinan. (Yogyakarta: ANDI
OFFSET).

Artikel :
Atabik, Ahmad. Mudhiiah, Khoridatul. 2014. Pernikahan Dan Hikmahnya
Perspektif Hukum Islam. Yudisia, Vol. 5, No. 2

17

Anda mungkin juga menyukai