Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
TA. 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan
hidayahnya kami dari kelompok 8 dapat menyelesaikan makalah yang berisi tentang Nikah
Siri dan Mut’ah. makalah ini dapat membantu kita untuk lebih mengetahui lebih dalam
mengenai Nikah siri dan Mut’ah.
Di dalam makalah ini, kami mengambil informasi dari buku-buku dan juga kami
mendapatkannya dari internet yang menjadi panduan kami untuk mengerjakan makalah
tersebut. Kami sangat berterimakasih kepada semua buku yanng kakmi llihat atas semua
informasi tentang Nikah Siri dan Mut’ah.
Terdapat dari semua itiu, kami juga meminta maaf jika di dalam makalah masih ada
kekurangan baik dari segi sususnan, kalimat, maupun bahasanya. Oleh karena itu, dengan
tangan terbuka akmi menerima segala krititk dan saran dari pembaca agar kami dapat
memeperbaiki makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang Nikah Siri dan Mut’ah ini dapat
memberikan manfaat dan bisa menjadi inspirasi bagi pembaca.
Kelompok 8
i.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DFATAR ISI..................................................................................................................ii
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................10
B. Saran...........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
ii.
PENDAHULUAN
Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat mithaqan galiẓan,
sebagai wujud mentaati perintah Allah Swt dan melaksanakannya merupakan ibadah. Esensi
yang terkandung dalam syari’at perkawinan adalah menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hal ini, tujuannya adalah untuk menciptakan suatu kehidupan rumah tangga yang
mendatangkan kemaslahatan, baik bagi suami-istri, anak-anak, keluarga, maupun masyarakat.
Dalam pandangan Islam, perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata,
bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa
agama, karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi ketentuan Allah dan Nabi Saw dan
dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah Swt dan petunjuk Nabi Saw.
Kaitannya dengan salah satu rukun nikah yang telah dipaparkan di atas, yakni tentang
ijab qabul (sigat akad nikah), dalam berbagai referensi fiqh dijelaskan bahwa hendaknya
ucapan yang dipergunakan di dalam ijab qabul bersifat mutlak tidak diantarai dengan sesuatu
syarat. Dengan demikian hukum perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
sejalan dengan pendapat ulama Sunni. Akan tetapi, kenyataannya pada prosesi nikah mut’ah,
pada saat terjadinya ijab qabul selalu dikaitkan dengan sesuatu syarat, yakni melangsungkan
pernikahan hanya bersifat sementara dengan menentukan waktunya (batas waktu tertentu,
misalnya sebulan, setahun, dua tahun, atau tiga tahun). Artinya, jenis pernikahan seperti ini
berwujud dalam bentuk pernikahan untuk jangka waktu tertentu.
1.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan penejelasan diatas, maka rumusan masalahh yang akan dibahas dalam
penulisan ini yaitu:
1. Tujuan
c. Untuk mengetahui definisi dan hukum nikah mut‘ah dan nikah siri
2. Manfaat
a. Penelitian ini dapat berguna bagi pembaca khususnya dibidang Ilmu hukum terkait
tentang Masalah tentang status hukum pernikahan sirri dalam hukum Islam.
b. Pembaca dapat mengetahui dan memehami apa pengertian nikah siri dan
bagaimana hukumnya, serta menambahkan khazanah keilmuan dan pemikiran.
2.
PEMBAHASAN
Nikah siri dalam bahasa Arab berasal dari kata As-Sirrun yang berarti perkara yang
dirahasiakan. Bentuk jamaknya Asyrarun. Bila dikatakan, Asarrun As-Syaia berarti
merahasiakan dan menyembunyikannya. Sedangkan kata As-Surriyyatu artinya budak wanita
yang menjadi hak milik dan untuk kepentingan melakukan hubungan badan. Berbentuk dari
wazan (format kata) fu’liyyatun, yang berasal dari kata As-Sirrun. Sebab, seringkali seorang
lelaki merahasiakan dan menutup-nutupinya dari istri resminya dan menempatkan budak
wanita itu di rumah lain. Kata As-Sirrun adalah pernikahan yang dirahasiakan. Allah
berfirman: “(Dalam pada itu) janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka
secarara rahasia.”(QS. Al Baqarah : 235)
Dengan demikian beranjak dari etimologis, Nikah siri dapat dapat diartikan sebagai
pernikahan yang rahasia atau di rahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan yang dirahasiakan
karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan dari publik dengan berbagai
alasan, dan biasanya dihadiri hanya oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dipestakan
dalam bentuk resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum, nikah siri adalah
pernikahan yang dilakukan oleh sepasang kekasih tanpa ada pemberitahuan (dicatatkan) di
Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi pernikahan ini sudah memenuhi unsur-unsur pernikahan
dalam Islam, yang meliputi dua mempelai, dua orang, saksi, wali, ijab-qabul dan juga mas
kawin. Nikah sirri ini hukumnnya sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut hukum positif
(hukum negara). Oleh karena itu, pernikahan siri yang tidak dicatatkan dikantor urusan
agama itu tidak punya kekuatan hukum, sehingga jika suatu saat mereka berdua punya
permasalahan yang berkenaan dengan rumah tangganya seperti perceraian, kekerasan dalam
rumah tangga, warisan, perebutan hak asuh anak dan lainnya.
3.
B. HUKUM NIKAH SIRI DALAM ISLAM
Hukum nikah sirri secara agama Islam adalah sah atau legal dan dihalakan atau di
perbolehkan jika syarat dan rukun nikahnnya terpenuhi pada saat nikah sirri. Dalam
masyarakat Indonesia salah satu bentuk pernikahan yang dikenal adalah nikah sirri yaitu
nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, rahasia, secara terang. Dalam kaitanya
dengan nikah atau pernikahan, pada umumnya masyarakat mengartikan nikah sirri atau
pernikahan sirri mempunyai tiga pe ngertian ada yang dicatat tapi disembunyikan dari
masyarakat dan ada juga yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah (PPN) dan tidak
terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA). Dan adapun pengertian nikah sirri atau pernikahan
siri mempunyai tiga pengertian, yakni:
A. Pernikahan tanpa wali atau saksi. Pernikahan ini dilakukan secara sembunyi-
sembunyi atau rahasia. Pernikahan semacam ini menurut hukum Islam tidak sah atau
dilarang. Karena tidak memenuhi rukun dan syarat berdasarkan hukum Islam. sesungguhnya
Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali.
B. Pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi tetapi saksi-saksi tersebut
tidak boleh mengumumkan pada khalayak ramai. Pernikahan sirri bentuk yang kedua ini ada
dua pendapat, yang satu menyatakan sah tetapi makruh dan kedua ini ada dua pendapat
pendapat, yang satu menyatakan sah tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkan
pada khalayak ramai. Pernikahan sirri bentuk yang kedua ini ada dua pendapat, yang satu
menyatakan sah tetapi makruh dan yang lainya menyatakan tidak sah. Pendapat yang pertama
mendasarkan pada hadits riwayat Imam Addaruquthny dan Baihaqi menyatakan bahwa “tidak
sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” Pendapat yang kedua
mendasarkan pada hadits riwayat An Nasa‟I dan Al Hakim yang menyatakan bahwa pembeda
antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara”
dan hadits riwayat Tirmidzi dan ibnu Majah yang menyatakan bahwa “Rasulullah bersabda
umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkanya”.
C. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi. yang adil
serta adanya ijab qabulnamun pernikahan ini tidak di catatkan pada Kantor Urusan Agama
(KUA). Bila dilihat dari aspek hukumnya, pernikahan ini termasuk pernikahan yang sah.
Dikatakan demikian karena pernikahan itu memenuhi syarat dan rukunya. Bila salah satu
syarat dari pernikahan itu tidak dipenuhi, maka pernikahan itu tidak sah.
4.
Terdapat beberapa pendapat dari para ahli tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
masyarakat terhadap penyebab nikah secara siri, antaranya adalah:
1. Menurut Mutofa : menyatakan bahwa masih banyak masyarakat yang menjalankan nikah
siri (di bawah tangan) disebabkan dua faktor, yaitu: pertama, faktor di luar kemampuan
perempuan pelaku, seperti untuk menjaga hubungan laki-laki dan perempuan agar terhindar
dari perbuatan yang dilarangkan oleh agama, tidak ada izin dari wali, alasan poligami, dan
tidak ada izin dari istri pertama. Alasan kedua, adalah pandangan bahwa pencatatan
pernikahan (perkawinan) bukanlah perintah agama. Ada 4 kasus tidak ada izin dari istri
pertama.
2. Menurut Ali : yang mengatakan bahwa faktor terjadinya nikah siri (di bawah tangan)
adalah faktor budaya perkawinan indonesia, yang mempunyai bentuk seperti itu. Ada 1 kasus
mahalnya biaya untuk pencatatan pernikahan diluar biaya pernikahan resmi, sering kali
menjadi alasan lainya.
3. Menurut Aulawi: faktor penyebab terjadinya Nikah siri ( di bawah tangan) antara lain
karena faktor fiqih yang tidak mengatur batas umur nikah, faktor kekhawatiran orang tua
yang berlebihan terhadap jodoh anaknya.
4. Menurut Irfa’i faktor penyebab lainya nikah siri (di bawah tangan) adalah merupakan salah
satu cara yang sahnya hubungan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya,
agar tidak terjadi perbuatan yang dilarang syara’ (zina), dan adanya sebagian masyarakat
yang berpandangan bahwa pernikahan adalah merayakan pesta (walimatul al ursy). Jika pesta
pernikahan belum dapat dirayakan terutama belum tersedianya dana, Ada 1 kasus hamil
diluar nikah maka dilakukanlah nikah siri (di bawah tangan). Ada juga faktor lainya yang
mempengaruhi dari nikah siri (di bawah tangan) itu sendiri. Seperti faktor ekonomi,birokrasi,
keluarga, pendidikan dan lingkungan dimana masyarakat itu tinggal.
Nikah mut’ah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu nikah dan mut’ah.
Nikah secara bahasa adalah akad dan watha‟. Dalam istilah ini nikah diartikan akad. Kata
nikah ini kemudian disandingkan dengan kata mut’ah. Secara defenitif nikah menurut
Muhammad Abu Zahra yaitu akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara
seorang laki-laki dan seorang wanita, saling tolong menolong antara keduanya serta
menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
5.
Mut’ah berasal dari kata mata’a yamta’u mat’an secara literal mempunyai ragam
pengertian, antara lain manfaat, bersenang-senang, menikmati, bekal.1 Terdapat beberapa
pengertian tentang mut‟ah yaitu: Pertama, mut’ah adalah uang, barang, dan sebagainya yang
diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas
istrinya. Kedua, kesenangan mutlak yang dijadikan dasar hidup bagi laki-laki untuk mencapai
keinginannya, hawa nafsunya dan birahinya dari wanita tanpa syarat. Ini dilakukan dengan
perkawinan sementara atau yang diistilahkan dengan “kawin kontrak” dalam jangka waktu
yang dibatasi menurut perjanjian.
Secara defenitif, nikah mut’ah berarti pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu
berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan istri. Bila habis masa (waktu) yang
ditentukan, maka keduanya dapat memperpanjang atau mengakhiri pernikahan tersebut sesuai
kesepakatan semula. Penentuan jangka waktu inilah yang menjadi ciri khas nikah mut‟ah,
sekaligus pembeda dari nikah biasa.
Pemahaman terhadap persepsi ulama Sunni mengenai nikah mut’ah tidak dapat
dipisahkan dari definisi nikah mut’ah dari kalangan mereka. Menurut Sabiq, nikah mut’ah
disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus. Karena laki-laki yang mengawini
perempuannya itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan nikah mut’ah karena
laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Jika dideskripsikan pandangan jumhur ulama Sunni bahwa kalangan Hanafiyah dalam
memutuskan ketidakbolehannya nikah mut’ah dengan mengurai terlebih dahulu hal-hal yang
menjadi syarat sahnya nikah. Ulama ini menjelaskan bahwa terdapat macam-macam nikah
yang sah dan terdapat juga pernikahan yang dianggap rusak atau batal. Salah satu jenis
pernikahan yang dianggap rusak atau batal adalah nikah mut’ah.
Pernikahan yang rusak menurut ulama Hanafiyah adalah yang tidak memenuhi syarat
sahnya nikah. Macam-macamnya adalah nikah tanpa saksi, nikah mut’ah (temporal),
menikah dengan lima orang sekaligus dalam satu akad, menikahi seorang perempuan dan
saudarinya, atau bibi dari ayah, dan bibi dari ibu. Juga menikahi istri orang lain tanpa
mengetahui bahwa ia telah menikah. Semua jenis pernikahan yang telah disebutkan ini
menurut Abu Hanifah dan sahabatnya adalah jenis pernikahan yang rusak dan tidak sah.
6.
Ulama Malikiyah juga memandang nikah mut’ah sebagai pernikahan yang tidak sah
atau karena rusak (cacat) dalam salah satu rukun atau dalam salah satu syarat sahnya nikah.
Penggolongan nikah mut’ah sebagai nikah yang cacat bagi kalangan Malikiyah sesuai dengan
klasifikasi jenis pernikahan yang disebut rusak. Pertama, pernikahan yang disepakati para
fuqaha akan kerusakannya, seperti menikahi salah satu mahram dari satu keturunan atau dari
satu tempat penyusuan atau ikatan besanan. Kedua, pernikahan yang diperselisihkan para
fuqaha akan kerusakannya, yakni pernikahan yang dianggap rusak oleh ulama Malikiyah dan
dianggap sah menurut sebagian fuqaha, dengan syarat perselisihannya berat, seperti
pernikahan orang yang sakit, dalam hal ini tidak diperbolehkan. Namun, jika perbedaan
pendapat itu ringan seperti pernikahan mut’ah, menikahi istri yang kelima, maka secara
sepakat rusak nikahnya.
Lebih lanjut, Imam Syafi’i menyatakan bahwa semua jenis nikah yang ditentukan
berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui, maka nikah yang
demikian tidak sah, tidak ada hak waris antara kedua pasangan suami-istri tersebut, dan tidak
berakibat juga pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum dalam pernikahan seperti; thalaq,
zhihar, ila, dan li’an. Artinya, Imam Syafi’i berpandangan bahwa nikah yang dilaku dengan
menentukan batas waktu, maka nikahnya tidak sah dan segala akibat yang ditimbulkan dari
pernikahan tersebut dianggap tidak sah juga.
Dasar hukum diharamkannya kawin kontrak juga bersumber dari dalil Al Qur`an dan
Hadist, antara lain :
1) Dalil Al Qur`an
7.
َو اْلُم ْح َص ٰن ُت ِم َن الِّنَس ۤا ِء ِااَّل َم ا َم َلَك ْت َاْيَم اُنُك ْم ۚ ِك ٰت َب ِهّٰللا َع َلْيُك ْم ۚ َو ُاِح َّل َلُك ْم َّم ا َو َر ۤا َء ٰذ ِلُك ْم َاْن
َتْبَتُغْو ا ِبَاْمَو اِلُك ْم ُّم ْح ِصِنْيَن َغ ْيَر ُم ٰس ِفِح ْيَن ۗ َفَم ا اْس َتْم َتْع ُتْم ِبٖه ِم ْنُهَّن َفٰا ُتْو ُهَّن ُاُج ْو َر ُهَّن َفِر ْيَض ًةۗ َو اَل
ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفْيَم ا َتَر اَض ْيُتْم ِبٖه ِم ْۢن َبْعِد اْلَفِر ْيَض ِۗة ِاَّن َهّٰللا َك اَن َعِلْيًم ا َح ِكْيًم ا
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya
atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu
nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah
saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana”
اَل ُج َناَح َع َلۡي ُك ۡم ِاۡن َطَّلۡق ُتُم الِّنَس ٓاَء َم ا َلۡم َتَم ُّس ۡو ُهَّن َاۡو َتۡف ِر ُض ۡو ا َلُهَّن َفِر ۡي َض ًة ۚۖ َّو َم ِّتُعۡو ُهَّن ۚ َع َلى
(Laa junaaha 'alaikum in tallaqtumun nisaaa'a maa lam tamassuuhunna aw tafriduu lahunna
fariidah; wa matti'uuna 'alal muusi'i qadaruhuu wa 'alal muqtiri qadaruhuu matta'am
bilma'ruufi haqqan 'alalmuhsiniin)
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka.
8.
orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan”
Beberapa hadis Nabi yang menjelaskan tentang nikah mut’ah, antara lain sebagai berikut:
Artinya: Dari Ali bin Abi Thalib ra. Ia berkata kepada ibn Abbas: “Rasulullah saw. melarang
nikah mut’ah pada masa Perang Khaibar dan melarang memakan daging keledai jinak (yang
biasa dipakai sebagai sarana/peliharaan)”. (HR. Bukhari: Kitab al-Nikah, no. 5115 dan HR.
Muslim: Kitab al-Nikah)
Artinya:Dari Iyas bin Salamah dari bapaknya, ia berkata bahwa Rasulullah saw. Memberi
keringanan (membolehkan sementara) kawin mut’ah pada tahun Authas selama tiga hari
kemudian melarangnya”. (HR. Muslim: Kitab al-Nikah).
Artinya: Dari al-Zuhri, ia berkata: Ketika kami bersama Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, sedang
membicarakan tentang nikah mut’ah, lalu ada seseorang, yaitu Rabi’ ibn Sabrah berkata:
“Saya bersaksi demi bapak saya bahwa bapakku memberitakan sesungguhnya Rasulullah
saw. telah melarangnya pada masa Haji Wada’”. (HR. Abu Dawud: Kitab alNikah, no. 2072)
3) Ijma
Jumhur ulama bersepakat bahwa nikah mut’ah adalah haram dan bathil (illegal) karena
Rasulullah saw. melarangnya setelah memberi keringanan sementara karena kondisi sulit
pada masa itu. Jumhur ulama telah sampai pada standar ijmak dalam mengharamkan nikah
mut’ah atau kawin kontrak ini.
4) Qiyas
Prof. DR. M. Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer, dalam Tafsir Al- Mishbah-nya
menyatakan bahwa secara umum para ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah haram.
Nikah mut’ah menurutnya, bertentangan dengan tujuan nikah yang dikehendaki Alquran dan
9.
Sunnah, yakni pernikahan yang langgeng, sehidup semati, bahkan sampai Hari Kemudian
(QS. Ya Sin: 56). Quraish Shihab menambahkan bahwa pernikahan antara lain dimaksudkan
untuk melanjutkan keturunan, dan keturunan itu hendaknya dipelihara dan dididik oleh kedua
orang tuanya. Hal demikian tentu tidak dapat dicapai, jika pernikahan hanya berlangsung
beberapa hari, bahkan beberapa tahun sekalipun.
5) Fatwa MUI
Demikian pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa tentang haramnya nikah
mut’ah atau kawin kontrak dengan sejumlah argumentasi. MUI melihat bahwa kawin kontrak
banyak menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat secara umum. Fatwa MUI
tersebut dikeluarkan pada tanggal 25 Oktober 1997Nomor : 35/IM/X/1997 tentang
Pernikahan, yang menetapkan bahwa:
2) Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Nikah mut’ah menurut jumhur ulama Sunni adalah tidak sah akadnya. Sebab yang
dmaksud nikah mut‘ah hanya sekedar untuk melampiaskan nafsu dan besenang-senang dan
bukan untuk mendapatkan keturunan. Sedangkan terdapat riwayat shahih bahwa Rasululah
melarang nikah mut‘ah, yaitu nikah yang hanya dengan tujuan untuk bersenang-senang. Baik
akadnya dengan mut‘ah atau dengan akad lain. Karena sesungguhnya dari tujuan nikah itu
untuk ketentraman laki-laki bersama wanita dalam hidup bersama untuk mendapatkan
keturunan dan memperbanyak generasi Muslim. Allah berfirman:
10.
diantara rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum [30]:21).
ُهّٰللا َج َعَل َلُك ْم ِّم ْن َاْنُفِس ُك ْم َاْز َو اًجا َّو َج َعَل َلُك ْم ِّم ْن َاْز َو اِج ُك ْم َبِنْيَن َو َح َفَد ًة َّو َر َز َقُك ْم ِّم َن
الَّطِّيٰب ِۗت َاَفِباْلَباِط ِل ُيْؤ ِم ُنْو َن َو ِبِنْع َم ِت ِهّٰللا ُهْم َيْكُفُرْو َۙن
wallahu ja‘ala lakum min anfusikum azwajaw wa ja‘ala lakum min azwajikum banina wa
ḫafadataw wa razaqakum minath-thayyibat, a fa bil-bathili yu'minuna wa bini‘matillahi hum
yakfurun
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagi kamu dari isteri-isteri itu, anak-anak dan cucu-cucu”. (QS. An-Nahl [16]:
72).
Beberapa tujuan syari’at ini tidak dapat dicapai manusia dengan sempurna kecuali
dengan nikah permanen yang didalamnya suami dan isteri saling tolong menolong untuk
memetik buah dari pertemuan keduanya. Jika Allah menciptakan dalam diri manusia naluri
seks yang menjadi pendorong pernikahan dan menjadikan sebab kelangsungan manusia di
dunia untuk memakmurkan bumi, maka tidak diragukan bahwa membuka pintu mut‘ah
berarti memalingkan dari tujuan nikah dan menjadikan banyak manusia merasa cukup untuk
memenuhi kebutuhan seksnya dengan nikah mut‘ah dan berpaling dari nikah permanen yang
menuntut berbagai kewajian dan resiko lain didalamnya.39 Ulama-ulama Sunni
mengharamkan nikah mut‘ah, bersandar kepada segi-segi berikut, Pertama, lahirnya ayat-ayat
perkawinan, ayat talak, dan ayat ‘iddah, seperti yang diketahui, sekalipun tidak bisa dikatakan
berdasarkan nash-nash. Kedua, hadis-hadis yang jelas mengharamkan mut‘ah selamanya
hingga hari kiamat. Dan yang Ketiga, larangan Khalifah Umar tentang mut‘ah yang
diucapkan diatas mimbar, serta pernyataan-pernyataan para sahabat Nabi terhadap nikah
mut‘ah Sebagaimana dimaklumi bahwa mereka itu tidak mungkin menetapkan hal yang
mungkar, dan mereka tidak akan menunjuk kepada Khalifah Umar bila itu salah. Kemudian
pendapat tersebut mengatakan, “Khalifah Umar bin Khattab mengharamkan nikah mut‘ah itu
bukan berdasarkan ijtihadnya, melainkan ia berdasarkan larangan Nabi SAW., ia
mengharamkannya berdasarkan kepada pokok bahwa ia hanya sebagai pejelas dan penyampai
tentang keharaman nikah mut‘ah.
11.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ulama Sunni telah melarang nikah mut’ah secara mutlak. Pegangan ulama Sunni adalah
beberapa dalil yang terdapat dalam al-Qur’an surah: An-Nisa’ (4): 24, al-Mu’minun (23): 5-7,
dan ath-Thalaq (65): 1. Beberapa dalil al-Qur’an tersebut, menjadi landasan hukum tentang
haramnya nikah mut’ah. Di samping beberapa ayat al-Qur’an sebagai landasan dalam
pengharaman nikah mut’ah, dalam beberapa hadis dan ijma ulama pun mengharamkan jenis
pernikahan tersebut.
2. Ulama Syi’ah membolehkan (tidak mengharamkan) nikah mut’ah dengan merujuk pada
QS. an-Nisa (4): 24. Menurut ulama Syi’ah, ayat tersebut berkaitan dengan pernikahan
temporer (nikah mut’ah). Pernikahan seperti itu dibolehkan pada masa awal Islam.
Perselisihan pendapat yang terjadi berkisar tentang hukum yang membolehkan nikah mut’ah
apakah masih boleh atau sudah dibatalkan. Beberapa riwayat yang bersumber dari sumber-
sumber Syi’ah menunjukkan bahwa hukum nikah mut’ah tidak dibatalkan oleh al-Quran atau
Nabi Saw. Menurut ulama Syi’ah, nikah mut’ah dilarang pada masa Khalifah Umar bin
Khattab dan merupakan ijtihad Umar.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka peneliti akan memberikan saran kepada seluruh
pihak yang bersangkut guna untuk dapat mengurangi terjadinya pernikahan sirri sebagai
berikut :
1. Setiap pernikahan harus dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA) agar tidak
ada lagi pernikahan sirri
2. Melihat faktor-faktor terjadinya pernikahan sirri yang begitu luas, hendaknya harus
ada upaya-upaya dari berbagai pihak, seperti pemerintah, para tokoh agama, tokoh
masyarakat, para praktisi hukum, penegak hukum, dan lain-lain untuk lebih aktif
mensosialisasikan arti penting dari pernikahan yang sah agama dan diakui oleh
Negara.
12.
DAFTAR PUSTAKA
Maloko, M. Thahir, “Nikah Sirri Perspektif Hukum Islam”, sipakalebbi 1 no.2 (2014): h.229-
230.
Muhammad Ikho Hasmuir, “Tinjauan Hukum IslamTerhadap Nikah Sirri dan Dampak Pada
Masyarakat di Kecamatan Panakkukang Kota
Ali, H. Busyairi. Nikah Mut’ah Halal atau haram. Cet I; Banjarmasin: Ar-Risalah Islamic
Centre Foundation, 2012.
Fahruddin,Fuad Mohd. kawin mut’ah dalam pandangan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1992.
asy-Syafi’i, Abu Abdillah Muhammad ibn Idris, al-Umm, Juz VI, Tahqiq; Dr. Rif’at Fauzi
Abdul Muthalib, ( Kairo-Mesir: Dar al-Wafa’, 1422 / 2001).
Shihab, Quraish. Sunnah-Syiah, Bergandengan tangan, Mungkinkah? Kajian atas Konsep dan
Pemikiran.Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Saleh, Muhammad Ridwan. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional
Cet.I; Makassar: Alauddin University Press, 2014 .
Hamdani, Muhammad Faisal. Nikah Mut’ah Analisis Perbandingan Hukum Antara Sunni dan
Syi’ah. Jakarta: Gaya Media Pratama 2008.
13.