Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AKAD NIKAH DAN WALIMATUL ‘URSY

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
inayah-Nya serta atas segala karunia dan nikmat berupa nikmat iman, islam dan kesehatan
penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Shalawat beriringkan salam tidak lupa pula kita haturkan kepada junjungan alam nabi
besar muhammad shalallahhu‟alaihi wasallam, dengan lafadz allahhumma sholli’ala
muhammad wa’ala ali muhammad. Semoga di yaumil akhir nanti kita mendapatkan syafaat
dari beliau nanti amin yarabbal „alamin.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Fiqih Munaqahat. Dalam makalah ini,
akan dibahas mengenai Akad Nikah dan Walimatul ‘Ursy menurut ketentuan ilmu Fiqih
sehingga dapat menambah wawasan, perkembangan serta peningkatan ilmu pengetahuan.
Terimakasih penulis ucapkan kepada bapak M. Abdul Ghofur, M.H yang telah
membantu baik secara moral maupun materi. Terimakasih juga tersematkan kepada teman-
teman seperjuangan yang telah memberi dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas ini dengan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat ini masih jauh dari kata sempurna,
baik dari segi penyusunan bahasa maupun penulisannya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari semua pembaca untuk menjadi acuan agar bisa menjadi
lebih baik lagi dimasa mendatang.

Bintan, 28 Oktober 2023

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Masalah...............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
A. Pengertian Akad Nikah...................................................................................................2
B. Dasar Hukum Akad Nikah..............................................................................................3
C. Syarat-Syarat dalam Ijab Qabul......................................................................................4
D. Pengertian Walimatul ‘Ursy............................................................................................5
E. Dasar Hukum Walimatul ‘Ursy......................................................................................5
F. Hikmah Syariat Walimatul ‘Ursy....................................................................................6
BAB III PENUTUP..................................................................................................................8
A. Kesimpulan.....................................................................................................................8
B. Saran................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi
kehidupan, tidak ada satu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan, dan tidak
ada satu pun masalah yang tidak disentuh oleh nilai islam, sedemikian detailnya islam
mengatur tentang segala aspek kehidupan manusia guna mempermudah pemahaman untuk
menjalankan roda kehidupan.
Dalam hal ini, salah satu hubungan yang menjadi dasar kehidupan manusia ialah
terkait masalah pernikahan, Islam telah memberikan banyak pemahaman mengenai
pernikahan, dimulai dengan bagaimana cara mencari kriteria calon pendamping hidup,
perwalian, prosesi akad hingga bagaimana memperlakukan pasangan dengan baik. .
Dikalangan masyarakat umum, baik masyarakat dari lapisan bawah maupun lapisan
atas, ketika terlaksananya suatu pernikahan dengan mengucap ikrar ijab qabul maka,
dilaksanakan pula sebuah perayaan dalam rangka mensyukuri terselenggaranya momen
tersebut. Dalam merayakannya itupun sangat variatif. Ada yang dilaksanakan secara kecil-
kecilan dengan hanya sebatas menjamu para undangan dengan makanan sekedarnya atau
bahkan ada yang merayakannya secara besar-besaran, dengan memakan waktu berhari-hari
dan dengan beraneka ragam hiburan dan makanan yang disajikan hingga terkesan berlebihan.
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk mengetahui definisi dan ketentuan dari akad
nikah dan walimatul ursy serta bagaimana memahami idealnya prosesi walimahan menurut
pandangan ilmu fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari akad nikah ?
2. Apa dasar hukum dari akad nikah ?
3. Apa saja syarat-syarat ijab qabul ?
4. Apa pengertian walimatul ‘ursy ?
5. Apa dasar hukum walimatul ‘ursy ?
6. Apa hikmah dari menyelenggarakan walimahan ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari akad nikah
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari akad nikah
3. Untuk mengetahui syarat-syarat ijab qabul
4. Untuk mengetahui pengertian walimatul ‘ursy
5. Untuk mengetahui dasar hukum walimatul ‘ursy
6. Untuk mengetahui hikmah dari menyelenggarakan walimahan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Nikah


Akad nikah terdiri dari dua kata, yaitu kata akad dan kata nikah. Kata akad artinya janji,
perjanjian; kontrak. Sedang nikah yaitu ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Atau secara sederhana bermakna perkawinan,
perjodohan1.. Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul 2. Sedangkan definisi akad nikah
dalam Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam Bab I pasal 1 (c) yang berbunyi: Akad
nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi3.
Akad nikah ialah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dam pihak calon istri untuk
mengikatkan diri mereka dalam ikatan perkawinan. Dengan pernyataan ini berarti kedua
belah pihak telah rela dan sepakat melangsungkan perkawinan serta bersedia mengikuti
ketentuan-ketentuan agama4 yang berhubungan dengan aturan-aturan dalam berumah tangga.
Akad nikah merupakan wujud nyata sebuah ikatan antara seorang pria yang menjadi
suami dengan seorang wanita sebagai istri, yang dilakukan di depan (paling sedikit) dua
orang saksi, dengan menggunakan sighat ijab dan qabul. Jadi, akad nikah adalah perjanjian
dalam suatu ikatan perkawinan yang dilakukan oleh mempelai pria atau yang mewakilinya,
dengan wali dari pihak wanita calon pengantin atau yang mewakilinya, dengan menggunakan
sighat ijab dan qabul.
Pernyataan yang menunjukkan kemauan membentuk hubungan suami istri dari pihak
mempelai wanita disebut ijab. Sedangkan pernyataan yang diucapkan oleh pihak mempelai
pria untuk menyatakan ridha dan setuju disebut qabul 5. Kedua pernyataan antara ijab dan
qabul inilah yang dinamakan akad dalam pernikahan.
Ijab merupakan pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang
mengandung keinginan secara pasti untuk mengikat diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan
pihak lain yang mengetahui dirinya menerima pernyataan ijab tersebut.8 Ijab dilakukan oleh
pihak wali mempelai wanita atau wakilnya, sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai pria
atau wakilnya. Qabul yang diucapkan, hendaknya dinyatakan dengan kata-kata yang
menunjukkan kerelaan secara tegas6.

1. Achmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1, hlm. 34.
2. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, Cet. 2, T.th.,
hlm. 61.
3. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo Edisi Pertama,
1995, hlm. 113.
4. Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet.1,
hlm. 73.
5. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers,
2013, Cet. 3, hlm. 79.

2
B. Dasar Hukum Akad Nikah
Dalam suatu pernikahan, akad nikah merupakan sesuatu yang wajib adanya. Karena ia
adalah salah satu rukun dalam pernikahan. Dasar hukum wajibnya akad nikah dalam suatu
pernikahan yaitu Firman Allah swt dalam surah An-Nisa ayat 21 :
‫َو َكْيَف َتْأُخ ُذ ْو َنٗه َو َقْد َاْفٰض ى َبْعُض ُك ْم ِاٰل ى َبْع ٍض َّو َاَخ ْذ َن ِم ْنُك ْم ِّم ْيَثاًقا َغ ِلْيًظا‬
Artinya :“Bagaimana kamu akan mengambilnya (kembali), padahal kamu telah menggauli
satu sama lain (sebagai suami istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat
perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) denganmu?”

Ayat di atas menunjukkan bahwa harus adanya suatu perjanjian yang dilakukan dalam
suatu pernikahan sebagai suatu ikatan dalam perkawinan antara mempelai pria dan wanita.
Perjanjian inilah yang disebut sebagai akad nikah.
Selain ayat di atas, ada juga potongan hadits Nabi saw. ketika Beliau berkhutbah yang
berbunyi:
‫اَّتُقوا الّٰل َه في الّن اء َفإَّنُك أَخْنُت و ُه َّن بأ انِة الَّله ا للٌت وجهَّن ِبَك لمِةالَّلِه‬
‫َو ْسَتْح ْم ُفُر‬ ‫َم‬ ‫ْم ُم‬ ‫َس‬
Artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kalian mengambil
(menikahi) mereka dengan kepercayaan Allah, dan kalian halalkan kehormatan
mereka dengan kalimat Allah (HR. Muslim).7”
Yang dimaksud dengan kalimat Allah dalam hadis ialah al-Qur’an, dan dalam al-Qur’an
tidak disebutkan selain dua kalimat: nikah dan tazwij. Maka, dalam akad nikah hendaknya
menggunakan lafadz nikah, tazwij atau terjemahan dari keduanya. Kutipan khutbah Nabi di
atas, menunjukkan adanya suatu kalimat yang diucapkan, ketika melangsungkan sebuah
penikahan. Ucapan tersebut adalah akad nikah yang dilakukan mempelai pria dan wali dari
pihak mempelai wanita.8.
Dalam pelaksanaan ijab dan qabul, jumhur ulama sepakat bahwa harus dilakukan dalam
satu majelis dalam artian pelaksanaan ijab dan qabul harus menghadirkan kedua mempelai
baik laki-laki maupun perempuan dan dilakukan tidak boleh terpisah antara keduanya, hanya
para ulama berbeda pendapat mengenai bersambungnya antara ijab dan qabul. Perbedaan ini
muncul karena apabila ada limit waktu antara ijab dan qabul dikhawatirkan akan
mempengaruhi nilai keabsahan dalam pernikahan.
Walaupun para ulama yang berbeda pendapat tersebut menyatakan bahwa limit waktu
tidak ditentukan sebagai syarat mutlak, akan tetapi secara prakteknya apabila antara ijab dan
qabul tidak bersambung atau terdapat limit waktu maka dikhawatirkan akan mengurangi
keabsahan dari pelaksanaan ijab qabul tersebut, maka untuk menghindari keraguan yang ada
maka limit waktu dalam ijab qabul itu harus ditentukan sehingga penentuan baik secara
tersirat maupun tersurat telah memenuhi persyaratan.

6. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja‟far Shadiq, terj. Abu Zainab AB, Jakarta: Lentera,
2009, Cet. 1, hlm. 262.
7. Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj an-Naisabury, Shahih Muslim, Juz I, Semarang: Toha Putra, t. Th,
hlm. 593
8. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Semarang: Sinar Baru Algensindo, t.th, hlm. 382

3
Imam Hanafi berpendapat bahwa membolehkan ada jarak antara ijab dan qabul asalkan
masih dalam suatu majelis dan tiada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling
dari maksud akad tersebut9 Imam Hanafi lebih menekankan kepada ucapannya walaupun
terdapat selang waktu (limit) agak lama, maka dianggap sah asalkan masih satu majlis dan
tidak diselingi dengan sesuatu hal yang dapat mengganggu keabsahan dari pelaksanaan ijab
dan qabul.
Sedangkan menurut pendapat Imam Syafii, apabila antara ijab dan qabul diselingi dengan
sesuatu hal atau dengan kata lain tidak bersambung antara ijab dan qabul, maka dianggap
tidak sah sebab dalam serah terima (ijab qabul) tidak boleh diselingi oleh apapun baik yang
menganggu atau tidak10 . Imam Syafii mensyaratkan agar ijab dan qabul harus diucapkan
secara spontan dan bersambung tidak disertai dengan kata-kata atau perbuatan lain yang
sekiranya dapat merusak hakikat atau makna ijab qabul.

C. Syarat-Syarat dalam Ijab Qabul


Akad nikah yang dinyatakan dengan pernyataan ijab dan qabul, baru dianggap sah dan
mempunyai akibat hukum pada suami istri apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai
berikut11:
a. Kedua belah pihak yang melakukan akad nikah, baik wali maupun calon mempelai pria,
atau yang mewakili salah satu atau keduanya, adalah orang yang sudah dewasa dan sehat
rohani (tamyiz). Apabila salah satu pihak masih kecil atau ada yang gila, maka
pernikahannya tidak sah.
b. Ijab dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis. Artinya, ketika mengucapkan ijab-qabul,
tidak boleh diselingi dengan kata-kata atau perbuatan lain yang dapat dikatakan
memisahkan antara sighat ijab dan sighat qabul dan menghalangi peristiwa ijab-qabul.
c. Ucapan qabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab. Artinya, maksud dan tujuannya
sama, kecuali bila qabul-nya lebih baik dari ijab yang seharusnya, dan menunjukkan
pernyataan persetujuan lebih tegas. Contohnya, jika pihak wali mengatakan: “Aku
nikahkan kamu dengan puteriku fulanah dengan mahar seratus ribu rupiah”. Lalu si
mempelai pria menjawab: “Aku terima nikahnya dengan mahar dua ratus ribu rupiah”.
Maka pernikahan itu tetap sah, karena qabul yang diucapkan lebih baik, dan telah
mencukupi dari yang seharusnya.
d. Ijab dan qabul harus dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masing-masing pihak,
baik wali, mempelai maupun saksi. Pernyataan kedua belah pihak harus dengan kalimat
yang maksudnya menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah, meskipun kata-katanya
ada yang tidak dapat dipahami. Karena yang menjadi pertimbangan di sini adalah
maksud dan niat, bukan mengerti setiap kata yang dinyatakan dalam ijab dan qabul.

9. Abu Hanifah, Fiqih Akbar, Dar Al Ilmiyyah, Beirut, ttm., tth., hlm. 115.
10. Imam Syafi’i, Al Umm, Al Maktabah Ilmiah, Mesir Cairo, 1982, 201.
11. Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, terj. Ahmad
Tirmidzi, Futuhal Arifin dan Farhan Kurniawan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013, cet. 1, hlm. 413

4
D. Pengertian Walimatul ‘Ursy
Walimah ( ‫ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ‬١) artinya al-jam’u yaitu kumpul, sebab suami dan istri berkumpul.
Walimah (‫ﻠﻭﻠﻴﻤﺔ‬١) berasal dari bahasa arab ‫ﻠﻭﻠﻴﻡ‬١ artinya makanan pengantin. Maksudnya
adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan
sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya12.
Walimah adalah istilah yang terdapat dalam literatur arab yang secara arti kata berarti
jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk penghelatan di luar
perkawinan13. Sedangkan definisi yang terkenal di kalangan ulama, walimatul ‘ursy diartikan
dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad
perkawinan dengan menghidangkan makanan.
Secara mutlak walimah populer digunakan untuk merayakan kegembiraan pengantin.
Tetapi juga digunakan untuk acara-acara yang lain. Contohnya, sepeti: khitanan (bagi orang
sunat) dan aqiqahan (bagi bayi yang baru lahir.14. Jadi walimatul ‘ursy dapat diartikan dengan
perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas terlaksananya akad perkawinan
dengan menghidangkan makanan.

E. Dasar Hukum Walimatul ‘Ursy


Walimah merupakan sunah yang sangat dianjurkan menurut jumhur ulama (Ulama
Malikiyah, Hanafiah dan sebagian besar Syafi’iyah). Dalam pendapat Imam Malik yang
tertera didalam kitab al-umm karya Imam Syafi’I serta pendapat Zhahiriyah bahwasanya
walimah tersebut hukumnya wajib, karena sabda Nabi kepada Abdurrahman bin Auf,
‫أولم ولو بشاة‬
‘’Adakakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing’’

Zhahir dari sebuah perintah ialah untuk mewajibkan. Sementara Ulama Salaf berbeda
pendapat mengenai waktu pelaksanaan walimah, apakah itu saat akad atau setelahnya, ketika
bersenggama atau setelahnya, atau ketika memulai akad hingga akhir persenggamaan.
Imam Nawawi berkata, ‘’Qadhil Iyadl mengisahkan bahwasanya pendapat yang paling
benar dari Ulama Malikiyah, yakni dianjurkan setelah bersenggama. Sedangkan sebagian
Malikiyah berpendapat dianjurkan ketika akad. Sedangkan menurut Ibnu Jundub dianjurkan
ketika akad dan setelah persenggamaan. Imam As-Subki berkata: yang diriwayatkan dari
perbuatan Nabi Muhammad saw, bahwasanya walimah tersebut dilakukan setelah
persenggamaan. Didalam hadis lain yang diriwayatkan Anas oleh Imam Bukhari dan lainnya

12. Slamet Abidin, Fiqih Munakahat. (Bandung : Cv Pustaka Setia, 1999) hlm. 149.
13. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-
Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 155.
14. Fathu Al-Mannan Syarah Zaud Ibn Ruslan, hal 354

5
menyatakan dengan jelas bahwa walimah tersebut dilakukan setelah persenggamaan 15, sesuai
dengan hadis Nabi saw,
‫أصبح عروسا بزينب فدعا القوم‬
‘’Beliau bangun pagi sebagai pengantin Zainab. Lantas beliau mengundang orang-orang’’

Inilah pendapat yang mu’tamad dikalangan Malikiyah. Ulama Hanabilah berkata:


walimah sunah dikerjakan sebab terjadinya akad nikah. Mengadakan walimah telah terjadi
adat istiadat yang dilakukan sebelum kedua mempelai melakukan hubungan suami istri.
Sedangkan melakukan nutsar (sesuatu yang dihamburkan dalam acara perkawinan)
dimakruhkan menurut menurut Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah. Karena mengumpulkannya
merupakan hal hina dan bodoh, sebab itu diambil oleh sebagian orang dan dibiarkan oleh
sebagian orang lainnya.
Dengan demikian, jumhur ulama berpendapat, bahwa walimah merupakan suatu hal yang
sunnah dan bukan wajib.
Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang walimatul ‘ursy. Beliau menjawab, “ Segala
puji bagi Allah. Kalau walimatul ‘ursy hukumnya adalah sunah, dan diperintahkan menurut
kesepakatan ulama. Bahkan sebagian mereka ada yang mewajibkan, karena menyangkut
tentang pemberitahuan nikah dan perayaannya, serta membedakan antara pernikahan dan
perzinahan. Oleh karena itu, menurut pendapat ulama, menghadiri hajat pernikahan adalah
wajib hukumnya jika orang yang bersangkutan ada kesempatan dan tidak ada halangan.16
Sedangkan hukum menghadiri undangan, Jumhur ulama penganut Imam Asy-Syafi’i
dan Imam Hambali secara jelas menyatakan bahwa mengahadiri undangan ke walimatul
‘ursy adalah fardu ‘ain. Adapun sebagian dari penganut keduanya ini berpendapat bahwa
menghadiri undangan tersebut adalah sunnah. Sedangkan dalil hadis yang sudah disebutkan
di atas menunjukkan adanya hukum wajib menghadiri undangan. Apalagi setelah adanya
pernyataan secara jelas bahwa orang yang tidak mau menghadiri undangan telah berbuat
maksiat kepada Allah SWTdan Rasul-Nya SAW.17

F. Hikmah Syariat Walimatul ‘Ursy


Adapun hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan walimatul ‘ursy ialah untuk
mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua
pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan dikemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan
untuk memberitahu terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari
menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan.
Adanya perintah Nabi, baik dalam arti sunah atau wajib, mengadakan walimah
mengandung arti sunah mengundang khalayak ramai untuk menghadiri acara itu dan
memberi makan hadirin yang datang. Tentang hukum menghadiri walimah itu bila diundang
pada dasarnya ialah wajib. Jumhur ulama yang berprinsip tidak wajibnya mengadakan
walimah, juga berpendapat wajibnya mendatangi undangan walimah itu. Kewajiban
mengunjunginya walimah itu berdasarkan kepada suruhan khusus Nabi untuk memenuhi
15. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Wahbah Al Zuhaili, hal 121
16. Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Tentang Nikah, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2002), hlm. 183.
17. Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Op.Cit., hlm. 518

6
undungan walimah itu sesuai dengan sabdanya yang bersumber dari Ibnu Umar dalam hadis
yang muttafaq ‘alaih
‫قال رسول اهلل صلي اهلل عليه وسلم اذا نودي أحدكم الي وليمة فليأتها‬
Nabi Muhammad saw bersabda: ‘’Bila salah seorang diantaramu diundundang untuk
menghadiri acara walimatul ‘ursy, hendaklah kamu mendatanginya’’
Lebih lanjut Ulama Zahiriyah yang mewajibkan mengadakan walimatul ‘ursy itu dengan
ucapannya bahwa seandainya yang diundang itu tidak sedang berpuasa dia wajib makan
dalam walimah itu, namun apabila ia berpuasa wajib juga mengunjunginya, walau dia hanya
sekadar memohonkan doa untuk yang mengadakan walimah ditempat walimah tersebut.
Kewajiban menghadiri walimah sebagaimana yang dijelaskan ditujukan kepada orang-
orang tertentu dalam arti secara pribadi diundang. Hal ini mengandung arti bila undangan
walimah itu disampaikan dalam bentuk massal seperti melalui media massa, maka hukumnya
menjadi tidak wajib.
Untuk menghadiri walimah biasanya berlaku hanya satu kali. Namun bila yang punya hajat
mengadakan walimah untuk beberapa dan sesorang diundang untuk setiap kalinya dan mana
yang seharusnya dihadiri, ini masih menjadi perbincangan dikalangan ulama. Jumhur ulama
termasuk Imam Ahmad berpendapat bahwa yang wajib dihadiri ialah walimah pada hari
pertama, hari kedua hukumnya sunah dan hari selanjutnya tidak lagi sunah hukumnya.
Mereka melandaskan pendapatnya pada hadis Nabi yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu
Majah
‫الوليمة أول يوم حق وثاني معروف والثالث رياء وسمعة‬
Artinya:“Walimah hari pertama merupakan hak, hari kedua adalah makruf sedangkan hari
ketiga adalah riya dan pamer”
Meskipun seseorang wajib menghadiri walimah, namun para ulama memberikan
kelonggaran kepada yang diundang untuk tidak datang dalam hal-hal berikut:
1) Dalam walimah dihidangkan makanan atau miniman yang diyakininya tidak halal
2) Yang diundang hanya orang-orang kaya dan tidak mengundang orang-orang miskin
3) Dalam walimah itu ada orang-orang yang tidak berkenan dengan kehadirannya
4) Dalam rumah tempat walimah itu terdapat perlengkapan yang haram
5) Dalam walimah diadakan permainan yang menyalahi aturan agama
Apabila seseorang diundang oleh dua orang, maka ia harus mendahulukan orang yang
terdekat pintunya dan bila diundang dalam waktu yang sama dan tidak mungkin menghadiri
keduanya, maka ia harus memenuhi undangan yang pertama. Hal ini dijelaskan Nabi dalam
hadis dari seorang sahabat Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dalam sanad yang lemah
‫اذا اجتمع داعيان أجب اقربها باب وان سبق أحدهما فأجب الذي سبق‬
Artinya;“Bila bertemu dua undangan dalam satu waktu yang sama, perkenankanlah mana
yang terdekat pintunya dan bila salah seorang lebih dahulu, maka perkenankanlah
yang lebih dahulu”18

18. Hukum Perkawinan Islam Indonesia, Amir Syarifuddin, hal 157-158

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Akad nikah adalah perjanjian dalam suatu ikatan perkawinan yang dilakukan oleh
mempelai pria atau yang mewakilinya, dengan wali dari pihak wanita calon pengantin atau
yang mewakilinya, dengan menggunakan sighat ijab dan qabul.
Akad nikah merupakan sesuatu yang wajib adanya karena ia adalah salah satu rukun
dalam pernikahan, dalam pelaksanaannya, jumhur ulama sepakat bahwa harus dilakukan
dalam satu majelis dalam artian pelaksanaan ijab dan qabul harus menghadirkan kedua
mempelai baik laki-laki maupun perempuan dan dilakukan tidak boleh terpisah antara
keduanya.
Kedua belah pihak yang melakukan akad nikah, baik wali maupun calon mempelai pria,
atau yang mewakili salah satu atau keduanya, adalah orang yang sudah dewasa dan sehat
rohani (tamyiz). Apabila salah satu pihak masih kecil atau ada yang gila, maka
pernikahannya tidak sah.
Walimatul ‘ursy diartikan dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas
telah terlaksananya akad perkawinan dengan menghidangkan makanan. secara mutlak
walimah populer digunakan untuk merayakan kegembiraan pengantin. tetapi juga digunakan
untuk acara-acara yang lain.
Kalau walimatul ‘ursy hukumnya adalah sunah, dan diperintahkan menurut kesepakatan
ulama. Bahkan sebagian mereka ada yang mewajibkan, karena menyangkut tentang
pemberitahuan nikah dan perayaannya, serta membedakan antara pernikahan dan perzinahan.
Oleh karena itu, menurut pendapat ulama, menghadiri hajat pernikahan adalah wajib
hukumnya jika orang yang bersangkutan ada kesempatan dan tidak ada halangan/
Sedangkan hukum menghadiri undangan, Jumhur ulama penganut Imam Asy-Syafi’i dan
Imam Hambali secara jelas menyatakan bahwa mengahadiri undangan ke walimatul ‘ursy
adalah fardu ‘ain. Adapun sebagian dari penganut keduanya ini berpendapat bahwa
menghadiri undangan tersebut adalah sunnah. Sedangkan dalil hadis yang sudah disebutkan
di atas menunjukkan adanya hukum wajib menghadiri undangan
Adapun hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan walimatul ‘ursy ialah untuk
mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua
pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan dikemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan
untuk memberitahu terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari
menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan.

8
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, penulis menyadari tentunya masih banyak kekurangan
dalam penulisannya, maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya
membangun dari teman-teman, tak terkecuali dari bapak dosen pembimbing yang
membawakan mata kuliah ini untuk perbaikan tugas-tugas selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo
Abu Hanifah, Fiqih Akbar, Dar Al Ilmiyyah, Beirut
Abidin, Slamet, 1999, Fiqih Munakahat. Bandung : Cv Pustaka Setia
Al Zuhaili, Wahbah, Fiqh Islam wa Adillatuhu
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj an-Naisabury, Shahih Muslim, Juz I, Semarang: Toha Putra
Imam Syafi’i, 1982, Al Umm, Al Maktabah Ilmiah, Mesir Cairo
Ibnu Taimiyah, 2002, Majmu’ Fatawa Tentang Nikah, Jakarta Selatan: Pustaka Azzam
Kuzari, Achmad, 1995, Nikah sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Muchtar, Kamal, 1974, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang,
Mughniyah, Muhammad Jawad, 2009, Fiqih Imam Ja‟far Shadiq, terj. Abu Zainab
AB,Jakarta: Lentera
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Semarang: Sinar Baru Algensindo
Syarifuddin, Amir, 2006, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media
Syarah Zaud Ibn Ruslan, Fathu Al-Mannan
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, 2013, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, terj.
Ahmad Tirmidzi, Futuhal Arifin dan Farhan Kurniawan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Tihami dan Sohari Sahrani, 2013, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Pers

9
10

Anda mungkin juga menyukai