APLIKASI SYARI’AH
(Pernikahan dalam Islam)
KELOMPOK 9
Disusun Oleh:
Joko Purnomo (19058058)
M. Aditya Aldiansyah (19058062)
Rara (19136152)
UNIVERSITAS NEGERI
PADANG 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini dapat selesai pada waktunya.
Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kaliamat maupun kata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan keritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................2
2.1 Konsep dan Hukum Pernikahan dalam Islam..........................................2
2.2 Tujuan dan Hikmah Pernikahan..............................................................4
2.3 Bentuk-bentuk Pemutusan Hubungan Pernkahan dalam Islam...............6
2.4 Kewarisan dalam Islam..........................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
a) Wajib
Bagi orang yang sudah mampu menikah, nafsunya telah
mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan, maka ia wajib
menikah. Karena menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib
Allah berfirman dalam QS An-Nur/24:33, yang artinya, “Dan orang-
orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-
Nya.”
b) Sunnah
Bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mampu
menikah, tetapi masih dapat menahan dirinya dari perbuatan zina,
maka sunnah baginya menikah. Nikah baginya lebih utama daripada
bertekun diri beribadah.
c) Haram
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin
dan lahirnya kepada istri serta nafsunyapun tidak mendesak, maka ia
haram menikah.
d) Makruh
Makruh menikah bagi seseorang yang lemah syahwat dan
tidak mampu memberi belanja kepada istrinya. Walaupun tidak
merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan
syahwat yang kuat
e) Mubah
Bagi orang yang tidak terdesak oleh alas analasan yang
mengharamkan untuk menikah, maka nikah hukumnya mubah baginya.
3
2.2 Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Islam telah menganjurkan kepada manusia unutk menikah. Dan ada
banyak hikmah d balik anjuran tersebut. Antara lain hikmah dari
pernikahan yaitu:
a) Sunnah para Nabi dan Rasul
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum
kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturuan.
Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat
melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab. (QS. Ar-
Ra’d/13:38)
Dan hadits Nabi:
Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Empat hal
yang merupakan sunnah para rasul: [1] Hinna’, [2] berparfum, [3]
siwak, dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)
b) Nikah merupakan bagian dari tanda kekuasaan Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum/30:21)
c) Salah satu jalan untuk menjadi kaya
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang Lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan menampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas
lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur/24:32)
d) Nikah merupakan ibadah dan setengah dari agama
Dari Anas ra bahwa RAsulullah SAW bersabda, “orang yang
diberi rizki oleh Allah SWT seorng istri shalihah berarti telah dibantu
oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal
menyempurnakan separuh sisanya.” (HR. Thabarani dan Al-Hakim
2/161)
4
e) Tidak ada pembujangan dalam Islam
5
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman! Jangan
kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah
untuk kamu dan jangan kamu melewati batas. Karena sesungguhnya
Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. (QS. Al-
Maidah/5:87)
f) Menikah itu ciri khas makhluk hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah
merupakan ciri dari makhluk hidup. Allah SWT telah menegaskan
bahwa makluk-makhluk ciptaan-Nya ini diciptakan berpasangan satu
sama lain. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya
kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Az-Zariyat/51:49)
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan
syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyaakan manusai pada hari ini.
Namun hendaknya ia menkah karena tujuan-tujuan berikut ini:
a) Melaksanakan anjuran Rasulullah SAW. Dalam sabdanya, “Wahai
sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk
menikah maka hendaknya ia menikah..”
b) Memperbanyak keturunan umat ini, karena Rasulullah SAW. Bersabda,
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena
(pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di
hadapan umat-umat yang lain”.
c) Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangan
nya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah SWT.
berfirman, “Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman:
‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan
memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka.
Seusungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka…’. “ (An-Nur: 30-31)
6
2.3 Bentuk-bentuk Pemutusan Hubungan Pernikahan dalam Islam
Berikut merupakan bentuk-bentuk pemutusan hubungan
pernikahan dalam Islam, yaitu salah satunya talak, iddah, dan rujuk.
a) Talak
Secara etimologis, talak berarti melepas ikatan. Talak berasal dari
kata itlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut
istilah shara’, talak yaitu “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri
hubungan suami istri.” Abdul Djamali dalam bukunya, hukum Islam,
mengatakan bahwa perceraian merupakan putusnya perkawinan antar
suami istri dalam hubungan keluarga.
Dari definisi yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat
penulis simpulkan bahwa yang dimaksud talak adalah melepas adanya tali
perkawinan antara suami-istri dengan menggunakan kata khusus yaitu kata
talak atau semacamnya sehingga istri tidak halal baginya setelah ditalak
dalam arti tidak boleh mengadakan hubungan suami-istri tanpa diadakan
rujuk terlebih dahulu dalam masa iddah nya.
Permasalahan perceraian atau talak dalam hukum Islam
dibolehkan dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni Alquran dan
Hadis. Hal ini dapat dilihat pada sumber-sumber dasar hukum berikut ini,
dalam QS. Al-Baqarah/2:231, yang artinya, “Apabila kamu mentalak istri-
istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddah nya, maka rujukilah mereka
dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf
(pula). Janganlah kamu rujuki mereka (hanya) untuk memberi
kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang
siapa takut berbuat zalim pada dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan
hukum Allah suatu permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu yaitu
hikmah Allah memberikan pelajaran padamu dengan apa yang di
turunkan itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya
Allah maha mengetahui segala sesuatu”.
Mengenai hukum talak, terdapat perbedaan pendapat ahli fiqh.
Syekh Shalih Al-Fauzan menulis dalam kitabnya al mulakhos al fiqhiy :
7
“Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan,
terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh,
terkadanghukumnya sunah, terkadang hukumnya wajib, dan terkadang
hukumnya haram. Hukumnya sesuai dengan hukum yang lima”.
1) Makruh,
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika suami menjatuhkan
talak tanpa ada hajat (kebutuhan) yang menuntut terjadinya
perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan
baik
2) Haram
Talak yang hukumnya haram yaitu ketika dijatuhkan tidak sesuai
petunjuk sh ar’i . Yaitu suami menjatuhkan talak dalam keadaan
yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua keadaan:
Pertama: Suami menjatuhkan talak ketika istri sedang dalam
keadaan haid.
Kedua: Suami menjatuhkan talak kepada istri pada saat suci
setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak
3) Mubah
Talak yang hukumnya mubah yaitu ketika suami berhajat atau
mempunyai alasan untuk menalak istrinya. Seperti karena suami
tidak mencintai istrinya, atau karena perangai dan kelakuan yang
buruk yang ada pada istri sementara suami tidak sanggup
bersabar kemudian menceraikannya, namun bersabar lebih baik.
4) Sunah
Talak yang hukumnya sunnah ketika dijatuhkan oleh suami demi
kemaslahatan istrinya serta mencegah kemudaratan jika tetap
bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya masih
mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak
bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan
tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada
keadaan seperti ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri.
8
5) Wajib
Talak yang hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’
istrinya (bersumpah tidak akan menggauli istrinya) setelah masa
penangguhannya selama empat bulan telah habis, bilamana ia
enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya
untuk mentalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang
menjatuhkan talak tersebut.
b) Iddah
Menurut Bahasa kata iddah berasal dari kata al-‘adad, yang artinya
menghitung.menurut Sayyid Sabiq Shahibul Fiqh Sunnah yang
dimaksud dengan iddah dari segi Bahasa adalah perempuan (istri)
menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Maksud dari iddah itu
sendiri ialah masa tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah
kematian suami atau putus prkawinan baik berdasarkan masa haid atau
suci, bilangan bulan atau dengan melahirkan baik untuk mengetahui
kesucian Rahim, beribadah (ta’abbud) maupun bela sungkawa (tafajju’)
atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan (istri) dilarang
menikah dengan laki-laki lain.
c) Rujuk
Rujuk menurut bahasa artinya kembali, Rujuk dalam pengertian
fikih menurut al-Mahalli sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin
ialah kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan
ba’in, selama dalam masa iddah.
Pengertian rujuk ini juga diisyaratkan dalam pasal 163 KHI yaitu:
seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
Dengan demikian jelas bahwa rujuk hanya dapat dilakukan ketika
mantan istri dalam masa iddah, bukan dari talak ba’in.
Hukum rujuk ada lima, yakni:
a) Wajib, apabila Suami yang menceraikan salah seorang istrinya dan
9
dia belum menyempurnakan pembagian waktunya terhadap istri
yang diceraikan itu.
b) Haram, apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan
kepada istri tersebut.
c) Makruh, apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
d) Jaiz (boleh), ini adalah hukum rujuk yang asli.
e) Sunah, Sekiranya mendatangkan kebaikan
1
2.4 Kewarisan dalam Islam
Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta
akibatnya bagi para ahli warisnya. dan juga berbagai aturan tentang
perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud adalah berupa harta,
seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah
lain waris disebut juga dengan fara‟id. Yang artinya bagian tertentu yang
dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan
yang telah di tetapkan bagianbagiannya.
Ada beberapa sebab dalam kewarisan dalam islam terkait hak
seseorang mendapatkan warisan yaitu hubungan kekerabatan dan hubngan
perkawinan. Kedua bentuk hubungan itu adalah sebagai berikut.
I. Hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab
ditentukan oleh adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah
dapat diketahui pada saat adanya kelahiran, seorang ibu mempunyai
hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkannya dan si anak
mempunyai hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya
ditentukan oleh adanya akad nikah yang sah antara ibunya dengan
ayahnya, dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu
dengan anaknya dan anak dengan ayahnya, dapat pula diketahui
hungan kekerabatan ke atas yaitu kepada ayah atau ibu dan
seterusnya, kebawah, kepada anak beserta keturunanya. Dari
hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur
kekerabatan yang tergolong ahli waris bilamana seorang mninggal
dunia dan meninggalkan harta warisan.
II. Hubungan perkawinan
Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan
Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut Islam.
Apabila
1
seorang suami meninggalkan harta warisan dan janda, maka istri yang
dinggalkan itu termasuk ahli warisnya demikian pula sebaliknya .
5. Murtad
Adapun yang dimaksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama
Islam, dan tidak dapat menerima harta pusaka dari keluarganya yang
muslim. Begitu pula sebaliknya
1
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Berdasarkan apa yang telah kami jelaskan dalam makalah
mengenai pernikahan ini pasti ada kekurangan maupun kelebihannya.
Mudah- mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
dapat menambah wawasan pembaca mengenai pernikahan berdasarkan
Islam. Adapun kritik maupun saran dapat disampaikan ke penulis agar
dapat memperbaiki makalah ini baik dari segi penulisan, materi,
maupun tata bahasa yang disampaikan. Penulis mengharapkan pembaca
dapat mengambil manfaat dari makalah yang telah dibuat.
1
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, H. (2012). Kompilasi fatwa ulama tentang iddah wanita hamil karena
zina dan kebolehan menikahinya: Studi komparatif madzhab Syafi'iyyah dan
madzhab Hanabilah (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim).