Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“Ketentuan Umum Tentang Hukum Perkawinan Di Indonesia:


Pengertian, Prinsip, Rukun, Syarat, Larangan, Pencatatan, Pencegahan,
Pembatalan, dan Perjanjian Perkawinan.”

Makalah Ini Dibuat Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah “Hukum Perdata Islam Di Indonesia.”

Dosen Pengampu :
Hj. Siti Zubaidah, S.Ag, SH, MH

Disusun Oleh
Kelompok : 3

Alawiah (2021110852)
Siti Norhidayah (2021110862)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
2022 M/1443 H
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga dapat meyelesaikan
makalah yang berjudul “Ketentuan Umum Tentang Hukum Perkawinan Di
Indonesia: Pengertian, Prinsip, Rukun, Syarat, Larangan, Pencatatan,
Pencegahan, Pembatalan, dan Perjanjian Perkawinan.” Shalawat serta salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, para
sahabatnya, keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman. Dengan
segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengajar
selaku Mata Kuliah Peradilan Agama Di Indonesia yaitu: Hj. Siti Zubaidah,
S.Ag, SH, MH yang telah memberikan mimbingan serta arahan kepada para
penulis dalam upaya pembuatan makalah ini.
Namun mengingat adanya kekeliruan atau kekurangan, maka dengan
senang hati penulis menerima saran maupun kritik serta masukan dari pembaca,
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi
kami khususnya. Akhir kata, semoga makalah yang sederhana ini dapat
bermanfaat adanya. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb

Hulu Sungai Selatan, 9 - Maret -2023

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3

A. Pengertian Perkawinan.............................................................................. 3

B. Prinsip-Prinsip Perkawinan ....................................................................... 5

C. Rukun dan Syarat Perkawinan .................................................................. 7

D. Larangan Dalam Perkawinan .................................................................... 7

E. Pencatatan Perkawinan ............................................................................. 9

F. Pencegahan Perkawinan.......................................................................... 10

G. Pembatalan Perkawinan .......................................................................... 12

H. Perjanjian Dalam Perkawinan ................................................................. 14

BAB III PENUTUP ..............................................................................................16

A. Kesimpulan ............................................................................................. 16

B. Saran ....................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina


rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri
memikul amanah dan tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan, bahwa Perkawinan, ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Pasal 81 KUHPerdata
disebutkan, bahwa perkawinan secara agama harus dilakukan setelah
perkawinan di hadapan Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian, apabila
perkawinan hanya dilakukan secara agama dan tidak dilakukan di hadapan
Pejabat Catatan Sipil, maka konsekuensi hukumnya dari berlakunya Pasal 80
- 81 KUHPerdata di atas, yaitu antara suami dan istri dan/atau antara
suami/ayah dengan anak-anaknya (kalau ada anak yang dilahirkan dalam
perkawinan tersebut), tidak akan ada hubungan-hubungan perdata. Hubungan
Perdata yang dimaksud adalah antara lain hubungan pewarisan antara suami
dan istrinya dan/atau suami/ayah dengan anak-anaknya serta keluarganya,
apabila di kemudian hari terdapat salah seorang yang meninggal dunia.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Mengenai Perngertian Perkawinan ?
2. Jelaskan Prinsip Perkawinan ?
3. Jelaskan Rukun dan Syarat Perkawinan ?
4. Jelaskan Larangan Di dalam Perkawinan ?
5. Jelaskan Pencatatan Perkawinan ?

1
6. Jelaskan Pencegahan Perkawinan ?
7. Jelaskan Pembatalan Perkawinan ?
8. Jelaskan Perjanjian Dalam Perkawinan ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Mengenai Perngertian Perkawinan


2. Untuk Mengetahui Prinsip Perkawinan
3. Untuk Mengetahui Rukun dan Syarat Perkawinan
4. Untuk Mengetahui Larangan Di dalam Perkawinan
5. Untuk Mengetahui Pencatatan Perkawinan
6. Untuk Mengetahui Pencegahan Perkawinan
7. Untuk Mengetahui Pembatalan Perkawinan
8. Untuk Mengetahui Perjanjian Dalam Perkawinan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab


disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai
dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur'an
dan hadis Nabi (Amir Syarifuddin, 2006:35). Hukum Islam mengatur agar
perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-
pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki. Perkawinan
menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
membemtuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman
tenteram, bahagia dan kekal (M. Idris Ramulio, 1985:147).
Dengan demikian Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan
pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaagan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan
melakukannya merupakan ibadah. Apabila pengertian tersebut dibandingkan
dengan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 (UU Perkawinan) dan KHI maka pada dasarnya antara
pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut UU Perkawinan
tidak terdapat perbedaan prinsipil (Hamid Sarong, 2010:33), sebab pengertian
perkawinan menurut UU Perkawinan ialah: "ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa". Dalam bahasia Indonesia, perkawinan berasal
dari kata "kawin" yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan
lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh (Kamus Besar
Bahas Indonesia, 1994:456).

3
Menurut pendapat para ahli antara lain Soedharyo Saimin menyatakan
perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal
ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan
materil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama
dalam Pancasila (Soedharyo Saimin, 2002:6). Ali Afandi menyatakan
perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan. Persetujuan kekeluargaan
dimaksud disisni bukanlah persetujuan biasa, tetapi mempunyai ciri- ciri
tertentu (Ali Afandi, 1984:94).
Adapun maksud akad yang sangat kuat dalam Kompilasi Hukum
Islam adalah jika pelaksanaan akat nikah sudah terjadi antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan memenuhi syarat dan
rukun nikah yang ditentukan oleh syariat islam dan hukum negara, maka
ikatan pernikahan itu tidak begitu mudah putus untuk mengakhiri hubungan
suami isteri. Tali ikatan pernikahan itu tidak dapat diputuskan oleh pasangan
suami isteri dengan alasan yang tidak kuat dan dibuat-buat. Tali ikatan
pernikahan yang sudah terjadi baru dapat diputuskan jika mempunyai alasan
yang kuat dan sesuai dengan ketentuan hukum syariat serta hukum negara dan
tidak ada jalan lain untuk mempertahankan ikatan pernikahan itu untuk tetap
kukuh selama- lamanya.
Sementara pengertian perkawinan dalam UU Perkawinan mempunyai
4 (empat) unsur, yakni: 1) ikatan lahir batin, maksudnya dalam suatu
perkawinan tidak hanya ada ikatan lahir yang diwujudkan dalam bentuk ijab
kabul yang dilakukan oleh wali menpelai perempuan dengan menpelai laki-
laki yang disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang disertai penyerahan mas
kawin, tetapi ikatan batin yang diwujudkan dalam bentuk adanya persetujuan
yang ikhlas antara kedua calon menpelai dalam arti tidak ada unsur paksaan
dari pihak yang satu kepada pihak yang lain juga memegang peranan yang
sangat penting untuk memperkuat akad ikatan nikah dalam mewujudkan
keluarga bahagia dan kekal. 2) antara seorang pria dengan seorang wanita,
maksudnya dalam suatu ikatan. Perkawinan menurut UU perkawinan hanya

4
boleh terjadi antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagi
isteri.1

B. Prinsip-Prinsip Perkawinan

Prinsip-Prinsip Perkawinan Menurut Hukum Perdata Islam Di Indonesia


Musdah Mulia Memformulasikan menjadi empat hal yaitu :

a. Prinsip Mawaddah Wa Rahmah ( Saling Mencintai )


Menurut Muhdah Mulia, Mawaddah secara bahasa berarti „cinta
kasih‟, sedangkan, Rahmah berarti „kasih sayang‟, kedua istilah itu
menggambarkan perasaan batin manusia yang sangat luhur dan penuh
nilai-nilai spiritual. Keduanya terbentuk dari suasana hati yang penuh
keikhlasan dan kerelaan berkorban demi kebahagian bersama. Sejak akad
nikah suami istri seharusnya telah di pertautkan oleh perasaan
Mawaddah Wa Rahmah sehingga keduanya tidak mudah goyah dalam
mengarungi samudra kehidupan rumah tangga yang sering kali penuh
gejolak.
Dengan demikian, cinta dan kasih sayang (Mawaddah dan
Rahmah) merupakan asas,sendi dan lem perekat rumah tangga yang
tidak bisa di anggap sederhana. Karena cinta kasih merupakan sesuatu
yang suci, maka cinta harus di jaga, dirawat dan di pupuk agar terus
lestari dan mekar berseri. Maka sikap yang dipenuhi kesabaran,
kesetiaan, pengertian, pemberian, dan pengorbanan akan mendatangkan/
menyuburkan cinta.

b. Prinsip Mu’asyarah bi al- Ma,ruf ( berperilaku sopan dan beradab )


Sebagai pasangan hidup dalam rumah tangga, maka masing-
masing individu harus mengutamakan akhlak yang baik, sehingga

1
Jamaluddin, Nanda Amalia,”Buku Ajar Hukum Perkawinan,” edisi-1, ( Sulawesi:
UNIMAL PRESS), hal. 18-19

5
kehidupan rumah tangga dipenuhi dengan ;etika dan etiket yang baik.
Berperilaku sopan dan beradab sangat diperlukan demi kelangsungan
rumah tangga.

c. Prinsip Musawah (Saling melengkapi dan melindungi)


Ketika pernikahan laksana satu tubuh dua hati, maka saling
melengkapi dan melindungi hal yang santa penting untuk dijadikan
perhatian dalam rumah tangga. Dalam kacamata normatif, suami istri
berfungsi laksana pakaian, sebagaimana dalam firman Allah:
Karena berkeluarga laksana pakaian, maka kekurangan dalam hal
keuangan keluarga misalnya, oleh orang bijak dapat dijadikan sarana
untuk menciptakan suasana dinamis dalam keluarga. Sebaliknya suasana
mapan yang lama (baik mapan cukup maupun dalam kekurangan) data
menimbulkan suasana rutin yang menjenuhkan. Oleh karena itu suami
istri harus pandai-pandai menciptakan suasana baru dan diperbaharui
lagi, karena faktor kebaruan secara psikologis membuat hidup menjadi
menarik.

d. Prinsip Musyawarah (saling berdiskusi dan berkomunikasi secara efektif)


Suami istri ketika telah mengakadkan untuk mengarungi bahtera
rumah tangga, tak dapat dipungkiri setiap permasalahan yang muncul
tidak dapat diselesaikan sendiri, karena dalam rumah tangga masing-
masing individu mempunyai daya nalar dan pikir yang mesti
diberdayakan. Maka, komunikasi yang efektif dalam bentuk masyarakat
tidak dapat dielakkan dalam berumah tangga, Komunikasi antara suami
isteri biasanya menjadi sangat intens. Keharmonisan hubungan antara
suami dan isteri akan terwujud jika masing-masing berfikir untuk
memberi, bukan untuk menunut, saling menghargai, dan bukan saling
merendahkan.2

2
Khumedi Ja‟far, “Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Aspek Keluarga dan Bisnis,”
edisi-4 (Surabaya: Gemilang Publisher), hal 31-35

6
C. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun Perkawinan menurut Pasal 14 KHI, rukun nikah terdiri atas


lima macam yaitu adanya:
- Calon suami
- Calon istri
- Wali nikah
- Dua orang saksi, dan
- Ijab dan Kabul3

Syarat-syarat Perkawinan menurut KHI:

1. Perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai


umur minimal 19 tahun bagi pria dan wanita (lihat pada pasal 15 KHI).
2. Diharuskan adanya wali nikah.
3. Akad Nikah yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki dan wali
mempelai wanita.
4. Ijab dan Kabul di lakukan di dalam satu majelis yang disaksikan dua orang
saksi4.

D. Larangan Dalam Perkawinan

Larangan perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor. 1 Tahun


1974. Didalam Undang-Undang Nomor, 1 Tahun 1974 telah diatur tentang
perkawinan yang dilarang yaitu termuat dalam:
a. Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas

3
Jamaluddin, Nanda Amalia,”Buku Ajar Hukum Perkawinan,” edisi-1, ( Sulawesi:
UNIMAL PRESS), hal 51-52.
4
Ibid.hlm 52.

7
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu: antara
saudara antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibi atau paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang.
6) Mempunyai hubungan mengenai agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
b. Pasal 9
Seorang yang masih terikat dalam suatu tali perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3
ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.
c. Pasal 10
Apabila seorang suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan
yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak
boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan larangan bagi
seseorang untuk melakukan perkawinan dengan orang tertentu, maka hal ini
merupakan syarat materiil yang relative, yang terdiri dari:
1) Larangan melakukan perkawinan dengan seseorang yang
hubungannya sangat dekat didalam kekeluargaan sedarah atau
karena perkawinan.
2) Larangan melakukan perkawinan dengan orang yang pernah berbuat
zina.

8
3) Memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, apabila
belum lewat waktu satu tahun ternyata dilarang.5

E. Pencatatan Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun Perkawinan telah mengatur tentang
pencatatan perkawinan, cara terperinci diatur dalam pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.
Ketentuan mengenai pencatatan ini lebih lanjut secara terperinci
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan
pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pencatatan perkawinan dari
mereka yang beragama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
di maksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Kenyataan di
tengah masyarakat masih banyak masyarakat yang tidak mencatatkan
perkawinannya pada instansi yang berwenang. Sehingga menimbulkan akibat
yang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan atau pihak isteri dan anak-
anak yang dilahirkan. Pencatatan perkawinan bertujuan sebagai alat
pembuktian yang autentik dengan alat bukti tersebut dapat dicegah atau
dibatalkan suatu perkawinan. Pencatatan ini tidaklah merupakan syarat sah
atau tidaknya suatu perkawinan yang terjadi sifatnya hanya untuk tertib
administrasi saja. Undang-Undang menghendaki tiap-tiap perkawinan itu
harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
berarti bahwa suatu perkawinan adalah merupakan suatu peristiwa
kemasyarakatan yang penting, oleh sebab itu perlu dicatatkan dalam suatu
catatan yang disediakan khusus untuk itu dan untuk menjadikan peristiwa
tersebut menjadi suatu peristiwa yang jelas bagi yang bersangkutan ataupun
orang lain.6

5
Nastangin,”Larangan Perkawinan Dalam UUP No. 1 Tahun 1974 dan KHI Perspektif
Filsafat Hukum Islam,” Jurnal of Islamic Family Law, Vol.4 No. 1 Januari 2020, hal 15.
6
Prima Resi Putri,”Pencatatan Perkawinan Yang Sah Menurut Hukum Perdata Yang
Berlandaskan Undang-Undang Tentang Perkawinan,” Jurnal Ensiklopedia Social Review, Vol. 3
No. 1 Februari 2021, hal 32.

9
F. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan Perkawinan adalah menghadiri suatu perkawinan
berdasarkan larangan hukum Islam yang diundangkan. Pencegahan
Perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini.
1. Syarat Materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan
perkawinan,akta nikah, larangan perkawinan,
2. Syarat Administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap
rukun perkawinan, yang meliputi setiap calon laki-laki dan wanita, saksi,
wali dan pelaksanaan akad nikahnya.
a. Perspektif UU No. 1/1974
Pencegahan Perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13
yang berbunyi:
“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam
ayat diatas mengacu kepeda dua hal yaitu: syarat administratif dan
syarat materiil. Syarat Administratif berhubungan dengan
administratif perkawinan pada bagian tata cara perkawinan. Adapun
Syarat Meteriil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan
perkawinan. Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak
yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan
pencegahan perkawinan ke pengadilan agama dalam daerah hukum
dimana perkawinan itu dilangsungkan dan memberitahukannya
kepada pegawai pencatatan nikah. Pencegahan perkawinan dapat
dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah
dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan
putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut maka
perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan
pengadilan agama yang memberikan dispensasi kepada para pihak
yang akan melangsungkan perkawinan.

10
Disamping itu Undang-Undang Perkawinan juga mengenal
pencegahan perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang melakukan
pencegahan perkawinan (pasal 20). Pencegahan otomatis ini dapat
dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan dalam menjalankan
tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal
7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 Undang-Undang
Perkawinan.
Berkenaan dengan orang-orang yang dapat melakukan pencegahan
dimuat dalam pasal 14 UUP yang berbunyi:
1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak
yang berkepentingan.
2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga
mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang
calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan
bagi calon mempelai lainnya, yang mempunyai hubungan dengan
orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Selanjutnya pasal 15 menyatakan:


“Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan,
dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 Undang-Undang ini”
Undang-Undang Perkawinan seperti yang terdapat dalam pasal
16 ayat 1 dan 2, juga memberi wewenang kepada penjabat untuk
melakukan pencegahan perkawinan. Mengenai pejabat yang
berwenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sebaliknya pejabat yang berwenang dilarang membantu

11
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui terjadinya pelanggaran
terhadap UU tersebut. Dalam pasal 20 UU No. 1/1974 dinyatakan
dengan tegas:
Pegawai pencatat perkawinan tidak dibolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia
mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam 7 ayat 1, pasal
9, pasal 10, dan pasal 12 undang- undang ini meskipun tidak ada
pencegahan perkawinan.7

G. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan Perkawinan adalah usaha untuk tidak melanjutkan
hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam
memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu
memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya
perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.
Dalam pasal 22 UU Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti
pernikahannya tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1
Tahun 1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71.
Dalam pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa seizin Pengadilan
Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi isteri orang lain.
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari
suami lain.

7
Mukmin Mukri, “ Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan,” Jurnal Perspektif, Vol.
13, No. 2, Desember 2020, hal 104-105.

12
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 UU. No. 2 Tahun 1974.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Yang berhak membatalkan perkawinan, mengenai orang-orang yang
dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 73 Kompilasi
Hukum Islam, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
dari suami atau isteri
b. Suami atau Isteri.
c. Pejabat yang berwenang mengawasi jalannya perkawinan menurut
Undang-Undang.
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat
dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan perudang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal
67.
Pada pasal 74 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa
pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan Agama
daerah yang hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau
tempat tinggal kedua suami isteri.
Permohonan pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk
permohonan yang bersifat sangketa, sehingga dapat lebih jelas dalam
melangsungkan pembatalan perkawinan yaitu sama halnya dengan cara
gugatan perceraian yang diatur secara terperiinci dari pasal 20 sampai dengan
pasal 36 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sepanjang hal ini dapat
diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan perkawinan itu. 8

8
Mukmin Mukri, “ Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan,” Jurnal Perspektif, Vol.
13, No. 2, Desember 2020, hal 105-108.

13
H. Perjanjian Dalam Perkawinan

Perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami dengan calon istri jika
diperlukan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan
atau lain-lainnya. Perjanjian itu harus dibuat sebelum akad nikah
dilangsungkan atau pada saat mau melakukan akad nikah. Perjanjian
perkawinan dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Karena
hukum perkawinan bersifat fakultatif lebih banyak mengatur, maka dalam
beberapa hal boleh disimpangi dengan membuat perjanjian perkawinan.
Dalam KUHPerdata tentang perjanjian kawin umumya ditentukan
dalam pasal 139 sampai dengan pasal 154. Menurut ketentuan pasal 139,
bahwa “dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri yaitu
memiliki suatu hak untuk menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan
perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu
tidak menyalahi tata susila yang baik atau tertib umum da nasal diindahkan
pula segala ketentuan dibawah ini menurut pasal berikutnya. Hal ini terjadi
karena dalam KUHPerdata semenjak prkawinan berlangsung semua harta
menjadi harta bersama, termasuk harta yang sudah diperoleh sebelum
perkawinan oleh masing-masing dari pasangan suami isteri itu. Apabila harta
yang telah diperoleh sebelum perkawinan berlangsung tidak ingin
dimasukkan kedalam harta bersma, maka harus dibuat perjanjian antara calon
suami dan isteri sebelum terjadi akad nikah. Jika sudah dilakukan akad nikah,
perjanjian itu tidak boleh dibuat lagi, karena secara hukum harta itu sudah
menjadi harta bersama. Meskipun dibenarkan membuat perjanjian kawin,
namun tidaklah dibenarkan sekehendak hatinya, melainkan harus menjaga
etika dan moral yang baik.
Perjanjian perkawinan juga diatur dalam UU Perkawinan. Pasal 29
No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa” pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis, yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan,
setelah itu isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

14
tersangkut (ayat(1)) . Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (ayat(2)). Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (ayat(3)). Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga (ayat(4)).9

9
Jamaluddin, Nanda Amalia,”Buku Ajar Hukum Perkawinan,” edisi-1, ( Sulawesi:
UNIMAL PRESS), hal 58.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ketentuan umum tentang hukum perkawinan di Indonesia sangatlah
penting untuk dipahami oleh setiap pasangan yang hendak menikah.
Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan sejahtera.

Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam hukum perkawinan di


Indonesia adalah kesetaraan, kebebasan, keadilan, dan kemanfaatan..

Rukun Perkawinan menurut Pasal 14 KHI, lima macam yaitu adanya:


Calon suami, Calon istri, Wali nikah, Dua orang saksi, dan Ijab dan Kabul.
Sedangkan Syarat Perkawinan menurut KHI, Perkawinan boleh dilakukan
jika kedua mempelai mencapai batas minimal umur 19 tahun, diharuskan
adanya wali, akad nikah dilakukan mempelai pria dan wali mempelai wanita,
serta dilaksanakannya ijab dan Kabul didalam satu majelis dan disaksikan dua
orang saksi.

Larangan perkawinan diatur dalam undang-undang dan meliputi


hubungan keluarga dekat, seperti antara saudara kandung atau sepupu dalam
garis keturunan yang sama. Pencatatan perkawinan wajib dilakukan di Kantor
Catatan Sipil dan penting untuk keperluan administrasi, seperti pembuatan
akta kelahiran anak.

. Pencatatan perkawinan bertujuan sebagai alat pembuktian yang


autentik dengan alat bukti tersebut dapat dicegah atau dibatalkan suatu
perkawinan. Pencatatan ini tidaklah merupakan syarat sah atau tidaknya
suatu perkawinan yang terjadi sifatnya hanya untuk tertib administrasi saja.

16
Undang-Undang menghendaki tiap-tiap perkawinan itu harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pencegahan Perkawinan adalah menghadiri suatu perkawinan


berdasarkan larangan hukum Islam yang diundangkan. Pencegahan
Perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan baik itu syarat
materiil dan administratif.

Pembatalan Perkawinan adalah usaha untuk tidak melanjutkan


hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. perkawinan
dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk
melangsungkan perkawinan.

Perjanjian perkawinan dapat dibuat oleh pasangan sebelum atau


setelah menikah untuk mengatur hak dan kewajiban masing-masing dalam
pernikahan. Kesimpulannya, hukum perkawinan di Indonesia mengatur
segala aspek yang berkaitan dengan pernikahan dan harus dipatuhi oleh setiap
pasangan yang hendak menikah.

B. Saran
Jika penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk
itu kami mengharap kritik serta saran. Dengan berakhirnya makalah yang
kami buat ini, kami menyadari bahwa di dalamnya bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya
dan khususnya bagi para pemakalah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Jamaluddin, Nanda Amalia,”Buku Ajar Hukum Perkawinan,” ( Sulawesi:


UNIMAL PRESS.

Khumedi Ja‟far, “Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Aspek Keluarga dan


Bisnis,” edisi-4 (Surabaya: Gemilang Publisher).

Mukmin Mukri, “ Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan,” Jurnal Perspektif,


Vol. 13, No. 2, Desember 2020

Nastangin,”Larangan Perkawinan Dalam UUP No. 1 Tahun 1974 dan KHI


Perspektif Filsafat Hukum Islam,” Jurnal of Islamic Family Law, Vol.4
No. 1 Januari 2020.

Prima Resi Putri,”Pencatatan Perkawinan Yang Sah Menurut Hukum Perdata


Yang Berlandaskan Undang-Undang Tentang Perkawinan,” Jurnal
Ensiklopedia Social Review, Vol. 3 No. 1 Februari 2021

18

Anda mungkin juga menyukai