Dosen Pengampu :
Hj. Siti Zubaidah, S.Ag, SH, MH
Disusun Oleh
Kelompok : 3
Alawiah (2021110852)
Siti Norhidayah (2021110862)
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga dapat meyelesaikan
makalah yang berjudul “Ketentuan Umum Tentang Hukum Perkawinan Di
Indonesia: Pengertian, Prinsip, Rukun, Syarat, Larangan, Pencatatan,
Pencegahan, Pembatalan, dan Perjanjian Perkawinan.” Shalawat serta salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, para
sahabatnya, keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman. Dengan
segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengajar
selaku Mata Kuliah Peradilan Agama Di Indonesia yaitu: Hj. Siti Zubaidah,
S.Ag, SH, MH yang telah memberikan mimbingan serta arahan kepada para
penulis dalam upaya pembuatan makalah ini.
Namun mengingat adanya kekeliruan atau kekurangan, maka dengan
senang hati penulis menerima saran maupun kritik serta masukan dari pembaca,
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi
kami khususnya. Akhir kata, semoga makalah yang sederhana ini dapat
bermanfaat adanya. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
A. Pengertian Perkawinan.............................................................................. 3
F. Pencegahan Perkawinan.......................................................................... 10
A. Kesimpulan ............................................................................................. 16
B. Saran ....................................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Mengenai Perngertian Perkawinan ?
2. Jelaskan Prinsip Perkawinan ?
3. Jelaskan Rukun dan Syarat Perkawinan ?
4. Jelaskan Larangan Di dalam Perkawinan ?
5. Jelaskan Pencatatan Perkawinan ?
1
6. Jelaskan Pencegahan Perkawinan ?
7. Jelaskan Pembatalan Perkawinan ?
8. Jelaskan Perjanjian Dalam Perkawinan ?
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
3
Menurut pendapat para ahli antara lain Soedharyo Saimin menyatakan
perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal
ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan
materil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama
dalam Pancasila (Soedharyo Saimin, 2002:6). Ali Afandi menyatakan
perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan. Persetujuan kekeluargaan
dimaksud disisni bukanlah persetujuan biasa, tetapi mempunyai ciri- ciri
tertentu (Ali Afandi, 1984:94).
Adapun maksud akad yang sangat kuat dalam Kompilasi Hukum
Islam adalah jika pelaksanaan akat nikah sudah terjadi antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan memenuhi syarat dan
rukun nikah yang ditentukan oleh syariat islam dan hukum negara, maka
ikatan pernikahan itu tidak begitu mudah putus untuk mengakhiri hubungan
suami isteri. Tali ikatan pernikahan itu tidak dapat diputuskan oleh pasangan
suami isteri dengan alasan yang tidak kuat dan dibuat-buat. Tali ikatan
pernikahan yang sudah terjadi baru dapat diputuskan jika mempunyai alasan
yang kuat dan sesuai dengan ketentuan hukum syariat serta hukum negara dan
tidak ada jalan lain untuk mempertahankan ikatan pernikahan itu untuk tetap
kukuh selama- lamanya.
Sementara pengertian perkawinan dalam UU Perkawinan mempunyai
4 (empat) unsur, yakni: 1) ikatan lahir batin, maksudnya dalam suatu
perkawinan tidak hanya ada ikatan lahir yang diwujudkan dalam bentuk ijab
kabul yang dilakukan oleh wali menpelai perempuan dengan menpelai laki-
laki yang disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang disertai penyerahan mas
kawin, tetapi ikatan batin yang diwujudkan dalam bentuk adanya persetujuan
yang ikhlas antara kedua calon menpelai dalam arti tidak ada unsur paksaan
dari pihak yang satu kepada pihak yang lain juga memegang peranan yang
sangat penting untuk memperkuat akad ikatan nikah dalam mewujudkan
keluarga bahagia dan kekal. 2) antara seorang pria dengan seorang wanita,
maksudnya dalam suatu ikatan. Perkawinan menurut UU perkawinan hanya
4
boleh terjadi antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagi
isteri.1
B. Prinsip-Prinsip Perkawinan
1
Jamaluddin, Nanda Amalia,”Buku Ajar Hukum Perkawinan,” edisi-1, ( Sulawesi:
UNIMAL PRESS), hal. 18-19
5
kehidupan rumah tangga dipenuhi dengan ;etika dan etiket yang baik.
Berperilaku sopan dan beradab sangat diperlukan demi kelangsungan
rumah tangga.
2
Khumedi Ja‟far, “Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Aspek Keluarga dan Bisnis,”
edisi-4 (Surabaya: Gemilang Publisher), hal 31-35
6
C. Rukun dan Syarat Perkawinan
3
Jamaluddin, Nanda Amalia,”Buku Ajar Hukum Perkawinan,” edisi-1, ( Sulawesi:
UNIMAL PRESS), hal 51-52.
4
Ibid.hlm 52.
7
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu: antara
saudara antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibi atau paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang.
6) Mempunyai hubungan mengenai agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
b. Pasal 9
Seorang yang masih terikat dalam suatu tali perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3
ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.
c. Pasal 10
Apabila seorang suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan
yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak
boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan larangan bagi
seseorang untuk melakukan perkawinan dengan orang tertentu, maka hal ini
merupakan syarat materiil yang relative, yang terdiri dari:
1) Larangan melakukan perkawinan dengan seseorang yang
hubungannya sangat dekat didalam kekeluargaan sedarah atau
karena perkawinan.
2) Larangan melakukan perkawinan dengan orang yang pernah berbuat
zina.
8
3) Memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, apabila
belum lewat waktu satu tahun ternyata dilarang.5
E. Pencatatan Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun Perkawinan telah mengatur tentang
pencatatan perkawinan, cara terperinci diatur dalam pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.
Ketentuan mengenai pencatatan ini lebih lanjut secara terperinci
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan
pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pencatatan perkawinan dari
mereka yang beragama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
di maksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Kenyataan di
tengah masyarakat masih banyak masyarakat yang tidak mencatatkan
perkawinannya pada instansi yang berwenang. Sehingga menimbulkan akibat
yang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan atau pihak isteri dan anak-
anak yang dilahirkan. Pencatatan perkawinan bertujuan sebagai alat
pembuktian yang autentik dengan alat bukti tersebut dapat dicegah atau
dibatalkan suatu perkawinan. Pencatatan ini tidaklah merupakan syarat sah
atau tidaknya suatu perkawinan yang terjadi sifatnya hanya untuk tertib
administrasi saja. Undang-Undang menghendaki tiap-tiap perkawinan itu
harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
berarti bahwa suatu perkawinan adalah merupakan suatu peristiwa
kemasyarakatan yang penting, oleh sebab itu perlu dicatatkan dalam suatu
catatan yang disediakan khusus untuk itu dan untuk menjadikan peristiwa
tersebut menjadi suatu peristiwa yang jelas bagi yang bersangkutan ataupun
orang lain.6
5
Nastangin,”Larangan Perkawinan Dalam UUP No. 1 Tahun 1974 dan KHI Perspektif
Filsafat Hukum Islam,” Jurnal of Islamic Family Law, Vol.4 No. 1 Januari 2020, hal 15.
6
Prima Resi Putri,”Pencatatan Perkawinan Yang Sah Menurut Hukum Perdata Yang
Berlandaskan Undang-Undang Tentang Perkawinan,” Jurnal Ensiklopedia Social Review, Vol. 3
No. 1 Februari 2021, hal 32.
9
F. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan Perkawinan adalah menghadiri suatu perkawinan
berdasarkan larangan hukum Islam yang diundangkan. Pencegahan
Perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini.
1. Syarat Materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan
perkawinan,akta nikah, larangan perkawinan,
2. Syarat Administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap
rukun perkawinan, yang meliputi setiap calon laki-laki dan wanita, saksi,
wali dan pelaksanaan akad nikahnya.
a. Perspektif UU No. 1/1974
Pencegahan Perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13
yang berbunyi:
“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam
ayat diatas mengacu kepeda dua hal yaitu: syarat administratif dan
syarat materiil. Syarat Administratif berhubungan dengan
administratif perkawinan pada bagian tata cara perkawinan. Adapun
Syarat Meteriil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan
perkawinan. Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak
yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan
pencegahan perkawinan ke pengadilan agama dalam daerah hukum
dimana perkawinan itu dilangsungkan dan memberitahukannya
kepada pegawai pencatatan nikah. Pencegahan perkawinan dapat
dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah
dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan
putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut maka
perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan
pengadilan agama yang memberikan dispensasi kepada para pihak
yang akan melangsungkan perkawinan.
10
Disamping itu Undang-Undang Perkawinan juga mengenal
pencegahan perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang melakukan
pencegahan perkawinan (pasal 20). Pencegahan otomatis ini dapat
dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan dalam menjalankan
tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal
7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 Undang-Undang
Perkawinan.
Berkenaan dengan orang-orang yang dapat melakukan pencegahan
dimuat dalam pasal 14 UUP yang berbunyi:
1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak
yang berkepentingan.
2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga
mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang
calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan
bagi calon mempelai lainnya, yang mempunyai hubungan dengan
orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
11
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui terjadinya pelanggaran
terhadap UU tersebut. Dalam pasal 20 UU No. 1/1974 dinyatakan
dengan tegas:
Pegawai pencatat perkawinan tidak dibolehkan
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia
mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam 7 ayat 1, pasal
9, pasal 10, dan pasal 12 undang- undang ini meskipun tidak ada
pencegahan perkawinan.7
G. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan Perkawinan adalah usaha untuk tidak melanjutkan
hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam
memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu
memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya
perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.
Dalam pasal 22 UU Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Namun bila rukunnya yang tidak terpenuhi berarti
pernikahannya tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1
Tahun 1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71.
Dalam pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa seizin Pengadilan
Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi isteri orang lain.
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari
suami lain.
7
Mukmin Mukri, “ Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan,” Jurnal Perspektif, Vol.
13, No. 2, Desember 2020, hal 104-105.
12
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 UU. No. 2 Tahun 1974.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Yang berhak membatalkan perkawinan, mengenai orang-orang yang
dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 73 Kompilasi
Hukum Islam, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
dari suami atau isteri
b. Suami atau Isteri.
c. Pejabat yang berwenang mengawasi jalannya perkawinan menurut
Undang-Undang.
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat
dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan perudang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal
67.
Pada pasal 74 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa
pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan Agama
daerah yang hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau
tempat tinggal kedua suami isteri.
Permohonan pembatalan perkawinan dibuat dalam bentuk
permohonan yang bersifat sangketa, sehingga dapat lebih jelas dalam
melangsungkan pembatalan perkawinan yaitu sama halnya dengan cara
gugatan perceraian yang diatur secara terperiinci dari pasal 20 sampai dengan
pasal 36 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sepanjang hal ini dapat
diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan perkawinan itu. 8
8
Mukmin Mukri, “ Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan,” Jurnal Perspektif, Vol.
13, No. 2, Desember 2020, hal 105-108.
13
H. Perjanjian Dalam Perkawinan
Perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami dengan calon istri jika
diperlukan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan
atau lain-lainnya. Perjanjian itu harus dibuat sebelum akad nikah
dilangsungkan atau pada saat mau melakukan akad nikah. Perjanjian
perkawinan dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Karena
hukum perkawinan bersifat fakultatif lebih banyak mengatur, maka dalam
beberapa hal boleh disimpangi dengan membuat perjanjian perkawinan.
Dalam KUHPerdata tentang perjanjian kawin umumya ditentukan
dalam pasal 139 sampai dengan pasal 154. Menurut ketentuan pasal 139,
bahwa “dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri yaitu
memiliki suatu hak untuk menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan
perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu
tidak menyalahi tata susila yang baik atau tertib umum da nasal diindahkan
pula segala ketentuan dibawah ini menurut pasal berikutnya. Hal ini terjadi
karena dalam KUHPerdata semenjak prkawinan berlangsung semua harta
menjadi harta bersama, termasuk harta yang sudah diperoleh sebelum
perkawinan oleh masing-masing dari pasangan suami isteri itu. Apabila harta
yang telah diperoleh sebelum perkawinan berlangsung tidak ingin
dimasukkan kedalam harta bersma, maka harus dibuat perjanjian antara calon
suami dan isteri sebelum terjadi akad nikah. Jika sudah dilakukan akad nikah,
perjanjian itu tidak boleh dibuat lagi, karena secara hukum harta itu sudah
menjadi harta bersama. Meskipun dibenarkan membuat perjanjian kawin,
namun tidaklah dibenarkan sekehendak hatinya, melainkan harus menjaga
etika dan moral yang baik.
Perjanjian perkawinan juga diatur dalam UU Perkawinan. Pasal 29
No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa” pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis, yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan,
setelah itu isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
14
tersangkut (ayat(1)) . Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (ayat(2)). Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (ayat(3)). Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga (ayat(4)).9
9
Jamaluddin, Nanda Amalia,”Buku Ajar Hukum Perkawinan,” edisi-1, ( Sulawesi:
UNIMAL PRESS), hal 58.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketentuan umum tentang hukum perkawinan di Indonesia sangatlah
penting untuk dipahami oleh setiap pasangan yang hendak menikah.
Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan sejahtera.
16
Undang-Undang menghendaki tiap-tiap perkawinan itu harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku
B. Saran
Jika penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk
itu kami mengharap kritik serta saran. Dengan berakhirnya makalah yang
kami buat ini, kami menyadari bahwa di dalamnya bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya
dan khususnya bagi para pemakalah.
17
DAFTAR PUSTAKA
18