OLEH : KELOMPOK 4
Salsabila (2010111084)
Fakultas Hukum
Universitas Andalas
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kelompok 4 bisa menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Makalah yang
0112/Pdt.G/2018/PA.Surakarta”.
Makalah ini merupakan tugas kelompok mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Kelas 2.7, program studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum di Universitas Andalas, Padang.
Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Misnarsyam S.H., MH selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama, yang telah memberikan
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan memiliki
berbagai kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut. Dan kami berharap
semoga makalah “Proses Penyelesaian Perkara At-tafriq Al-Qadha’i Dalam Perkara No.
pembacanya.
PEMBAHASAN................................ ....................................................................................................16
A. Latar Belakang
Tujuan mulia pernikahan adalah untuk meningkatkan diri dan ketakwaan kepada
Allah SWT. Menikah berarti kita bisa mengendalikan keinginan kita dan tidak
mengambil langkah yang salah. Dan setiap interaksi antara suami istri, untuk
menghindari kemaksiatan, adalah untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. memang
perintah itu Sebuah ikatan kemuliaan dan berkat. Allah SWT ditetapkan untuk
kemaslahatan umat dan kemaslahatan umat manusia agar dapat tercapai Kebaikan dan
niat baik.
Perceraian dalam istilah Ahli Fiqih disebut talak atau Furqah. Talak berarti
membuka ikatan atau membatalakan perjanjian, Furqah berarti bercerai, yang merupakan
1
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, Gana Media Pratama, Jakarta, 2001, hlm, 144-146.
2
Impres Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI Pasal 3
3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1
lawan dari berkumpul. Kemudian kedua dari perikatan ini dijadikan istilah oleh para Ahli
Fiqih yang berarti perceraian antara suami istri. 4
Perceraian atau talak dalam hukum Islam pada prinsipnya diperbolehkan tetapi
dibenci oleh Allah, tetapi perceraian adalah solusi terakhir yang tersedia. Ketika
kehidupan keluarga tidak dapat dipertahankan. Islam menunjukkan agar sebelum terjadi
perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan
perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh. 5 Sejalan juga dengan prinsip
perkawinan bahwa perceraian harus di persulit, ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW
yang menyatakan bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling
dibenci oleh Allah, sebagaimana bunyi hadist berikut ini:
“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai”.( Riwayat Abu Dawud
dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits
mursal).6
Perceraian merupakan hal yang sangat menakutkan bagi setiap keluarga (suami,
istri dan anak), alasan perceraian bisa jadi berbagai, termasuk ketidakmampuan untuk
berkomunikasi dan karena itu Menyebabkan pertengkaran, perselingkuhan, kekerasan
dalam rumah tangga, masalah keuangan, pernikahan dini, perubahan budaya, dll. Setelah
Perceraian, Beberapa Penyesuaian Harus Dilakukan oleh kedua belah pihak (mantan
4
Muhammad Syaifudin,Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, hukum perceraian,Sinar
Grafika,Jakarta,2014,hal 16-17.
5
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet, I, 1995, hlm. 268
6
Abu Abdullah Muhammad ibn Ya zid Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Jordan: Baitul Afkar Al-
Dauliyyah, 2004), h. 219
suami dan mantan istri) menuju kehidupan baru mereka. Terutama masalah keuangan,
apalagi pernikahan mereka sudah dikaruniai anak.
1) Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ ’i pada perkara
Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
2) Bagaimana proses penyelesaian perkara At-Tafrîq Al-Qadhâ ’i dalam perkara Nomor:
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
3) Bagaimana Akibat Hukum terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ’i dalam perkara Nomor:
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
4) Bagaimana analisis putusan majelis hakim dalam perkara Nomor:
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
C. Tujuan Penulisan
D. Metodologi Penelitian
B. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama islam untuk memenuhi petunjuk agama dalam
rangka mendirikan keluarga yang harmonis, bahagia, sejahtera. Harmonis dalam
menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan
7
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Presentasi Pustaka, Jakarta,
2006, hlm. 106
8
Neng Yani Nurhayani, Hukum Perdata, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 132.
lahir batin yang disebabkan terpenuhi kebutuhan hidup lahir batinnya, sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni kasih saying antar anggota keluarganya.
C. Putusnya Perkawinan
9
1 Zainudin Ali, 2. Hukum Perdata Islam. Jakarta : Sinar Grafika,2007, hlm.102.
Pasal 41 huruf a maka, pengadilan memiliki peranan penting dalam memberikan kewenangan
hak asuh pada seseorang.
Secara terminologi penulis belum menemukan definisi yang rigid dari para ahli
hukum Islam klasik. Meski demikian berdasarkan hasil analilisis penulis terhadap beberapa
literature kontemporer dapat dinyatakan bahwa at-tafrîq al-qadhâ ’i adalah putusnya hubungan
pernikahan melalui putusan hakim atas dasar gugatan seorang istri. 12 Dalam redaksi yang lain
Az-Zarqani menyebutkan bahwa at-tafrîq adalah putusnya hubungan pernikahan melalui putusan
hakim atas dasar permohonan salah satu pihak (suami atau istri). Sedangkan bila didasarkan pada
literature-literatur kontemporer, at-tafrî q Al-qadhâ ’i adalah “pemutusan ikatan pernikahan
antara suami istri melalui putusan hakim yang didasarkan atas permintaan salah satu pihak
karena sebab seperti syiqaq, dharar, tidak adanya nafkah, atau pun tanpa adanya permohonan
10
Abu Habib, 1988, p. 283
11
Opcit 283
12
Ibnu Abidin, 1994, vol. 4, p. 186
dari salah satu pihak namun dilaksanakan dalam rangka menjaga hak- hak syara’ seperti
bilamana salah satu pihak keluar dari agama (murtad) 13
Wahbah Az-suhaili dan As-Sayid Sabiq mengkategorikan keadaan-keadaan
dimana Pengadilan berwenang untuk memutus tali pernikahan (tafrî q ) antara lain sebagai
berikut; (1) ketika suami tidak menafkahi istri (‘adam an-nafaqah), (2) karena adanya aib/cela
(‘aib aw ilal) (3) karena perselisihan dan mudharat (as-syiqâ q aw ad-dharar) (4) Karena
ketiadaan suami tanpa uzur (ghoibat ar-zauj bilâ ‘udzr), dan (5) karena suami dihukum dengan
hukuman penjara (habs).
13
Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, 1995, vol. 29, p. 6.
berinteraksi, suami dan istri akan merasakan hambatan hingga menyebabkan salah satu pihak
baik suami atau pun isteri tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Perkara hak dan kewajiban
ini sungguh banyak menimbulkan masalah ditengah-tengah rumah tangga, antara lain disebabkan
Suami tidak mampu memberi nafkah lahir kepada isterinya,seperti kebutuhan sehari-hari,
pakaian dan sebagainya. Isteri yang tidak tabah menghdapinya serta tidak mau memikirkan
kekurangan ekonomi, akhirnya menimbulakan pertengkaran. Ataupun Suami mempunyai
penyakit tidak sanggup bergaul dengan isterinya secara normal atau impoten. Dalam hal ini isteri
yang tidak senang dengan keadaan suaminnya itu atau isteri yang tidak mampu mengendalikan
daya seksnya timbulah krisis, karena menyalurkan begitu saja tanpa proses perkawinan terlarang
keras dalam ajaran agama Islam.
Berdasarkan hal tersebut, jumhur ulama berpendapat bahwa kecacatan pada salah
satu pihak dapat dijadikan alasan untuk menuntut perceraian. Bahkan mayoritas ulama selain
madzhab Hanafi menyatakan bahwa masing-masing suami-istri berhak untuk menuntut cerai
dalam bentuk fasakh bilamana ternyata pasangannya mengidap salah satu penyakit tersebut. Hal
tersebut berdasarkan argumentasi bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama
berperasaan tidak sabar bergaul dengan pasangannnya yang mengidap salah satu penyakit
tersebut.
PEMBAHASAN
A. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ’i pada perkara
Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
Penjelasan Kasus :
Bahwa pada mulanya rumah tangga Penggugat dan Tergugat adalah rukun dan
harmonis selama lebih 14 tahun dan telah dikaruniai 2 orang anak, namun sejak
bulan Juni 2014 mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan
karena Tergugat tidak dapat lagi memberikan nafkah kepada Penggugat karena
Tergugat dalam keadaan sakit, Tergugat memiliki sifat cemburuan yang
berlebihan dengan menuduh penggugat selingkuh dengan laki-laki lain tanpa ada
bukti;
Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah tempat tinggal sejak bulan Mei 2018
atau selama 4 bulan, Penggugat pergi meninggalkan Tergugat di tempat kediaman
bersama, dan sejak itu Tergugat tidak pernah mengirim nafkah kepada Penggugat
serta tidak saling memperdulikan lagi;
Bahwa pihak keluarga Penggugat tidak ada yang pernah berusaha merukunkan
Penggugat dan Tergugat karena Penggugat sendiri yang tidak mau kembali rukun
dengan Tergugat;
Putusan dan pertimbangan hakim dalam perkara cerai gugat, tampak jelas bahwa
hakim sebenarnya tidak menekankan pada sebab-sebab gugat cerai pihak
Penggugat karena Tergugat memiliki sifat cemburua dan sebab-sebab lainnya
seperti yang didalilkan oleh penggugat dalam surat gugatannya. Dilihat dari sisi
fiqh, pertimbangan hakim tersebut telah sesuai dalam menjalankan fungsinya
sebagai pihak qadhi15. Dalam hal ini sudah dilakukan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima
tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak
14
Sugeng Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen litigasi Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h.211
15
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), h.20
beralasan.16 Tinjauan fiqh terhadap putusan dan pertimabangan hakim dalam
perkara cerai gugat, Dalam konteks cerai gugat, Ibn Qudamah menyebutkan
kebolehan seorang wanita mencerai gugat suami ketika ia tidak bisa menjalankan
hukum-hukum Allah. Dalam perspektif fiqh, yang mendahului terjadi perceraian
biasanya karena ada pertengkaran secara terus menerus antara suami dan isteri
atau disebut juga dengan syiqaq.
Oleh karena hubungan pernikahan antara penggugat dan tergugat tidak lagi
mendatangkan kemaslahatan bahkan melahirkan kemudharatan dan suami tidak
memiliki itikad baik kepada istrinya . Dan bila ditelisik, teryata sebab-sebab
adanya kewenangan tersebut seperti suami tidak menafkahi istri (‘adam an-
nafaqah), karena perselisihan dan mudharat (as-syiqâq aw ad-dharar), ketiadaan
suami tanpa uzur (ghoibat ar-zauj bilâ ‘udzr), seakan menunjukkan bahwa adanya
kewenangan tersebut sebagai wujud penjagaan (himâyah) terhadap hak-hak isteri.
16
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), h.81
Penggugat mengajukan gugatan di pengadilan agama Surakarta, setelah perkara
didaftarkan di pengadilan dan sudah dicek kelengkapan data dan melihat apakah
perkara no. 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska merupakan kekuasaan absolut dari
pengadilan agama Surakarta. Barulah penunjukan majelis hakim dan menetapkan
hari sidang.
Hari sidang
Selain memeriksa gugatan perceraian tersebut, hakim juga menasehati penggugat
agar berfikir untuk tidak bercerai dengan tergugat, tetapi penggugat tetap pada
dalil-dalil gugatannya untuk bercerai dengan tergugat. Bahwa ternyata Tergugat,
meskipun dipanggil secara resmi dan patut, tidak datang menghadap di muka
sidang dan pula tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan suatu
halangan yang sah;
Bahwa Tergugat yang dipanggil secara resmi dan patut akan tetapi tidak datang
menghadap harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan tersebut harus diperiksa
secara verstek; Bahwa oleh karena itu, maka putusan atas perkara ini dapat
dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek); Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal
149 ayat (1) R.Bg. yaitu putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat dapat
dikabulkan sepanjang berdasarkan hukum.
Tahap pembuktian
Majelis hakim membebani Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatan;
Bahwa bukti Penggugat, yang merupakan akta otentik dan telah bermeterai cukup
dan cocok dengan aslinya, isi bukti tersebut menjelaskan mengenai antara
Penggugat dengan Tergugat adalah terikat suatu perkawinan yang sah, sehingga
bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan materiil, serta mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat;
Bahwa saksi kesatu Penggugat yang merupakan tante sepupu Penggugat, sudah
dewasa dan sudah disumpah sehingga memenuhi syarat formal sebagaimana
diatur dalam Pasal 172 ayat 1 angka 4 R.Bg.; Bahwa keterangan saksi kesatu
Penggugat mengenai fakta yang dilihat sendiri, dan didengar serta diketahui
sendiri bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran karena Tergugat tidak dapat lagi memberikan nafkah kepada
Penggugat karena Tergugat dalam keadaan sakit, oleh karena itu keterangan saksi
tersebut relevan dengan dalil yang harus dibuktikan oleh Penggugat, dengan
demikian keterangan saksi tersebut telah memenuhi syarat materiil sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 308 R.Bg. sehingga keterangan saksi tersebut memiliki
kekuatan pembuktian dan dapat diterima sebagai alat bukti:
Bahwa saksi kedua Penggugat vang merupakan sepupu satu kali Penggugat.
sudah dewasa dan sudah disumpah, sehingga memenuhi syarat formal
sebagaimana diatur dalam Pasal 172 ayat 1 angka 4 R.Bg.:
Bahwa keterangan saksi kedua Penggugat mengenai fakta yang didengar sendiri
dan diketahui dari Penggugat sendiri bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering
terjadi perselisihan dan pertengkaran karena Tergugat memiliki sifat cemburuan
yang berlebihan, Tergugat selalu mencurigai Penggugat pergi dengan laki-laki
lain meskipun Penggugat hanya pergi membeli barang dagangan dan itupun hanya
menggunakan motor dan membonceng barang dagangannya tersebut, oleh karena
itu keterangan saksi tersebut relevan dengan dalil yang harus dibuktikan oleh
Penggugat, dengan demikian keterangan saksi tersebut telah memenuhi syarat
materiil sebagaimana telah diatur dalam Pasal 308 R.Bg. sehingga keterangan
saksi tersebut memiliki kekuatan pembuktian dan dapat diterima sebagai alat
bukti;
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka majelis
hakim berpendapat bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat dinyatakan terbukti
menurut hukum, oleh karena itu gugatan Penggugat dapat dikabulkan;
Bahwa karena perkara a quo ini masuk bidang perkawinan, maka berdasarkan
Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 scbagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan
Undang- undang Nomor 50 Tahun 2009, biaya perkara harus dibebankan kepada
Penggugat; Memperhatikan ketentuan pasal-pasal peraturan perundang-undangan
lain yang berlaku dan berkaitan dengan perkara ini.
Maka Majelis Hakim memutuskan perkara cerai gugat yang disebabkan oleh
suami tidak dapat memberikan nafkah karena sakit sebagai berikut:
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap di persidangan, tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat secara verstek;
3. Menjatuhkan talak satu bain shugra Tergugat terhadap Penggugat;
4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp.766.000,00 ( tujuh ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Sejalan dengan gugatan cerai ini, antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada
upaya untuk bisa dilanjutkan kembali hubungan keluarganya. Sehingga perceraian
adalah jalan terakhir yang harus di tempuh. Ketentuan tentang syiqaq dalam firman
Allah SWT. pada Q. S. An-Nisa/4: 35
َما ۗ اِن َ كان
ه َ اَ َن ي َدآص َلحا و
َ َِف َل َك ن َ ا َه َت شقَا ي
َ ِن ِهما َوا َك ن َن ف
َنَ َل
ي ق ال ِا َِر َ ًماوح ه ِل
َم ها َ هم
ِل َعث َ ًماح َ ق
َي
ال ا َب َمخ
ًَِماوا
َ َِب خ
َ ًَرا َ ي َع ِل
Terjemahan
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga
perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti,
Maha Mengenal”.
Tidak halal bagi kalian wahai para suami untuk mengambil sedikitpun dari apa yang
telah kalian berikan kepada para istri baik berupa mahar dan lainnya, kecuali bila istri
khawatir tidak bisa menunaikan hak-hak rumah tangga, saat itu keduanya
menyampaikan perkara mereka kepada para hukum-hukum diatas adalah batasan-
batasan Allah yang memisahkan antara yang halal dengan yang haram, maka
janganlah kalian melanggarnya, barang siapa yang melanggar batasan-batasan Allah.
maka mereka termasuk orang-orang yang zalim dengan menganiaya diri mereka
dengan beresiko memikul siksa Allah.17
17
Mujib Sahlih, Jihad dalam Tafsir Al-Muyassar, (Studi Kritis terhadap Penafsiran ‘Aidh al Qarni tentang
Ayat-ayat perceraian), Tesis. (Semarang: UIN Walisongo, 2015) h.213
Pertimbangan hukum yang diambil oleh Hakim untuk dijadikan dasar dalam
menetapkan perkara percerain sudah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan
Islam di Indonesia, karena memandang alasan- alasan yang disampaikan isteri
sebagai Penguat dianggap beralasan hukum sebagaimana yang terdapat dalam pasal
19 (f) PP No. 9 Tahun 1975 Jo Pasal 116 Huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dan
dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu membina rumah tangga bahagia lahir
dan batin tidak dapat diwujudkan. Penulis menilai, putusan perceraian di Pengadilan
Agama yang diajukan seorang istri disebabkan karena suami suami tidak dapat
memberikan nafkah dikarenakan sakit yaitu sesak nafas dan tidak kuat lagi jalan.
Penulis juga menilai beberapa faktor lain penyebab terjadinya perceraian menurut
Hukum Islam adalah Syiqaq, Syiqaq adalah adanya pertengkaran antara suami isteri
yang tidak mungkin didamaikan.
Sejalan dengan gugatan cerai ini, antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada
upaya untuk bisa dilanjutkan kembali hubungan keluargannya. Sehingga perceraian
adalah jalan terakhir yang harus ditempuh.
Ketentuan tentang syiqaq dalam firman Allah pada Q.S An-Nisa/4: 35.
4.An-Nisā : 35
Dan jika kamu takut terjadi perselisihan di antara keduanya, kirimkanlah seorang
hakam dari kaumnya dan seorang hakam dari kaumnya. Jika keduanya menginginkan
perdamaian, maka Allah akan menyebabkannya di antara mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal [segala sesuatu].
18
Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab bi Syarh Manhaj al-Tullah, (Syarah: al-Zahabi al- Syafi'i), Juz 2,
(Bairut: Dar al- Kutb al-llmiyyah, 1998), h. 111
Artinya :"Apabila telah memuncak ketidak senangan seorang isteri kepada suaminya
maka hakim (boleh) menceraikan suami isteri itu dengan talak satu". 19
Dua pendapat hukum diatas sangat relevan dengan keadaan Penggugat dan Tergugat
dalam kasus perkara cerai gugat tersebut. Artinya, Hakim memandang bahwa
hubungan keduanya telah memuncak sehingga Hakim merasa berwenang untuk
mengadili keduanya dengan menjatuhkan talak satu. Dalil terakhir yaitu mengacu
pada dua kaidah fiqh, masing-masing kaidah dalam konteks pengambilan hukum
melalui konsep pertimbangan dampak mudharat dan manfaat. Adapun dua kaidah
tersebut adalah sebagai berikut: "Menolak kerusakan itu didahulukan dari meraih
kemaslahatan". Kaidah ini biasa digunakan oleh Hakim dalam mengajukan
pertimbangan hukum. Kaidah tersebut memiliki dua frasa, yaitu "Menolak
kerusakan" dan "didahulukan dari meraih kemaslahatan".20
19
Abdul Manan, Penerapan Hukum Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), h. 78
20
Muhammad al-Zarga, Syarh al-Qawa 'id al-Fighiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2001). h. 205
21
M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah Pesan, 2002. Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera
Hati. Jakarta: Universitas Sumatera Utara , H 103
tidak dapat tercapai, bahkan ditemukan fakta bahwa Penggugat dan Tergugat sudah
berpisah tempat tinggal sejak bulan Mei 2018. Sehingga Majelis Hakim pun melalui
pertimbangan hukum dan pertimbangannya sebagai aparatur negara yang
menjalankan tugasnya berupaya untuk menghindarkan kemudharatan yang terjadi
akibat perselisihan dan pertengkaran terjadi terus menerus.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Putusan dan pertimbangan hakim dalam perkara cerai gugat, tampak jelas bahwa
hakim sebenarnya tidak menekankan pada sebab-sebab gugat cerai hakim tersebut
telah sesuai dalam menjalankan fungsinya sebagai pihak qadhi.
Hari sidang
Selain memeriksa gugatan perceraian tersebut, hakim juga menasehati penggugat
agar berfikir untuk tidak bercerai dengan tergugat, tetapi penggugat tetap pada
dalil-dalil gugatannya untuk bercerai dengan tergugat. Bahwa ternyata Tergugat,
meskipun dipanggil secara resmi dan patut, tidak datang menghadap di muka
sidang dan pula tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan suatu
halangan yang sah;
Tergugat yang dipanggil secara resmi dan patut akan tetapi tidak datang
menghadap harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan tersebut harus diperiksa
secara verstek; Bahwa oleh karena itu, maka putusan atas perkara ini dapat
dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek) berdasarkan ketentuan Pasal 149
ayat (1) R.Bg. yaitu putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat dapat
dikabulkan sepanjang berdasarkan hukum.
Tahap pembuktian
Majelis hakim membebani Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatan;
Bahwa bukti Penggugat, yang merupakan akta otentik dan telah bermeterai cukup
dan cocok dengan aslinya, isi bukti tersebut menjelaskan mengenai antara
Penggugat dengan Tergugat adalah terikat suatu perkawinan yang sah, sehingga
bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan materiil, serta mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat;
Saksi kesatu Penggugat yang merupakan tante sepupu Penggugat, sudah dewasa
dan sudah disumpah sehingga memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam
Pasal 172 ayat 1 angka 4 R.Bg. dan saksi kedua Penggugat yang merupakan
sepupu satu kali Penggugat. sudah dewasa dan sudah disumpah, sehingga
memenuhi syarat formal .
Sejalan dengan gugatan cerai ini, antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada
upaya untuk bisa dilanjutkan kembali hubungan keluarganya. Sehingga perceraian
adalah jalan terakhir yang harus di tempuh. Ketentuan tentang syiqaq dalam firman
Allah SWT. pada Q. S. An-Nisa/4: 35
َ َما ۗ اِن ََ كا َن
ه َص ََو َِف ل ِر
َ َ ِل
ۚ َ ََها ه ََك َ ا ََ ه
َعَث َ َك ًما ن َت شقََ ا ي
َن ِه َما ا ب واِن ف
َنََ َل
ي ََ ََ ل ق ال َد نمَنا َ ي ًماوح َ همِل َوا ح ق َ
ال حا ََ آ َمخ
َ ًَرا
َ ي
َ ًَما خ ِب
َ ي
ع ِل
Terjemahan
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga
perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti,
Maha Mengenal”.
Pertimbangan hukum yang diambil oleh Hakim untuk dijadikan dasar dalam
menetapkan perkara perceraian sudah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan
Islam di Indonesia, karena memandang alasan- alasan yang disampaikan isteri
sebagai Penguat dianggap beralasan hukum sebagaimana yang terdapat dalam pasal
19 (f) PP No. 9 Tahun 1975 Jo Pasal 116 Huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dan
dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu membina rumah tangga bahagia lahir
dan batin tidak dapat diwujudkan. Putusan perceraian di Pengadilan Agama yang
diajukan seorang istri disebabkan karena suami suami tidak dapat memberikan
nafkah dikarenakan sakit yaitu sesak nafas dan tidak kuat lagi jalan.
Sejalan dengan gugatan cerai ini, antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada
upaya untuk bisa dilanjutkan kembali hubungan keluargannya. Sehingga perceraian
adalah jalan terakhir yang harus ditempuh.
Analisis Hukum Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan
No:0112/Pdt.G/2018/PA.Surakarta Tentang cerai gugat karena suami tidak dapat
memberikan nafkah. Dalam memutuskan suatu perkara, Majelis Hakim Pengadilan
Agama Surakarta yang menangani perceraian karena suami tidak dapat memberikan
nafkah, dasar dan pertimbangan hakim dalam hal ini telah sesuai dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 379/K/AG/1995 Tanggal 26 Maret 1997
yang menyatakan bahwa “Suami isteri yang tidak berdiam serumah lagi dan tidak ada
harapan untuk tidak rukun kembali maka rumah tangga tersebut telah terbukti retak
dan pecah, sehingga tujuan disyariatkannya perkawinan sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum
Islam yaitu membina rumah tangga bahagia lahir batin tidak dapat diwujudkan.
Gugatan Penggugat telah memenuhi alasan cerai Pasal 19 huruf (f) PP. Nomor 9
Tahun 1975, masuk rumusan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 Jo. Dijelaskan pada Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yaitu " Antara suami
isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dalam persidangan tidak dijumpai adanya keinginan dari tergugat untuk hadir di
persidangan, dan tidak pula dijumpai eksepsi (tangkisan) dari tergugat terhadap
gugatan yang diajukan oleh penggugat. Sehingga Majelis Hakim berkesimpulan
bahwa perkara ini dapat dikabulkan secara verstek. Selain itu dalam memutuskan
suatu perkara Majelis Hakim juga berhak mendengarkan keterangan saksi-saksi
dipersidangan, dan keterangan kedua saksi yang dihubungkan dengan dalil-dalil
gugatan ditemukan fakta bahwa Penggugat dan Tergugat tidak rukun kembali sebagai
suami istri. Dan Majelis Hakim juga merujuk pendapat Zakariyya al-Ansari dalam
Kitab Manhaj Al-Thullab, Juz VI, Halaman 346 yang menyebutkan bahwa seorang
Hakim boleh menceraikan suami isteri dengan talak satu ketika antara keduanya
terjadi perselisihan yang memuncak.22
وان اشتد عدم رغبة زوجة لزوجها طلق عليه القاضي طلقة
Artinya :"Apabila telah memuncak ketidak senangan seorang isteri kepada suaminya
maka hakim (boleh) menceraikan suami isteri itu dengan talak satu".
Saran
22
Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab bi Syarh Manhaj al-Tullah, (Syarah: al-Zahabi al- Syafi'i), Juz 2,
(Bairut: Dar al- Kutb al-llmiyyah, 1998), h. 111
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdul Manan, Penerapan Hukum Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. 2005 ,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Abu Abdullah Muhammad ibn Ya zid Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Baitul Afkar
Al- Dauliyyah. 2004 , Jordan.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia. 1995 Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet, I.
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. 1992: Jakarta: PT.
Bulan Bintang.
Sugeng Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen litigasi Perkara Perdata. 2009 :
Jakarta: Sinar Grafika.
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia.2001 , Jakarta : Gana Media Pratama.
Mujib Sahlih, Jihad dalam Tafsir Al-Muyassar, (Studi Kritis terhadap Penafsiran ‘Aidh
al Qarni tentang Ayat-ayat perceraian), Tesis. (Semarang: UIN Walisongo, 2015)
Undang-Undang :
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 116 huruf (f) KHI
Pasal 3 tentang KHI