Anda di halaman 1dari 36

Materi Hukum Acara Peradilan Agama

“PROSES PENYELESAIAN PERKARA


AT-TAFRIQ AL-QADHA’I
DALAM PERKARA NOMOR.
0112/Pdt.G/2018/PA.Surakarta “

OLEH : KELOMPOK 4

Amanda Syahputri Balqis (201011113)

Fauzan Akhiyar ( 2010111144)

Salsabila (2010111084)

DOSEN PENGAMPU: MISNARSYAM S.H., MH

Fakultas Hukum

Universitas Andalas

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga kelompok 4 bisa menyelesaikan makalah dengan tepat waktu. Makalah yang

berjudul “Proses Penyelesaian Perkara At-tafriq Al-Qadha’i Dalam Perkara No.

0112/Pdt.G/2018/PA.Surakarta”.

Makalah ini merupakan tugas kelompok mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama

Kelas 2.7, program studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum di Universitas Andalas, Padang.

Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Misnarsyam S.H., MH selaku

dosen pengampu mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama, yang telah memberikan

bimbingan serta arahan dalam penulisan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan memiliki

berbagai kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan

saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut. Dan kami berharap

semoga makalah “Proses Penyelesaian Perkara At-tafriq Al-Qadha’i Dalam Perkara No.

0112/Pdt.G/2018/PA.Surakarta” yang telah disusun ini dapat memberikan manfaat bagi

pembacanya.

Padang, 16 April 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................... ....................................................................................................1

DAFTAR ISI ..................................... ....................................................................................................2

BAB I ................................................. ....................................................................................................3

PENDAHULUAN ............................. ....................................................................................................3

A. LATAR BELAKANG.......... ....................................................................................................3


B. RUMUSAN MASALAH...... ....................................................................................................6
C. TUJUAN PENULISAN ....... ....................................................................................................6
D. METODE PENELITIAN .... ....................................................................................................6

BAB II ............................................... ....................................................................................................8

TINJAUAN PUSTAKA.................... ....................................................................................................8

BAB III .............................................. ....................................................................................................16

PEMBAHASAN................................ ....................................................................................................16

A. FAKTOR PENYEBAB AT-TAFRIQ AL-QADHA’I PADA PERKARA NO.


0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
............................................... ....................................................................................................16
B. PROSES PENYELESAIAN AT-TAFRIQ AL-QADHA’I PADA PERKARA NO.
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
............................................... ......................................................................................................17
C. AKIBAT HUKUM TERJADINYA AT-TAFRIQ AL-QADHA’I PADA PERKARA NO.
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska ... ..............................................................................................21
D. ANALISIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM PADA PERKARA NO.
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska ..................................................................................................22

BAB VI .............................................. ....................................................................................................28

PENUTUP ......................................... ....................................................................................................28

A. KESIMPULAN .................... ....................................................................................................28


B. SARAN ................................. ....................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA........................ ....................................................................................................34


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaturan hukum perkawinan tidak berhenti pada Undang-Undang No. 1 Tahun


1974 tentang perkawinan, tetapi persoalan perkawinan diatur juga pada Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Persoalan perkawinan yang ada pada KHI ini lebih kepada
pegangan para hakim di lingkungan Pengadilan Agama.1

Tujuan mulia pernikahan adalah untuk meningkatkan diri dan ketakwaan kepada
Allah SWT. Menikah berarti kita bisa mengendalikan keinginan kita dan tidak
mengambil langkah yang salah. Dan setiap interaksi antara suami istri, untuk
menghindari kemaksiatan, adalah untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. memang
perintah itu Sebuah ikatan kemuliaan dan berkat. Allah SWT ditetapkan untuk
kemaslahatan umat dan kemaslahatan umat manusia agar dapat tercapai Kebaikan dan
niat baik.

Ikatan perkawinan seperti halnya disebutkan dalam KHI yang menyebutkan


bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawadah, dan rahmah”.2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berbunyi “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Perceraian dalam istilah Ahli Fiqih disebut talak atau Furqah. Talak berarti
membuka ikatan atau membatalakan perjanjian, Furqah berarti bercerai, yang merupakan

1
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, Gana Media Pratama, Jakarta, 2001, hlm, 144-146.
2
Impres Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI Pasal 3
3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1
lawan dari berkumpul. Kemudian kedua dari perikatan ini dijadikan istilah oleh para Ahli
Fiqih yang berarti perceraian antara suami istri. 4

Perceraian atau talak dalam hukum Islam pada prinsipnya diperbolehkan tetapi
dibenci oleh Allah, tetapi perceraian adalah solusi terakhir yang tersedia. Ketika
kehidupan keluarga tidak dapat dipertahankan. Islam menunjukkan agar sebelum terjadi
perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan
perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh. 5 Sejalan juga dengan prinsip
perkawinan bahwa perceraian harus di persulit, ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW
yang menyatakan bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling
dibenci oleh Allah, sebagaimana bunyi hadist berikut ini:
“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai”.( Riwayat Abu Dawud
dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits
mursal).6

Umumnya di Indonesia, alasan perceraian adalah ketidakcocokan, faktor


keuangan, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan dan bahkan poligami dibawah
tangan. Diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah (PP) No. 1975 jo Kompilasi Hukum
Islam Tentang alasan perceraian menurut hukum Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum
Islam Bab XVI Pasal 113 dan Bab VIII Pasal 38 UU No. 1/1974 perkawinan dapat putus
karena tiga hal, yaitu: kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.

Perceraian merupakan hal yang sangat menakutkan bagi setiap keluarga (suami,
istri dan anak), alasan perceraian bisa jadi berbagai, termasuk ketidakmampuan untuk
berkomunikasi dan karena itu Menyebabkan pertengkaran, perselingkuhan, kekerasan
dalam rumah tangga, masalah keuangan, pernikahan dini, perubahan budaya, dll. Setelah
Perceraian, Beberapa Penyesuaian Harus Dilakukan oleh kedua belah pihak (mantan

4
Muhammad Syaifudin,Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, hukum perceraian,Sinar
Grafika,Jakarta,2014,hal 16-17.
5
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet, I, 1995, hlm. 268
6
Abu Abdullah Muhammad ibn Ya zid Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Jordan: Baitul Afkar Al-
Dauliyyah, 2004), h. 219
suami dan mantan istri) menuju kehidupan baru mereka. Terutama masalah keuangan,
apalagi pernikahan mereka sudah dikaruniai anak.

Dalam hal terjadinya perceraian, haruslah memenuhi beberapa alasan sehingga


perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2 undang undang
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: "untuk melakukan perceraian harus
cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami
isteri", Berbeda halnya dengan fiqh (Hukum Islam), cerai gugat dalam istilah fiqh disebut
Syiqaq. Dimana yang berarti pengajuan cerai oleh isteri tanpa adanya kompensasi yang
diberikan isteri kepada suami dan dapat diajukan apabila:
1) Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut.
2) Suami meninggalkan isterinya selama enam tahun berturut-turut tanpa ada kabar
berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya)
3) Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad
nikah, baik sebagian maupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan istri)
4) Alasan perlakuan buruk oleh sipenganiayaan, pengkhianatan, dan tindakan-
tindakan lain yang membahayakan keselamatan jiwa yang disebut dengan syiqaq
(pertengkaran terus-menerus)

Diantara sebab terputusnya tali pernikahan adalah dikarenakan talak yang


merupakan hak perogratif suami. Namun dalam beberapa kondisi, ternyata talak tidak
kunjung dijatuhkan oleh suami meski hubungan pernikahan telah hilang kemaslahatannya
bahkan membawa kepada kemudharatan. At-tafrîq al-qadhâ’i yang merupakan jalan
keluar dari kesewenangan suami dimana Hakim diberi kewenangan untuk memutuskan
hubungan pernikahan tersebut meski tanpa adanya kerelaan dari pihak suami. Dari
makalah ini dapat dinyatakan bahwa Peradilan berwenang untuk memutus tali pernikahan
melalui at-tafriq al-qadha’i dalam keadaan tertentu dalam rangka melindungi hak-hak
istri. Bahwa kewenangan tersebut selain sah secara hukum negara ia juga memiliki
legitimasinya sendiri yang diatur dalam fikih.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka pada makalah ini akan dibahas mengenai
proses penyelesaian perkara qadha’ dalam perkara Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska.
B. Rumusan Masalah

1) Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ ’i pada perkara
Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
2) Bagaimana proses penyelesaian perkara At-Tafrîq Al-Qadhâ ’i dalam perkara Nomor:
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
3) Bagaimana Akibat Hukum terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ’i dalam perkara Nomor:
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
4) Bagaimana analisis putusan majelis hakim dalam perkara Nomor:
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?

C. Tujuan Penulisan

1) Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ ’i dalam perkara


Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
2) Untuk mengetahui proses penyelesaian perkara At-Tafrîq Al-Qadhâ ’i dalam perkara
Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
3) Untuk mengetahui Akibat Hukum Terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ ’i dalam perkara
Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?
4) Untuk mengetahui analisis putusan majelis hakim dalam perkara Nomor:
0112/Pdt.G/2018/PA.Ska?

D. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (library research),


yaitu penelitan yang menekankan sumber informasi dari buku-buku hukum, jurnal,
makalah, surat kabar dan menelaah dari berbagai macam literature-literatur yang
mendapat hubungan relvan dengan permasalahan yang diteliti (Kautun, 2000, p.38).
Sedangkan bila dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian hukum
yuridis normatif. Adapun bentuk penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (Soekanto, 1985, p. 15).
Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitik yaitu dengan
cara menganalisa data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut, kemudian
diperoleh kesimpulan (Muhammad, 2004, p. 126).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan

Pengertian Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan, pada pasal 1, yaitu: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian Perkawinan menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 1, yaitu Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah ALLAH dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita
yang dikukuhkan secara formal dengan Undang-Undang, yaitu yuridis dan kebanyakan juga
religius menurut tujuan suami istri dan Undang-Undang, dan dilakukan untuk selama
hidupnya menurut lembaga perkawinan7. Dalam KUH Perdata, pengertian perkawinan tidak
dengan tegas diatur ketentuannya seperti Pasal 26 yang memandang perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata dan Pasal 27 bahwa perkawinan menganut prinsip monogami.
Pasal 103 menyatakan bahwa suami dan isteri harus saling setia, tolong menolong
dan bantu membantu. Meskipun tidak dijumpai sebuah definisi tentang perkawinan, ilmu
hukum berusaha membuat definisi perkawinan sebagai ikatan antara seorang pria dan
seorang wanita yang diakui sah oleh perundang-undangan negara dan bertujuan untuk
membentuk keluarga yang kekal abadi8.

B. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama islam untuk memenuhi petunjuk agama dalam
rangka mendirikan keluarga yang harmonis, bahagia, sejahtera. Harmonis dalam
menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan

7
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Presentasi Pustaka, Jakarta,
2006, hlm. 106
8
Neng Yani Nurhayani, Hukum Perdata, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 132.
lahir batin yang disebabkan terpenuhi kebutuhan hidup lahir batinnya, sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni kasih saying antar anggota keluarganya.

C. Putusnya Perkawinan

Perceraian sebaiknya dihindari karena merupakan hal yang dibenci Allah


SWT.Sabda Rasulullah SAW dalam hadits-nya juga menguatkan hal tersebut. Hadits tersebut
berbunyi : “Demi Allah, diantara perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah Thalaq
dan Allah menjatuhkan laknatnya kepada laki-laki dan perempuan yang banyak
mempergunakan jalan perceraian guna memenuhi nafsu birahinya. 9
Perselisihan-perselisihan yang terjadi sedapat mungkin diselesaikan secara baik-
baik.Perselisihan yang menjurus kearah perceraian harus dihindari karena pada prinsipnya
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menganut ketentuan mempersulit terjadinya
perceraian. Kalaupun terjadi perceraian, hal tersebut merupakan jalan akhir yang akan di
tempuh apabila memang perkawinan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi.
Putusnya perkawinan tidak hanya adanya perubahan hak dan kewajiban terhadap
suami isteri, Tetapi juga tanggung jawab orang tua terhadap anak.Tanggung jawab orang tua
terhadap anak akibat perceraian adalah lebih mengutamakan kepentingan si anak yaitu
diantaranya anak berhak atas pemeliharaan, pendidikan, dan biaya-biaya kehidupan secara
keseluruhan dari orang tuanya. Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan : “Dalam hal terjadi perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri”.
Mengenai pihak mana yang memiliki tanggung jawab terhadap hak asuh anak,
Pasal 41 huru a UU 1/ 1974 Berdasarkan pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa, baik ibu
atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata- 4 mata
berdasarkan kepentingan anak. Jika terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
maka diselesaikan melalui putusan Pengadilan. Dalam hal ini pertanyaannya siapakah yang
lebih berhak apakah seorang bapak atau ibu belum dijelaskan karena, jika mendasarkan pada

9
1 Zainudin Ali, 2. Hukum Perdata Islam. Jakarta : Sinar Grafika,2007, hlm.102.
Pasal 41 huruf a maka, pengadilan memiliki peranan penting dalam memberikan kewenangan
hak asuh pada seseorang.

D. Pengertian At-Tafrîq Al-Qadhâ’I

At-tafrîq Al-qadhâ ’i secara etimologis merupakan murakkab washfi yang


terbentuk dari dua kata dimana salah satunya merupakan kata sifat (adjectiva) dan lainnya
merupakan isim (nomina) yang disifati. Dalam hal ini penulis, mencoba mengartikan kata
perkata sebelum nantinya penulis paparkan makna dari at-Tafrîq Al-Qadhâ ’i secara definitif.
At-Tafrîq secara etimologi merupakan bentuk mashdar (kata dasar) dari “farraqa”
(past tense) yang berarti memisahkan. Dalam kosakata bahasa Arab kata at-Tafrîq memiliki
beberapa istilah yang hamper serupa yakni at-tajzi’ah atau al-qismah yang berarti pembagian, at-
tamyiz yang berarti pemisahan, at-tabaddud yang berarti terpisah, dan al-fashlu yang berarti
pemisahan10. Istilah lain sebagaimana dinarasikan oleh Sayid Sabiq yakni at-tathlî yang berarti
menceraikan dan dalam beberapa literature digunakan istilah al-firqah. Sedangkan al- qadha
secara etimologi pun berasal dari kosakata bahasa Arab yang merupakan mashdar dari kata
qadhâ yang berarti al-qath’u atau memutuskan, al-fashlu yakni memisahkan dan dapat juga
bermakna al-hukmu atau hukum.11

Secara terminologi penulis belum menemukan definisi yang rigid dari para ahli
hukum Islam klasik. Meski demikian berdasarkan hasil analilisis penulis terhadap beberapa
literature kontemporer dapat dinyatakan bahwa at-tafrîq al-qadhâ ’i adalah putusnya hubungan
pernikahan melalui putusan hakim atas dasar gugatan seorang istri. 12 Dalam redaksi yang lain
Az-Zarqani menyebutkan bahwa at-tafrîq adalah putusnya hubungan pernikahan melalui putusan
hakim atas dasar permohonan salah satu pihak (suami atau istri). Sedangkan bila didasarkan pada
literature-literatur kontemporer, at-tafrî q Al-qadhâ ’i adalah “pemutusan ikatan pernikahan
antara suami istri melalui putusan hakim yang didasarkan atas permintaan salah satu pihak
karena sebab seperti syiqaq, dharar, tidak adanya nafkah, atau pun tanpa adanya permohonan

10
Abu Habib, 1988, p. 283
11
Opcit 283
12
Ibnu Abidin, 1994, vol. 4, p. 186
dari salah satu pihak namun dilaksanakan dalam rangka menjaga hak- hak syara’ seperti
bilamana salah satu pihak keluar dari agama (murtad) 13
Wahbah Az-suhaili dan As-Sayid Sabiq mengkategorikan keadaan-keadaan
dimana Pengadilan berwenang untuk memutus tali pernikahan (tafrî q ) antara lain sebagai
berikut; (1) ketika suami tidak menafkahi istri (‘adam an-nafaqah), (2) karena adanya aib/cela
(‘aib aw ilal) (3) karena perselisihan dan mudharat (as-syiqâ q aw ad-dharar) (4) Karena
ketiadaan suami tanpa uzur (ghoibat ar-zauj bilâ ‘udzr), dan (5) karena suami dihukum dengan
hukuman penjara (habs).

Tafrîq karena Ketiadaan Nafkah Suami (‘Adam An-Nafaqah)


Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad menyatakan bahwa diperbolehkan
tafriq (memutus perceraian) oleh hakim atas permintaan istri bila suami tidak lagi menafkahinya,
dan nyatanya suami tidak sama sekali memiliki harta untuk menunaikan kewajibannya tersebut.
Pendapat ini berlandaskan atas Firman Allah SWT QS Al-Baqarah ayat 229 yang
menyatakan: “maka tahanlah (peliharalah) ia dengan cara yang baik atau ceraikanlah ia dengan
cara yang baik pula”. Dalam ayat lainnya Allah berfirman “dan janganlah kamu menahannya
untuk suatu kemudharatan sehingga engkau menganiayanya” (QS Al-Baqarah ayat 231). Terkait
ayat tersebut para faqih berpendapat bahwa tiada kemuadharatan yang lebih berbahaya daripada
tidak diberikannya nafkah bagi seorang istri. Bahwa diantara asas yang prinsipil dalam hukum
islam adalah asas la dharar wala dhirâr atau larangan membahayakan diri atau pun orang lain.
Argumentasi lainnya berdasarkan suatu riwayat dari Abu Zinad yang
menyatakan : “Aku bertanya kepada Said Ibn Al-Musayyib tentang suami yang tidak punya apa-
apa untuk menafkahi istrinya, apakah keduanya dapat diceraikan? Berkata Said Ibn Al -
Musayyib: Ya. Lantas aku bertanya lagi: Apakah itu sunnah? Lalu ia menjawab: Ya, sunnah
(yakni sunnah Rasulullah SAW)”.

Tafrî q Karena Aib/Cela (‘Ilal)


Cacat badan atau peyakit yang bersifat fisik atau pun mental merupakan salah satu
hal yang menghambat keharmonisan rumah tangga. Hal demikian dikarenakan dalam

13
Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, 1995, vol. 29, p. 6.
berinteraksi, suami dan istri akan merasakan hambatan hingga menyebabkan salah satu pihak
baik suami atau pun isteri tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Perkara hak dan kewajiban
ini sungguh banyak menimbulkan masalah ditengah-tengah rumah tangga, antara lain disebabkan
Suami tidak mampu memberi nafkah lahir kepada isterinya,seperti kebutuhan sehari-hari,
pakaian dan sebagainya. Isteri yang tidak tabah menghdapinya serta tidak mau memikirkan
kekurangan ekonomi, akhirnya menimbulakan pertengkaran. Ataupun Suami mempunyai
penyakit tidak sanggup bergaul dengan isterinya secara normal atau impoten. Dalam hal ini isteri
yang tidak senang dengan keadaan suaminnya itu atau isteri yang tidak mampu mengendalikan
daya seksnya timbulah krisis, karena menyalurkan begitu saja tanpa proses perkawinan terlarang
keras dalam ajaran agama Islam.
Berdasarkan hal tersebut, jumhur ulama berpendapat bahwa kecacatan pada salah
satu pihak dapat dijadikan alasan untuk menuntut perceraian. Bahkan mayoritas ulama selain
madzhab Hanafi menyatakan bahwa masing-masing suami-istri berhak untuk menuntut cerai
dalam bentuk fasakh bilamana ternyata pasangannya mengidap salah satu penyakit tersebut. Hal
tersebut berdasarkan argumentasi bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama
berperasaan tidak sabar bergaul dengan pasangannnya yang mengidap salah satu penyakit
tersebut.

Tafrîq Karena Syiqaq Atau Dharar


Diperbolehkan bahkan dianjurkan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai
kepada hakim bilamana didalam pernikahannya terdapat hal-hal yang membahayakan sehingga
hubungan keduanya tidak dapat lagi diupayakan sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik. Hal-
hal demikian bisa jadi disebabkan adanya (KDRT), sifat penghinaan/caci maki dari pihak suami,
serta tindakan-tindakan aniaya lainnya yang bersifat tidak layak, termasuk paksaan dari pihak
suami agar istri melakukan perbuatan munkar.
Berangkat dari hal tersebut, bilamana seorang istri mengajukan gugatan cerai
kepada Pengadilan, dan ia mampu membuktikan adanya bahaya (dharar) dalam hubungan
pernikahannya, maka hakim berwenang menjatuhkan talak bagi istri tersebut. Dalam hal ini
tafriq yang dilakukan karena syiqaq adalah talak bain dan merupakan talak satu sebagaimana
dinyatakan kalangan Malikiyah.
Tafrîq Karena Ketiadaan Suami (Ghoibat Az-Zauj)
Diperbolehkannya Tafrîq sebab ketiadaan suami merupakan pendapat madzhab
Maliki dan Hambali. Seorang istri dapat meminta hakim untuk menjatuhkan talak disebabkan
ketiadaan suaminya meski pun ia memiliki harta untuk dibelanjakan. Namun ada beberapa syarat
yang harus terpenuhi yakni: (1) ketiadaan suami bukan dikarenakan adanya uzur yang dapat
diterima, (2) istri merasa terancam bahaya (dharar) dengan ketiadaan suaminya, (3) ketiadaan
suaminya karena ia berada di luar daerah tempat istri berada, dan (4) hendaknya telah lampau
waktu 1 (satu) tahun semenjak istri merasakan ancaman bahaya (dharar). Bilamana ketiadaan
suami disebabkan karena adanya uzur seperti menuntut ilmu, urusan perdagangan, atau pun tugas
di luar negeri dan sebagainya, maka tidak dibenarkan tafriq.
Para faqih selanjutnya berbeda pendapat menganai berapa lama jangka waktu
ketiadaan suami sehingga hakim dapat memutus perceraian (Tafrîq ). Para fuqaha Malikiyah
dalam pendapat yang muktamad menyatakan batas maksimal ketiadaan suami baik dikarenakan
uzur syar’i atau pun tidak adalah 1 (satu) tahun atau lebih, dan dalam salah satu pendapat
madzhab dinyatakan batas maksimalnya adalah 3 (tiga) tahun. Selanjutnya hakim dapat langsung
memutus perceraian bila istri mengajukan gugatan cerai sedangkan keberadaan suami tidak
diketahui (majhul). Namun bila keberadaan suami diketahui, hendaknya hakim mengirimkan
surat yang berisi peringatan untuk kembali, atau mengirimkan nafkah kepada istri, atau bahkan
menceraikannya dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan. Dan bilamana surat tersebut
diabaikan oleh suami, maka hakim dapat memutuskan perceraian atas kedua pasangan tersebut.
Dalam hal ini talak yang dijatuhkan oleh hakim merupakan talak ba’in dan bahwasanya setiap
Tafrîq yang dilaksanakan oleh hakim menjadi talak ba’in kecuali tafrîq disebabkan ilâ ’ dan tidak
adanya nafkah suami.

Tafrîq Karena Ditahannya Suami (Habs)


Sebagaimana penulis singgung pada pembahasan sebelumnya bahwa diantara
sebab diperbolehkannya hakim memutus perceraian yakni bilamana suami menjalankan
hukuman penahanan (habs) atas dirinya. Hal demikian meski bukan merupakan pendapat
mayoritas fuqaha, namun ia merupakan ijtihad dari pada para faqih madzhab Maliki.
Adapun tentang jenis talak yang dijatuhkan, para ulama berbeda pendapat.
Kalangan Hanabilah menyatakan bahwa firqah karena ketiadaan suami merupakan fasakh.
Berbeda dengan madzhab Maliki dalam pendapat yang rajih, menyatakan bahwa talak yang
dijatuhkan hakim merupakan talak bain Tafrîq Karena Ditahannya Suami (Habs)
Sebagaimana penulis singgung pada pembahasan sebelumnyabahwa diantara sebab
diperbolehkannya hakim memutus perceraian yakni bilamana suami menjalankan hukuman
penahanan (habs) atas dirinya. Hal demikian meski bukan merupakan pendapat mayoritas
fuqaha, namun ia merupakan ijtihad dari pada para faqih madzhab Maliki.
Dalam hal ini para fuqaha Maliki menyatakan bilamana istri merasa terancam
dengan ditahannya suami, lantas ia mengadukannya kepada hakim maka hakim diperbolehkan
menjatuhkan untuk talak suami atas istri tersebut. Dalam hal ini para fuqaha menetapkan waktu
penahanan minimal (1) satu tahun. Terkait jenis firqah (putusnya pernikahan) nyaris serupa
dengan tafrqi karena ketiadaan suami. Dalam hal ini talak yang dijatuhkan oleh hakim
merupakan talak ba’in dan bahwasanya setiap Tafrîq yang dilaksanakan oleh hakim menjadi
talak ba’in kecuali tafrîq disebabkan ilâ ’ dan tidak adanya nafkah suami.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ’i pada perkara
Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
 Penjelasan Kasus :
Bahwa pada mulanya rumah tangga Penggugat dan Tergugat adalah rukun dan
harmonis selama lebih 14 tahun dan telah dikaruniai 2 orang anak, namun sejak
bulan Juni 2014 mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan
karena Tergugat tidak dapat lagi memberikan nafkah kepada Penggugat karena
Tergugat dalam keadaan sakit, Tergugat memiliki sifat cemburuan yang
berlebihan dengan menuduh penggugat selingkuh dengan laki-laki lain tanpa ada
bukti;

Bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah tempat tinggal sejak bulan Mei 2018
atau selama 4 bulan, Penggugat pergi meninggalkan Tergugat di tempat kediaman
bersama, dan sejak itu Tergugat tidak pernah mengirim nafkah kepada Penggugat
serta tidak saling memperdulikan lagi;

Bahwa pihak keluarga Penggugat tidak ada yang pernah berusaha merukunkan
Penggugat dan Tergugat karena Penggugat sendiri yang tidak mau kembali rukun
dengan Tergugat;

Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa


rumah tangga Penggugat dengan Tergugat telah pecah yang berakibat keduanya
telah berpisah tempat tinggal selama 4 bulan lebih, sehingga tujuan perkawinan
untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Vide Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)
dan atau Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah (Vide Pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam) telah tidak terwujud dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat;
Bahwa pada setiap persidangan majelis hakim telah berusaha secara maksimal
menasehati Penggugat agar tetap mempertahankan rumah tangganya, namun tidak
berhasil, karena Penggugat bersikeras untuk bercerai dengan Tergugat, sehingga
majelis hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah
tidak ada harapan lagi untuk dipertahankan.

 Faktor penyebab terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ’i pada perkara Nomor:


0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
Dalam konteks perkara tersebut, maka majelis hakim melihat hubungan
pernikahan antara Penggugat dengan tergugat tidak bisa memenuhi tuntutan
tujuan pernikahan sebagaimana ketentuan QS. Al-Rum ayat 21 tersebut.
Pertimbangan kedua yaitu Majelis Hakim mengutip salah satu riwayat hadis yaitu
sebagai berikut:
"Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari 'Amru bin Yahya Muzani
dari Bapaknya bahwa Rasulullah Shalla Allahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak
boleh membuat kemudharatan pada diri sendiri dan membuat kemudharatan pada
orang lain. (HR. Malik).14

Putusan dan pertimbangan hakim dalam perkara cerai gugat, tampak jelas bahwa
hakim sebenarnya tidak menekankan pada sebab-sebab gugat cerai pihak
Penggugat karena Tergugat memiliki sifat cemburua dan sebab-sebab lainnya
seperti yang didalilkan oleh penggugat dalam surat gugatannya. Dilihat dari sisi
fiqh, pertimbangan hakim tersebut telah sesuai dalam menjalankan fungsinya
sebagai pihak qadhi15. Dalam hal ini sudah dilakukan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima
tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak

14
Sugeng Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen litigasi Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h.211
15
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), h.20
beralasan.16 Tinjauan fiqh terhadap putusan dan pertimabangan hakim dalam
perkara cerai gugat, Dalam konteks cerai gugat, Ibn Qudamah menyebutkan
kebolehan seorang wanita mencerai gugat suami ketika ia tidak bisa menjalankan
hukum-hukum Allah. Dalam perspektif fiqh, yang mendahului terjadi perceraian
biasanya karena ada pertengkaran secara terus menerus antara suami dan isteri
atau disebut juga dengan syiqaq.

Oleh karena hubungan pernikahan antara penggugat dan tergugat tidak lagi
mendatangkan kemaslahatan bahkan melahirkan kemudharatan dan suami tidak
memiliki itikad baik kepada istrinya . Dan bila ditelisik, teryata sebab-sebab
adanya kewenangan tersebut seperti suami tidak menafkahi istri (‘adam an-
nafaqah), karena perselisihan dan mudharat (as-syiqâq aw ad-dharar), ketiadaan
suami tanpa uzur (ghoibat ar-zauj bilâ ‘udzr), seakan menunjukkan bahwa adanya
kewenangan tersebut sebagai wujud penjagaan (himâyah) terhadap hak-hak isteri.

Dan karenanya hakim dengan kewenangannya mengambil hak talak yang


sejatinya dimiliki oleh suami sesungguhnya ia sedang menjalankan perannya
yakni amar makruf nahi mungkar. Berdasarkan hal-hal tersebut maka setiap
putusan hakim wajib dilaksanakan karena sifat ilzam (mengikat) yang ada
padanya. Sifat mengikat tersebut nyatanya diakui oleh syariat sebagai At-Tafrîq
Al-Qadhâ’i , dan dikokohkan dengan kewenangan yang diberikan oleh Negara.
Oleh karenanya, siapa saja yang enggan melaksanakan putusan yang dijatuhkan
oleh hakim kepadanya sungguh ia telah berdosa secara agama, dan bersalah
secara hukum.

B. Proses penyelesaian perkara At-Tafrîq Al-Qadhâ’i pada perkara Nomor:


0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
 Para Pihak
Dalam kasus ini, yang menjadi Penggugat adalah Isteri, dan yang menjadi
tergugat adalah suami.

16
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), h.81
 Penggugat mengajukan gugatan di pengadilan agama Surakarta, setelah perkara
didaftarkan di pengadilan dan sudah dicek kelengkapan data dan melihat apakah
perkara no. 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska merupakan kekuasaan absolut dari
pengadilan agama Surakarta. Barulah penunjukan majelis hakim dan menetapkan
hari sidang.
 Hari sidang
Selain memeriksa gugatan perceraian tersebut, hakim juga menasehati penggugat
agar berfikir untuk tidak bercerai dengan tergugat, tetapi penggugat tetap pada
dalil-dalil gugatannya untuk bercerai dengan tergugat. Bahwa ternyata Tergugat,
meskipun dipanggil secara resmi dan patut, tidak datang menghadap di muka
sidang dan pula tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan suatu
halangan yang sah;
Bahwa Tergugat yang dipanggil secara resmi dan patut akan tetapi tidak datang
menghadap harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan tersebut harus diperiksa
secara verstek; Bahwa oleh karena itu, maka putusan atas perkara ini dapat
dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek); Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal
149 ayat (1) R.Bg. yaitu putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat dapat
dikabulkan sepanjang berdasarkan hukum.
 Tahap pembuktian
Majelis hakim membebani Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatan;
Bahwa bukti Penggugat, yang merupakan akta otentik dan telah bermeterai cukup
dan cocok dengan aslinya, isi bukti tersebut menjelaskan mengenai antara
Penggugat dengan Tergugat adalah terikat suatu perkawinan yang sah, sehingga
bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan materiil, serta mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat;
Bahwa saksi kesatu Penggugat yang merupakan tante sepupu Penggugat, sudah
dewasa dan sudah disumpah sehingga memenuhi syarat formal sebagaimana
diatur dalam Pasal 172 ayat 1 angka 4 R.Bg.; Bahwa keterangan saksi kesatu
Penggugat mengenai fakta yang dilihat sendiri, dan didengar serta diketahui
sendiri bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran karena Tergugat tidak dapat lagi memberikan nafkah kepada
Penggugat karena Tergugat dalam keadaan sakit, oleh karena itu keterangan saksi
tersebut relevan dengan dalil yang harus dibuktikan oleh Penggugat, dengan
demikian keterangan saksi tersebut telah memenuhi syarat materiil sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 308 R.Bg. sehingga keterangan saksi tersebut memiliki
kekuatan pembuktian dan dapat diterima sebagai alat bukti:
Bahwa saksi kedua Penggugat vang merupakan sepupu satu kali Penggugat.
sudah dewasa dan sudah disumpah, sehingga memenuhi syarat formal
sebagaimana diatur dalam Pasal 172 ayat 1 angka 4 R.Bg.:
Bahwa keterangan saksi kedua Penggugat mengenai fakta yang didengar sendiri
dan diketahui dari Penggugat sendiri bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering
terjadi perselisihan dan pertengkaran karena Tergugat memiliki sifat cemburuan
yang berlebihan, Tergugat selalu mencurigai Penggugat pergi dengan laki-laki
lain meskipun Penggugat hanya pergi membeli barang dagangan dan itupun hanya
menggunakan motor dan membonceng barang dagangannya tersebut, oleh karena
itu keterangan saksi tersebut relevan dengan dalil yang harus dibuktikan oleh
Penggugat, dengan demikian keterangan saksi tersebut telah memenuhi syarat
materiil sebagaimana telah diatur dalam Pasal 308 R.Bg. sehingga keterangan
saksi tersebut memiliki kekuatan pembuktian dan dapat diterima sebagai alat
bukti;
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka majelis
hakim berpendapat bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat dinyatakan terbukti
menurut hukum, oleh karena itu gugatan Penggugat dapat dikabulkan;
Bahwa karena perkara a quo ini masuk bidang perkawinan, maka berdasarkan
Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 scbagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan
Undang- undang Nomor 50 Tahun 2009, biaya perkara harus dibebankan kepada
Penggugat; Memperhatikan ketentuan pasal-pasal peraturan perundang-undangan
lain yang berlaku dan berkaitan dengan perkara ini.

 Keputusan Majelis Hakim


Majelis Hakim berpendapat pembuktiannya harus dilakukan dengan Ketentuan
sebab cerai gugat yang tertuang dalam Pasal 39 Ayat (2) Undang- Undang No 1
Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 atau
Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam bersesuaian dengan fakta di
persidangan, sehingga unsur materil yuridis terpenuhi. Adapun unsur formil
terpenuhi dalam hal pembuktian saksi atas fakta yang dilihat sendiri dan didengar
serta diketahui sendiri bahwa antara penggugat Tergugat sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran karena Tergugat tidak dapat lagi memberikan
nafkah kepada Penggugat karena Tergugat dalam keadaan sakit, oleh karena itu
keterangan saksi tersebut relevan dengan dalil yang harus dibuktikan oleh
Penggugat, dengan demikian keterangan saksi tersebut telah memenuhi syarat
materiil sebagaimana telah diatur dalam Pasal 308 R.Bg.

Maka Majelis Hakim memutuskan perkara cerai gugat yang disebabkan oleh
suami tidak dapat memberikan nafkah karena sakit sebagai berikut:
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap di persidangan, tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat secara verstek;
3. Menjatuhkan talak satu bain shugra Tergugat terhadap Penggugat;
4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp.766.000,00 ( tujuh ratus enam puluh enam ribu rupiah).

Adapun pembuktian Hakim dalam memeriksa perkara cerai gugat adalah


penyajian alat-alat bukti yang sah dihadapan hukum kepada hakim yang
memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa
yang dikemukakan, Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.Berkaitan
dengau putusan hakim yang didalamnya memuat bukti-bukti yang telah diajukan
oleh penggugat yaitu alat bukti Bukti Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Duampanua, No: 72/72/I1/2004 tanggal 3 Februari
2004 yang telah dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sesuai serta bermaterai.
Disamping itu penggugat juga mengajukan dua orang saksi yang telah
memberikan keterangan di bawah sumpah. Bukti pertama yaitu bukti surat berupa
fotokopi Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Duampanua,
No: 72/72/I1/2004 tanggal 3 Februari 2004 yaitu bukti yang berupa akta otentik.
Dimana akta otentik adalah surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang
atau dihadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu,
memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak. Akta otentik merupakan
alat bukti yang cukup mengikat dan sempurna, Cukup mengikat dalam arti bahwa
apa yang dicantumkan dalam akta tersebut harus dipercaya olch hakim sebagai
sesuatu yang benar. selama tidak dibuktikan sebaliknya. Sempurna dalam arti
bahwa sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau hak tanpa perlu
penambahan alat bukti lain. Sekalipun penggugat mengajukan bukti fotokopi
Kutipan Akta Nikah dalam persidangan, bukti tersebut sudah dianggap sah karena
fotokopi tersebut sudah dicocokkan dengan sudah diberi materai. Kemudian
pembuktian saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR/ 306-309RBG/1895-1912
KUH Perdata.

C. Akibat Hukum Terjadinya At-Tafriq Al-Qadha’I Pada Perkara Nomor:


0112/Pdt.G/2018/PA.Ska

Sejalan dengan gugatan cerai ini, antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada
upaya untuk bisa dilanjutkan kembali hubungan keluarganya. Sehingga perceraian
adalah jalan terakhir yang harus di tempuh. Ketentuan tentang syiqaq dalam firman
Allah SWT. pada Q. S. An-Nisa/4: 35
‫َما ۗ اِن َ كان‬
‫ه‬ ‫َ اَ َن ي َدآص َلحا و‬
‫َ َِف َل‬ ‫َك ن‬ ‫َ ا َه‬ ‫َت شقَا ي‬
‫َ ِن ِهما َوا َك ن‬ ‫َن ف‬
‫َنَ َل‬
‫ي‬ ‫ق ال‬ ِ‫ا َِر‬ َ ‫ًماوح ه ِل‬
‫َم ها‬ ‫َ هم‬
‫ِل‬ ‫َعث َ ًماح‬ ‫َ ق‬
‫َي‬
‫ال‬ ‫ا َب‬ ‫َمخ‬
ِ‫ًَماوا‬
‫َ َِب‬ ‫خ‬
‫َ ًَرا‬ ‫َ ي‬ ‫َع ِل‬

Terjemahan
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga
perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti,
Maha Mengenal”.

Tidak halal bagi kalian wahai para suami untuk mengambil sedikitpun dari apa yang
telah kalian berikan kepada para istri baik berupa mahar dan lainnya, kecuali bila istri
khawatir tidak bisa menunaikan hak-hak rumah tangga, saat itu keduanya
menyampaikan perkara mereka kepada para hukum-hukum diatas adalah batasan-
batasan Allah yang memisahkan antara yang halal dengan yang haram, maka
janganlah kalian melanggarnya, barang siapa yang melanggar batasan-batasan Allah.
maka mereka termasuk orang-orang yang zalim dengan menganiaya diri mereka
dengan beresiko memikul siksa Allah.17

Pada kasus Putusan Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska perceraian dengan dasar istri


tidak dinafkasih oleh suami dan keduanya telah berpisah semenjak 2014 dalam rumah
tangga dinyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat melaksanakan pernikahan pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta yang dicatat oleh Pegawai
Pencatatan Nikah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
disebutkan bahwa “dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-
masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.

D. Analisis Putusan Majelis Hakim dalam Perkara Nomor:


0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
Putusan hakim sudah sesuai dengan undang-undang, karena dasar pertimbangan
hukum mengacu pada pertimbangan terakhir ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa
dasar hukum hakim untuk menerima gugatan cerai tidak semata-mata karena
perceraian.

17
Mujib Sahlih, Jihad dalam Tafsir Al-Muyassar, (Studi Kritis terhadap Penafsiran ‘Aidh al Qarni tentang
Ayat-ayat perceraian), Tesis. (Semarang: UIN Walisongo, 2015) h.213
Pertimbangan hukum yang diambil oleh Hakim untuk dijadikan dasar dalam
menetapkan perkara percerain sudah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan
Islam di Indonesia, karena memandang alasan- alasan yang disampaikan isteri
sebagai Penguat dianggap beralasan hukum sebagaimana yang terdapat dalam pasal
19 (f) PP No. 9 Tahun 1975 Jo Pasal 116 Huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dan
dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu membina rumah tangga bahagia lahir
dan batin tidak dapat diwujudkan. Penulis menilai, putusan perceraian di Pengadilan
Agama yang diajukan seorang istri disebabkan karena suami suami tidak dapat
memberikan nafkah dikarenakan sakit yaitu sesak nafas dan tidak kuat lagi jalan.
Penulis juga menilai beberapa faktor lain penyebab terjadinya perceraian menurut
Hukum Islam adalah Syiqaq, Syiqaq adalah adanya pertengkaran antara suami isteri
yang tidak mungkin didamaikan.

Sejalan dengan gugatan cerai ini, antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada
upaya untuk bisa dilanjutkan kembali hubungan keluargannya. Sehingga perceraian
adalah jalan terakhir yang harus ditempuh.

Ketentuan tentang syiqaq dalam firman Allah pada Q.S An-Nisa/4: 35.
4.An-Nisā : 35

‫َ ه َماَلالَۗ ن لال كان‬ ‫َ َِري ص َلحا و‬


‫َ ِف‬ َ‫َ أ‬‫َك ن‬ ‫َ أَه‬ ‫َ َما فَا َب َك ن‬ ‫َت شقَا ِه‬‫و ِإن ف‬
َ‫َن‬
‫ب ي‬ ‫ق‬ ‫ن َدا‬ ‫ًماوح ه ِل‬
‫َم‬ ‫َ َِهم‬
‫ِل‬ ‫َ ًماح‬
‫َث َواَي ِن‬
‫ع‬ ‫ق‬ َ
‫ها‬ ‫َمخ‬
‫ع َِلي ًَما خ َِبي ًَرا‬

Dan jika kamu takut terjadi perselisihan di antara keduanya, kirimkanlah seorang
hakam dari kaumnya dan seorang hakam dari kaumnya. Jika keduanya menginginkan
perdamaian, maka Allah akan menyebabkannya di antara mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal [segala sesuatu].

Analisis Hukum Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan


No:0112/Pdt.G/2018/PA.Surakarta Tentang cerai gugat karena suami tidak dapat
memberikan nafkah. Dalam memutuskan suatu perkara, Majelis Hakim Pengadilan
Agama Surakarta yang menangani perceraian karena suami tidak dapat memberikan
nafkah, harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang dipakai sebagai dasar
untuk mengambil suatu keputusan agar nantinya tidak merugikan salah satu pihak
yang berperkara, tentang perkara ini dalam tuntutan subsider kasus ini, Penggugat
memohon kepada majelis Hakim untuk mengabulkan permohonannya. Dasar dan
pertimbangan hakim dalam hal ini telah sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI Nomor: 379/K/AG/1995 Tanggal 26 Maret 1997 yang menyatakan bahwa
“Suami isteri yang tidak berdiam serumah lagi dan tidak ada harapan untuk tidak
rukun kembali maka rumah tangga tersebut telah terbukti retak dan pecah, sehingga
tujuan disyariatkannya perkawinan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu membina
rumah tangga bahagia lahir batin tidak dapat diwujudkan. Gugatan Penggugat telah
memenuhi alasan cerai Pasal 19 huruf (f) PP. Nomor 9 Tahun 1975, masuk rumusan
Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Dijelaskan
pada Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116
huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yaitu " Antara suami isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga. Kondisi rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah terjadi
perselisihan dan pertengkaran berlanjut dengan perpisahan selama 4 bulan , bahwa
dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat
telah pecah dan pihak keluarga Penggugat tidak ada yang pernah berusaha
merukunkan Penggugat dan Tergugat karena Penggugat sendiri yang tidak mau
kembali rukun dengan tergugat, oleh karena itu penyelesaian yang dipandang adil
adalah perceraian. Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat, ternyata
Penggugat dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, dan setelah mendengar
pertimbangan Majelis Hakim, maka Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat
dengan amar sebagai berikut:
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan Patut untuk
menghadap di Persidangan, tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat secara Verstek
3. Menjatuhkan talak satu ba'in shughra Tergugat terhadap Penggugat
4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp.766.000,00 (tujuh ratus enam puluh enam ribu rupiah);
Jadi setelah melihat alasan-alasan yang diterangkan diatas dalam perkara Perceraian.
Karena cerai gugat akibat suami tidak dapat memberikan nafkah karena sakit dan juga
melihat dasar pertimbangan hakim terhadap perkara tersebut maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Berdasarkan keadaan Penggugat dan Tergugat. keduanya telah terjalin ketidak
harmonisan dalam kehidupan berumah tangga schingga dalam hal ini telah sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ayat 6 serta Kompilasi Hukum Islam
Pasal 116 huruf (f) bahwasannya alasan perceraian bisa terjadi akibat adanya
perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam
rumah tangga. Dalam konteks perkara Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska, Hakim
memandang bahwa hubungan perkawinan antara penggugat dengan Tergugat
nyatanya tidak dapat dipertahankan. Pertimbangan Hakim selanjutnya yaitu dengan
mengutip pendapat ulama yang dimuat dalam kitab: "Maza Hurriyyah al-Zauj-ain'.
Disebutkan Bahwa: "Islam telah memilih lembaga perceraian ketika kehidupan rumah
tangga telah goncang serta sudah dianggap tidak bermanfaat lagi nasehat dan
perdamaian di mana hubungan suami isteri telah hampa. Karenanya meneruskan
perkawinan berarti menghukum salah satu pihak dengan penjara yang
berkepanjangan hal ini berarti tindakan yang bertentangan dengan rasa keadilan'
Sebagai kelanjutan atas kutipan di atas, Majelis Hakim juga merujuk pendapat
Zakariyya al-Ansari dalam Kitab Manhaj Al-Thullab, Juz VI, Halaman 346 yang
menyebutkan bahwa seorang Hakim boleh menceraikan suami isteri dengan talak satu
ketika antara keduanya terjadi perselisihan yang memuncak.18
‫وان اشتد عدم رغبة زوجة لزوجها طلق عليه القاضي طلقة‬

18
Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab bi Syarh Manhaj al-Tullah, (Syarah: al-Zahabi al- Syafi'i), Juz 2,
(Bairut: Dar al- Kutb al-llmiyyah, 1998), h. 111
Artinya :"Apabila telah memuncak ketidak senangan seorang isteri kepada suaminya
maka hakim (boleh) menceraikan suami isteri itu dengan talak satu". 19

Dua pendapat hukum diatas sangat relevan dengan keadaan Penggugat dan Tergugat
dalam kasus perkara cerai gugat tersebut. Artinya, Hakim memandang bahwa
hubungan keduanya telah memuncak sehingga Hakim merasa berwenang untuk
mengadili keduanya dengan menjatuhkan talak satu. Dalil terakhir yaitu mengacu
pada dua kaidah fiqh, masing-masing kaidah dalam konteks pengambilan hukum
melalui konsep pertimbangan dampak mudharat dan manfaat. Adapun dua kaidah
tersebut adalah sebagai berikut: "Menolak kerusakan itu didahulukan dari meraih
kemaslahatan". Kaidah ini biasa digunakan oleh Hakim dalam mengajukan
pertimbangan hukum. Kaidah tersebut memiliki dua frasa, yaitu "Menolak
kerusakan" dan "didahulukan dari meraih kemaslahatan".20

Dalam perceraian,dengan maksud menolak kerusakan yaitu keluarga yang mengalami


perselisihan cenderung akan timbul banyak kerusakan dan kemudharatan, baik bagi
istri maupun bagi suami.21Sehingga, kerusakan-kerusakan tersebut akan bertambah
besar ketika tali pernikahan tetap dilanjutkan.
Dalam persidangan tidak dijumpai adanya keinginan dari tergugat untuk hadir di
persidangan, dan tidak pula dijumpai eksepsi (tangkisan) dari tergugat terhadap
gugatan yang diajukan oleh penggugat. Sehingga Majelis Hakim berkesimpulan
bahwa perkara ini dapat dikabulkan secara verstek. Selain itu dalam memutuskan
suatu perkara Majelis Hakim juga berhak mendengarkan keterangan saksi-saksi
dipersidangan, dan keterangan kedua saksi yang dihubungkan dengan dalil-dalil
gugatan ditemukan fakta bahwa Penggugat dan Tergugat tidak rukun kembali sebagai
suami istri. Sehingga Majelis Hakim pun berpendapat bahwa tujuan dari perkawinan

19
Abdul Manan, Penerapan Hukum Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), h. 78
20
Muhammad al-Zarga, Syarh al-Qawa 'id al-Fighiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2001). h. 205
21
M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah Pesan, 2002. Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Lentera
Hati. Jakarta: Universitas Sumatera Utara , H 103
tidak dapat tercapai, bahkan ditemukan fakta bahwa Penggugat dan Tergugat sudah
berpisah tempat tinggal sejak bulan Mei 2018. Sehingga Majelis Hakim pun melalui
pertimbangan hukum dan pertimbangannya sebagai aparatur negara yang
menjalankan tugasnya berupaya untuk menghindarkan kemudharatan yang terjadi
akibat perselisihan dan pertengkaran terjadi terus menerus.
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Faktor penyebab terjadinya At-Tafrîq Al-Qadhâ’i pada perkara Nomor:


0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
Bahwa pihak keluarga Penggugat tidak ada yang pernah berusaha merukunkan
Penggugat dan Tergugat karena Penggugat sendiri yang tidak mau kembali rukun
dengan Tergugat berdasarkan fakta hukum tersebut, majelis hakim berpendapat
bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat telah pecah yang berakibat
keduanya telah berpisah tempat tinggal selama 4 bulan lebih, sehingga tujuan
perkawinan untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974) dan atau Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah (Pasal 3
Kompilasi Hukum Islam) telah tidak terwujud dalam rumah tangga Penggugat
dan Tergugat.
Setiap persidangan majelis hakim telah berusaha secara maksimal menasehati
Penggugat agar tetap mempertahankan rumah tangganya, namun tidak berhasil,
karena Penggugat bersikeras untuk bercerai dengan Tergugat, sehingga majelis
hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah tidak
ada harapan lagi untuk dipertahankan. Dan tidak bisa memenuhi tuntutan tujuan
pernikahan sebagaimana ketentuan QS. Al-Rum ayat 21.

Putusan dan pertimbangan hakim dalam perkara cerai gugat, tampak jelas bahwa
hakim sebenarnya tidak menekankan pada sebab-sebab gugat cerai hakim tersebut
telah sesuai dalam menjalankan fungsinya sebagai pihak qadhi.

Hubungan pernikahan antara penggugat dan tergugat tidak lagi mendatangkan


kemaslahatan bahkan melahirkan kemudharatan dan suami tidak memiliki itikad
baik kepada istrinya . Dan bila ditelisik, teryata sebab-sebab adanya kewenangan
tersebut seperti suami tidak menafkahi istri (‘adam an-nafaqah), perselisihan dan
mudharat (as-syiqâq aw ad-dharar), ketiadaan suami tanpa uzur (ghoibat ar-zauj
bilâ ‘udzr), seakan menunjukkan bahwa adanya kewenangan tersebut sebagai
wujud penjagaan (himâyah) terhadap hak-hak isteri.

Proses penyelesaian perkara At-Tafrîq Al-Qadhâ’i pada perkara Nomor:


0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
 Para Pihak
Dalam kasus ini, yang menjadi Penggugat adalah Isteri, dan yang menjadi
tergugat adalah suami.

 Penggugat mengajukan gugatan di pengadilan agama Surakarta, setelah perkara


didaftarkan di pengadilan dan sudah dicek kelengkapan data dan melihat apakah
perkara no. 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska merupakan kekuasaan absolut dari
pengadilan agama Surakarta. Barulah penunjukan majelis hakim dan menetapkan
hari sidang.

 Hari sidang
Selain memeriksa gugatan perceraian tersebut, hakim juga menasehati penggugat
agar berfikir untuk tidak bercerai dengan tergugat, tetapi penggugat tetap pada
dalil-dalil gugatannya untuk bercerai dengan tergugat. Bahwa ternyata Tergugat,
meskipun dipanggil secara resmi dan patut, tidak datang menghadap di muka
sidang dan pula tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan suatu
halangan yang sah;

Tergugat yang dipanggil secara resmi dan patut akan tetapi tidak datang
menghadap harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan tersebut harus diperiksa
secara verstek; Bahwa oleh karena itu, maka putusan atas perkara ini dapat
dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek) berdasarkan ketentuan Pasal 149
ayat (1) R.Bg. yaitu putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat dapat
dikabulkan sepanjang berdasarkan hukum.

 Tahap pembuktian
Majelis hakim membebani Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatan;
Bahwa bukti Penggugat, yang merupakan akta otentik dan telah bermeterai cukup
dan cocok dengan aslinya, isi bukti tersebut menjelaskan mengenai antara
Penggugat dengan Tergugat adalah terikat suatu perkawinan yang sah, sehingga
bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan materiil, serta mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat;
Saksi kesatu Penggugat yang merupakan tante sepupu Penggugat, sudah dewasa
dan sudah disumpah sehingga memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam
Pasal 172 ayat 1 angka 4 R.Bg. dan saksi kedua Penggugat yang merupakan
sepupu satu kali Penggugat. sudah dewasa dan sudah disumpah, sehingga
memenuhi syarat formal .

 Keputusan Majelis Hakim


Majelis Hakim berpendapat pembuktiannya harus dilakukan dengan Ketentuan
sebab cerai gugat yang tertuang dalam Pasal 39 Ayat (2) Undang- Undang No 1
Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 atau
Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam bersesuaian dengan fakta di
persidangan, sehingga unsur materil yuridis terpenuhi.
Maka Majelis Hakim memutuskan perkara cerai gugat yang disebabkan oleh
suami tidak dapat memberikan nafkah karena sakit sebagai berikut:
a. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap di persidangan, tidak hadir;
b. Mengabulkan gugatan Penggugat secara verste;

c. Menjatuhkan talak satu bain shugra Tergugat terhadap Penggugat;


d. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp.766.000,00 ( tujuh ratus enam puluh enam ribu rupiah).

Akibat Hukum Terjadinya At-Tafriq Al-Qadha’I Pada Perkara Nomor:


0112/Pdt.G/2018/PA.Ska

Sejalan dengan gugatan cerai ini, antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada
upaya untuk bisa dilanjutkan kembali hubungan keluarganya. Sehingga perceraian
adalah jalan terakhir yang harus di tempuh. Ketentuan tentang syiqaq dalam firman
Allah SWT. pada Q. S. An-Nisa/4: 35
‫َ َما ۗ اِن ََ كا َن‬
‫ه‬ َ‫ص ََو َِف ل‬ ‫ِر‬
َ ‫َ ِل‬
ۚ ‫َ ََها‬ ‫ه‬ ‫ََك‬ ‫َ ا ََ ه‬
‫َعَث َ َك ًما ن‬ ‫َت شقََ ا ي‬
‫َن ِه َما ا ب‬ ‫واِن ف‬
‫َنََ َل‬
‫ي‬ ‫ََ ََ ل ق ال‬ ‫َد‬ ‫نمَنا َ ي‬ ‫ًماوح‬ ‫َ هم‬‫ِل‬ ‫َوا ح‬ ‫ق‬ َ
‫ال‬ ‫حا‬ ‫ََ آ‬ ‫َمخ‬
‫َ ًَرا‬
‫َ ي‬
‫َ ًَما خ ِب‬
‫َ ي‬
‫ع ِل‬

Terjemahan

“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga
perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti,
Maha Mengenal”.

Pada kasus Putusan Nomor: 0112/Pdt.G/2018/PA.Ska perceraian dengan dasar istri


tidak dinafkasih oleh suami dan keduanya telah berpisah tempat tinggal , dan dalam
rumah tangga dinyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat melaksanakan pernikahan
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta yang dicatat oleh
Pegawai Pencatatan Nikah pada tahun 2004.

Analisis Putusan Majelis Hakim dalam Perkara Nomor:


0112/Pdt.G/2018/PA.Ska
Putusan hakim sudah sesuai dengan undang-undang, karena dasar pertimbangan
hukum mengacu pada pertimbangan terakhir ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa
dasar hukum hakim untuk menerima gugatan cerai tidak semata-mata karena
perceraian.

Pertimbangan hukum yang diambil oleh Hakim untuk dijadikan dasar dalam
menetapkan perkara perceraian sudah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan
Islam di Indonesia, karena memandang alasan- alasan yang disampaikan isteri
sebagai Penguat dianggap beralasan hukum sebagaimana yang terdapat dalam pasal
19 (f) PP No. 9 Tahun 1975 Jo Pasal 116 Huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, dan
dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu membina rumah tangga bahagia lahir
dan batin tidak dapat diwujudkan. Putusan perceraian di Pengadilan Agama yang
diajukan seorang istri disebabkan karena suami suami tidak dapat memberikan
nafkah dikarenakan sakit yaitu sesak nafas dan tidak kuat lagi jalan.

Sejalan dengan gugatan cerai ini, antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada
upaya untuk bisa dilanjutkan kembali hubungan keluargannya. Sehingga perceraian
adalah jalan terakhir yang harus ditempuh.
Analisis Hukum Islam terhadap pertimbangan hakim dalam putusan
No:0112/Pdt.G/2018/PA.Surakarta Tentang cerai gugat karena suami tidak dapat
memberikan nafkah. Dalam memutuskan suatu perkara, Majelis Hakim Pengadilan
Agama Surakarta yang menangani perceraian karena suami tidak dapat memberikan
nafkah, dasar dan pertimbangan hakim dalam hal ini telah sesuai dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 379/K/AG/1995 Tanggal 26 Maret 1997
yang menyatakan bahwa “Suami isteri yang tidak berdiam serumah lagi dan tidak ada
harapan untuk tidak rukun kembali maka rumah tangga tersebut telah terbukti retak
dan pecah, sehingga tujuan disyariatkannya perkawinan sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum
Islam yaitu membina rumah tangga bahagia lahir batin tidak dapat diwujudkan.
Gugatan Penggugat telah memenuhi alasan cerai Pasal 19 huruf (f) PP. Nomor 9
Tahun 1975, masuk rumusan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 Jo. Dijelaskan pada Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yaitu " Antara suami
isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dalam persidangan tidak dijumpai adanya keinginan dari tergugat untuk hadir di
persidangan, dan tidak pula dijumpai eksepsi (tangkisan) dari tergugat terhadap
gugatan yang diajukan oleh penggugat. Sehingga Majelis Hakim berkesimpulan
bahwa perkara ini dapat dikabulkan secara verstek. Selain itu dalam memutuskan
suatu perkara Majelis Hakim juga berhak mendengarkan keterangan saksi-saksi
dipersidangan, dan keterangan kedua saksi yang dihubungkan dengan dalil-dalil
gugatan ditemukan fakta bahwa Penggugat dan Tergugat tidak rukun kembali sebagai
suami istri. Dan Majelis Hakim juga merujuk pendapat Zakariyya al-Ansari dalam
Kitab Manhaj Al-Thullab, Juz VI, Halaman 346 yang menyebutkan bahwa seorang
Hakim boleh menceraikan suami isteri dengan talak satu ketika antara keduanya
terjadi perselisihan yang memuncak.22
‫وان اشتد عدم رغبة زوجة لزوجها طلق عليه القاضي طلقة‬

Artinya :"Apabila telah memuncak ketidak senangan seorang isteri kepada suaminya
maka hakim (boleh) menceraikan suami isteri itu dengan talak satu".
Saran

Suami isteri sebaiknya mengusahakan agar menghindari perceraian dikarenakan


kondisi suaminya yang sedang sakit dan tidak bisa berjalan sehingga tidak dapat
memberikan nafkah seperti dahulu .

22
Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab bi Syarh Manhaj al-Tullah, (Syarah: al-Zahabi al- Syafi'i), Juz 2,
(Bairut: Dar al- Kutb al-llmiyyah, 1998), h. 111
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Abdul Manan, Penerapan Hukum Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. 2005 ,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Abu Abdullah Muhammad ibn Ya zid Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Baitul Afkar
Al- Dauliyyah. 2004 , Jordan.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia. 1995 Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet, I.

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. 1992: Jakarta: PT.
Bulan Bintang.

M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Mishbah Pesan, 2002. Kesan dan Keserasian Al-


Qur’an, Lentera Hati. Jakarta: Universitas Sumatera Utara

Muhammad al-Zarga, Syarh al-Qawa 'id al-Fighiyyah, Dar Al-Qalam . 2001 :


Damaskus.

Muhammad Syaifudin,Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, hukum perceraian.2014 ,


Jakarta : Sinar Grafika.

Neng Yani Nurhayani, Hukum Perdata.2015 , Bandung : Pustaka Setia.

Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer.2004 ,


Jakarta: Kencana.

Sugeng Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen litigasi Perkara Perdata. 2009 :
Jakarta: Sinar Grafika.

Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia.2001 , Jakarta : Gana Media Pratama.

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia.2006 ,Jakarta :


Presentasi Pustaka.

Zainudin Ali, 2. Hukum Perdata Islam.2007 , Jakarta : Sinar Grafika.

Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab bi Syarh Manhaj al-Tullah, Syarah: al-Zahabi


al- Syafi'i, Juz 2. 1998 , Bairut: Dar al-Kutb al-llmiyyah.
Jurnal:
Ibnu Abidin, 1994, vol. 4, p. 186

Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, 1995, vol. 29, p. 6.

Mujib Sahlih, Jihad dalam Tafsir Al-Muyassar, (Studi Kritis terhadap Penafsiran ‘Aidh
al Qarni tentang Ayat-ayat perceraian), Tesis. (Semarang: UIN Walisongo, 2015)

Undang-Undang :
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 116 huruf (f) KHI
Pasal 3 tentang KHI

Anda mungkin juga menyukai