Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KELOMPOK 5

HUKUM KELUARGA DAN PERKAWINAN

Makalah ini di susun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Perdata

Dosen Pengampu : Faris Satria Alam, M.H

Di Susun Oleh :

Hasby Hadziki 11170440000041

Muhammad Zidan Alfa Hasyim 11200440000056

Kamila Ramadhanita Sholeha 11200440000048

Hilyatul Lydia 11200440000090

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

Jakarta
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kita panjatkan kepada-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayahnya sehingga kami dapat mengerjakan makalah yang berjudul “Hukum Keluarga
dan Perkawinan”

Dalam penyusunan makalah ini, kami dibantu dan didukung oleh berbagai pihak,
sehingga kami dapat dengan lancar penyusunannya. Untuk itu, tidak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami, khususnya kepada Bapak
Faris Satria Alam, M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa, maupun aspek lainnya.
Oleh karena itu, dengan senang hati kami menerima kritik dan saran dari para pembaca
untuk memperbaiki makalah ini yang kemudian penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik, dan kami berharap semoga makalah ini dapat diambil
manfaatnya.

Ciputat, 20 April 2022

Penyusun,

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................2
BAB II.................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.............................................................................................................3
A. Pengertian Perkawinan......................................................................................3
B. Syarat-syarat Sah Perkawinan..........................................................................4
C. Pencegahan Perkawinan.....................................................................................6
D. Pembatalan Perkawinan.....................................................................................9
E. Putus Serta Akibatnya......................................................................................12
F. Kedudukan Anak ............................................................................................13
BAB III.............................................................................................................................17
PENUTUP.....................................................................................................................17
A. Kesimpulan........................................................................................................17
B. Saran...................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkawinan sebagai perbuatan hukum yang mana merupakan suatu


perbuatan yang mengandung hak dan kewajiban bagi individu-individu yang
melakukannya. Seorang pria dengan seorang wanita setelah melakukan
perkawinan akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu antara lain mengenai
hubungan hukum antara suami istri dan mengenai harta benda perkawinan serta
penghasilan mereka.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan
dikatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Salah satu akibat hukum dari perkawinan adalah
terciptanya harta benda perkawinan yang terbagi menjadi harta asal atau harta
bawaan, yaitu harta yang dipunyai oleh masing-masing suami isteri sebelum
perkawinan. Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama
perkawinan, tidak termasuk hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang
didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.
Konsep harta bersama merupakan harta kekayaan yang dapat ditinjau dari segi
ekonomi dan segi hukum. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai
kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan
hukum yang mengatur

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari keluarga dan perkawinan?


2. Apa saja syarat-syarat sah nya perkawinan?
3. Apa pencegahan perkawinn itu?
4. Apa yang menyebabkan batalnya perkawinan? Dan apa saja yang
menyebabkan putusnya perkawinan?
5. Bagaimana status dan kedudukan anak dalam sebuah perkawinan?
C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian hukum keluarga dan perkawinan


2. Mengetahui syarat-syarat sahnya perkawinan
3. Mengetahui pencegahan perkawinan
4. Mengetahui apa saja yang bisa menyebabkan dan putusnya perkawinan
5. Dan mengetahui status kedudukan anak dalam sebuah perkawinan
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan

Pengertian Perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata atau BW.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan
pengertian Perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan
rumusan :

"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan kepada Than Yang Maha Esa." 1

Dalam Kamus Bear Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai Perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula sebagai perkawinan.
Mulanya kata "nikah" berasal dari bahasa Arab. Sedangkan di dalam Al-Ouran menggunakan
kata"zawwaja" dan kata "zauwj", yang berarti pasangan. Hal ini dikarenakan pernikahan
meniadikan seseorang memiliki pasangan.2

Pada prinsip perkawinan atau nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan
membatasi hak dan kewajiban, tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan yang antara
keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas bahwa pernikahan
adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya status
sebagai suami istri dan di halalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga
sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya.

KUHP atau BW memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata


(Pasal26). Hal in berarti bahwa undang-undangmya mengakui perkawinan perdata ialah
perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
KUHP, sedang syarat-syarat atau ketentuan agama tidaklah diperhatikan tau dikesampingkan. 3

1
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta:Rineka Cipta,1994), hlm. 7
2
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 3
3
Wiriono Prodiodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung:Sumur, 1974), hlm. 87
Dengan demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya unsur ikatan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hal ini menunjukkan
bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung asas Monogami
tidak mutlak yang secara tegas dinyatakan di dalam Dasar Perkawinan bahwa ada asasnya dalam
suatu perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri sedangkan seorang isteri
hanya boleh mempunyai seorang suami.

Akan tetapi Pengadilan dapat memberi izin Kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang yang lazim dikenal dengan Poligami, izin ini diberikan apabila Poligami ini
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain Poligami dapat dilaksanakan
sepanjang Hukum Agama yang bersangkutan mengizinkan oleh alasan dan persyaratan yang
ketat yaitu dengan izin Pengadilan.

Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama-sama menyatakan


bahwa dalam upaya mencapai cita-cita rumah tangga sakinah serta kemaslahatan keluarga, ada
beberapa langkah yang harus dilewati, yaitu sesuai bunyi KHI Pasal 15 ayat (1) bahwa
“perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 (sembilan belas) tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 (enam belas
tahun).4

Dalam pasal tersebut di atas, pengaturan batas usia minimal perkawinan dianggap
berseberangan dengan Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan hak anak. Hal ini dapat dihubungkan dengan
putusan mahkamah konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang memutuskan bahwa pasal 7 ayat
(1) frasa usia “16 (enam belas) tahun” Undang-undang tentang Perkawinan berseberangan
dengan Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.5

B. Syarat-syarat Sah Perkawinan

4
Wibowo Reksopadoto, Hukum Perkawinan Nasional , Jilid 1,(Bandung: Rajawali Press, 2009), hlm. 37
5
Bunyi Pasal 15 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), h. 5
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974.
Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12
mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. Syarat perkawinan yang bersifat
materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu:

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai


b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah
meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
c. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari
pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
d. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi
kecuali memenuhi Pasal 3 (2) dan pasal 4.
e. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya.
f. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

Pasal 8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang
yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest


2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya/kewangsaan.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan.
4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan.
5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin.
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. I/1974 direalisasikan
dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formal
ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya


kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan
dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang
tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal
calon mempelai (Pasal 3-5)
b. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah
memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut
(Pasal 6-7).
c. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat
pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat
antara lain: Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin. hari, tanggal,
jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
d. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai
menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat
rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera
Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan
(pasal 10- 13)

C. Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan adalah usaha untuk membatalkan perkawinan sebelum


perkawinan itu berlangsung. Pencegahan perkawinan itu dapat dilakukan apabila calon suami
atau calon istri yang akan melangsungkan pernikahan berdasarkan hukum Islam yang termuat
dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu perkawinan dapat dicegah apabila
ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan 6. Syarat pencegahan
perkawinan dibagi dalam dua segi7, yaitu:

1. Syarat Materiil: berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan
perkawinan. Diantaranya yaitu tentang larangan adanya atau dilakukannya suatu perkawinan.

2. Syarat Administratif: syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan (calon
mempelai laki-laki dan wanita, saksi dan wali) dan pelaksanaan akad nikahnya.

Pencegahan perkawinan ini tidak dibahas secara khusus dalam kitab-kitab fiqih. Namun
usaha untuk tidak terjadinya perkawinan itu dibicarakan secara umum dalam bahasan yang
terpisah-pisah8. Perkawinan dapat dilangsungkan jika syarat dan rukunnya sudah terpenuhi serta
sudah tidak ada lagi penghalang yang menghalangi terjadinya perkainan itu.

Hal-hal yang bisa menjadi alasan terjadinya pencegahn perkawinan, telah disebutkan
dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu tentang hal-hal yang menyebabkan dilarangnya kawin.
Diantaranya:

Pasal 39

1) Karena pertalian nasab

2) Karena pertalian kerabat semenda

3) Karena pertalian sesusuan

Pasal 40

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama Islam.
6
Zainuddin AiI, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 33.
7
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, cetakan ketiga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 139
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang
Perkawinan), cetakan ketiga, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 150
Selain itu, perkawinan juga bisa dicegah jika istri atau suami maupun wali nikah sedang
melakukan ihram karena bebas dari ihram juga merupakan salah satu syarat sah bagi
keberlangsungan nikah.

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
menurut Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan (Pasal 60 KHI). Tidak sekufu tidak
dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan
agama atau ikhtilaafu al dien (Pasal 61 KH1).9

Menurut ketentuan Pasal 61-65 KUH Per, para pihak yang berhak mencegah
berlangsungnya suatu perkawinan:

a. Bapak atau ibu mereka.

b. Kakek atau nenek.

c. Paman dan bibi mereka.

d. Wali atau wali pengawas.

f. Saudara lak-laki atau saudara perempuan.

g. Suami yang sudah cerai mencegah perkawinan bekas istrinya sebelum 300 hari lewat,
setelah pembubaran perkawinan.

h. Jawatan Kejaksaan

Sementara alasan-alasan pencegahan perkawinan ini menurut

Pasal 61 KUH Per antara lain:

a. Tidak mengindahkan izin kawin dari orangtuanya.

b. Belum mencapai usia 30 tahun.

c. Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan, karena ketidaksempurnaan akal


budinya.

d. Salah satu pihak tidak memenuhi syarat untuk kawin.

9
P.N.H. Simanjuntak. Hukum Perdata Indonesia. (Jakarta: Kencana. 2017). Hlm. 88
Pencegahan perkawinan diadili oleh Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah
hukumnya pegawai catatan sipil yang harus melangsungkan perkawinan itu mempunyai tempat
kedudukannya (Pasal 66 KUH Per).

D. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan


perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan
pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama
mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa
membatalkan perkawinan.10

Dalam pasal 22 UU perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila


para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun bila rukunnya yang
tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan
UU No. 1 tahun 1974 pasal 22, 24, 26 dan 27 serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 72.11

Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad nikah tersebut
sudah terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun
rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya salah
satu rukunnya, akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dri
syaratnya maka akad nikah tersebut dianggap fasid. 12

Hal-hal yang menyebabkan pembatalan perkawinan diantaranya:

1) Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah, karena sudah
mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak
raj'i.

2) Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili'an-nya.

10
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia dan di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1991), hlm. 83.
11
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana. 2017). hlm. 90.
12
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Permada Media Group. 2008).
hlm. 123.
3) Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila
bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba'da al dukhul
dari pria tersebut dan telah habis masa idahnya.

4) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

5) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan
menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orangtua, dan antara
seorang dengan saudara neneknya.

6) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang memiliki hubungan semenda, yaitu mertua, anak
tiri, menantu dan ibu atau bapak tirinya.

7) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan sesusuan, yaitu orangtua
sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan

8) Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri atau istri-istrinya.

9) Seorang suami melakukan poligami tapa izin Pengadilan Agama.

10) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih

menjadi istri pria lain yang mafqud.

11) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dari suami lain.

12) Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan, yaitu untuk pria harus
berumur 19 tahun dan untuk wanita harus berumur 16 tahun.

13) Perkawinan dilangsungkan tapa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

14) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

15) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

16) Perkawinan dilakukan dengan penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Khusus mengenai perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
dan perkawinan yang dilakukan dengan penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau
istri, apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya dan
dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu mash tetap hidup sebagai suami-istri serta tidak
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, maka haknya
gugur (Pasal 72 ayat 3 KHN).13

Menurut pasal 23 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 73 KHI 52, yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan, yaitu:

1. Para keluarga dalam garis keturunan keatas dari suami atau istri

2. Suami atau istri

3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan

4. Pejabat yang ditunjuk dan juga setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum

secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi


tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan. Batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(pasal 74 KHI).

Namun perilaku ini tidak berlaku surut bagi pihak-pihak tertentu. Hal ini sebagaimana
yang telah disebutkan dalam pasal 75 dan 76 dan juga dalam pasal 28 UU Perkawinan14, yaitu:

1. Anak-anak yang dilahirkan

2. Pembatalan karena salah satu dari suami atau istri murtad

3. Suami/istri yang bertindak dengan iktikad baik

4. Pihak ketiga selama mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum

13
Op.Cit, hlm. 91.
14
Zainuddil Al-Malibari, Fathul Mu`in Syarah Qurrotul `Ain, (Beirut: Daarul Fikr.) hlm. 40
keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sedangkan dalam KHI pasal 76 disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan
hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Penetapan hukum ini ditetapkan atas dasar
prinsip al-bara’ah al-ashliyyah, yaitu hukum sesuatu yang telah berlangsung ditetapkan
ssebagaimana asalnya. Hal ini sejalan dengan kaidah “al-ashlu baqau makana ‘ala makana” yaitu
metetapkan hukum yang ada sebagai

E. Putus serta Akibat Perkawinan


Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut pasal 199 KUH Per, perkawinan
putus atau bubar karena:
1. Kematian
2. Kepergian suami atau istri selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru dengan
orang lain
3. Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja makan dan tempat tidur selama 5 tahun.
Akibat dari perpisahan meja dan tempat tidur antara lain:
a. Suami-istri dapat meminta pengakhiran pernikahan di muka pengadilan, apabila
perpisahan meja dan tempat tidur di antara mereka telah berjalan 5 tahun dengan
tanpa adanya perdamain (Pasal 242 KUH Per)
b. Pembebasan dari kewajiban bertempat tinggal bersama (Pasal 242 KUH Per)
c. Berakhirnya persatuan harta kekayaan (Pasal 243 KUH Per)
d. Berakhirnya kewenangan suami untuk mengurus harta kekayaan istri (Pasal 244
KUH Per)
4. Perceraian
Akibat putusnya perkawianan karena perceraian menurut KUH Per antara lain:
a. Kewajiban suami atau istri memberikan tunjangan nafkah kepada suami atau istri
yang menag dalam tuntutan perceraian (Pasal 222 KUH Per). Kewajiban
memberikan tunjangan nafkah ini berakhir dengan meninggalnya si suami atau si
istri (Pasal 227 KUH Per)
b. Pengadilan menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan
perwalian terhadap anak-anak mereka (Pasal 229 KUH Per)
c. Apabila suami dan istri yang telah bercerai hendak melakukan kawin ulang, maka
demi hukum segala akiibat perkawinan pertama hidup kembali, seolah-olah tak
pernah ada perceraian (Pasal 232 KUH Per)

Akibat putusnya perkawianan karena perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 antara lain:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak adapat memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memeberikan biaya
penghidupan dan / atau menetukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

F. Kedudukan Anak Menurut KUH Per dan UU Nomor 1 Tahun 1974

Anak merupakan mahkluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat
bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga
memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk
perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Di dalam undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 yang di perbaharui dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
perlindungan anak pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pengertian anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 ( delapan belas ) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.15

1. Anak Sah

Anak yang sah menurut KUH Per adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah
antara ayah dan ibunya. Sedangkan menurut pasal 42 UU No.1 Tahun 1974, anak yang sah
adalah anak yang yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawian yang sah.16

a. Penyangkalan anak sah


 Menurut KUH Per

Menurut pasal 250 KUH Per, seorang anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Sebagai akibatnya, kepada suami diberi
hak penyangkalan anak sah, yaitu sebagai berikut:

1) Menurut pasal 251 KUH Per, seorang anak yang dilahirkna sebelum 180 hari terhitung
sejak tanggal perkawinan, maka suami boleh menyangkal anak tersebut, tetapi
penyangkalan ini tidak boleh dilakukan dalam hal:
a) Suami telah mengetahui bahwa saat perkawinan, si istri sudah hamil
b) Suami turut hadir pada saat pembuatan akta kelahiran dan turut mendatanganinya
c) Anaknya lahir dalam keadaan meninggal

2) Menurut Pasal 252 KUH Per, suami boleh mengingkari keabsahan anak apabila dapat
membuktikan bahwa ia sejak 300 hari sampai 180 hari sebelum lahirnya anak tidak
15
Saadatul Maghfira, Kedudukan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia, Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 15, Nomor
2, Juli-Desember 2016, hlm. 214
16
P.N.H Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm149
terjadi hubungan kelamin dengan istrinya. Dalam hal ini, suami harus membuktikan
bahwa ia bukan bapak anak itu.
3) Menurut Pasal 253 KUH Per, suami tidak dapat mengingkari keabsahan seorang anak
dengan alasan istrinya telah berzina dengan lelaki lain, kecuali jika kelahiran anak itu
disembunyikan
4) Menurut Pasal 254 KUH Per, suami boleh mengingkari keabsahan seorang anak yang
dilahirkan 300 hari setelah hari keputusan perpisahan meja dan tempat tidur memperoleh
kekuatan hukum. Apabila penyangkalannya dikabulkan, maka anak tersebut disebut anak
di luar kawin.
5) Menurut Pasal 256 KUH Per, tenggang waktu untuk penyangkalan adalah:
a) Dalam waktu 1 bulan dari lahirnya si anak, jika suami berdiam di tempat kelahiran si
anak
b) Dalam waktu 2 bulan, setelah kembalinya suami jika ia berada dalam keadaan tak
hadir
c) Dalam waktu 2 bulan setelah tipu muslihat diketahuinya, jika kelahiran anak itu
disembunyikan

 Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia
dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan
tersebut, pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan (Pasal 44 UUP)

2. Pembuktian Anak Sah


 Menurut KUH Per

Menurut pasal 255 KUH Per, anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan
dibubarkan adalah anak tidak sah. Seorang anak yang sah dapat dibuktikan dengan:

1) Akte kelahiran anak yang dibukukan dengan register catatan sipil (Pasal 261 ayat 1 KUH
Per)
2) Anak itu terus-menerus menikmati suatu kedudukan sebagai anak yang sah (Pasal 261
ayat 2 KUH Per)
3) Saksi-saksi, apabila telah ada bukti permulaan dngan tulisan atau dugaan-dugaan atau
petunjuk-petunjuk tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidak dapat disangkal lagi
kebenarannya (Pasal 264 KUH Per)

Selanjutnya menurut pasal 262 KUH Per, penikmatan kedudukan anak sah itu dapat
dibuktikan dengan memperlihatkan suatu pertalian, seperti selalu memakai nama si bapak,
diperlakukan sebagai anak dalam hal pendidikan, pemeliharaan dan penghidupan, serta
masyarakat selalu mengakuinya sebagai anak si bapak.17

 Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik,
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Bila akta kelahiran tersebut tidak ada, maka
pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Atas dasar ketentuan
pengadiln tersebut, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan
(Pasal 55)

3. Anak Luar Kawin

Pada dasarnya, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan
pria dan wanita di luar perkawinana yang sah, di mana di antara mereka tidak terkena
larangan kawin atau tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Anak luar kawin
tidak mempunya hubungan perdata dengan kedua orang tuanya. Menurut pasal 43 UUP, anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.18 Terhadap perkawinan yang sah, anak mempunyai hubungan keperdataan
dengan ayah dan ibunya, sedangkan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 100 Kompilasi
Hukum Islam).19 Sehingga terhadap anak yang lahir di laur perkawinan yang sah hukum
hanya diakui sebagai anak ibunya, dan bukan anak dari ayahnya. Hal ini tentu saja akan
mempengaruhi hak dan kewajiban orang tua terhadap anak begitu pula sebaliknya. Misalnya
saja hilangnya hak ayah sebagai wali terhadap anak perempuannya dan hilangnya hak saling
mewarisi antara orang tua dan anaknya. Anak luar kawin ini terbagi lagi menjadi dua, antara
lain:

1) Anak sumbang, yaitu anak yang dilahirkan akibat hubungan antara dua orang yang
terlarang untuk menikah karena masih adanya hubungan darah.
2) Anak Zina, yaitu anak yang lahir dari hubungan laki-laki dan perempuan yang dilarang
kawin atau dari laki-laki dan perempuan yang salah satu atau keduanya terikat dengan
perkawinan dengan pihak lain. Hal ini dikarenakan dipakainya asas monogami mutlak
dalam KUH Perdata, sehingga mereka yang sudah menikah dan memiliki hubungan
terlarang dengan pasangan lain, maka anak yang lahir dari hubungan tidak sah tersebut
tidak akan pernah bisa diakui.
17
Ibid, hlm. 151
18
Ibid.
19
Manan Abdul, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
2002.), hlm. 353
4. Peningkatan Status anak luar kawin

Status anak luar kawin dapat ditingkatkan dengan cara-cara sebagai berikut:

a) Pengakuan anak, caranya:


1) Perkawinan dari kedua orang tua yang telah mengakui anak tersebut (Pasal 272 KUH
Per)
2) Pengakuan anak luar kawindapat dilakukan dengan akta autentik (Pasal 281 KUH
Per). Bisa dengan notaris, bisa juga dengan catatan sipil
3) Apabila anak itu berumur 19 tahun (bagi pria) dan tanpa batas usia (bagi perempuan).
Pengakuan ini bukan akibat paksa, khilaf, tipu muslihat atau atas bujukan (Pasal 282
KUH Per)
4) Pengakuan anak luar kawin dapat dilakuakn oleh ibu anak tersebut (Pasal 284 KUH
Per)

Dengan pengakuan yang dilakuakn terhadap seorang anak luar kawin, timbullah
hubungan perdata antara si anak dengan bapak atau ibunya (Pasal 280 KUH Per)

b) Pengesahan anak, anak luar kawin dapat disahkan melalui surat pengesahan dari presiden
dalam hal:
1) Jika kedua orang tua sebelum atau pada saat kawin telah melalikan mengakui anak
luar kawin (Pasal 274 KUH Per)
2) Jika anak itu dilahirkan dari bapak dan ibu, di mana karena meninggalnya seorang di
antaranya tidak dapat melangsungkan perkawinan (Pasal 275 KUH Per)
3) Akibat adanya surat pengesahan anak ini, maka status anak luar kawin menjadi sama
dengan anak sah (Pasal 277 KUH Per)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan kepada Than Yang Maha Esa." Dalam KUHP atau BW
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata (Pasal26). Hal ini
berarti bahwa undang-undangmya mengakui perkawinan perdata ialah perkawinan yang
sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHP,
sedang syarat-syarat atau ketentuan agama tidaklah diperhatikan tau dikesampingkan
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun
1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil,
sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.
Pencegahan perkawinan adalah usaha untuk membatalkan perkawinan sebelum
perkawinan itu berlangsung. Pencegahan perkawinan itu dapat dilakukan apabila calon
suami atau calon istri yang akan melangsungkan pernikahan berdasarkan hukum Islam
yang termuat dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan
perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan
pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama
mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa
membatalkan perkawinan
Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut pasal 199 KUH Per, perkawinan
putus atau bubar karena: Kematian, Kepergian suami atau istri selama 10 tahun dan
diikuti dengan perkawinan baru dengan orang lain, Putusan hakim setelah adanya
perpisahan meja makan dan tempat tidur selama 5 tahun dan Perceraian.
Anak merupakan mahkluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan
tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan
keluarga memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting
untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Kedudukan anak
terbagi menjadi dua, yaitu: Anak sah dan anak luar kawin.
B. Saran
Tentunya setiap penulisan makalah, pastilah terdapat kekurangan baik pada segi
tata cara penulisannya maupun pemahamannya. Maka dari itu, kami sebagai penyusun
makalah ini meminta maaf kepada seluruh pihak atas beberapa kesalahan yang ada pada
makalah ini. Dan juga kami menerima dengan senang hati apabila ada yang ingin turut
menyumbangkan kritik serta saran agar kami dapat menyusun makalah dengan lebih baik
lagi

DAFTAR PUSTAKA
Prodiodikoro, W. (1974). Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Sumur.

Ramulyo, M. I. (1996). Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:Bumi Aksara .

Sudarsono. (1994). Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.


Reksopadoto, W. (2009). Hukum Perkawinan Nasional. Bandung: Rajawali Press.

Ali, Z. (2007). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Rofiq, A. (1998). Hukum Islam Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Syarifuddin, A. (2009). Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang- Undang Perkawinan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

P.N.H. Simanjuntak. (2017). Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Kencana.

Rasjidi, L. (1991). Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia dan di Indonesia. Bandung:
Remaja Rosda Karya.

Tutik, T,T. (2008). Hukum Perdata dalam Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Permada Media
Group.

Al-Malibari,Z. Fathul Mu`in Syarah Qurrotul `Ain. Beirut: Daarul Fikr.

Maghfira, S. (2016). Kedudukan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia. Jurnal Ilmiah
Syari'ah, 214.

Abdul, M. (2002). Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama. Jakarta:Raja


Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai