Makalah ini di susun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Perdata
Di Susun Oleh :
SYARIF HIDAYATULLAH
Jakarta
2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kita panjatkan kepada-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayahnya sehingga kami dapat mengerjakan makalah yang berjudul “Hukum Keluarga
dan Perkawinan”
Dalam penyusunan makalah ini, kami dibantu dan didukung oleh berbagai pihak,
sehingga kami dapat dengan lancar penyusunannya. Untuk itu, tidak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami, khususnya kepada Bapak
Faris Satria Alam, M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa, maupun aspek lainnya.
Oleh karena itu, dengan senang hati kami menerima kritik dan saran dari para pembaca
untuk memperbaiki makalah ini yang kemudian penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik, dan kami berharap semoga makalah ini dapat diambil
manfaatnya.
Penyusun,
Kelompok 5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................2
BAB II.................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.............................................................................................................3
A. Pengertian Perkawinan......................................................................................3
B. Syarat-syarat Sah Perkawinan..........................................................................4
C. Pencegahan Perkawinan.....................................................................................6
D. Pembatalan Perkawinan.....................................................................................9
E. Putus Serta Akibatnya......................................................................................12
F. Kedudukan Anak ............................................................................................13
BAB III.............................................................................................................................17
PENUTUP.....................................................................................................................17
A. Kesimpulan........................................................................................................17
B. Saran...................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Pengertian Perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata atau BW.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan
pengertian Perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan
rumusan :
"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan kepada Than Yang Maha Esa." 1
Dalam Kamus Bear Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai Perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula sebagai perkawinan.
Mulanya kata "nikah" berasal dari bahasa Arab. Sedangkan di dalam Al-Ouran menggunakan
kata"zawwaja" dan kata "zauwj", yang berarti pasangan. Hal ini dikarenakan pernikahan
meniadikan seseorang memiliki pasangan.2
Pada prinsip perkawinan atau nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan
membatasi hak dan kewajiban, tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan yang antara
keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas bahwa pernikahan
adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya status
sebagai suami istri dan di halalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga
sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya.
1
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta:Rineka Cipta,1994), hlm. 7
2
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 3
3
Wiriono Prodiodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung:Sumur, 1974), hlm. 87
Dengan demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya unsur ikatan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hal ini menunjukkan
bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung asas Monogami
tidak mutlak yang secara tegas dinyatakan di dalam Dasar Perkawinan bahwa ada asasnya dalam
suatu perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri sedangkan seorang isteri
hanya boleh mempunyai seorang suami.
Akan tetapi Pengadilan dapat memberi izin Kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang yang lazim dikenal dengan Poligami, izin ini diberikan apabila Poligami ini
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain Poligami dapat dilaksanakan
sepanjang Hukum Agama yang bersangkutan mengizinkan oleh alasan dan persyaratan yang
ketat yaitu dengan izin Pengadilan.
Dalam pasal tersebut di atas, pengaturan batas usia minimal perkawinan dianggap
berseberangan dengan Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan hak anak. Hal ini dapat dihubungkan dengan
putusan mahkamah konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang memutuskan bahwa pasal 7 ayat
(1) frasa usia “16 (enam belas) tahun” Undang-undang tentang Perkawinan berseberangan
dengan Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.5
4
Wibowo Reksopadoto, Hukum Perkawinan Nasional , Jilid 1,(Bandung: Rajawali Press, 2009), hlm. 37
5
Bunyi Pasal 15 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), h. 5
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974.
Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12
mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil. Syarat perkawinan yang bersifat
materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No. I tahun 1974 yaitu:
Pasal 8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
C. Pencegahan Perkawinan
1. Syarat Materiil: berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan
perkawinan. Diantaranya yaitu tentang larangan adanya atau dilakukannya suatu perkawinan.
2. Syarat Administratif: syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan (calon
mempelai laki-laki dan wanita, saksi dan wali) dan pelaksanaan akad nikahnya.
Pencegahan perkawinan ini tidak dibahas secara khusus dalam kitab-kitab fiqih. Namun
usaha untuk tidak terjadinya perkawinan itu dibicarakan secara umum dalam bahasan yang
terpisah-pisah8. Perkawinan dapat dilangsungkan jika syarat dan rukunnya sudah terpenuhi serta
sudah tidak ada lagi penghalang yang menghalangi terjadinya perkainan itu.
Hal-hal yang bisa menjadi alasan terjadinya pencegahn perkawinan, telah disebutkan
dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu tentang hal-hal yang menyebabkan dilarangnya kawin.
Diantaranya:
Pasal 39
Pasal 40
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama Islam.
6
Zainuddin AiI, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 33.
7
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, cetakan ketiga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 139
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang
Perkawinan), cetakan ketiga, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 150
Selain itu, perkawinan juga bisa dicegah jika istri atau suami maupun wali nikah sedang
melakukan ihram karena bebas dari ihram juga merupakan salah satu syarat sah bagi
keberlangsungan nikah.
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
menurut Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan (Pasal 60 KHI). Tidak sekufu tidak
dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan
agama atau ikhtilaafu al dien (Pasal 61 KH1).9
Menurut ketentuan Pasal 61-65 KUH Per, para pihak yang berhak mencegah
berlangsungnya suatu perkawinan:
g. Suami yang sudah cerai mencegah perkawinan bekas istrinya sebelum 300 hari lewat,
setelah pembubaran perkawinan.
h. Jawatan Kejaksaan
9
P.N.H. Simanjuntak. Hukum Perdata Indonesia. (Jakarta: Kencana. 2017). Hlm. 88
Pencegahan perkawinan diadili oleh Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah
hukumnya pegawai catatan sipil yang harus melangsungkan perkawinan itu mempunyai tempat
kedudukannya (Pasal 66 KUH Per).
D. Pembatalan Perkawinan
Dalam hukum islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad nikah tersebut
sudah terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun
rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya salah
satu rukunnya, akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dri
syaratnya maka akad nikah tersebut dianggap fasid. 12
1) Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah, karena sudah
mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak
raj'i.
10
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia dan di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1991), hlm. 83.
11
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana. 2017). hlm. 90.
12
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Permada Media Group. 2008).
hlm. 123.
3) Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila
bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba'da al dukhul
dari pria tersebut dan telah habis masa idahnya.
4) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
5) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan
menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orangtua, dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
6) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang memiliki hubungan semenda, yaitu mertua, anak
tiri, menantu dan ibu atau bapak tirinya.
7) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan sesusuan, yaitu orangtua
sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan
8) Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri atau istri-istrinya.
11) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dari suami lain.
12) Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan, yaitu untuk pria harus
berumur 19 tahun dan untuk wanita harus berumur 16 tahun.
13) Perkawinan dilangsungkan tapa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
16) Perkawinan dilakukan dengan penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Khusus mengenai perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
dan perkawinan yang dilakukan dengan penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau
istri, apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya dan
dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu mash tetap hidup sebagai suami-istri serta tidak
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, maka haknya
gugur (Pasal 72 ayat 3 KHN).13
Menurut pasal 23 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 73 KHI 52, yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan, yaitu:
1. Para keluarga dalam garis keturunan keatas dari suami atau istri
4. Pejabat yang ditunjuk dan juga setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum
secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Namun perilaku ini tidak berlaku surut bagi pihak-pihak tertentu. Hal ini sebagaimana
yang telah disebutkan dalam pasal 75 dan 76 dan juga dalam pasal 28 UU Perkawinan14, yaitu:
4. Pihak ketiga selama mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum
13
Op.Cit, hlm. 91.
14
Zainuddil Al-Malibari, Fathul Mu`in Syarah Qurrotul `Ain, (Beirut: Daarul Fikr.) hlm. 40
keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan dalam KHI pasal 76 disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan
hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Penetapan hukum ini ditetapkan atas dasar
prinsip al-bara’ah al-ashliyyah, yaitu hukum sesuatu yang telah berlangsung ditetapkan
ssebagaimana asalnya. Hal ini sejalan dengan kaidah “al-ashlu baqau makana ‘ala makana” yaitu
metetapkan hukum yang ada sebagai
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak adapat memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memeberikan biaya
penghidupan dan / atau menetukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Anak merupakan mahkluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat
bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga
memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk
perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Di dalam undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 yang di perbaharui dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
perlindungan anak pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pengertian anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 ( delapan belas ) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.15
1. Anak Sah
Anak yang sah menurut KUH Per adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah
antara ayah dan ibunya. Sedangkan menurut pasal 42 UU No.1 Tahun 1974, anak yang sah
adalah anak yang yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawian yang sah.16
Menurut pasal 250 KUH Per, seorang anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Sebagai akibatnya, kepada suami diberi
hak penyangkalan anak sah, yaitu sebagai berikut:
1) Menurut pasal 251 KUH Per, seorang anak yang dilahirkna sebelum 180 hari terhitung
sejak tanggal perkawinan, maka suami boleh menyangkal anak tersebut, tetapi
penyangkalan ini tidak boleh dilakukan dalam hal:
a) Suami telah mengetahui bahwa saat perkawinan, si istri sudah hamil
b) Suami turut hadir pada saat pembuatan akta kelahiran dan turut mendatanganinya
c) Anaknya lahir dalam keadaan meninggal
2) Menurut Pasal 252 KUH Per, suami boleh mengingkari keabsahan anak apabila dapat
membuktikan bahwa ia sejak 300 hari sampai 180 hari sebelum lahirnya anak tidak
15
Saadatul Maghfira, Kedudukan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia, Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Volume 15, Nomor
2, Juli-Desember 2016, hlm. 214
16
P.N.H Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm149
terjadi hubungan kelamin dengan istrinya. Dalam hal ini, suami harus membuktikan
bahwa ia bukan bapak anak itu.
3) Menurut Pasal 253 KUH Per, suami tidak dapat mengingkari keabsahan seorang anak
dengan alasan istrinya telah berzina dengan lelaki lain, kecuali jika kelahiran anak itu
disembunyikan
4) Menurut Pasal 254 KUH Per, suami boleh mengingkari keabsahan seorang anak yang
dilahirkan 300 hari setelah hari keputusan perpisahan meja dan tempat tidur memperoleh
kekuatan hukum. Apabila penyangkalannya dikabulkan, maka anak tersebut disebut anak
di luar kawin.
5) Menurut Pasal 256 KUH Per, tenggang waktu untuk penyangkalan adalah:
a) Dalam waktu 1 bulan dari lahirnya si anak, jika suami berdiam di tempat kelahiran si
anak
b) Dalam waktu 2 bulan, setelah kembalinya suami jika ia berada dalam keadaan tak
hadir
c) Dalam waktu 2 bulan setelah tipu muslihat diketahuinya, jika kelahiran anak itu
disembunyikan
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia
dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan
tersebut, pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan (Pasal 44 UUP)
Menurut pasal 255 KUH Per, anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan
dibubarkan adalah anak tidak sah. Seorang anak yang sah dapat dibuktikan dengan:
1) Akte kelahiran anak yang dibukukan dengan register catatan sipil (Pasal 261 ayat 1 KUH
Per)
2) Anak itu terus-menerus menikmati suatu kedudukan sebagai anak yang sah (Pasal 261
ayat 2 KUH Per)
3) Saksi-saksi, apabila telah ada bukti permulaan dngan tulisan atau dugaan-dugaan atau
petunjuk-petunjuk tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidak dapat disangkal lagi
kebenarannya (Pasal 264 KUH Per)
Selanjutnya menurut pasal 262 KUH Per, penikmatan kedudukan anak sah itu dapat
dibuktikan dengan memperlihatkan suatu pertalian, seperti selalu memakai nama si bapak,
diperlakukan sebagai anak dalam hal pendidikan, pemeliharaan dan penghidupan, serta
masyarakat selalu mengakuinya sebagai anak si bapak.17
Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik,
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Bila akta kelahiran tersebut tidak ada, maka
pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Atas dasar ketentuan
pengadiln tersebut, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan
(Pasal 55)
Pada dasarnya, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan
pria dan wanita di luar perkawinana yang sah, di mana di antara mereka tidak terkena
larangan kawin atau tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Anak luar kawin
tidak mempunya hubungan perdata dengan kedua orang tuanya. Menurut pasal 43 UUP, anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.18 Terhadap perkawinan yang sah, anak mempunyai hubungan keperdataan
dengan ayah dan ibunya, sedangkan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 100 Kompilasi
Hukum Islam).19 Sehingga terhadap anak yang lahir di laur perkawinan yang sah hukum
hanya diakui sebagai anak ibunya, dan bukan anak dari ayahnya. Hal ini tentu saja akan
mempengaruhi hak dan kewajiban orang tua terhadap anak begitu pula sebaliknya. Misalnya
saja hilangnya hak ayah sebagai wali terhadap anak perempuannya dan hilangnya hak saling
mewarisi antara orang tua dan anaknya. Anak luar kawin ini terbagi lagi menjadi dua, antara
lain:
1) Anak sumbang, yaitu anak yang dilahirkan akibat hubungan antara dua orang yang
terlarang untuk menikah karena masih adanya hubungan darah.
2) Anak Zina, yaitu anak yang lahir dari hubungan laki-laki dan perempuan yang dilarang
kawin atau dari laki-laki dan perempuan yang salah satu atau keduanya terikat dengan
perkawinan dengan pihak lain. Hal ini dikarenakan dipakainya asas monogami mutlak
dalam KUH Perdata, sehingga mereka yang sudah menikah dan memiliki hubungan
terlarang dengan pasangan lain, maka anak yang lahir dari hubungan tidak sah tersebut
tidak akan pernah bisa diakui.
17
Ibid, hlm. 151
18
Ibid.
19
Manan Abdul, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,
2002.), hlm. 353
4. Peningkatan Status anak luar kawin
Status anak luar kawin dapat ditingkatkan dengan cara-cara sebagai berikut:
Dengan pengakuan yang dilakuakn terhadap seorang anak luar kawin, timbullah
hubungan perdata antara si anak dengan bapak atau ibunya (Pasal 280 KUH Per)
b) Pengesahan anak, anak luar kawin dapat disahkan melalui surat pengesahan dari presiden
dalam hal:
1) Jika kedua orang tua sebelum atau pada saat kawin telah melalikan mengakui anak
luar kawin (Pasal 274 KUH Per)
2) Jika anak itu dilahirkan dari bapak dan ibu, di mana karena meninggalnya seorang di
antaranya tidak dapat melangsungkan perkawinan (Pasal 275 KUH Per)
3) Akibat adanya surat pengesahan anak ini, maka status anak luar kawin menjadi sama
dengan anak sah (Pasal 277 KUH Per)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan kepada Than Yang Maha Esa." Dalam KUHP atau BW
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata (Pasal26). Hal ini
berarti bahwa undang-undangmya mengakui perkawinan perdata ialah perkawinan yang
sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHP,
sedang syarat-syarat atau ketentuan agama tidaklah diperhatikan tau dikesampingkan
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun
1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil,
sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.
Pencegahan perkawinan adalah usaha untuk membatalkan perkawinan sebelum
perkawinan itu berlangsung. Pencegahan perkawinan itu dapat dilakukan apabila calon
suami atau calon istri yang akan melangsungkan pernikahan berdasarkan hukum Islam
yang termuat dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan
perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan
pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama
mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa
membatalkan perkawinan
Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut pasal 199 KUH Per, perkawinan
putus atau bubar karena: Kematian, Kepergian suami atau istri selama 10 tahun dan
diikuti dengan perkawinan baru dengan orang lain, Putusan hakim setelah adanya
perpisahan meja makan dan tempat tidur selama 5 tahun dan Perceraian.
Anak merupakan mahkluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan
tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan
keluarga memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting
untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Kedudukan anak
terbagi menjadi dua, yaitu: Anak sah dan anak luar kawin.
B. Saran
Tentunya setiap penulisan makalah, pastilah terdapat kekurangan baik pada segi
tata cara penulisannya maupun pemahamannya. Maka dari itu, kami sebagai penyusun
makalah ini meminta maaf kepada seluruh pihak atas beberapa kesalahan yang ada pada
makalah ini. Dan juga kami menerima dengan senang hati apabila ada yang ingin turut
menyumbangkan kritik serta saran agar kami dapat menyusun makalah dengan lebih baik
lagi
DAFTAR PUSTAKA
Prodiodikoro, W. (1974). Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Sumur.
Rofiq, A. (1998). Hukum Islam Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin, A. (2009). Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan
Undang- Undang Perkawinan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rasjidi, L. (1991). Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia dan di Indonesia. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Tutik, T,T. (2008). Hukum Perdata dalam Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Permada Media
Group.
Maghfira, S. (2016). Kedudukan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia. Jurnal Ilmiah
Syari'ah, 214.