Anda di halaman 1dari 22

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah

Fiqh Munahakat Dan Mawaris

Disususn oleh :

Kelompok 7

M. Aditya azzikrillah (2110202031)


Masayu Siti Nurhaliza (2110202057)
Putri Mardhatillah (2120202085)

DosenPengampu:

S.H.I, Choiriyah,M.Pd.I.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS IMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan
makalah dengan mengangkat tema “Pergaulan, Hak dan Kewajiban Suami Istri”
yang mana makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi syarat Mata Kuliah
Fiqih Munahakat dan Mawaris. Ungkapan terima kasih kami ucapkan kepada Ibu
S.H.I, Choiriyah, M.Pd.I selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah Fiqih
Munahakat dan Mawaris yang telah memberikan bimbingan serta arahan dalam
penulisan makalah. Terimakasih juga tidak kami lupakan kepada teman- teman
yang telah membantu proses pembuatan makalah kami.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan


penyajian data dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pembaca, khususnya Dosen Pengampu
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan pembaca dan menjadi bahan pembelajaran selanjutnya.

Demikianlah makalah ini kami susun, apabila kekurangan ataupun


kesalahan dalam isi makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Palembang18 April
2024

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4

A. Latar Belakang ........................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6

A. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri ........................................... 6

B. Hak Istri atas Suami .................................................................................. 9

C. Hak Suami atas Istri ................................................................................. 11

D. Kewajiban Suami Terhadap Istri. .......................................................... 13

E. Kewajiban Istri terhadap Suami ............................................................ 16

F. Kewajiban Bersama Suami Istri. ............................................................ 18

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 20

A. Kesimpulan ............................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 21
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia, masyarakat dan kebudayaan memiliki hubungan dialetik.
Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan
meniadakan. Persis seperti permainan gamsut (Inggris: game suite) yang
kita sering mainkan waktu kita kecil. Dimana permainan ini mengajarkan
bagaimana simbol-simbol ini saling melengkapi dan berkaitan yang akan
menciptakan relasi makna dalam kehidupan kita. (Kahmad, 2011, hal. 17).
Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang sakral,
bermakana ibadah kepada Allah Swt., mengikuti sunah rasul Saw., dan
dilaksanakan atas dasar suka rela, bertanggung jawab, dan mengikuti
ketentuan hukum yang harus diindahkan oleh suami dan istri. Baik itu
hukum agama dan hukum negara. (Wibisana, 2016).

Maka ketika Membicarakan hak dan kewajiban pasangan memang


tidak mudah. Karena kita harus memahami makna dari pernikahan. Ketika
kita berbicara tentang pernikahan, kita bisa melihatnya dari dua sisi.
Pernikahan adalah perintah agama. Di sisi lain, dilegalkan oleh agama
adalah satu-satunya cara untuk diperbolehkan melakukan hubungan suami
istri. Dari sudut pandang ini, mereka yang menikah sekaligus tidak hanya
ingin memenuhi kebutuhan biologisnya, tetapi tentu harus tersalurkan.
Seperti kebutuhan lainnya dalam hidup, kebutuhan biologis harus
dipenuhi. Islam juga telah menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk
memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah melalui pernikahan.
(Samad, 2017, hal. 74).

Allah Swt., menciptakan semua makhluk berpasang-pasangan


tanpa terkecuali. Saling membutuhkan, melengkapi dan mendukung.
Sebagai makhluk Allah Swt., yang paling sempurna dan sebagai khalifah
di muka bumi. (Ali, 2008. hal. 22), manusia bertanggung jawab untuk
menaati peraturan Allah Swt. Dalam menjalankan aturan-aturan syari’at,
melalui panduan hidup yang excellent (luar biasa). Dan menjadikan
sebagai pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiaban suami istri yang
tercantum dalam (guidance) petunjuk Al-Qur’an dan hadis.

Sebagaimana diketahui keluarga terbentuk melalui suatu ikatan


pernikahan. Islam telah mengatur suatu ikatan yang sah berdasarkan Al-
Qur’an dan Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk membentuk sebuah
keluarga, (Puspitasari. 2019, hal. 1), sehingga setiap orang perlu memiliki
keinginan untuk menikah dan membangun keluarga yang harmonis.
Namun, banyak rumah tangga yang kurang beruntung karena kurangnya
pengetahuan pasangan tentang bagaimana membentuk rumah tangga
Sakinah (Shihab, 2020, hal. 218). Mawadah (Shihab, 2020, hal. 218), dan
Ramah sesuai petunjuk Al-Qur'an. Berdasarkan uraian di atas penulis akan
membahas hak dan kewajiban suami istri dalam perspektif Al-Qur’an. 1

1
Suhartawan Budi, Tafakkur : Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 2 No. 02 / April 2022. Hlm.107
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata hak
memiliki pengertian arti milik dan kepunyaan, sedangkan kata kewajiban
memiliki pengertian sesuatu yang harus dilakukan dan merupakan suatu
keharusan.2 Sedangkan yang dimaksud dengan hak disini adalah hal-hal
yang diterima seseorang dari orang lain, sedangkan kewajiban yang
dimaksud disini adalah apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap
orang lain.3
Peran dan fungsi antara suami dan istri ini dikonstruksikan dalam
bentuk hak dan kewajiban yang melekat pada diri kedua belah pihak. Hak
adalah yang sesuatu yang melekat dan mesti diterima atau dimiliki oleh
seseorang, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan dan
dipenuhi oleh seseorang kepada orang lain. Rumusan dari hak dan
kewajiban inilah yang kemudian akan dijadikan barometer untuk menilai
apakah suami dan istri sudah menjalankan fungsi dan perannya secara
benar.4
Pernikahan dalam Islam pada dasarnya mempunyai tujuan untuk
membentuk keluarga yang harmonis (sakinah) yang dilandasi dengan
perasaan kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah). Salah satu cara supaya
keharmonisan tersebut dapat terbangun dan tetap terjaga adalah dengan
adanya hak dan kewajiban diantara masing-masing anggota keluarga.
Adanya hak dan kewajiban dalam keluarga ini bertujuan supaya masing-
masing anggota sadar akan kewajibannya kepada yang lain, sehingga

2
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed.3-cet.2, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., hlm. 1266
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perekonomian Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm.
159
4
Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas: Kajian Hadis-hadis “Misoginis”, (Yogyakarta: elSAQ Press &
PSW, 2003), hlm. 12
dengan pelaksanaan kewajiban tersebut hak anggota keluarga yang lain
pun dapat terpenuhi sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, adanya hak dan kewajiban tersebut, pada
dasarnya adalah untuk menjaga keharmonisan hubungan antar anggota
keluarga, karena masing-masing anggota keluarga memiliki kewajiban
yang harus dilaksanakan demi untuk menghormati dan memberikan kasih
sayang kepada anggota keluarga yang lainnya. Islam, melalui al-Qur‟an
dan sunah, menyatakan bahwa dalam keluarga, yaitu antara suami dan
istri, masing-masing memiliki hak dan kewajibannya tersendiri.5
Manusia diciptakan oleh Allah dengan cara yang seimbang antara
fisik dan ruhaninya. Dan kebahagiaan hidup manusia juga ditentukan oleh
aneka keseimbangan, seperti; keseimbangan akal, jiwa, emosi, dan jasad;
keseimbangan kepentingan antara jasmani dan ruhani, keseimbangan
antara kebutuhan material dan spiritual serta keperluan individu dan
masyarakat. Hubungan dengan sesama manusia pun harus seimbang,
bahkan tidak keliru jika dinyatakan bahwa hubungan yang seimbang antar
manusia merupakan faktor terpenting dalam memelihara keseimbangan di
bumi ini. Jika demikian, kebahagiaan suami istri dalam rumah tangga
ditentukan oleh keseimbangan neraca. Kelebihan atau kekurangan pada
satu sisi neraca mengakibatkan kegelisahan serta mengenyahkan
kebahagiaan.6
Salah satu keseimbangan yang di garis bawahi al-Qur‟an dalam
konteks kehidupan suami istri adalah keseimbangan antara hak-hak suami
istri dan kewajiban-kewajiban mereka. Sebagaimana firman Allah Swt :

َّ‫علَي ِْهن‬ ْ ‫َولَ ُهنَّ ِمثْ ُل الَّذ‬


َ ‫ِي‬
‫ف‬ ِ ‫ِبا ْل َم ْع ُر ْو‬

5
Departemen Agama RI, Membangun Keluarga Harmonis (Tafsir al-Qur‟an Tematik), (Jakarta:
Penerbit Aku Bisa, 2012), hlm. 107.
6
M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur‟an..., hlm. 154
Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajiban mereka menurut cara yang ma‟ruf [yakni adat kebiasaan yang
baik]” 7(Q.S al-Baqarah [2]:228)

Dalam konteks hubungan suami istri, ayat ini menunjukkan bahwa


istri mempunyai hak dan kewajiban terhadap suami, sebagaimana pula
suami pun mempunyai hak dan kewajiban terhadap istri, keduanya dalam
keadaan seimbang, bukan sama. Dengan demikian, tuntunan ini menuntut
kerja sama yang baik, pembagian kerja yang adil antara suami istri walau
tidak ketat, sehingga terjalin kerja sama yang harmonis antara keduanya,
bahkan seluruh anggota keluarga.8

Ayat ini juga memberi pengertian bahwa istri memiliki hak yang
wajib dipenuhi oleh suami seimbang dengan hak yang dimiliki suami yang
wajib dipenuhi oleh istri, yang dilaksanakan dengan cara yang ma‟ruf
(baik menurut kondisi internal masing-masing keluarga). Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk hak dan kewajiban suami istri
pada hakikatnya didasarkan pada adat kebiasaan (‘urf) dan fitrah manusia
serta dilandasi prinsip “setiap hak yang diterima sebanding dengan
kewajiban yang diemban”.9

Hak dan kewajiban dalam keluarga, dengan demikian, harus


dipahami sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan pernikahan.
Pelaksanaan kewajiban dapat diartikan sebagai pemberian kasih sayang
dari satu anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lainnya.
Sebaliknya, penerimaan hak merupakan penerimaan kasih sayang oleh
satu anggota keluarga dari anggota keluarga yang lain.

7
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol.1..., hlm. 486.
8
Ibid., hlm. 491.
9
Departemen Agama RI, Membangun Keluarga Harmonis..., hlm. 109
B. Hak Istri atas Suami
Bisa kita ketahui, bahwa perkawinan merupakan sarana agama
untuk menghalalkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan
sehingga, sehingga tidak terjerumus dalam perzinaan. Dalam proses
pelegalan hubungan badaniyah (perkawinan yang sah) inilah kemudian
muncul hak dan kewajiban bagi seorang perempuan (istri) yang
dirumuskan dalam bagan sederhana sebagaimana berikut, yaitu:
Hak Kewajiban

Hak mendapatkan mahar. Taat dan patuh kepada suami.

Hak mendapatkan perlakuan Mengatur rumah dengan sebaik-


yang ma’ruf dari suami. baiknya.

Dijaga nama baik oleh si Menghormatikeluarga suami


suami, danlain-lain. danlain-lain

Hak mendapatkan nafkah Menghormati keluar suami dan


lain-lain

Seorang perempuan yang disahkan sebagai istri berhak untuk


mendapatkan mahar dari suami dan suami wajib memberikannya untuk
istrinya. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:

ً ‫صد ُٰقتِ ِهنَّ نِحْ لَةً ۗ فَا ِْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن ش َْيءٍ ِم ْنهُ نَ ْف‬
‫سا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِ ْۤ ْيـًٔا‬ َ ‫س ْۤا َء‬
َ ِ‫َو ٰاتُوا الن‬
‫َّم ِر ْۤ ْيـًٔا‬

Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang


kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan,jika kemudian
mereka (wanita) menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) sebagai pemberian yang
sedap dan baik akibatnya. Q.S An-Nisā' [4]:4.

Dari keterangan ayat tersebut jelas bahwa suami wajib memberi


mahar kepada istrinya sesuai dengan apa yang disampaikan (dijanjikan)
pada saat terjadinya akad nikah (mahar musamma) ataupun sejumlah
mahar untuk keluarga istri yang tidak ditentukan jumlahnya (mahar
mitsil). Terkait kewajiban bagaimana dan kapan mahar tersebut diberikan,
Al-Jashash sebagaimana dalam kutipan Ali al-Sayish menyatakan bahwa
mahar hanya wajib diberikan jika telah terjadi hubungan badan.Sementara
itu dalam pandangan jumhur, mahar wajib diberikan baik itu setelah
adanya hubungan badan ataupun belum.Artinya, jika terjadi proses
perceraian tetap saja mahar wajib diberikan, karena itu merupakan hak istri
baik sebelum atau sesudah adanya hubungan badaniyah.
Selain berhak atas mahar sebagaimana ketentuan, istri juga berhak
atas nafkaf suami sebagai kebutuhan dan jaminan hidup. Nafkah secara
lebih luas bisa dimaknai sebagai segala sesuatu yang harus diberikan
suami kepada istri baik itu berupa kebutuhan material maupun non
material serta kebutuhan lainnya termasuk penghargaan atas penyusuan
dan pemeliharaan anak.Di antara kebutuhan material yang harus dicukupi
oleh suami misalnya kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pelayanan
kesehatan dan sebagainya. Sedangkan kebutuhan non material yang
merupakan tanggung jawab suami terhadap istri antara lain yaitu:
1) Digauli dengan cara yang baik (ma’ruf),yaitu bahwa suami dalam
melakukan hubungan badaniyah harus mempertimbangkan aspek
keadaan dan kondisi istri. Suami tidak boleh memperlakukan
istrinya secara kasar dan sewenang-wenang berdasarkan
kemauannya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan istri.
2) Menjaga keselamatan, keamanan dan menghindarkan istri dari
segala sesuatu yang membahayakan jiwanya, termasuk dari
kemungkinan terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan maksiat.
3) Mengajarkan dan memahamkan masalah-masalah agama, sehingga
istri menjadi pribadi yang taat kepada Allah SWT, baik dalam
pergaulan keluarga maupun dalam pergaulan social masyarakat
yang lebih luas.
4) Tidak menyakiti jasmani dan rohani istri baik dengan memukul
secara langsung atau dengan penghinaan yang menyakiti hatinya10

C. Hak Suami atas Istri


Kewajiban istri terhadap suami merupakan hak suami yang harus
dipenuhi oleh istri, yaitu:
1. Kepatuhan.
Seorang suami berhak atas kepatuhan istri, yaitu di mana seorang
istri wajib mentaati suaminya, baik terhadap perkara yang rahasia
maupun yang terang atau jelas.Seorang istri harus mentaati suaminya
karena akan mendatangkan keharmonisan dalam keluarga. Sebaliknya,
ketidakpatuhan dan ketidaktaatan istri akan mendatangkan kekecewaan
dan keretakan dalam hubungan keluarga.35Hal ini tidak terlepas
bahwa dalam kondisi apapun, suami adalah pemimpin dalam keluarga
berdasar pada QS. Al-Nisa’: 34 sebagaimana berikut:

ٍ ‫ض ُه ْم ع َٰلى بَ ْع‬
ۗ ‫ض َّو ِب َما ٓ اَ ْنفَقُ ْوا ِم ْن ا َ ْم َوا ِل ِه ْم‬ َ ‫ّٰللاُ بَ ْع‬‫ض َل ه‬ َّ َ‫س ْۤا ِء ِب َما ف‬ َ َ‫ا َ ِلرجَا ُل قَ َّوا ُم ْون‬
َ ِ‫علَى الن‬
َّ‫ظ ْوهُن‬ ُ ‫ّٰللاُ َۗوالهتِ ْي تَ َخافُ ْونَ نُش ُْو َزهُنَّ َف ِع‬ ‫ب ِب َما َح ِف َظ ه‬ ِ ‫ص ِل ٰحتُ ٰقنِ ٰتتٌ ٰح ِف ٰظتٌ ِل ْلغَ ْي‬ ‫فَال ه‬
َ َّ‫ع َلي ِْهن‬
‫س ِبي ًَْل ۗاِنَّ ه‬
َ‫ّٰللاَ كَان‬ َ ‫ض ِربُ ْوهُنَّ ۚ َفا ِْن ا َ َط ْع َن ُك ْم َف ََل ت َ ْبغُ ْوا‬
ْ ‫َاج ِع َوا‬ ِ ‫َوا ْه ُج ُر ْوهُنَّ ِفى ا ْل َمض‬
‫ع ِليًّا َكبِي ًْرا‬
َ

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum


wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab
itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi

10
Nurani Mulya S, Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam, e-Journal
Al-Syakhsiyyah Journal of Law and Family Studies, Vol. 3 No. 1 (2021). Hlm. 108-109
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). QS. Al-Nisa’: 34.

Berdasarkan ayat tersebut di atas, keharmonisan dalam rumah


tangga sangat bergantung pada bagaimana peran dan fungsi suami sebagai
pemimpin keluarga melakukan metode kepemimpinannya untuk mengatur
keluarganya. Jika kepemimpinan itu buruk maka keharmonisan keluarga
akan terancam karena pada saat bersamaan istri yang mestinya patuh dan
taat juga akan melakukan perlawanan. Tegasnya, suami wajib menjadi
qawwamun yang benarbenar mampu menguasai istri dan keluarganya
secara arif dan bijaksana sehingga mendapat kewibaayan, dipatuhi dan
ditaati oleh istri beserta segenap anggota keluarga yang lain dalam kondisi
apapun juga, baik saat ada di lingkungan keluarga ataupun saat tidak ada
(bepergian atau berada di luar rumah).

2. Menjaga diri.
Seorang istri berkewajiban menjaga diri, harta dan keluarganya
saat suami tidak sedang berada di rumah. Hal-hal teknis seperti
misalnya menerima tamu laki-laki dalam kondisi sendirian mesti
dihindari oleh istri karena akan menimbulkan fitnah dan prasangka
yang tidak baik. Demikian juga istri tidak boleh sekehendak hatinya
memanfaatkan atau membelanjakan harta saat suami sedang tidak ada
di rumah, kecuali untuk hal-hal yang mendesak dan setelah mendapat
persetujuan suami.Hal-hal ini merupakan hak bagi suami yang tidak
bisa dilanggar oleh istri karena menyangkut kewibawaan dan
kepribadian seorang laki-laki.11

11
Ibid., hlm. 110-111
D. Kewajiban Suami Terhadap Istri.
Adapun kewajiban suami terhadap istri dapat di bagi menjadi dua
bagian:
1. Kewajiban yang bersifat materi yang disebut nafqah.
2. Kewajiban yang tidak bersifat materi.

Kewajiban suami terhadap istri yang tidak bersifat materi adalah:

a. Menggauli istrinya secara baik dan patut.


Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-
Nisa’ ayat 19:

ٓ ٰ ‫ف ۚ فَا ِْن ك َِر ْهت ُ ُم ْوهُنَّ فَ َع‬


َ ‫سى ا َ ْن تَك َْر ُه ْوا‬
‫شيْـًٔا‬ ِ ‫ش ُر ْوهُنَّ ِبا ْل َم ْع ُر ْو‬
ِ ‫َوعَا‬

‫ّٰللاُ فِ ْي ِه َخي ًْرا َكثِي ًْرا‬


‫َّويَجْ عَ َل ه‬

Artinya: “Pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara


baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka
(bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak”.

b. Suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang


diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu sakinah, mawaddah
wa rahmah.
Untuk itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi
istrinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat ar-
Rum ayat 21:
‫س ُكنُ ْٓوا اِلَ ْي َها‬ ِ ُ‫َو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٓه ا َ ْن َخ َلقَ لَ ُك ْم ِم ْن ا َ ْنف‬
ْ َ ‫س ُك ْم ا َ ْز َوا ًجا ِلت‬
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم يَّتَفَك َُّر ْون‬ ٍ ‫َو َجعَ َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِنَّ فِ ْي ٰذ ِلكَ َ َٰل ٰي‬

Artinya: Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya


ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa
tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa
cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang berpikir. Q.S Ar-Rūm [30]:21
c. Mendidik istri merupakan kewajiban suami.
sebagaimana tercantum dalam Hadits Bukhariyang
artinya :“Nasihatilah para wanita (istri) itu dengan baik.
Sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk yang
bengkok. Bila engkau biarkan akan tetap bengkok, tapi jika
engkau luruskan akan patah. Maka nasihatilah wanita itu
dengan baik.”(HR Bukhari)12

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap istri


dijelaskan secararinci sebagai berikut:

Pasal 80

a) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan


tetapimengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri bersama.
b) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
c) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan
member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, dan bangsa.

12
Miftah faridl, Rumahku Surgaku, (Jakarta: GEMA INSANI 2005), Hal. 113
d) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
e) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
f) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak.
g) Biaya pendidikan bagi anak.
h) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istri.
i) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
j) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri
nusyuz.

Pasal 81

a) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya,


atau bekas istri yang masih dalam iddah.
b) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
c) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai harta kekayaan, sebagai tempat
menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
d) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penujang lainnya.

Pasal 82

a) Kewajiban Suami yang Beristri Lebih dari Seorang


b) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban member
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara
berimbang menurut besar kecilnya keluarga yang ditanggung masing-
masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
c) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya
dalam satu tempat kediaman13

E. Kewajiban Istri terhadap Suami


Dari istri tidak ada yang berbentuk matri secara langsung, yang ada
adalah kewajiban dalam bentuk non materi. Yakni:
1. Menggauli suami secara layak dengan kodratnya. Hal ini dapat
dipahami dari ayat yang menuntut suami menggauli istrinya
dengan baik, karena perintah untuk menggauli itu berlaku timbale
balik.
2. Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan
memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam
batas-batas kemampuannya.
3. Taat dan patuh kepada suami, selama suaminya tidak menyuruh
untuk melakukan perbuatan maksiat. Hal ini dapat dilihat dari
isyarat firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 34:

ِ ‫ص ِل ٰحتُ ٰق ِن ٰتتٌ ٰح ِف ٰظتٌ ِل ْلغَ ْي‬


‫ب بِ َما َح ِف َظ ه‬
ُ‫ّٰللا‬ ‫ۗۗ فَال ه‬
”Perempuan-perempuan yang sholihah adalah perempuan yang
taat kepada Allah (dan patuh kepada suami) memelihara diri
ketika suami tidak ada oleh karena Allah telah memelihara
mereka."
4. Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak
disenangi oleh suaminya.
5. Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak
dipandang dan suara yang tidak enak didengar.
6. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
7. Mengatur rumah tangga dengan baik.
8. Menghormati keluarga suami.

13
Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 162-163
9. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
10. Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk
maju.
11. Ridha dan syukur terhadap apa uyang diberikan suami.
12. Selalu berhias, bersolek untuk suami.
13. Selalu berhemat dan suka menabung.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban istri terhadap suami


dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 83

Kewajiban Istri

a) Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir batin kepada
suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
b) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
a) Istri dapat dianggap nusyuz (Maksud nusyuz adalah perbuatan seorang
istri meninggalkan kewajibannya, seperti meninggalkan rumah tanpa rida
suaminya.)jika tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban,
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali alasan yang
sah.
b) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istri yang disebut
pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.
c) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah
istri tidak nusyuz.
d) Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas
bukti yang sah.14

F. Kewajiban Bersama Suami Istri.


Ketika suami istri telah mengucapkan akad dalam prosesi pernikahan,
maka lahirlah peristiwa hukum yang berakibat pada adanya hak dan
kewajiban. Perkawinan sebagai perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidzon)
antara suami istri mengandung arti bahwa kedua belah pihak sepakat untuk
menjalankan tugas dan perannya yang mendukung tujuan perkawinan.
Perkawinan dalam ajaran Islam adalah kesepakatan suami istri untuk
hidupbersama, meraih cita-cita bersama dalam rangkaterbentuknya
keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kesepakatan hidup
bersama menunjukkan adanya kesediaan masing- masing pihak untuk
menjalankan tugas dan peran yang mendukung terwujudnya tujuan
bersama dalam kehidupan rumah tangga diantaranya yaitu:
1. Saling menghormati keluarga dan orang tua dan keluarga
keduabelah pilrak
2. Memupuk rasa cinta dan kasih sayang.
3. Hormat-menghormati, sopan santun, penuh pengertian, serta
bergaul dengan baik
4. Matang dalam berbuat dan berpikir, dan tidak bersikap emosional
datam memecahkan persoalan yang dihadapi.
5. Memelihara kepercayaan dan tidak saling membuka rahasia
pribadi, 15
Memahami kutipan di atas, dapat dikemukakan bahwa suami istri
memiliki kewajiban bersama untuk saling menghormati, menyayangi. dan
memelihara kepercayaan masing-masing. Hal ini menegaskan bahwa
rumah tangga tidak dapat dibangun berdasarkan pemenuhan materi dan

14
Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: KENCANA 2006), Hal. 163-164
15
Huzaima Tahido Yango,,Masail Fiqhiyyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung:Angkasa,
2005), h. 137
pemenuhan kebutuhan lahiriah saja, tetapi membutuhkan kasih sayang dan
saling sebagai bagian dari kebutuhan psikologis.
Kasih sayang dan kepercayaan menjadi modal terpenting untuk
membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Untuk itu
diperlukan komitmen dan kematangan dalam bertindak, dan
bersikap.Sebagai unit sosial terkecil, keluarga dibangun berdasarkan
kesepakatan untuk mewujudkan cita-cita bersama, yang membutuhkan
tertib hukum,dan pembagiantugas yang jelas. Dalam konteks hukum
keluarga, suami dan istri adalah subyek hukum yang secara sadar sepakat
untuk dibebani tanggung jawab dan kewajiban sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing. Dengan demikian timbulnya kewajiban bersama suami
istri,adalah tuntutan bertindak yang sudah diprediksi sebelumnya, dan
disepakati oleh suami istri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari ulasan terkait bagaimana hak kewajiaban suami istri dapat
ditarik kesimpulan bahwa Al-Qur’an telah memberi petunjuk (hudan)
kepada pasangan suami istri tentang bagaimana sepatutnya
membangun dan membina rumah tangga agar bisa menghidupkan
suasana sakinah mawaddah dan rahmah. Tentu dalam pelaksanaannya
adalah dengan jalan mengerjakan hak kewajiban sesuai dengan tugas
dan tanggung jawab dari suami istri.
Hak kewajiban suami istri bisa terbangun dengan harmonis dan
berkelanjutan. Apabila kedua pasangan saling mendo’akan,
menghargai perbedaan pendapat, menghormati keputusan masing-
masing dengan kepala dingin dan saling mengerti satu sama lain.
Keluarga yang baik adalah keluarga yang terbangun atas dasar
kebersamaan dalam cinta dan kasih sayang karena Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA

Faridi, Miftah. (2005). Rumahku Surgaku. Jakarta: Gema Insani.

Ghazali, A. R. (2006). Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.

Ilyas, Hamim (2003). Perempuan Tertindas : Kajian Islam di Indonesia.


Yogyakarta: elSAQ Press & PSW.

Mulya, N. (2021). Relasi Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Persfektif
Hukum Islam. e journal Al-Syakhsiyyah Journal of Law and family Studen , 108-
109.

Departemenn Agama RI (2012). Membangun Keluarga Harmonis .


Jakarta: Penerbit Aku Bisa.

Setiawan, B. (2022). Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir , 107.

Shihab, M. Q. (2007). Pengantin Al-Quran. Jakarta: Jakarta Press.

Syarifudin, Amir. (2006). Hukum Perekonomian Islam di Indonesia.


Jakarta: Prenada Media.

Syrifudin, Amir. (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara


Fiqh Munakahat dan Undang-undang perkawinan. Jakarta: Kencana.

Tango, H. T. (2005). Masail Fiqhiyah. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai