Anda di halaman 1dari 22

Hikmah-Hikmah Syariah III

(Hikmah Nikah, Hikmah Waris, Hikmah Jinayah)

Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hikmatut Tasyri’

Dosen Pengampu : YUANDA KUSUMA,M.Ag

Oleh :

1. Labibah Sayaka Ilma (200101110144)


2. Muhammad Manshur (200101110199)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami kelompok 13 dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul Hikmah-
hikmah Syariah Islam III untuk memenuhi tugas mata kuliah Hikmatut Tasyri’ dengan tepat
waktu. Tidak lupa juga semoga shalawat dan salam tetep tercurahkan kepada junjungan nabi
besar kita yaitu Nabi Muhammad SAW, karena beliau yang sudah menunjukkan dan
membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yaitu agama islam.
Selanjutnya kami juga berterima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Hikmatut
Tasyri’kami yaitu bapak Yuanda Kusuma,M.Ag. Beliau yang telah membimbing dan
mengarahkan kami dalam membentuk makalah ini dan beliau juga yang telah memberikan
materi atau ilmu pengetahuan untuk kami pelajari. Dan kami juga berterima kasih kepada orang
tua kami karena telah memberika dukungan serta semangat sehingga kami selalu mendapat
support untuk mendukung kami dalam pembelajaran materi apapun.

Semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan, wawasan, dan ilmu kepada pembaca
materi tentang Hikmah-hikmah Syariah Islam III. Kami juga menyadari bahwa banyak
kekurangan dalam makalah kami ini ibarat “Tiada Gading yang Tak Retak” artinya tiada
manusia yang sempurna dan tidak luput dari kesalahan, maka dari itu kami masih sangat perlu
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca atau orang lain agar kami bisa lebih baik lagi
dalam membuat makalah.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Malang, 5 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i


DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................ 3
A. Pengertian Nikah ............................................................................................................. 3
B. Hukum Pernikahan .......................................................................................................... 3
C. Syarat dan Rukun Pernikahan ......................................................................................... 4
D. Hikmah dan Tujuan Pernikahan ...................................................................................... 5
E. Pengertian Waris ............................................................................................................. 7
F. Asas-asas Waris .............................................................................................................. 7
G. Golongan Waris ............................................................................................................ 10
H. Hikmah Waris ............................................................................................................... 12
I. Pengertian Jinayah ........................................................................................................ 13
J. Asas-asas Jinayah .......................................................................................................... 13
K. Macam-macam Jinayah ................................................................................................. 15
L. Hikmah Jinayah............................................................................................................. 16
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia setiap umat beragama Islam yang melaksanakan pernikahan harus mencatat
pernikahannya di Kantor Urusan Agama,sesuai dengan peraturan perundang-undangan-
undangan yang berlaku. tetapi nyatanya perkawinan sirri masih banyak terjadi di kalangan
masyarakat Indonesia. Perkawinan sirri memang sah secara syari'at namun tidak sesuai
dengan peraturan perkawinan yang berlaku. Akibat hukum dari batalnya pernikahan sirri
adalah tidak mempunyai akta nikah sehingga tidak mempunyai kekuatan dan kepastian
hukum. Kemunculan Itsbat Nikah dari Pengadilan Agama akan dapat membantu status
perkawinan, karena perkawinan itu telah memiliki kekuatan hukum.
Hukum waris Islam dipengaruhi oleh kondisi sosiologis masyarakat dan subjektivitas
pemahaman ulama sehingga qat'i dilalah ayat tentang waris mutlak harus diperhatikan oleh
ulama. Pemahaman yang komprehensif diperlukan untuk mencegah inklusivisme yang
merugikan hak orang lain dalam hukum waris Islam. Patriarkisme dalam hukum waris Islam
merupakan pandangan hukum yang bertentangan dengan prinsip hukum waris individual dan
bilateral prinsip dasar hukum waris Islam. Kompilasi hukum Islam yang menjadi acuan dalam
menyelesaikan persoalan hukum waris di Indonesia diharapkan mampu menyelesaikan segala
persoalan hukum sehingga menjadi barometer terwujudnya cita-cita hukum Islam Indonesia
yang responsif dan kondisional. Hukum waris Islam terpengaruh dengan kondisi sosiologis
masyarakat serta subjektivitas pemahaman ulama sehingga ayat waris yang bersifat qat'i
dilalah secara mutlak harus menjadi pertimbangan para ulama. Pemahaman komprehensif
sangat dibutuhkan agar tidak terjadi inklusivisme dalam hukum waris Islam sehingga
merugikan hak orang lain.
Pembentukan suatu kaidah hukum dalam kajian ini adalah qanun tentunya harus
mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada yaitu tentang tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan dan teori-teori pembentukan hukum. Pembentukan qanun di Aceh dapat
berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tantang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pembentukan Qanun serta teori-teori pembentukan hukum yang dikembangkan oleh
para ahli hukum. Qanun Hukum Jinayat yang disusun di Aceh tidak langsung mengikuti kitab
fiqh tetapi telah dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat agar qanun
ini dapat dilaksanakan tanpa adanya perbedaan pendapat karena mazhab yang berbeda dan
untuk menghindari terjadinya multi tafsir.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Nikah?

2. Apa Hikmah Nikah ?

3. Apa Pengertian Waris?

4. Apa Hikmah Waris?

5. Apa Pengertian Jinayah?

6. Apa Hikmah Jinayah?

C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan Pengertian Nikah

2. Menjelaskan Hikmah Nikah

3. Menjelaskan Pengertian Waris

4. Menjelaskan Hikmah Waris

5. Menjelaskan Pengertian Jinayah

6. Menjelaskan Hikmah Jinayah

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah

Pernikahan atau perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan
dua kata, yaitu nikᾱḥdan zawᾱj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari
orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak
terdapat dalam al-Qur‟an dengan arti kawin, demikian pula banyak terdapat kata za-wa-
ja dalam al-Qur‟an arti kawin.1Ada pula yang mengartikan bahwa pernikahan ialah akad
yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang bukan maḥram.2
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh.3Dalam pandangan Islam di samping pernikahan itu sebagai perbuatan
ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut
menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul
berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk
umatnya.4
Nikah adalah salah satu asa pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang sangat
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat
dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum
lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu
dengan yang lainnya.5
B. Hukum Pernikahan
Adapun hukum melakukan pernikahan berdasarkan nash-nash, baik al-Qur‟an
maupun as-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk
melangsungkan pernikahan. Namun kalau dilihat dari segi kondisi orang yang
melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka pernikahan itu dapat dikenakan
hukum wajib, Sunnah, haram, makruh ataupun mubah.6

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang
Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. Ke-3, 35.
2
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat , (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet. Ke-1, 9.
3
Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-3, edisi kedua, 456.
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang
Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. Ke-1, 41.
5
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), 374.
6
Al-Manar, Fikih Nikah, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2003), cet. Ke-1, 9-11.
3
Inilah beberapa penjabaran hukum pernikahan, diantaranya:7
a) Wajib
Hukumnya menikah dikatakan wajib, apabila seseorang mengkhawatirkan dirinya
terjatuh ke dalam zina, sementara dia mampu memikul tanggung jawab pernikahan dan
nafkahnya, karena menikah adalah jalan untuk menjaga kehormatannya dan
memeliharanya agar tidak terjatuh ke dalam suatu yang haram. Seperti yang tertera dalam
al-Qur‟annya surat An-Nur ayat 33
b) Sunnah
Hukumnya menjadi Sunnah dianjurkan bila seseorang memiliki dorongan
syahwat kepada lawan jenisnya dan memiliki biaya menikah dan rasa tanggung jawab,
namun dia tidak mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perzinaan. Adapun dalil-
dalinya dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 3
c) Haram
Nikah menjadi haram manakala seseorang yakin bahwa ia menikah ia akan
menzalimi istri, tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahir kepada istrinya dan tidak
menjadi kepala keluarga yang baik.
d) Makruh
Hukumya menjadi makruh, apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa jika ia
menikah ia takut jatuh ke dalam kemudaratan dan kemaksiatan. Hal tersebut disebabkan
oleh misalnya, tidak mampu menafkahi keluarga dan tidak baik dalam memimpin
keluarga. Namun, keyakinan tersebut tidak sampai ke tingkat keyakinan dalam hukum
wajib di atas.8
e) Mubah
Hukum mubah ini berlaku bagi seorang pria yang tidak terdesak oleh alasan-
alasan yang mewajibkan segera menikah, atau karena alasan-alasan yang mengharamkan
nikah.Ataupun dikatakan mubah yakni suatu pernikahan yang diperbolehkan bagi siapa
saja (laki-laki dan perempuan) yang sudah baligh (mukallaf), dan juga tidak ada suatu
sebab atau halangan-halangan yang merintanginya.9
C. Syarat dan Rukun Pernikahan
Pernikahan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya.
Keduanya tidak dapat dipisahkan karena syarat-syarat tersebut mengikuti rukun nikah,

7
Tim Ulama Fikih di bawah arahan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu asy-Syaikh, Fikih Muyassar Panduan
Praktis Fikih dan Hukum Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2015), cet. Ke-1, 465-466.
8
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), 80.
9
Labib, Fiqih Wanita Muslimah, (Surabaya: Tiga Dua, 2000), 207.
4
syari’at Islam telah menetapkan beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam
pernikahan.
Rukun adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu. Sesuatu
tersebut tidak akan terwujud melainkan dengannya atau dengan kata lain hal yang harus
ada. Adapun menurut Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas:10
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. Akad nikah akan dianggap sah
apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya.
3) Adanya dua orang saksi.
4) Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad
nikah tersebut.
5) Sighat akad nikah, yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak
wanita, daan dijawab oleh calon pengantin laki-laki
D. Hikmah dan Tujuan Pernikahan
Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi kehidupan
manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan utama yang baik
bagi manusia, makhluk yang dimuliakan Allah. Untuk mencapai kehidupan yang
bahagia dan menjauhi dari ketimpangan dan penyimpangan, Allah telah membekali
syari‟at dan hukum-hukum Islam agar dilaksanakan manusia dengan baik.Demikian
Allah juga menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-
laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitu pula tumbuh-tumbuhan dan
lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup
dua sejoli, hidup suami istri, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk
itu haruslah ada ikatan yang kokoh yang tak mungkin putus dan diputuskannya ikatan
akad nikah atau ijab qabul pernikahan.11
Bila akad telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersedia akan
membangun satu rumah tangga yang damai dan teratur, akan sehidup semati, sesakit dan
sesenang, merunduk sama bungkuk, melompat sama patah, sehigga mereka menjadi satu
keluarga. Mereka akan melahirkan keturunan yang sah, kemudian keturunan mereka itu
akan membangun pula rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru dan begitulah
seterusnya. Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan
teratur itu haruslah dengan pernikahan dan akad nikah yang sah, serta diketahui

10
31Slamet
Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-1, 64-68.
11
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. Ke-1, 39.
5
sekurang-kurangnya dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan tetangga
dan karib kerabat dengan mengadakan pesta pernikahan (walimahan).12 Hikmah
pernikahan pada semua makhluk adalah sebagai penjelasan bahwa Allah itu benar (haq)
dan sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, itulah hikmah yang paling agung13
Adapun hikmah langsung yang akan dirasakan oleh orang-orang yang menikah
dan dapat dibuktikan secara ilmiah:14
1) Sehat
Nikah itu sehat, terutama dari sudut pandang kejiwaan. Sebab nikah merupakan
jalan tengah antara gaya hidup yang bebas dalam menyalurkan hasrat seksual (free
sex) dan gaya hidup yang menutup diri dan menganggap seks sebagai sesuatu yang
kotor.
2) Motifator Kerja Keras
Tidak sedikit para pemuda yang semula hidupnya santai dan malas-malasan serta
berlaku boros Karen merasa tidak punya beban dan tanggung jawab, ketika akan dan
sesudah menikah menjadi terpacu untuk bekerja keras karena dituntut oleh rasa
tanggung jawab sebagai calon suami dan akan menjadi kepala rumah tangga serta
keinginan membahagiakan semua anggota keluarga (istri dan anak-anaknya).
3) Bebas Fitnah
Hikmah pernikahan yang tidak kalah penting dilihat dari aspek kehidupan
bermasyarakat ialah terbebasnya seseorang yang sudah menikah dari fitnah. Fitnah
disini berarti fitnah sebagai ujian buat diri sendiri dari segala gejolak nafsu yang
membara atau fitnah yang mempunyai makna tuduhan jelek yang dating dari orang
lain.

12
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet. Ke-5, 31.
13
38Mahmud Al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991),
cet. Ke-1, 6.
14
Ending Mintarja, Menikahlah Denganku Atas Nama Cinta Ilahi, (Jakarta: Qultum Media, 2005), 82-84.
6
E. Pengertian Waris
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil.
Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh
kerabat dan nasabnya, baik dari jenis laki-laki dan perempuan.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan
dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak,
ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah
atau seibu.15
Kata waris berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata “waris\a” (‫) ورث‬,
“yaris\u” (‫) يٌرث‬, “wirs\an” (‫) ورثا‬, isim failnya “wa>ris\un” (‫ ) وارث‬yang artinya ahli
waris.16 Sedangkan maknanya waris menurut bahasa ialah ‘berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.17 Kata waris
terdapat dalam berbagai bentuk, makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an,
yang antara lain :18
1. Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. al-Naml, 27:16)
2. Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. al-Zumar, 39:74)
3. Mengandung makna “mewarisi atau meminta warisan” (QS. al-Maryam, 19:6)
Dalam literatur fiqih Islam, kewarisan (al-muwaris\ kata tunggalnya al-mi>ras\ )
lazim juga disebut dengan fara>id}, yaitu jamak dari kata fari>d}ah diambil dari kata
fard} yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fard} dalam terminology syar’i ialah
bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris19
F. Asas-asas Waris
Pembagian waris tidak dapat dipisahkan dengan azas-azas hukum waris Islam yang
meliputi:20
1. Asas Integrity
Integrity artinya ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Asas ini mengandung

15
Muh}ammad Ali Al-S}abuni>, Pembagian Waris Menurut Islam, ter. A.M Basamalah (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), h.33
16
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) Cet Ket-8. h. 496
17
Ibid.
18
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-4, 2000), h. 355
19
5Muhammad Amin Summa,Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2005)
edisi revisi, h. 109
20
Chatib Rasyid, ‘Azas-Azas Hukum Waris Dalam Islam’, 3, 2008, 1–10 (pp. 2–9).
7
pengertian bahwa dalam melaksanakan hukum kewarisan dalam Islam diperlukan
ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini
kebenarannya.
2. Asas Ta' abbudi
Artinya penghambaan diri. Yang dimaksud asas ta'abbudi adalah melaksanakan
pembagian waris secara hukum Islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada
Allah SWT, yang akan berpahala bila ditaati seperti layaknya mentaati pelaksanaan
hukum-hukum Islam lainnya.
3. Asas Hukukul Maliyah
Yang dimaksud dengan hukukul maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti
bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan
kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan
atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan,
keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan.
4. Asas Hukukun Thabi’iyah
Pengertian hukukun thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai
manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang
yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah
tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Hak-hak dari kewarisan
ini ada empat macam penyebab seorang mendapat warisan, yakni hubungan keluarga,
perkawinan, wala dan seagama.
5. Asas Ijbari
Arti kata ijbari adalah keharusan atau kewajiban. Yang dimaksud ijbari adalah
bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang
yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan
Allah SWT. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat dari segi di
mana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya
sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu orang yang
akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan
hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara
otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan bagian yang sudah
dipastikan.

8
6. Asas Bilateral
Asas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan
perempuan. Azas bilateral ini dapat dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 7
7. Asas Individual
Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing
ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta
warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli
waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
8. Asas Keadilan yang Berimbang
Asas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang
diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan
yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang
sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab
dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai
dengan kemampuannya. Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan, terlepas dari persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anak-
anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Berdasarkan keseimbangan antara hak yang
diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan, sesungguhnya apa yang diperoleh
seseorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta warisan manfaatnya akan sama
mereka rasakan.
9. Asas Kematian
Makna asas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal
dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang.
Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang
lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal
dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui
pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Jika
terjadi peralihan harta saat seseorang masih hidup, maka hal tersebut tidak termasuk
ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.
10. Asas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah azas dari
penyelesaian pembagian harta warisan. Dari menghitung dan menyelesaikan

9
pembagian dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya
masing-masing, membersihkan harta warisan seperti hutang dan wasiat, sampai
dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas.
G. Golongan Waris
Dalam konsep KUHPerdata Pasal 832 KUHPerdata menyatakan bahwa orang-orang
yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sederajat yang sah atau luar kawin yang
diakui serta suami atau istri yang hidup terlama,7 sesuai dengan urutan dari golongan ahli
waris tersebut.
Berdasarkan urutannya, terdapat 4 macam golongan ahli waris yang sah, yaitu:21
1. Golongan I
Keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu Suami/isteri yang hidup dan
anak/keturunannya.
2. Golongan II
Keluarga dalam garis lurus ke atas, yaitu: Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara
kandung pewaris.
3. Golongan III
Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris, yaitu:
Kakek, nenek dan terus ke atas.
4. Golongan IV
Keluarga lainnya dalam garis menyamping sampai dengan derajat keenam, yaitu;
Paman, bibi dan keturunannya sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, serta
Saudara kakek dan nenek beserta keturunannya sampai derajat keenam dihitung dari
pewaris.
Azhar Basyir menyatakan bahwa ahli- ahli waris dapat digolongkan menjadi tiga
berdasarkan dari segi hak mereka atas harta warisan, yaitu:22
1. Dzawil furudl
Dzawil furudl merupakan golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu:
a. Anak Perempuan (al-bint), memperoleh bagian : 1/2, 2/3, dan Abg
b. Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki (al-bint li al-ibn), jika tidak terhalang
memperoleh bagian : 1/2, 2/3, Abg, dan 1/6
c. Ibu (al-umm), memperoleh bagian : 1/3, 1/6, dan 1/3 sisa

21
Ade Fariz Fahrullah, ‘Ahli Waris Dalam Perspektif Hukum Islam Dan KUHPerdata ( Burgerlijk Wetbook )’,
Hukum Islam, 21.1 (2021), 61 (pp. 62–63).
22
Agus Sudaryanto, ‘Aspek Ontologi Pembagian Waris Dalam Hukum Islam Dan Hukum Adat Jawa’, Mimbar
Hukum, 22.3 (2010), 534–52 (p. 540) <https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/view/16238>.
10
d. Ayah (al-ab), memperoleh bagian : 1/6, dan 1/6 + sisa
e. Nenek (al-jaddah min jihat al-umm wa al-ab) dari pihak ibu/ayah, jika tidak
terhalang memperoleh bagian : 1/6
f. Kakek (al-jadd min jihat al-ab) dari pihak ayah, jika tidak terhalang memperoleh
bagian : 1/6, dan terkadang dapat sisa
g. Saudara Perempuan Sekandung (al-ukht al-syaqiqah), jika tidak terhalang
memperoleh bagian : 1/2, 2/3, Abg, dan Amg
h. Saudara Perempuan Seayah (al-ukht li al-ab), jika tidak terhalang memperoleh
bagian : 1/2, 2/3, Abg, 1/6, dan Amg
i. Saudara Perempuan/laki-laki Seibu (al-ukht li al-umm/al-akh li al-umm), jika
tidak terhalang memperoleh bagian : 1/6, dan 1/3
j. Suami (al-jauz), memperoleh bagian : 1/2, dan 1/4
k. Istri (al-jauzah), memperoleh bagian : 1/4, dan 1/8
2. Ashabah
Ashabah adalah golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu tetapi akan
menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris dzawil furudl. Apabila ada
ahli waris dzawil furudl, maka ahli waris ashabah hanya berhak atas harta yang tersisa
dan jika ternyata tidak ada sisa harta sama sekali, maka ahli waris ashabah tidak
mendapatkan bagian apapun. Adapun macam-macam ashabah, yakni:
a. Asabah bi nafsih (ABN)
Ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima asabah.
Ahli waris ini kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu'tiqah (orang
perempuan yang memerdekakan hamba sahaya)
b. Asabah bi al-ghair (ABG)
Ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris
lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada,
maka ia tetap menerima bagian tertentu (furud al-muqaddarah)
c. Asabah ma'a al-ghair (AMG)
Ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris
lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia
menerima bagian tertentu ial-furud al-muqaddarah)
3. Dzawil arham
Dzawil arham merupakan golongan ahli waris yang haknya atas harta warisan
disebabkan oleh hubungan kerabat dengan pewaris. Dzawil arham tetapi tidak

11
termasuk golongan dhawil furudl dan ashabah
Dalam perspektif lain menyatakan bahwa menurut Islam ahli waris dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:23
1. Ahli waris nasabiyah
Hubungan kewarisannya didasarkan atas hubungan darah atau keturunan
2. Ahli waris sababiyah
Yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya dikarenakan adanya suatu sebab seperti
pernikahan, agama atau perjanjian.
H. Hikmah Waris
Hikmah kewarisan yang lain ialah karena kewarisan berkaitan langsung dengan
harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan-ketentuan (rincian bagian) sangat
mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris. Proses kewarisan itu memiliki hikmah
yang cukup penting bagi kehidupan muslim antara lain:
a. Sebagai sarana pencegahan kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris. Hal ini terlihat
bahwa dalam sistem kewarisan Islam memberi bagian sebanyak mungkin ahli waris
dan kerabat. Bukan saja anak-anak pewaris, tetapi juga orang tua, suami dan isteri,
saudara-saudara bahkan cucu, kakek atau nenek. Bahkan dalam proses pembagian
harta pun diajarkan agar ahli waris memberi atau menyedekahkan bagi orang-orang
miskin dan yatim yang hadir saat pembagian warisan, khususnya di antara kerabat
(Q.S. Al-Nisa>’: 8), serta menyedekahkan harta peninggalan melalui lembaga wasiat,
baik kepada kerabat seperti ibu bapak dan di luar kerabat juga kepada isteri untuk
menjaga kesejahteraannya (QS. al-Baqarah : 180 dan 240). (HR. Ahmad dan Abu
Daud).

b. Sebagai sarana pencegahan dari kemungkinan penimbunan harta kekayaan yang


dilarang oleh agama (QS. al-Nisa>’ ayat 37). Setiap muslim diajarkan agar berwasiat
dan memberikan sebagian harta peninggalan kepada orang miskin. Islam
menghendaki harta kekayaan itu berputar bukan saja di antara masyarakat umum. Hal
ini berbeda dengan sistem kapitalis, di mana individu mempunyai hak menguasai
harta kekayaan, tanpa adanya aturan moral yang membatasi pertimbangan
kemasyarakatan dalam upaya menyalurkan dan menyalagunakan kekayaan.
Akibatnya terjadi dua hal yang saling berbeda. Di mana pada satu pihak orang-orang
miskin semakin terlantar karena tidak ada tumpuan atau institusi sebagai tempat

23
Ibid, 540.
12
bergantung, sedang di pihak lain terjadi penimbunan atau monopoli dari orang-orang
yang memiliki harta kekayaan.24

c. Sebagai motivator bagi setiap muslim untuk berusaha dengan giat mencari rejeki yang
halal dan berkecukupan. Dalam Islam nilai usaha sangat ditekankan karena Allah akan
memberi rejeki sesuai dengan yang diupayakan manusia (Al-Najm :39). Dengan
adanya semangat dan etos kerja, manusia akan mampu meningkatkan kesejahteraan
diri sendiri dan keluarga. Sehingga ketika mereka meninggal akan memiliki
kebanggaan karena mampu memberi harta warisan kepada yang ditinggalkan.25

I. Pengertian Jinayah
Istilah Jinayah yang juga berasal dari bahasa arab dari bahasa arab yang berati
melakukan dosa, itulah arti kata jinayah secara etimonologis. Sedangkan secara
terminologis jinayah didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemadaratan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa, dan wajib dijatuhi
hukum qishash atau membayar denda.
Jinayat bentuk jamak dari jinayah. Menurut bahasa, jinayat bermakna penganiayaan
terhadap badan, harta, jiwa. Sedangkan menurut istilah, jinayat pelanggaran terhadap
badan yang didalamnya diwajibkan qisas atau diyat.
Jinayat secara garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut:
1. Jinayat terhadapa jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan menghilangkan
nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja
2. Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan merusak
salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu badannya, baik sengaja maupun
tidak sengaja.26

J. Asas-asas Jinayah
Asas hukum berarti kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan
alasan dalam mengemukaan suatu argumentasi, terutama dalam penegakan dan
pelaksanaan hukum. Asas-asas hukum pidana islam adalah asas-asas hukum yang
mendasari pelaksanaan hukum pidana islam diantaranya:27

24
Dr. Muhammad Abdullah al-‘Arabi, Ekonomi Islam dan Penerapannya di Masa Kini, (Jakarta: Sastra Budaya,
1979), 22
25
H. M. Jabal Alamsyah Nasution, Akuntansi al-Mawa>rits, (BPQ el-Azhar, 2004), 21
26
Ismi Lathifatul Afikah, ‘Persekusi Menurut Hukum Pidana Dan Fiqih Jinayah’, 2018, 17–42 (pp. 30–32).
27
Ibid, 33-38.
13
1. Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asas yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan
kata legalitas berasal dari bahasa Latin, yaitu lex yang berarti undang-undang, atau
dari kata legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dengan demikian, arti legalitas adalah keabsahan sesuatu menurut undang-undang.28
Asas legalitas adalah suatu asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan
tidak ada hukuman sebelum ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut
dan mengancamnya dengan hukuman.
2. Asas Tidak Berlaku Surut Dalam Hukum Pidana Islam
Asas tidak berlaku surut merupakan kelanjutan dari asas legalitas dalam hukum
pidana Islam. Dalam asas ini, mengandung arti bahwa setiap aturan pidana yang
dibuat terkemudian tidak dapat menjerat perbuatan pidana yang dilakukan sebelum
aturan itu dibuat. Asas ini melarang berlakunya hukum pidana kebelakang kepada
perbuatan yang belum ada peraturanya. Hukum pidana harus berjalan kedepan.
Pelanggaran terhadap asa ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
3. Asas Praduga Tak Bersalah
Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas
praduga tidak bersalah. Menurut asas ini, semua perbuatan dianggap boleh kecuali
dinyatakan sebaliknya oleh suatau nash hukum. Jadi asas praduga tak bersalah yaitu
asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatau kejahatan
harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan
menyatakan degan tegas kesalahan tersebut.
4. Asas Kesalahan
Seseorang yang dikenai pidana dalam hukum islam adalah orang yang telah
terbukti melalui pembuktian, telah melakukan suatau tindakan yang dilarang syar’i.
Terpidana adalah orang yang benar-benar memiliki kesalahan, dan kesalahan itu
bukan sekedar praduga , tetapi harus dibuktikan sehingga tidak ada lagi keraguan.
5. Asas Kesamaan di Hadapan Hukum
Kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam
dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Dalam
definisi, hukuman yang ditentukan, berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitas
yang ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan. Asas kesamaan di hadapan hukum
kuran lebih sama artinya dengan tidak pandang bulu.

28
Sahid HM, Epistemologi Hukum Pidana Islam, Pustaka Idea, 2015, I, p. 47.
14
K. Macam-macam Jinayah
Para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta
ditegaskan atau tidaknya oleh al-quran dal al-hadits, atas dasar ini mereka membagi
menjadi tiga macam, yaitu:29
1. Hudud
Hudud, jamaknya had arti menurut bahasa ialah menahan atau menghukum.
Menurut istilah hudud berarti sanksi bagi orang yang melanggar perbuatan hukum.
Hukum had ini merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu
bagi setiap hukum. Misalnya sanksi dapat dipotong tangan sebelah atau kedua-duanya
atau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Jenis-
jenis jarimah hudud diantaranya:
a. Perzinaan
b. Qadzaf (menuduh berbuat zina)
c. Pencurian
d. Perampokan
2. Qishas dan Diyat
Hukum qishas adalah pembalasan yang setimpal atas pelanggaran yang bersifat
pengerusakan badan atau menghilangkan jiwa.
Diyat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun
uang oleh seseorang yang terkena hukum diat, sebab membunuh atau melukai
seseorang karena ada pengampunan, keringanan hukuman, dan hal lain. Pembunuhan
yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak disengaja atau pembunuhan
karena kesalahan. Jenis-jenisnya diantaranya:
a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan semi sengaja
c. Pembunuhan tersalah atau tidak disengaja
3. Takzir
Hukum takzir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak ditetapkan
hukumannya dalam al-Quran dan Hadist. Takzir merupakan hukuman ringan.
Menurut hukum islam, pelaksanaan hukum takzir diserahkan sepenuhnya kepada
hakim islam. Hukum takzir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah
atau kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak
memenuhi syarat membayar diyat, dan takzir ini sebagai hukum ringan untuk

29
Afikah, pp. 39–41.
15
menebus dosanya akibat dari perbuatannya. Takzir ini dibagi menjadi tiga bagian:
a. Jarimah hudud, qishah atau diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat,
namun sudah merupakan maksiat. Misalnya percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga, dan lain sejenisnya.
b. Jarimah-jarimah yang ditentukan al-quran dan al-hadits, namun tidak ditentukan
sanksinya. Misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat,
menghina agama dan lain sejenisnya.
c. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemashlahatan umum.
Dalam hal ini, nilai ajaran islam dijadikan pertimbangan penentuan kemashlahatan
umum. Misalnya pelanggaran atas peraturan lalu intas.

Jarimah adalah perbuatan melanggar hukum. Sedangkan jarimah berdasarkan niat


pelakunya dibagi menjadi menjadi dua, yaitu:
a. Jarimah yang disengaja (al-jarimah al-maqsudah)
b. Jarimah karena kesalahan (al-jarimah ghayr al-maqsudah/jarimah al-khatha’)

L. Hikmah Jinayah
Hikmah disyariatkan fiqih jinayah adalah dalam rangka untuk memelihara akal,
jiwa, harta dan keturunan. Dan ruang lingkup jinayah meliputi pencurian, perzinahan,
homoseksual, menuduh seseorang berzina, minum khamar, membunuh atau melukai
orang lain, merusak harta orang dan melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya.30

30
Ismi Lathifatul Afikah, ‘Persekusi Menurut Hukum Pidana Dan Fiqih Jinayah’, 2018, 17–42 (pp. 30–32).
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang sangat mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan
menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan
menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi kehidupan
manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan utama yang baik
bagi manusia, makhluk yang dimuliakan Allah. Untuk mencapai kehidupan yang bahagia
dan menjauhi dari ketimpangan dan penyimpangan, Allah telah membekali syari‟at dan
hukum-hukum Islam agar dilaksanakan manusia dengan baik.Demikian Allah juga
menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan
perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain
sebagainya.Mereka akan melahirkan keturunan yang sah, kemudian keturunan mereka itu
akan membangun pula rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru dan begitulah
seterusnya.
Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga yang damai dan teratur
itu haruslah dengan pernikahan dan akad nikah yang sah, serta diketahui sekurang-
kurangnya dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan tetangga dan karib
kerabat dengan mengadakan pesta pernikahan (walimahan).
Yang dimaksud dengan hukukul maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti
bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada
ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-
hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam
suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Asas Hukukun Thabi’iyah
Pengertian hukukun thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia,
artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah
sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia,
begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya,
maka dipandang cakap untuk mewarisi. Yang dimaksud ijbari adalah bahwa dalam hukum
kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal
dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT.

17
Oleh karena itu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu
merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan
kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan bagian
yang sudah dipastikan. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang
sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat.
Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada
orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu
meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui
pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.
Hikmah kewarisan yang lain ialah karena kewarisan berkaitan langsung dengan
harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan-ketentuan (rincian bagian) sangat
mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris.
Sedangkan secara terminologis jinayah didefinisikan dengan semua perbuatan
yang dilarang dan mengandung kemadaratan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa, dan
wajib dijatuhi hukum qishash atau membayar denda.
Asas legalitas adalah suatu asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran
dan tidak ada hukuman sebelum ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut
dan mengancamnya dengan hukuman. Jadi asas praduga tak bersalah yaitu asas yang
mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatau kejahatan harus dianggap
tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan degan
tegas kesalahan tersebut. Asas Kesalahan Seseorang yang dikenai pidana dalam hukum
islam adalah orang yang telah terbukti melalui pembuktian, telah melakukan suatau
tindakan yang dilarang syar’i.

B. Saran

Demikian makalah ini disusun dengan harapan semoga dapat menambah


pengetahuan dan wawasan mengenai Thaharah dan Shalat serta pengetahuan lainnya
mengenai tata cara dari bersuci dan juga shalat. Tentunya penulis menyadari bahwa tidak
ada gading yang tak retak, dan tidak ada mawar yang tak berduri. Penulis menyadari
bahwa dalam penyajian makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar
penulis dapat memperbaiki kekurangan yang ada di dalam makalah ini agar bisa menjadi
lebih baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Afikah, Ismi Lathifatul. 2018. "Persekusi Menurut Hukum Pidana dan Fiqih Jinayah." Skripsi
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung .
Fahrullah, Ade Fariz. 2021. "Ahli Waris dalam Perspektif Hukum Islam dan KUHPerdata
(Burgerlijk Wetbook)." Hukum Islam.
HM, Sahid. 2015. Epistemologi Hukum Pidana Islam. Surabaya: Pustaka Idea.
Irfan, M. Nurul. 2015. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.
Nasrullah. 2014. "Teori Ta’aqquli dan Ta’abbudi menurut Fiqh Jinayah dan Aplikasinya dalam
Penerapan Sanksi Pidana Korupsi." Asy-Syari‘ah.
Rasyid, Chatib. 2008. "Azas-Azas Hukum Waris dalam Islam."
Sudaryanto, Agus. 2010. "Aspek Ontologi Pembagian Waris dalam Hukum Islam dan Hukum
Adat Jawa." Mimbar Hukum.

Anda mungkin juga menyukai