Anda di halaman 1dari 42

NIKAH DIBAWAH TANGAN, NIKAH SIRI, DAN

NIKAH WANITA HAMIL


Disusun untuk memenuhi tugas kuliah Mata kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pembimbing :

A. Muwahid Muhammadi, S.HI, MM

Disusun Oleh:

Muhammad Fauzi

Adriansyah

Semester V

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Karimiyah

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Jl. H. Maksum No.23 Rt.04/02 Sawangan Baru Kec. Sawangan


Kota Depok Jawa Barat Indonesia 16511.

Tahun 2022.

Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga kami mendapatkan kemudahan dan
kekuatan untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul “Nikah
dibawah tangan, Nikah siri, dan Nikah wanita hamil” disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Masail Fiqhiyah.
Sholawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada junjungan alam, Nabi
besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW, sebagai figur teladan dalam dunia
pendidikan yang patut diteladani dan seorang suri tauladan yang mulia beserta
keluarga, sahabat, serta umatnya yang setia kepada ajarannya hingga akhir zaman.
Terima kasih kami haturkan kepada Bpk. A. Muwahid Muhammadi, S.HI, MM ,
yang senantiasa membimbing kami didalam kelas dan penyusunan makalah ini.
Tanpa adanya bimbingan beliau kami kiranya tidak akan mampu menyelesaikan
makalah ini.
Adapun, penyusunan makalah ini kiranya masih jauh dari kata sempurna.
Kami menghaturkan permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah
ini. Untuk itu kami mengharap saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Depok, 10 Maret 2022
Penulis

Kelompok III

1
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar...............................................................................................1
Daftar Isi..........................................................................................................2

Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang......................................................................................3
B. Rumusan Masalah.................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..................................................................................3

Bab II Pembahasan
A. Nikah dibawah tangan..........................................................................4
B. Nikah Siri..............................................................................................6
C. Nikah wanita hamil...............................................................................9

Bab III Penutup


A. Kesimpulan...........................................................................................13

Daftar Pustaka................................................................................................14

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan hubungan antara pria dan wanita melalui
pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi,
untuk menjaga kekekalan keturunan mereka. Allah telah mengikat antara
pria dan wanita dengan ikatan cinta dan kasih sayang, sehingga diatur
kehidupan akan terus berlangsung dari generasi ke generasi. Jaminan
kelangsungan hidup itu sebagaimana telah disebutkan dalam Firman Allah
swt :
ً‫س ُكنُ ْٓوا اِلَ ْي َها َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َر ْح َمة‬
ْ َ‫اجا لِّت‬ ِ ُ‫ق لَ ُك ْم ِّمنْ اَ ْنف‬
ً ‫م اَ ْز َو‬Kْ ‫س ُك‬ َ َ‫َو ِمنْ ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَنْ َخل‬
ٍ ‫ۗاِنَّ فِ ْي ٰذلِكَ اَل ٰ ٰي‬
َ‫ت لِّقَ ْو ٍم يَّتَفَ َّك ُر ْون‬
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan menjadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir" (S Ar-Rum : 21).

Pernikahan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk


mengatur kehidupan rumah tangga serta keturunan dan saling mengenal
antara satu dengan yang lain, sehingga akan membuka jalan untuk saling
tolong-menolong. Pernikahan menimbulkan Hak dan kewajiban suami istri
timbal balik diatur amat rapi, demikian pula hak dan kewajiban antara
orang tua dan anak-anaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami-istri
diatur pula bagaimana cara mengatasinya. Dituntukan pula adat sopan
santun pergaualan dalam keluarga dengan sebaik-baiknya agar keserasian
hidup tetap terpelihara dan terjamin.
Selain itu, pernikahan merupakan institusi yang sangat penting
dalam kehidupan bermasyarakat sebagai sarana awal untuk mewujudkan
sebuah tatanan masyarakat dan keluarga sebagai pilar penyokong
kehidupan bermasyarakat. Melalui pernikahan akan menimbulkan
beberapa konsekuensi, maka dibuat aturan dan prosedur guna menghindari
kemungkinan-kemungkinan negatif yang merugikan.

3
Dalam syari'at Islam, aturan tentang adanya pencatatan nikah baik
dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah pada mulanya memang tidak diatur
secara konkrit. Lain halnya dengan ayat muamalat yang dalam situasi
tertentu diperintahkan untuk mencatatkan. Namun, sesuai perkembangan
zaman dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, Islam mengatur
pencatatan perkawinan melalui perundang-undangan dengan tujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Melalui pencatatan
perkawinan, suami istri akan memiliki akta nikah sebagai bukti otentik
atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Apabila terjadi
perselisihan atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka suami
atau istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh hak masing-masing.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat
dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Nikah dibawah tangan?
2. Apa pengertian Nikah siri?
3. Apa pengertian Nikah wanita hamil?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Nikah dibawah tangan
2. Mengetahui pengertian Nikah siri.
3. Mengetahui pengertian Nikah wanita hamil.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. NIKAH DIBAWAH TANGAN


1. Pengertian nikah dibawah tangan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, diterangkan bahwa kawin
di bawah tangan merupakan sebuah perkawinan yang tidak dicatat
pada lembaga negara yang berwenang. Yaitu suatu bentuk
perkawinan yang telah merupakan bentuk perkawinan masa kini
yang timbul dan berkembang pada sebagaian masyarakat Islam
Indonesia. Mereka berusaha menghindari diri dari sistem dan cara
pengaturan pekasanaan perkawinan menurut Undang-undang No. 1
tahun 1974 yang birokratis dan berbelit- belit serta lama
pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara sendiri yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam ilmu hukum cara
seperti itu dikenal dengan istilah “penyelundupan hukum”, yaitu
suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang
ditentukan oleh Undang-undang dan peraturan yang berlaku
dengan tujuan perbuatan yang bersangkutan, dapat menghindarkan
suatu akibat hukum yang dikehendaki. Dalam hal ini yang menjadi
lembaga negara yang khusus menangani pencatatan pernikahan
adalah KUA. Dan yang khusus membidangi pencatatan adalah
Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Menurut pasal 2 Bab II Kompilasi Hukum Islam (KHI),
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 4 KHI disebutkan, perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Tata
cara perkawinan menurut PP No. 9 Tahun 1975.

5
Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyebutkan bahwa, “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”.Kemudian
pasal tersebut diatas diperjelas dengan adanya
Bab 2 PP No. 9 Tahun 1975 yang menyebutkan bahwa,” sebuah
perkawinan baru dianggap memiliki kekuatan Hukum dihadapan
undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah
dicatatkan oleh pegawai pencatat pernikahan yang ditentukan
undang-undang”. Aturan ini yang menimbulkan istilah perkawinan
dibawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak tercatat.
Dan kebalikan dari kedua aturan negara ini adalah
perkawinan di bawah tangan, yang tidak terdaftar baik pada KUA
ataupun Kantor Catatan Sipil. Perkawinan seperti inilah yang
hendak dicegah atau diminimalisir karena tidak sesuai dengan
aturan yang berlaku. Dalam Hukum di Indonesia, semua
pernikahan harus didaftarkan di KUA. Sehingga apabila
dikemudian hari terdapat hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan
keluarga dapat dengan mudah mendapat pelayanan, karena
memang sudah terdaftar.
Misalnya ketika sebuah pasangan ingin melakukan
perceraian di Pengadilan Agama. Pendaftaran mereka tidak bisa
diterima karena pernikahannya juga tidak terdaftar secara hukum.
Perkawinan dibawah tangan merupakan suatu perkawinan yang
syarat dan rukunnya terpenuhi, namun tidak tercatat atau tidak
terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak dihadiri oleh
pejabat yang berwenang. Meski sah menurut agama,
namun perkawinan di bawah tangan tidak berkah dan luput dari
perlindungan Hukum yang berwenang serta perkawinan dibawah
tangan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
Setiap warga negara hendaknya melaksanakan setiap
peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebab semua

6
peraturan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk kepentingan
masyarakat, demikian juga dalam hal perkawinan.
Dengan melihat pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 yang menyatakan perkawinan itu sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Maka, perkawinan di bawah tangan merupakan perkawinan yang
sah menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan sah menurut
agama dengan terpenuhinya syaratdan rukun nikah itu. Sehingga
banyak pendapat ahli Hukum dan sarjana Hukum bahwa
perkawinan dibawah tangan adalah sah hanya kurang dalam
pencatatan perkawinan atau syarat administratif saja. Tetapi bila
melihat dari pasal 2 ayat 2 yang harus dibaca sebagai suatu
kesatuan, artinya perkawinan yang sah adalah yang dilakukan
berdasarkan agama dan kepercayaan itu dan harus dicatatkan
sebagaimana diatur pasal 100 KUH perdata yang menyatakan
bahwa,” Adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
cara lain daripada dengan akta pelaksanaan perkawinan itu yang
didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil. Sehingga, akta
perkawinan merupakan bukti satu-satunya adanya suatu
perkawinan.
Pada dasarnya, pencatatan nikah tidak disyariatkan dalam
agama Islam. Namun, dilihat dari segi manfaatnya, pencatatan
nikah sangat diperlukan. Berdasarkan realitas, bahwa suatu
perkawinan tidak selalu langgeng, tidak sedikit terjadi perceraian
yang penyelesaiannya berakhir di Pengadilan. Apabila perkawinan
itu terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) dan di samping itu
pula mendapat akta nikah, maka untuk penyelesaian perceraian itu
lebih mudah mengurusnya. Berbeda apabila suatu perkawinan
tidak tercatat atau disebut perkawinan di bawah tangan dan tidak
ada akta nikah, maka pengadilan agama tidak mau mengurusinya.
Karena perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi. Orang yang
melakukan perkawinan dibawah tangan, mereka hidup sebagai

7
suami istri tanpa mempunyai kutipan akta nikah, yang
pelaksanaannya itu dilaksanakan oleh pemuka agama di tempat
perkawinan itu dilaksanakan.
Pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, ini merupakan suatu upaya yang
diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabak
dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus bagi perempuan dalam
kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang
dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri
mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan
di antara mereka, atau salah satu di antara mereka tidak
bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya
Hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-
masing. Karena adanya akta tersebut, suami istri memiliki bukti
otentik atas perbuatan Hukum yang telah mereka lakukan. Sahnya
perkawinan bagi orang Islam di Indonesia, menurut Pasal 2 RUU
Perkawinan tahun 1973, ditentukan berdasarkan “pencatatan
perkawinan” sebagai unsur penentu. Hukum agama (Islam) dapat
di berlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang
ini yang berfungsi sebagai pelengkap, bukan penentu. RUU
perkawinan Tahun 1973 merumuskan sahnya perkawinan dalam
pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan dihadapan
pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat
perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut
ketentuan undang-undang ini dan/ atau ketentuan Hukum
perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang ini”. Namun, pada
kenyataannya masih terdapat masyarakat yang perkawinannya
dilaksanakan tanpa sepengetahuan pencatat nikah. Adakalanya
orang tua yang menganggap dirinya seorang kiyai atau pemuka
agama, merasa bahwa tanpa kehadiran aparat yang berwenang juga

8
sudah sah menurut Hukum agama Islam serta mereka menganggap
hal tersebut hanyalah sifatnya administratif saja. Di beberapa
media yang mengimformasikan tentang perkawinan di bawah
tangan di perbolehkan dan mereka menganggap bahwa perkawinan
tersebut sah. Sementara itu jika dilihat dari perspektif Hukum
pemerintahan dan norma sosial, perkawinan di bawah tangan
adalah perkawinan yang menyimpang karena tidak tercatat di
Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai intansi yang berwenang
sehingga tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa perkawinan di bawah tangan ialah akad nikah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
pelaksanaannya hanya didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam
Hukum agama Islam saja tanpa memperhatikan ketentuan
ketentuan dalam undang- undang No. 1 Tahun 1974 Tentan
perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 Bab II tentang pencatatan
perkawinan.1
2. Alasan-alasan Nikah dibawah tangan
Secara umum tujuan dari perkawinan atau mengawini
seseorang menurut ajaran Islam telah diatur, yakni untuk
mendapatkan keturunan yang bertaqwa kepada Allah dan hidup
secara mawaddah wa rahmah.
Dalam Islam, terdapat Hukum bagi mukallaf. Hal ini juga
terkait dengan pernikahan. Wajib, bila seorang laki-laki sudah
mapan dari segi ekonomi dan psikologi, dan apabila ia tidak
menikah akan menimbulkan hal negatif bagi dirinya. Sunat, jika
seorang laki-laki sudah mampu lahir dan batin tapi belum sampai
pada tahap hiper, dan apabila ia tidak menikah tidak mendatangkan
mudarat baginya. Haram, bila seorang laki-laki ingin beristri tetapi
ia hanya berniat untuk memberikan kemudaratan kepada istrinya,

1
Nur Aisyah, Pandangan Hukum Islam terhadap Perkawinan dibawah:Al-Qadau”. Vol, 5 No,
2(2018). 261.

9
meskipun ia sudah siap lahir dan batin terlebih lagi kalau ia tidak
siap.
Karena menikah merupakan ajaran Islam, maka hal tersebut
merupakan kewajiban yang mempunyai landasan formal syariat
Islam. Dan Nabi waktu memerintahkan menikah kepada umatnya
itu berada dalam negara yang Islami, yang beliau pimpin sendiri.
Hal ini berbeda ketika subjek yang ingin melakukan
pernikahan berada dalam sebuah negara yang menganut paham
demokrasi. Di mana Hukum yang berlaku adalah Hukum negara
yang telah diundangkan. Meskipun sebenarnya Hukum tersebut,
tetap mengakomodir sistem Hukum yang telah berlaku dalam
masyarakat negara. Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia
sebelum diundangkan adalah sistem Hukum adat dan sistem
Hukum Islam.
Jika demikian permasalahannya, maka orang yang ingin
menikah harus mengikuti aturan-aturan negara. Aturan negara yang
dimaksud adalah setiap pernikahan harus dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah yang bernaung di bawah KUA.
Persoalannya sebenarnya mudah, hanya mendaftar. Namun,
sebagian masyarakat kita belum menyadari sepenuhnya pentingnya
pencatatan pernikahan yang terjadi antara mereka. Pernikahan di
bawah tangan seperti ini sering terjadi di kalangan selebritis.
Maksud mereka melakukan hal tersebut bukan karena menganggap
hal pendaftaran itu susah, tetapi lebih karena persoalan
popularitasnya sebagai selebritis akan tereduksi. Hal ini berbeda
dengan pemahaman masyarakat biasa. Masyarakat biasa
berpendapat pernikahan mereka jadi berbelit-belit. Maka cukuplah
memenuhi rukun dan syarat nikah, sudah dianggap selesai. Pepatah
klasik mengatakan bahwa ada asap menunjukkan adanya api, yaitu
terjadinya sesuatu karena ada yang menjadikannya.
Adanya asumsi bahwa perkawinan di bawah tangan itu sah
menurut Hukum Islam namun hanya kurang dari segi administratif,

10
tingginya uang belanja yang ditetapkan pihak perempuan, dan
adanya masyarakat yang masih awam dan berpendidikan rendah
yang takut untuk berhadapan dengan pejabat pemerintah
sehingga lebih memilih melaksanakan perkawinan dihadapan
pemuka agama saja. Dari berbagai indikator-indikator tersebut kita
mendapat gambaran bahwa implementasi undang-undang No. 1
Tahun 1974 belum maksimal khususnya pasal 2 ayat 2 yang
menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku.2
3. Dampak yang ditimbulkan Nikah dibawah tangan dalam
masyarakat
Segala sesuatu yang terjadi pasti ada penyebabnya dan
akibat yang
ditimbulkan. Begitu pula dengan kawin di bawah tangan, akan
menghasilkan sebuah dampak. Dampak yang dapat dirasakan oleh
subjek yang melakukan kawin di bawah tangan. Maupun dampak
yang timbulkan kepada masyarakat di sekitarnya.
Akibat Hukum perkawinan tersebut berdampak sangat
merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara Hukum
maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan di antaranya:
1. Secara Hukum
Perempuan tidak dianggap istri sah. Ia tidak berhak atas
nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal meninggal dunia.
Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi
perpisahan, karena secara Hukum perkawinan tersebut dianggap
tidak pernah terjadi.
2. Secara Sosial
Istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang
melakukan perkawinan di bawah tangan, siring dianggap tinggal
serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap
istri simpanan.

2
Ibid., 264

11
Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut Hukum
negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang
dilahirkan di mata Hukum. Status anak yang dilahirkan
dianggap anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Keterangan berupa status sebagai anak di luar nikah dan tidak
tercamtumnya nama sih ayah, akan berdampak sangat
mendalam secara sosial dan psikologis bagi anak dan ibunya.
Bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak
tersebut bukan anak kandungnya. Yang jelas-jelas sangat
merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan
pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. Perkawinan di
bawah tangan sangat berdampak menghawatirkan atau
merugikan, kecuali jika kemudian perempuan tersebut
melakukan perkawinan yang sah.
3. Bagi Anak Hasil Perkawinan Dibawah Tangan
Anak hasil perkawinan di bawah tangan dianggap anak
tidak sah, apabila terjadi perkawinan sah anak hanya diakui.
Sedangkan anak yang lahir di dalam perkawinan di bawah
tangan dikatakan anak yang disahkan karena hanya ada
pengakuan dari ayah anak tersebut dan harus disertai putusan
Pengadilan.
Sedangkan terhadap laki-laki atau suami hampir tidak ada
dampak menghawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau
suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan.
Yang terjadi justru menguntungkan, karena suami bebas untuk
menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah
tangan dianggap tidak sah di mata Hukum. Suami bisa berkelit
dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik
kepada istri maupun kepada anak-anaknya. Dan tidak
dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan
lain-lain.

12
Hal ini dikarenakan perkawinan yang dilakukan adalah
perkawinan di bawah tangan yang tidak tercatat dalam hukum
negara. Selain itu anak yang lahir dari perkawinan bawah tangan
biasanya juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan akta
kelahiran sebab orang tuanya tidak memiliki akta nikah. Jelas ini
bertentangan dengan tujuan perkawinan menurut hukum Islam
dimana perkawinan bertujuan untuk menjalankan perintah Allah
swt. agar memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat
dan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warahmah.
Hal-hal yang telah diuraikan di atas, juga berlaku bagi
perkawinan yang dilakukan agama selain Islam dimana
perkawinan adalah sah apabila telah dilaksanakan suatu
pemberkatan atau ritual (upacara tertentu) menurut agama dan
kepercayaan dari negara maka perkawinan tersebut perlu
dicatatkan di kantor catatan sipil. Bagi agama selain Islam, akta
nikah hanya dapat diperoleh dari kantor catatan sipil setelah
pihak yang bersangkutan mencatatkan perkawinannya di
lembaga pencatatan perkawinan tersebut.
Dengan dicatatnya perkawinan tersebut maka akan
mendapat bukti otentik dari perkawinan yang telah dilakukannya
sehingga apbila sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang
menyebabkan salah satu pihak (suami atau istri) melakukan
suatu upaya hukum, maka perkara tersebut dapat segera dapat
diajukan di Pengadilan negeri untuk mendapat kepastian
Hukum.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
perkawinan di bawah tangan jelas-jelas sangat merugikan baik
bagi istri maupun anak yang dilahirkannya, karena perkawinan
tersebut tidak tercatat di Kantor Urusan Agama maka
perkawinan tersebut tidak dianggap tidak sah secara hukum dan

13
tidak mempunyai kekuatan hukum tetap,sehingga sangat
merugikan istri dan anak yang dilahirkan.3
4. Pandangan hukum Islam Tentang Nikah dibawah tangan
Istilah perkawinan di bawah tangan muncul setelah undang-
undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berlaku pada
tanggal 1 oktober 1975. Perkawinan di bawah tangan pada
dasarnya adalah kebalikan dari perkawinan yang dilakukan
menurut Hukum, dan perkawinan menurut Hukum adalah
perkawinan yang diatur dalam undang-undang perkawinan
termasuk dalam hal pencatatan perkawinan. Dengan demikian
perkawinan di bawah tangan merupakan perkawinan yang
dilakukan tidak menurut hukum, dan nikah seperti itu dianggap
sebagai perkawinan liar, sehingga tidak mempunyai akibat Hukum
berupa pengakuan dan perlindungan hukum. Membahas masalah
perkawinan di bawah tangan, itu tidak terlepas dari pencatatan
perkawinan, sebagaimana perkawinan di bawah tangan merupakan
perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi namun tidak
tercatat atau tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama. Pada
mulanya syariat Islam, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah tidak
mengatur secara kongkrit tentang adanya pencatatan perkawinan.
Namun, tuntutan erkembangan zaman dalam berbagai
pertimbangan kemaslahatan, maka Hukum Islam
di Indonesia mengaturnya.
Dalam beberapa literatur Hukum Islam memang tidak
dikenal adanya istilah pencatatan dalam perkawinan. Sah dan
tidaknya suatu perkawinan tidak digantungkan kepada ada atau
tidaknya pencatatan, tapi diukur ada dan tidaknya syarat dan rukun
nikah. Oleh karena itu muncul pertanyaan apakah karena masalah
pencatatan perkawinan ini tidak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh
sehingga pencatatan perkawinan menjadi suatu hal yang tidak perlu

3
Ibid., 265

14
dilakukan? Dan bagaimana sebenarnya Islam memandang masalah
pencatatan ini?
Secara tekstual memang tidak ada dalil, baik dari al-Qur’an
maupun Hadis yang menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan
merupakan suatu ukuran keabsahan perkawinan. Namun bila dikaji
lebih jauh ada riwayat hadist yang menyebutkan bahwa
perkawinan harus diumumkan dan dibunyikan rebana agar banyak
orang yang menyaksikannya. Hadist lain mengisahkan agar
perkawinan dipestakan walau hanya menyembelih seekor kambing
untuk makanan bagi yang hadir dalam pesta perkawinan. Hal ini
dilakukan agar perkawinan yang dilaksanakan bisa diketahui oleh
lain. Lebih banyak orang yang mengetahui peristiwa perkawinan
seseorang, maka itu akan lebih baik lagi. Inilah yang kemudian
menjadi isyarat bahwa pencatatan perkawinan menjadi sangat
penting dan perlu dilakukan.
Lebih jauh dalam analisa Hukum Islam dapat dijelaskan
bahwa tujuan syariat Islam (maqashid al syariah) adalah
mendatangkan maslahat dan menghindarkan dari bahaya. Karena
perkawinan yang dicatat pemerintah menimbulkan mudharat
kepada istri, anak dan harta perkawinan /harta bersama, maka
pencatatan perkawinan oleh pemerintah menurut Hukum Islam
dipandang sebagai darurat. Ketentuan umum bagi sahnya
perkawinan yang telah disebutkan di atas adalah hasil ijtihad
karena tidak disebutkan secara rinci di dalam Al-qur’an dan Hadist.
Hukum yang di tetapkan berdasarkan ijtihad dapat berubah sesuai
kondisi selama perubahan Hukum itu untuk kemaslahatan dan
tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan hadis atau maqashid al
syariah, berdasarkan kaidah fiqhiyah yang mengatakan bahwa
Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman.
Harus dipertimbangkan bahwa perkembangan hukum itu
sangat tergantung kepada perkembangan masyarakat, bahwa

15
hukum akan selalu berubah sesuai dengan faktor-faktor yang
mengubahnya.
Di samping kaidah tersebut di atas, ada satu teori hukum
Islam yang bisa dijadikan dasar pijakan tentang perlunya
pencatatan perkawinan ini yaitu teori mashlahah mursalah. Teori
ini mengajarkan bahwa apa yang tidak diparintahkan secara
tekstual dalam al-qur’an dan Hadis dapat dibuat suatu aturan
berdasarkan nilai kemaslahatan dan sekaligus menghindari
mudharat. Untuk menilai apakah suatu kegiatan yang Hukumnya
akan ditetapkan itu mempunyai unsur maslahat atau tidak, menurut
para ahli teori Hukum Islam, harus ada tiga kriteria, pertama:
kemaslahatan itu bersifat universal; kedua: kemaslahatan itu
bersifat pasti atau tidak bersifat hipotetif; dan ketiga: kemaslahatan
itu bersifat esensial.
Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas dengan
memperhatikan kaidah- kaidah yang ada, penulis berpendapat
bahwa demi ketertiban Hukum dimasyarakat dan
mengingat manfaat yang didapat maka pencatatan perkawinan
adalah suatu hal yang sangat urgen dan wajib untuk dicatatkan.
Dalam pandangan perundang-undangan di Indonesia, ada
beberapa landasan Hukum yang mengatur pentingnya pencatatan
perkawinan di antaranya adalah undang- undang No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan . dalam pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Peraturan merinci bahwa lembaga yang berwenang
menangani perkawinan adalah kantor catatan sipil (KCS) bagi non
Islam dan Kantor Urusan Agama (KUA) bagi penganut agama
Islam.
Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan
pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan mengatur tentang tata cara dan tata laksana perkawinan
dan pencatatan perkawinan. Beberapa pasal yang dianggap penting

16
untuk dikemukakan yaitu, pasal 2 PP No.9 Tahun 1975 ayat (1)
yang menentukan pencatatan perkawinan bagi orang Islam
dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang- undang No.
32 Tahun 1954.9 Ketentuan pencatatan perkawinan juga
diamanatkan melalui intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang
kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 5 yang berbunyi:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam,
setiap perkawinan harus di catat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh
pegawai pencatat nikah sebagai mana diatur dalam undang-
undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang No. 32 Tahun
1954.
Adapun teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam pasal 6 yang
menyebutkan:
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan
harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan
pegawai pencatat nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai
pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan yang dikeluarkan pada tanggal 29 desember Tahun
2006 juga dijabarkan mengenai pencatatan perkawinan yaitu
mengatur tata cara dan tata laksana pencatatan peristiwa penting
atau pencatatan sipil yang dialami penduduk Republik Indonesia.
Pencatatan perkawinan bagi penduduk yang beragama Islam, pasal
8 undang-undang No. 23 Tahun 2006 menentukan, bahwa
kewajiban instansi pelaksana untuk pencatatan nikah, talak, cerai,
dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam pada tingkat
kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUA kecamatan.
Jadi dengan pencatatan perkawinan oleh pemerintah, selain
peristiwa perkawinan di umumkan ke khalayak, pada hakekatnya

17
juga memuat akibat dan konsekuensi Hukum, yakni kejelasan hak
dan kewajiban bagi masing-masing pasangan, hak anak dan
kewajiban orang tua terhadap anak, juga hak pasangan jika salah
satunya meninggal. Intinya, tuntutan pencatatan perkawinan itu
dilandasi oleh pertimbangan kemaslahatan atau manfaatnya bagi
yang bersangkutan dan bagi yang berkaitan dengannya. Dalam
bahasa administrasi, tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, dan itu
merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan
untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, lebi khusus
lagi untuk melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan rumah
tangga. Dari berbagai penjelasan di atas maka penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa walaupun hukum Islam dan hukum
positif berbeda dalam memandang keabsahan perkawinan, namun
dari perbedaan tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa dalam
kehidupan masyarakat yang kian maju dan modern, pencatatan
perkawinan merupakan suatu hal yang sangat urgent mengingat
kemaslahatan yang terkandung di dalamnya. Hukum Islam dan
hukum positif dapat dijadikan sumber hukum yang saling
melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya sebab kedua
aturan tersebut mempunyai tujuan hukum yang sama yaitu sama-
sama berusaha menciptakan ketertiban hidup di tengah-tengah
masyarakat.4
Apakah sama pernikahan dibawah tangan dengan nikah sirri?.
Nikah di bawah tangan itu = nikah yang tidak dicatatkan pada
instansi terkait, tapi dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing. Sedangkan nikah sirri adalah nikah yang
sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh orang di lingkungan
sekitar. Nikah semacam dibawah tangan jelas-jelas bertentangan
dengan Hadits Nabi yang memerintahkan adanya
walimah (perayaan pernikahan).

4
Ibid., 266

18
B. NIKAH SIRI
Dalam fikih kontemporer nikah siri dikenal dengan istilah zawaj
‘urfi yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan
tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang
menangani pernikahan (KUA). Disebut nikah ‘urfi (adat) karena
pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam
masyarakat muslim sejak masa Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad
pernikahan mereka tanpa ada permasalahan dalam hati mereka.
Pernikahan siri dapat disahkan dengan dua cara yakni mengajukan
istbat nikah atau bisa juga dengan melakukan pernikahan ulang. Untuk
membicarakan apakah sah nikah siri menurut hukum Islam, maka kita
harus mempelajari lebih dahulu syarat dan rukun perkawinan menurut
hukum islam tersebut ialah:5
1. Harus adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan yang telah aqil dan baligh.
2. Adanya persetujuan yang bebas antara kedua calon pengantin
tersebut.
3. Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan . Harus
ada dua orang saksi laki-laki muslim yang adil
4. Harus ada mahar (mas kawin) yang diberikan oleh pengantin laki-
laki kepada istrinya.
5. Harus ada ijab dan kabul antara calon pengantin tersebut.
Hukum nikah siri secara agama adalah sah atau legal dan
dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya
terpenuhi pada saat nikah siri digelar. Pada prinsipnya, selama nikah
siri itu memenuhi rukun dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka
dapat dipastikan hukum nikah itu sudah sah. Berikut ini beberapa
pendapat para ulama Islam tentang nikah siri.
5
Sukardi Paraga, Nikah siri (perspektif hukum islam kontemporer):JURNAL PENDAIS”. Vol, 1
No, 2(2019). 144.

19
1. Menurut pandangan madhzab Hanafi dan Hambali suatu penikahan
yang syarat dan rukunnya terpenuhi maka sah menurut agama
Islam walaupun pernikahan itu adalah pernikahn siri.
2. Menurut fiqh Maliki, jika terjadi kesepakatan antara suami dan para
saksi untuk menyembunyikan pernikahan dari khalayak manusia
atau dari sebuah kelompok, maka pernikahan tersebut batal. Ini
yang dikenal sebagaimana yang telah dijelaskan dengan nikah siri,
yaitu suami berpesan kepada para saksi agar pernikahan tersebut
dirahasiakan dari istrinya, sebuah komunitas, keluarga atau istri
sebelumnya. Itu jika penyembunyian tersebut khawatir dari orang
zalim atau semisalnya. Hukumnya adalah wajib membatalkannya,
kecuali jika telah terjadi persenggamaan.
3. Ulama terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri adalah
Yusuf Qardawi, salah seorang pakar muslim kontemporer
terkemuka. Ia berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama ada ijab
kabul dan saksi.
Islam mengatur segala hal dengan sempurna, dalam hal ini
termasuk pernikahan. Menurut etimologi atau lughowi nikah berarti
menghimpun atau mengumpulkan, dengan tujuan mawaddah
warrohmah. Belakangan ini, term (istilah) baru tentang nikah mulai
nampak di kalangan masyarakat yaitu nikah siri berarti nikah secara
diam-diam, maksudnya tanpa di catat oleh Kantor Urusan Agama
(KUA). Akhirnya mereka (orang yang menikah) tidak mendapatkan
surat tanda pernikahan. Sebagian pemuda (sebagaimana trend-nya
mahasiswa) menyebutkan bahwa nikah siri merupakan nikah yang
tanpa diketahui oleh wali wanita. Biasanya hal ini terjadi karena pihak
wanita sudah hamil terlebih dahulu atau disebut dengan istilah married
by actident (MBA), atau melakukan akad nikah secara diam-diam
(berpoligami) tanpa diketahui oleh isteri pertama atau isteri-isterinya,
apalagi KUA dan pihak Pengadilan Agama. Dari term di atas, nikah
siri dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok. Pertama, nikah yang
tidak mempunyai bukti karena tidak dilakukan dihadapan pencatat

20
nikah. Kedua, nikah yang dilaksanakan tanpa sepengetahuan wali dari
pihak istri. Para Ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru
dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan
qobul antara wanita yang dilamar dengan laki laki yang melamarnya,
atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali,dan
dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka
tanpa adanya akad.
Di tinjau dari hukum positip Indonesia, perkawinan yaitu: " Ikatan
lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa" (UU No. 1 Tahun
1974 pasal 1 ayat 1 ). Berarti dituntut bila akan melaksanakan
perkawinan, didasari atas ikatan lahir batin, tapi bukan nafsu belaka
(nafsu lawwamah). Melihat semakin pelik dan berbahayanya situasi
pernikahan dikalangan pemuda dan para suami yang tidak puas
dengan satu isteri, padahal nikah merupakan washilah suci yang
diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Artinya, adanya
keharusan melaksanakan sesuai dengan perintah syariat (al-Quran dan
as-Sunnah al-Maqbulah). Di samping itu juga, harus dilakukan di
hadapan pencatat dari KUA atau penghulu sebagai wujud ketaatan
kepada aturan Negara (pemerintah) sesuai perintah Allah SWT (Q.S.
An-Nisaa/4 : 59)’
‫هّٰللا‬
ُ ‫ٰيٓا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْي ُعوا َ َواَ ِط ْي ُعوا ال َّر‬
‫س ْو َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬
Terjemahnya:
...Taatilah Allah taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu.
Hal ini didasari untuk menghindari terjadinya keecurangan atau
kejahatan dari pihak suami kepada pihak istri, dengan kata lain istri
bisa menuntut kepada suami jika terjadi kecurangan (pembohongan)
dari pihak suami. Terutama sekali dalam pernikahan untuk
menghasilkan generasi-generasi yang sholeh dan sholihah untuk
menjadi agent of change (objek perubahan) dalam segala aspek baik
keluarga, masyarakat, agama maupun Negara. Tarjih dalam kaidah

21
ushul al-Fiqhiyah, terdapat metode atau teknik yang dapat digunakan
untuk beristimbath al–Hukum (menemukan hukum dari dalil
Naqli (al-Qur’an dan al-Hadis). Dalam permasalahan Nikah Siri, kita
tidak dapat menemukan aturan di dalam nash (al-Quran dan as-
Sunnah as-Shohihah wa al- Maqbulah). Artinya dapat digunakan cara
lain, yang disebut dengan Ijtihad. Umumnya ulama fiqh mengemukan
bahwa ijtihad dapat dilakukan dalam beberapa hal, antara lain:6
1. Nash (al-Quran dan as-Sunnah) yang dzonny, dan
2. Terhadap masalah-masalah yang secara explisit tidak disebutkan
di dalam nash.
Permasalahan nikah siri merupakan permasalahan yang belum
menjadi pembahasan para ulama salaf (baca: ulama dahulu), sehingga
hal ini merupakan PR bagi ulama kontemporer (ulama sekarang)
untuk berusaha melakukan pembahasan dan menemukan hukumnya.
Jika diambil sedikit dampak negatif dari pernikahan tersebut, pasti
dampaknya kepada pihak si wanita dan tidak hanya
sampai disitu, anak pun akan mendapat dampak negatif, terutama
dalam pembuatan Surat Akte Kelahiran, masalah hak warisan dan
hak-hak lainnya dari sang ayah.
Melihat dari dampak-dampak negatif yang banyak menimbulkan
kemudhorotan atau mafsadat bagi banyak kalangan wanita dan
anaknya. Bisa digunakan salah satu qaidah dalam qowaid al-Fiqhiyah
yaitu Sadd-u al-Dzaro'i.
Saddu al-dzaro'i merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata
sadd-u (‫ )سد‬dan adzaro'i. Sadd berarti menutup dan adzara'i
merupakan bentuk jama' dari al- Dzari'ah berasal dari kata dzir'un
yang berarti memanjang dan bergerak ke depan. Secara literal al-
Dzari'ah mempunyai beberapa makna, diantaranya sebab perantara
kepada sesuatu. Sehingga secara literal, makna sadd-u adzaria'i adalah
menutup jalan-jalan dan perantara-perantara sehingga tidak
menyampaikan kepada tujuan yang dimaksud.

6
Ibid., 148

22
Dasar dan kehujjahan Sadd-u al-Dzara'i dalam membuktikan
kehujjahannya, maka perhatikan pendapat ulama mazhab tentang hal
tersebut. Malikiyah diwakili oleh as-Syatibi menetapkan dengan
mengatakan bahwa al-Syar'i bila membebankan sesuatu pembebanan
(al-taklif), baik berupa perintah mengerjakan atau meninggalkan
sesuatu perbuatan, mempunyai tujuan agar terealisasi suatu
hasil yang diharapkan. Kesmpulan ini muncul setelah diadakan
pengkajian induktif terhadap ayat-ayat al-Quran maupun as-Sunnah.
Hanabilah Menetapkan metode sadd-u al-Dzara'i setelah melakukan
induksi tehadap al-taklif al-Syar'iyah baik berupa suruhan maupun
larangan. Untuk mendukung validitas sadd-u al- Dzara'i Fuqoha
mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran Diantaranya : 7
1) Surat Annur 31
Sebagai contoh, Firman Allah dalam an-Nur ayat 31:
Terjemahnya: "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan" (al-Nur:31).
Dalam ayat ini, Allah melarang orang mukminat menghentakan
kaki mereka, karena dapat menjadikan sebab para lelaki mendengar
bunyi gemerincing yang dapat menibulkan syahwat tehadap wanita
itu. Menghentakan kaki sebenarnya bukan merupakan perbuatan
yang dilarang. Ini merupakan larangan melakukan perbuatan yang
diperbolehkan karena mempertimbangkan akibat yang timbul yang
kadang-kadang menimbulkan mafsadat.
Pembahasan nikah siri dilanjutkan dengan menggunakan qiyas,
yaitu berdasarkan pada persamaan illat. Maksudnya pada ayat di
atas sebenarnya Allah tidak melarang menghentakan kaki mereka,
akan tetapi dapat menimbulkan kemafsadatan (misal: menimbulkan
syahwat bagi lelaki) sehingga perbuatan itu dilarang. Begitu juga
dalam permasalahan nikah siri sebenarnya bukan merupakan
perbuatan yang dilarang, karena nikah siri hanya bisa kita dapatkan
di Indonesia dan tidak ada larangan langsung (tekstual) dari al-

7
Ibid., 149

23
Quran dan as- Sunnah), namun secara kontekstual mengandung
perintah untuk menghindari kesulitan akibat sebuah pernikahan.
Dengan demikian, melihat kepada mafsadat- nya yang ditimbulkan
banyak sekali berdampak negatif terutama bagi kaum
wanita dan anaknya, maka pencatatan sebuah pernikahan
adalah sebuah kewajiban, merujuk kepada perintah Q.S. Al
Baqarah/2 : 282 :
ٌ ۢ ِ‫س ّمًى فَا ْكتُبُ ْو ۗهُ َو ْليَ ْكت ُْب بَّ ْينَ ُك ْم َكات‬
‫ب‬ َ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِ ٰلٓى اَ َج ٍل ُّم‬
‫ب اَنْ يَّ ْكت َُب َك َما َعلَّ َمهُ هّٰللا ُ فَ ْليَ ْكت ۚ ُْب‬ ٌ ِ‫بِا ْل َع ْد ۖ ِل َواَل يَْأ َب َكات‬
Terjemahnya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa soal utang-piutang saja,
diperintahkan pencatatan guna menghindari terjadi kesulitan
akibat sengketa di kemudian hari, apalagi yang namanya ikatan
suami-isteri yang sifatnya sakral, yang sewaktu-
waktu juga dapat mengalami keretakan dan sengketa. Jadi,
siapa saja yang melangsungkan perkawinan, hanya berdasarkan
pada syarat dan rukun yang ada dalam fikih klasik (sebagai
salah satu bentuk pemahaman dari syariat) tanpa mau
mencatatkan perkawinannya, maka boleh saja dipandang sah
secara syariat tekstual, tetapi melanggar kemaslahatan umum
yang menjadi maksud syariat itu sendiri. Bahkan melanggar
syariat secara kontekstual. Padahal, kaedah ushul fikih
menyatakan bahwa kemaslahatan umum yang menjadi maksud
universal syariat Islam adalah jauh lebih penting, lebih utama,
lebih kuat dan lebih qath’iy ketimbang pemahaman secara
tekstual. Karena itu, sebenarnya tidak layak kita mengaku
menegakkan syariat dengan melanggar syariat itu sendiri.
Menurut Husain Hamid Hasan, seorang ulama kontemporer
dari Mesir, oleh karena maslahat merupakan dalil syara’ yang
paling kuat dan paling efektif berlakunya dalam kehidupan

24
sosial, ketimbang dalil-dalil parsial juz’iyah tertentu, maka jika
terdapat perbedaan antara nash (teks) dan maslahat, maka
didahulukanlah maslahat.
Dengan demikian, berdasarkan metode istimbath hukum
kontemporer menggunakan Sadd al-Zari’ah dan didukung oleh
nash (kontekstual), perbuatan nikah siri (pernikahan yang tidak
dicatatkan) sebagai salah satu bentuk mu’amalah/hubungan
perikatan sesama manusia itu, hukumnya dilarang/haram
menurut hukum Islam kontemporer dengan melihat pada
kemafsadatan/kemudaratan yang akan ditimbulkan terutama
kepada pihak perempuan dan anak-anak. Disamping
berdasarkan kaidah ushul fikih “al-Ashulu fil ‘amri lil wujub”
(pada asalnya setiap perintah itu adalah wajib hukumnya).
Mencatatkan pernikahan adalah sebuah bentuk ketaatan kepada
pemerintah (undang-undang) dan ketaatan kepada pemerintah
(ulil amri) adalah kewajiban syar’i (perintah al-Qur’an).
Mencatatkan pernikahan adalah kewajiban dan menjadi
salah satu rukun dan syarat sahnya sebuah pernikahan bagi
muslim yang mengaku beriman. Pernikahan yang tidak
dicatatkan (di KUA) berarti mengabaikan salah satu
rukun/syarat, dan pernikahan tanpa memenuhi rukun. Syarat
sahnya pernikahan, maka dianggap tidak sah, pernikahan yang
tidak sah hukumnya dilarang alias haram dalam agama dan
akan jauh dari barakah Allah.8

C. NIKAH WANITA HAMIL


1. Hukum nikah wanita hamil
Pada dasarnya menurut pendapat sebagian ulama asal hukum
melakukan perkawinan jika dihubungkan dengan al-ahkam al-
khamsah adalah kebolehan atau ibahah. Dasar dari pendapat ini
adalah Q.S. An-Nisa (4):1, 3, dan 24 juga hadits Rasul.

8
Ibid., 150

25
Q.S. An-Nisa (4):1
‫ث ِم ْن ُه َما ِر َجااًل‬َّ َ‫زَو َج َها َوب‬ ْ ‫ق ِم ْن َها‬َ َ‫س َّوا ِح َد ٍة َّو َخل‬ ٍ ‫ي َخلَقَ ُك ْم ِّمنْ نَّ ْف‬ ُ َّ‫ٰيٓاَيُّ َها الن‬
ْ ‫اس اتَّقُ ْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذ‬
‫س ۤا َءلُ ْونَ بِ ٖه َوااْل َ ْر َحا َم ۗ اِنَّ هّٰللا َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِ ْيبًا‬َ َ‫ي ت‬
‫هّٰللا‬
ْ ‫س ۤا ًء ۚ َواتَّقُوا َ الَّ ِذ‬ َ ِ‫َكثِ ْي ًرا َّون‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama- Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu.”
Q.S. An-Nisa (4):3
‫س ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل َث َو ُر ٰب َع ۚ فَاِنْ ِخ ْفتُ ْم‬
َ ِّ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ الن‬ َ َ‫سطُ ْوا فِى ا ْليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا َما ط‬ ِ ‫َواِنْ ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق‬
‫اَاَّل تَ ْع ِدلُ ْوا فَ َوا ِح َدةً اَ ْو َما َملَ َكتْ اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذلِ َك اَد ْٰنٓى اَاَّل تَ ُع ْولُ ْو ۗا‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Hadits-hadits Rasul itu antara lain:
1) Hadits riwayat Bukhari-Muslim “Hai golongan pemuda, barang
siapa diantara kamu telah sanggup kawin, maka
kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih
memelihara faraj/kehormatan dan barang siapa yang belum
sanggup maka berpuasa itu melemahkan syahwat.”
2) Hadits riwayat Bukhari-Muslim “Tetapi aku sembahyang, tidur,
puasa, berbuka, dan kawin. Barang siapa yang tidak menyukai
sunnahku maka ia bukan umatku.”Namun kebolehan ini dapat
berubah menjadi sunnah, meningkat menjadi wajib
atau dapat juga turun menjadi makruh ataupun haram. Perubahan

26
ini dapat terjadi karena berubahnya illah. Perubahan itu terjadi
apabila:
1) Hukum beralih menjadi sunnah. Dengan illah: seorang apabila
dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan
cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada.
2) Hukum beralih menjadi wajib. Bila seseorang dipandang dari
segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari
sudut pertumbuhan jasmaninya sudah sangat mendesar untuk
kawin, sehingga kalau dia tidak kawin dia akan terjerumus
kepada penyelewengan.
3) Hukumnya beralih menjadi makruh. Bila seseorang yang
dipandang dari sudut jasmaninya telah wajar untuk kawin
walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya
untuk hidup sehingga jika ia kawin akan membawa
kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya.
4) Hukumnya juga dapat beralih menjadi haram. Bagi orang yang
tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan
serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila
melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan
istrinya.
2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kawin Hamil
Kawin hamil ialah kawin dengan seseorang wanita yang hamil
di luar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya
maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya. Dengan kalimat
yang lain, Perkawinan wanita hamil merupakan perkawinan yang
didahului dengan adanya sebab perzinaan yang mengakibatkan
kehamilan di luar perkawinan yang sah.
UU Perkawinan hanya mengatur secara implisit mengenai
perkawinan wanita hamil yaitu dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa
“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Menurut

27
hukum Islam, suatu perkawinan dianggap sah bilamana dilakukan
dengan memenuhi rukun dan syarat menurut Hukum Islam. Rukun
dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidak sahnya perbuatan dari segi
hukum. Terdapat perbedaan pendapat antara para ulama mengenai
kawin hamil ini, berikut akan dipaparkan pendapat fikih dari empat
imam mahzab mengenai kawin hamil.
Pendapat Mahzab Syafi’i
Imam Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah berpendapat
bahwa boleh atau menganggap sah perkawinan wanita hamil akibat
zina baik dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya maupun laki-
laki lain tanpa perlu menunggu si cabang bayi yang dikandung oleh
wanita itu lahir. Pernikahan yang dilakukan wanita walau dalam
keadaan hamil diperbolehkan menurut Mahzab Syafi’iyah selama
pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan adanya ijab kabul.
Wanita yang hamil akibat zina, maka tidak ada hukum kewajiban
iddah baginya, dan diperbolehkan untuk menikahinya dan juga
menggaulinya.
Pendapat Mahzab Hanafi
Imam Abu Hanifah pun mengemukakan pendapat yang
hampir sama, bahwa perkawinan bagi wanita hamil adalah sah
dengan syarat yang menikahinya adalah pria yang menghamilinya.
Adapun laki-laki yang bukan menghamilinya tetap sah melakukan
perkawinan dengan wanita hamil akibat zina akan tetapi tidak
boleh melakukan hubungan intim sampai si wanita melahirkan bayi
yang dikandungnya. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa wanita
hamil karena zina tidak diwajibkan baginya masa iddah,
karena iddah bertujuan menjaga nasab, sehingga boleh untuk
menikahi wanita hamil tanpa harus menunggu masa iddah. Hal ini
dikarenakan bahwa wanita hamil akibat zina tidak termasuk
kategori wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, maka
perkawinan wanita hamil diperbolehkan. Hal ini berdasarkan

28
firman Allah swt dalam QS. An-Nisa (4):24 yang artinya:
ْ‫ َّل لَ ُك ْم َّما َو َر ۤا َء ٰذلِ ُك ْم اَن‬K‫انُ ُك ْم ۚ ِك ٰت َب هّٰللا ِ َعلَ ْي ُك ْم ۚ َواُ ِح‬K‫س ۤا ِء اِاَّل َما َملَ َكتْ اَ ْي َم‬
َ ِّ‫ص ٰنتُ ِمنَ الن‬ َ ‫َوا ْل ُم ْح‬
َّ‫ ْو َرهُن‬K‫ات ُْوهُنَّ اُ ُج‬Kٰ َ‫ه ِم ْن ُهنَّ ف‬Kٖ Kِ‫تَ ْمتَ ْعتُ ْم ب‬K‫اس‬ ْ ‫ا‬KK‫افِ ِحيْنَ ۗ فَ َم‬K‫س‬ َ ‫ر ُم‬Kَ K‫نِيْنَ َغ ْي‬K‫ص‬ ْ K‫تَ ْبتَ ُغ‬
ِ ‫ا َ ْم َوالِ ُك ْم ُّم ْح‬Kِ‫وا ب‬K
‫ض ۗ ِة اِنَّ هّٰللا َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫اض ْيتُ ْم بِ ٖه ِم ۢنْ بَ ْع ِد ا ْلفَ ِر ْي‬
َ ‫اح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما تَ َر‬ َ َ‫ضةً ۗ َواَل ُجن‬ َ ‫فَ ِر ْي‬
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak- budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan
hukum itu) sebagai ketetapan- Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-
isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu
yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Berdasarkan ayat tersebut wanita hamil tidak termasuk ke
dalam golongan wanita yang haram dinikahi, wanita yang hamil
karena zina termasuk dalam katagori mutlaq wanita yang
dihalalkan untuk dinikahi pada ayat diatas, sementara itu, tidak
terdapat dalil atau illat lain yang menunjukkan haram menikahi
wanita hamil. Oleh karenanya, wanita hamil boleh dinikahi.
Dengan catatan jika yang menikahi wanita hamil itu laki-laki yang
bukan menghamilinya, maka tidak boleh mencampuri wanita itu
sebelum ia melahirkan.
Dasar hukum lain yang dijadikan landasan yaitu ketika
Rasulullah saw. Ditanya mengenai seorang laki-laki yang berzina
dengan seorang wanita, kemudian si laki-laki berniat untuk
mengawininya, saat itu Rasulullah saw menjawab “Perbuatan
haram tidak mengharamkan yang halal” (HR. Baihaqi dari ‘Aisyah
ra.). Hadits di atas menjelaskan bahwa perzinaan merupakan
perbuatan yang haram, sedangkan perkawinan merupakan
perbuatan yang halal, sehingga dalam konteks hadits ini
menunjukkan bahwa perbuatan yang haram (perzinaan) tidak dapat

29
megharamkan perbuatan yang halal (perkawinan). Dengan
demikian, keharaman perzinaan tidak dapat mengharamkan
halalnya pelaksanaan perkawinan, meskipun yang melangsungkan
perkawinan adalah pelaku zina, yakni pasangan yang melakukan
perzinaan sehingga menyebabkan wanita hamil.
Pendapat Mahzab Maliki
Berbeda halnya dengam Mahzab Syafi’i maupun Mazhab
Hanafi, pendapat Mahzab Maliki sangat berkebalikan.
Dikemukakan oleh Imam Malik bin Anas, beliau mengharamkan
secara mutlak pelaksanaan kawin hamil. Imam Malik berpendapat
bahwa hukum menikahi wanita hamil akibat zina adalah tidak sah,
baik yang menikahi itu adalah laki-laki yang menghamilinya
ataupun yang bukan menghamilinya19. Menurut pendapat ini,
wanita hamil di luar nikah harus menunggu hingga bayi yang
dikandungnya lahir terlebih dahulu baru kemudian si wanita hamil
tersebut dapat melangsungkan akad perkawinan. Ulama
Malikiyyah berpendapat bahwa wanita yang digauli karena zina
maka hukumnya sama seperti halnya digauli karena syubhat, baik
berdasarkan akad yang bathil maupun fasid, maka ia harus
menjalani masa iddah sebagaimana masa iddah pada umumnya.
Pendapat Mazhab Hanbali
Pendapat Mazhab Hanbali memiliki kemiripan dengan
Mazhab Maliki, yang mana dikemukakan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal, beliau berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita yang
diketahui telah berbuat zina, baik laki-laki yang menzinainya
maupun laki-laki yang bukan menzinainya. Wanita pezina, baik ia
hamil atau tidak, tidak boleh dikawini oleh laki-laki yang
mengetahui keadaannya itu, kecuali dengan dua syarat:
1) Telah habis masa iddahnya, namun apabila hamil, maka
iddahnya habis sampai dengan melahirkan anaknya, dan belum
boleh mengawininya sebelum masa iddahnya itu.

30
2) Telah taubat wanita itu dari perbuatan maksiat, dan apabila ia
belum bertaubat maka tidak boleh mengawininya. Apabila telah
sempurna kedua syarat itu, yaitu telah habis masa iddahnya dan
telah bertaubat dari dosanya, maka halal mengawini wanita itu
bagi laki-laki yang menzinainya ataupun laki-laki lain. Pendapat
Ulama Lainnya Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa
keduanya (lelaki dan wanita yang berzina boleh (sah)
dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan
apabila telah bertaubat dan telah menjalani hukuman dera
(cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini memiliki
dasar hukum yang pernah diterapkan oleh sahabat Nabi saw.,
antara lain:
a) Ketika Ketika Jabir bin Abdillah ra. ditanya tentang
kebolehan mengawinkanorang yang telah berzina, beliau
berkata: “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah
beraubat dan memperbaiki sifat-sifatnya”.
b) Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada
Khalifah Abu Bakar ra. dan berkata: Ya Amirul Mukminin!,
putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan
aku inginkan agar keduanya dikawinkan. Ketika itu khalifah
memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan
hubungan dera (cambuk), kemudian dikawinkannya.
Selanjutnya, mengenai pria yang kawin dengan wanita yang
dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para
ulama:
a) Imam Abu Yusuf mengatakan bahwa keduanya tidak
boleh dikawinkan, sebab bila dikawinkan perkawinannya
itu batal (fasid). Pendapat ini didasari firman Allah
dalam QS. An-Nur (24): 3
‫ش ِر ۚ ٌك‬ ٍ ‫ش ِر َكةً ۖ َّوال َّزانِيَةُ اَل يَ ْن ِك ُح َهٓا اِاَّل َز‬
ْ ‫ان اَ ْو ُم‬ ْ ‫اَل َّزانِ ْي اَل يَ ْن ِك ُح اِاَّل َزانِيَةً اَ ْو ُم‬
َ‫َو ُح ِّر َم ٰذلِكَ َعلَى ا ْل ُمْؤ ِمنِيْن‬

31
yang artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-
laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
oran-orang yang mukmin”. Maksud ayat tersebut adalah
tidaklah pantas seorang pria yang beriman kawin dengan
seorang wanita yang berzina.
Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak
pantas kawin dengan pria yang berzina. Ibnu Qudamah
sependapat dengan Imam Abu Yusuf dengan
menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh
mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina
dengan orang lain, kecuali dengan dua
syarat:
1) Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi
dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin;
2) Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera
(cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
b) Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani
mengatakan bahwa perkawinannya itu sah tetapi haram
baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya
belum lahir. Pendapat ini didasari oleh hadits yang
artinya “Janganlah engkau campuri wanita yang hamil,
sehingga lahir (kandungannya). dan (tidak boleh digauli)
yang tidak hamil sampai dia beristibra' dengan satu kali
haid.” (H.R. Abu Daud). Dalam hadits yang lain “Dari
Ruwaifi bin Sabit RA berkata, Rasululullah bersabda
tidak halal lagi bagieorang yang beriman kepada Allah
dan hari kemudian, menuangkan air bibitnya pada
tanaman orang lain”. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi)

32
3. Tinjauan Kawin Hamil Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hukum materiil
dari salah satu di antara hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Berlakunya Kompilasi Hukum Islam tersebut berdasarkan:
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
Disebutkan bahwa kompilasi ini dapat dipergunakan sebagai
pedoman dalam penyelesaian masalah- masalah di bidang yang
diatur oleh kompilasi, yaitu hukum perkawinan, kewarisan,
perwakafan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya.
Kebutuhan akan adanya KHI di Indonesia sebagai upaya
memperoleh kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan
perkara bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sudah
lama dirasakan oleh Departemen Agama. Bahkan sejak adanya
peradilan agama di Indonesia, keperluan ini tidak pernah hilang,
bahkan berkembang terus sejalan dengan perkembangan badan.
Latar belakang penyusunan KHI yang tidak mudah untuk dijawab
secara singkat. Pembentukan KHI ini mempunyai kaitan yang erat
sekali dengan kondisi hukum Islam di Indonesia ketika itu. Hal ini
penting untuk ditegaskan mengingat sampai saat ini belum ada
suatu pengertian yang disepakati tentang hukum Islam, yang
masing-masing dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Kekuatan KHI dijadikan sebagai sumber hukum materiil
dilandasi oleh Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
itu dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yaitu
“Kekuasaan Presiden untuk memegang Pemerintahan Negara”.
Juga sebagaimana telah dijelaskan di BAB II dimana sumber
hukum KHI yang salah satunya adalah Al-Qur'an dan Hadits yang
tidak perlu diragukan lagi kekuatannya. Mengenai pengaturan
perkawinan wanita hamil di KHI diatur dalam BAB tersendiri yaitu
BAB VIII khususnya Pasal 53 ayat (1), (2), dan (3).

33
Pasal (1) “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya.”
Pasal (2) “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat
(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.”
Pasal (3)“Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita
hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir”
Dengan demikian mengenai perkawinan wanita hamil di
luar nikah ditetapkan oleh KHI, bahwa wanita hamil di luar nikah
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya dan dapat
ditafsirkan pula kata “dapat” bahwa wanita hamil di luar nikah
dapat dikawinkan dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya.
Berarti perkawinan wanita hamil di luar nikah boleh dilakukan
baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun laki-laki lain
yang tidak menghamilinya yang ingin bertanggungjawab terhadap
wanita tersebut, karena bisa jadi kehamilan itu bukan atas dasar
perbuatan zina melainkan pemerkosaan terhadapnya yang
dilakukan oleh laki-laki yang tidak jelas keberadaannya dengan
tujuan untuk menjaga aib wanita hamil tersebut
4. Status Anak dari Perkawinan Wanita Hamil
KHI di Indonesia yang dinyatakan berlakunya dengan
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 sebagai pedoman bagi
hakim di lembaga peradilan agama membicarakan perkawinan
wanita hamil karena zina dan dinyatakan boleh. Pasal yang
menyatakan kebolehan mengawini wanita hamil itu, tidak
dijelaskan status anak yang lahir dari wanita yang dulunya sudah
hamil. Namun KHI di Indonesia dalam pasal lain menjelaskan
status anak. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa anak sah adalah
anak yang lahir dalam atau akibat dari suatu perkawinan yang sah.
Dalam fenomena kawin hamil, akan muncul nilai yang
kontroversial. Pengabsahan anak yang itu mengandung dua unsur

34
yang kontra-produktif, yaitu nilai kebaikan (mashlahah) dan
keburukan (mafsadah).
Aspek Mashlahah yaitu:
1) Anak bisa memperoleh perlindungan hukum secara pasti
2) Anak memiliki hak menuntut tanggungjawab ayahnya bila
lalai; dan antara keduanya bisa saling mewarisi.
3) Anak merasa setara dengan teman-temannya dan tidak merasa
hina karena memiliki ayah.
4) Beban psikologis ibu dan anak menjadi tereliminir. Perasaan
bangga mendapatkan keturunan (anak) yang sebenarnya hanya
diperoleh sebagai akibat pernikahan yang sah bisa dinikmati
oleh pasangan suami istri melalui kawin hamil.
5) Menutup aib keluarga, Ibunya merasa tidak hina sebagai orang
kotor dilingkungan masysrakat karena anak yang dilahirkannya
memiliki ayah, yang sekaligus sebagai suaminya.
Sedangkan Aspek Mafsadah, yaitu:
1) Para remaja menjadi berpikiran pragmatis dalam pergaulan
dengan lawan jenisnya. Pikiran tersebut mengarah kepada
pergaulan bebas (free-sex). Dimana apabila terjadi kehamilan,
nanti juga bisa melangsungkan perkawinan sehingga anaknya
pun bisa menjadi anak sah dalam perkawinan tersebut.
2) Anak luar nikah yang semula tidak dikehendaki keberadaannya
secara geneologis, ia berasal dari orang tua yang tidak bisa
mengendalikan nafsu sehingga berbuat dosa. Dengan kata lain
gen yang menyebabkan sifat negatif dari orang tuanya akan
menurun kepada anaknya. Seperti kata pepatah “apa yang
dimiliki seorang ayah juga dimiliki anaknya” “buah tak jatuh
jauh dari pohonnua”.
3) Penilaian minor masyarakat yang dapat memicu tindakan brutal
dan keonaran.
4) Pengabsahan anak bisa merusak dan mengganggu keturunan
keluarga dan kebersihannya.

35
Anak menurut hukum dibedakan menjadi dua, yaitu antara anak
sah dan anak tidak sah. Menurut Pasal 250 KUH Perdata dan Pasal
42 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dimaksud
dengan anak sah adalah anak-anak yang dilahirkan sepanjang
perkawinan, atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai anak
yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan
anak tidak sah tidak dijelaskan secara eksplisit dalam pasal-pasal
KUH Perdata maupun UU Perkawinan, tetapi secara a-contrario
anak tidak sah dapat diartikan sebagai anak yang dilahirkan oleh
seorang wanita yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah
dengan seorang laki-laki. Dari pembedaan kedudukan anak dalam
hukum ini terdapat unsur yang sangat menentukan, yaitu
perkawinan yang sah. Anak tidak sah dalam arti luas meliputi anak
luar kawin, anak zina, dan anak sumbang. Sedangkan dalam arti
sempit yang dimaksud dengan anak tidak sah terbatas pada anak
luar kawin saja.
Apabila ditinjau dari Hukum Islam, ada yang dinamakan
dengan kawin hamil. Mengenai kawin hamil dijelaskan dalam
Pasal 53 KHI yaitu seorang wanita hamil di luar nikah, dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan
wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir. Jika wanita tersebut telah menikah
dengan pria yang menghamilinya sebelum anaknya dilahirkan,
maka berdasarkan Pasal 99 KHI, anak tersebut adalah anak yang
sah. Ini karena anak yang sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh istri tersebut.
Berdasarkan Pasal 99 huruf a KHI, dapat ditarik benang merah
bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi penghamilnya

36
seperti diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KHI adalah anak sah. Karena
anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah, bukan anak
yang lahir di luar perkawinan. Untuk anak yang lahir di luar
perkawinan menurut Pasal 186 KHI hanya mempunyai hubungan
saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Oleh karena anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka
ia saling mewaris tidak saja dengan ibu dan keluarga dari pihak
ibunya, tetapi juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari
pihak bapaknya. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara
anak ini dan anak yang lahir akibat perkawinan yang sah.
Sekalipun merujuk pada kitab-kitab fikih, nyatanya dalam
hubungannya dengan status anak yang lahir dalam perkawinan,
KHI tidak memberi batasan, sebagaimana fikih. Seperti diketahui
fikih memberi tenggang waktu minimal 6 bulan antara kelahiran
dan akad nikah menurut Abu Hanifah, atau antara kelahiran dan
persetubuhan yang terjadi setelah akad nikah menurut Malik dan
Syafi’i baru anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya. Jika
kurang dari 6 bulan, tidak dapat dipertalikan nasab tersebut.
Dengan demikian jika Pasal 99 huruf a KHI diinterpretasikan
dengan tolok ukur Fikih Malik dan Syafi’i, sekalipun anak tersebut
lahir begitu akad nikah selesai, tetap tergolong anak
sah sepanjang persetubuhannya terjadi minimal 6 bulan sebelum
anak tersebut dilahirkan. Sedang jika tolok ukur fikih Abu Hanifah
yang digunakan, baru dipandang sah jika anak tersebut lahir
minimal 6 bulan setelah terjadinya akad nikah. Oleh karena baik
Pasal 53 ayat (1) maupun Pasal 99 huruf a KHI, bertujuan antara
lain untuk melindungi anak dimaksud, maka tolok ukur fikh Malik
dan Syafi’i lebih sejalan dengan tujuan tersebut.
Fikih secara tegas menyatakan bahwa anak zina dapat saling
mewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibu. Sedang dengan bapak
dan keluarga pihak bapak tidak dapat saling mewarisi. Alasan yang
dikemukakan fikih, ialah adanya kejelasan hubungan nasab antara

37
anak dengan ibunya melalui adanya indikasi bahwa ibu tersebutlah
yang nyata-nyata mengandungnya. Oleh karena itu mereka saling
mewarisi. Sedang antara anak dengan bapak, kejelasan hubungan
nasab didasarkan atas adanya akad nikah dengan ibu anak tersebut,
karena tidak ada indikasi selainnya yang dapat dijadikan pegangan.
Demikianlah fikih dahulu memberikan ketentuan.
Oleh karena adanya hubungan yang kokoh dari hubungan
pertalian darah oleh hukum syara’ diberikan hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak. Adanya hubungan nasab antara orang
tua dengan anak, menimbulkan hak-hak anak atas orang tuanya,
yaitu hak radla, hak hadlanah, hak walayah, dan hak nafkah.

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Islam mengatur segala hal dengan sempurna, dalam hal ini termasuk
pernikahan.

Hukum nikah siri secara agama adalah sah atau legal dan
dihalalkan
atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat
nikah siri digelar. Siapa saja yang melangsungkan perkawinan, hanya
berdasarkan pada syarat dan rukun yang ada dalam fikih klasik
(sebagai salah satu bentuk pemahaman dari syariat) tanpa mau

38
mencatatkan perkawinannya, maka boleh saja dipandang sah
secara syariat tekstual, tetapi melanggar kemaslahatan umum yang
menjadi maksud syariat itu sendiri.

Kawin hamil ialah kawin dengan seseorang wanita yang hamil di luar
nikah, baik
dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki
bukan yang
menghamilinya. UU Perkawinan hanya mengatur secara implisit
mengenai perkawinan
wanita hamil yaitu dalam Pasal 2 ayat (1). Sedangkan dalam KHI
pengaturan mengenai
perkawinan wanita hamil diatur dalam BAB tersendiri yaitu BAB VIII
khususnya Pasal 53
ayat (1), (2), dan (3). Mengenai kawin hamil terdapat perbedaan
pendapat antara jumhur
ulama.

Mazhab Syafi’i berpandangan bahwa sah perkawinan yang dilakukan


oleh wanita
hamil baik dengan pria yang menghamilinya maupun pria lain, tidak
perlu menunggu si
wanita tersebut melahirkan terlebih dahulu. Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa sah
mengawini wanita hamil baik oleh pria yang menghamilinya maupun
pria lain, dengan
catatan jika yang mengawininya bukan pria yang menghamilinya,
maka pria itu tidak
boleh mencampuri wanita tersebut hingga si anak lahir. Lain dengan
Mazhab Maliki,
pelaksanaan kawin hamil menurut Malikiyyah adalah haram secara

39
mutlak, baik pria yang
menghamili atau bukan harus menunggu bayi tersebut lahir baru dapat
mengawini
wanita tersebut. Kemudian Mazhab Hanbali berpendapat bahwa tidak
sah menikahi
wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik laki-laki yang
menzinainya maupun laki-
laki yang bukan menzinainya. Pria baru boleh mengawini wanita
tersebut apabila wanita
tersebut sudah habis masa iddahnya dan telah bertaubat dari perbuatan
maksiat.
Sedangkan KHI mengatur bahwa wanita hamil di luar nikah dapat
dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya dan dapat ditafsirkan pula kata
“dapat” bahwa wanita
hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan laki-laki lain yang tidak
menghamilinya.
Sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) “Seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya.”
Status anak dari wanita hamil pun dapat berstatus sebagai anak sah
apabila anak
tersebut lahir dari wanita hamil yang kandungannya minimal berusia 6
(enam) bulan dari
perkawinan yang sah atau kemungkinan terjadinya hubungan badan
antara suami isteri
dari perkawinan yang sah. Namun apabila anak tersebut dilahirkan
kurang dari enam
bulan masa kehamilan dari perkawinan sah ibunya atau dimungkinkan
adanya hubungan
badan maka anak tersebut dalam hukum Islam adalah anak tidak sa

40
DAFTAR PUSTAKA

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, 1994, Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta:
Haji Masagung.

Kutbudin aibak, 2017, kajian fikih kontemporer,Yogyakarta: Kalimedia.

41

Anda mungkin juga menyukai