Disusun Oleh :
Yuli Miswanto
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................iii
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................iii
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................iii
1.3 Tujuan........................................................................................................................iii
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................1
2.1 Pengertian Pernikahan..............................................................................................1
2.2 Dasar Hukum Pernikahan.........................................................................................1
2.3 Tujuan Pernikahan....................................................................................................3
2.4 Hikmah Pernikahan...................................................................................................5
2.5 Rukun dan Syarat Pernikahan.................................................................................6
BAB III PENUTUP.................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................11
3.2 Saran..........................................................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Dengan adanya pernikahan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai
dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan
yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka
disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur
dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan
baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi
masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari pernikahan.
2. Untuk mengetahui dasar hukum pernikahan.
3. Untuk mengetahui tujuan dan hikmah pernikahan.
4. Untuk mengetahui syarat dan rukun pernikahan
iii
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa nikah adalah hubungan intim dan mengumpuli. Sedangkan arti
nikah menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu hubungan
kelamin antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup keluarga yang
diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT.
Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah
atau zawj yang menyimpan arti wati’ (hubungan intim). Artinya dengan pernikahan
seseorang dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum
dengan kaum yang lainnya.
1
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa’ : 3)
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki-laki yang sudah mampu
untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah
adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain -
lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam
memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf ayat 189 berbunyi :
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah
dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat,
keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata:
"Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami
terraasuk orang-orang yang bersyukur".
Sehingga pernikahan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar
suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang
aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah)
dan saling menyantuni (Rohmah).
2
b. Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan,
maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga
kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu
berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).
“Nikahilah wanita yang sangat cinta dan subur. Karena aku akan berbangga
dengan kalian dihadapan umat yang lain” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
3
khawatir tidak akan
4
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al-Baqarah :
229) Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan
dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-
batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di
atas : “Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami
yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada
dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali,
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (QS.
Al-Baqarah : 230) Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri
melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah
tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan
berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah
salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan
amal- amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah
(sedekah).
5
pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak
dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?” (QS. An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak,
tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari
anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak
akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
6
2.5 Rukun dan Syarat Pernikahan
Dalam perkawinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hal itu adalah syarat
dan rukun yang harus dipenuhi. Adapun syarat dan rukun merupakan perbuatan hukum
yang sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tertentu dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Diantaranya adalah persetujuan para pihak. Menurut
hukum Islam akad (perjanjian) yang didasarkan pada kesukarelaan kedua belah pihak
calon suami isteri. Karena pihak wanita tidak langsung melaksanakan hak ijab
(penawaran tanggung jawab), disyaratkan izin atau meminta persetujuan sebelum
perkawinan dilangsungkan, adanya syarat ini berarti bahwa tidak boleh ada pihak ketiga
(yang melaksanakan ijab) memaksa kemauannya tanpa persetujuan yang punya diri
(calon wanita pengantin bersangkutan). Di masa lampau banyak gadis yang merana
kawin paksa dibawah umur.
7
perempuan,saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara sesusuan,
ibu-ibu isterimu (mertua) ank-anak isterimu yang ada dalam
pemeliharaanmu, dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi bila kamu
belum menyampuri isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak
berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawina) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat tersebut kita dapat memilih bahwa pada ayat tersebut terbagi
menjadi tiga hal: karena ada hubungan nasab (larangan ini untuk selama
lamanya), larangan perkawinan karena ada hubungan musaharah
(perkawinan), larangan perkawinan karena susuan.
4. Bukan seorang khunsa (diragukan jenis kelaminnya/ mempunyai kelamin
ganda)
5. Bukan dalam ihram haji atau umrah
6. Tidak dalam iddah
7. Bukan isteri orang
8. Dalam pasal 7 UUP di Indonesia usia calon istri minimal 16 tahun
c. Syarat Wali
1. Islam, bukan kafir dan murtad
2. Lelaki
3. Baligh
4. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
5. Bukan dalam ihram haji atau unrah
6. Tidak fasik
7. Tidak cacat akal pikiran
8. Merdeka
9. Adil
d. Syarat Saksi
1. Sekurang-kurangnya dua orang
2. Islam
3. Berakal
8
4. Baligh
5. Laki-laki
6. Memahami kandungan lafal ijab dan qabul
7. Dapat melihat, mendengar dan bercakap
8. Adil
9. Merdeka
Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang gila atau orang bisu, atau
yang sedang mabuk, maka perkawinan tidak sah, sebab mereka dipandang
seperti tidak ada. Bagi orang yang buta, tuli atau bisu bisa menjadi saksi
asalkan mereka benarbenar mampu mengenali dan membedakan suara-suara
pelaku- pelaku akad, secara yakin dan pasti.
e. Syarat Ijab
1. Pernikahan ini hendaklah tepat
2. Tidak boleh menggunakan sindiran
3. Diucapkan wali atau wakilnya
4. Tidak dikatakan dengan tempo waktu seperti mut’ah (nikah kontrak)
5. Tidak dikatakan taklit (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafadzkan)
6. Harus dilafalkan dengan jelas
f. Syarat Kabul
1. Ucapan mestilah seperti ucapan ijab
2. Diucapkan setelah ijab tanpa terputus sesaat pun.
3. Tidak berkata sindiran
4. Dilafalkan oleh calon suaminya
5. Tidak dikatakan dengan tempo waktu seperti mut’ah
6. Tidak dikatakan taklit (tiada sebutan prasyaratsewaktu ijab dilafadzkan
7. Menyebut nama calon isteri
8. Harus dilafalkan dengan jelas
2) Rukun Pernikahan
Adapun rukun perkawinan itu ada lima, yang terdiri dari :
1. Calon Isteri
Calon mempelai wanita, yang dalam hal ini isteri tersebut boleh dinikahi dan
sah secara syar’i karena tidak ada penyebab-penyebab tertentu yang
menjadikan pernikahan terlarang atau dilarang.
2. Calon Suami
Calon mempelai pria yang dalam hal ini harus memenuhi syarat yang ada
9
diatas.
1
3. Wali
Wali ialah ayah dari mempelai wanita. Mengenai wali bagi calon mempelai
wanita ini terbagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh)
Karena perkawinan itu tidak sah tanpa ada izin dari walinya. Hal ini
dikarenakan ada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
“Telah menceritakan Muhammad bin Katsir, telah mengkabarkan kepada kita
sufyan, telah menceritakan kepada kita ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa
dari Azzuhri dari Urwah dari Aisyah, Aisyah berkata: Rasulullah telah
bersabda “Siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka
nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali).
Menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi
apabila seorang wanita tersebut tidak mempunyai wali dan orang yang dapat
menjadi hakim maka ada tiga cara:
1. Dia tetap tidak dapat menikahkan dirinya tanpa adanya wali.
2. Ia boleh menikahkan dirinya sendiri karena darurat.
3. Dia menyuruh kepada seorang untuk menjadi wali bagi dirinya, dan
diceritakan dari Imam Asyayis bagi mereka yang tidak ada wali
baginya harus mengangkat seorang wali (hakim) yang ahli dan
mujtahid.
Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Apabila dalam suatu rombongan
(dalam perjalanan jauh) ada seorang perempuan yang tidak ada walinya, lalu ia
memperwalikan seseorang laki-laki untuk menikahkannya, maka yang
demikian itu diperbolehkan. Hal ini dapat disamakan dengan memperwalikan
seseorang hakim (penguasa Negara atau pejabat yang mewakilinya) dikala
tidak terdapat seorang wali nikah yang sah.”
Dan apabila terjadi perpisahan antara wali nasab dengan wanita yang akan
dinikahinya, izin wali nasab itu dapat diganti dengan izin wali hakim. Wali
menurut hukum Islam terbagi menjadi dua. Wali nasab yaitu anggota keluarga
laki-laki calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan
calon pengantin wanita. Wali nasab ini digolongkan menjadi dua yaitu wali
mujbir (wali yang berhak menikahkan orang yang diwalikan tanpa meminta
izin pendapat wanita)dan wali nasab biasa (wali yang tidak memiliki
kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa persetujuan wanita). Wali
hakim adalah penguasa atau wakil penguasa dalam bidang perkawinan.
4. Dua orang saksi
1
Menurut juhur ulama’ perkawinan yang tidak dihdiri oleh para saksi yang
1
menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain,
perkawinannya tetap tidak sah. Karena saksi merupakana syarat sahnya
pernikahan, bahwa Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu
termasuk rukun.
Rasulullah bersabda : Telah menceritakan Muhammad bin Qadamah bin
“Ayun, menceritakan Abu ‘Ubaidah al-Haddad dari Yunus dan Israil dari Abi
Ishaq dari Abi Bardah dari Abi Musa, sesungguhnya Rasulullah telah
bersabda “Tidak sah perkawinan kecuali dengan wali”
5. Sighat (Ijab Qobul)
Pengucapan: sigat (yakni pengucapan “ijab” yang mengandung menyerahkan
dari pihak wali si perempuan, dan “qabul” yang mengandung penerimaan dari
pihak wali calon suami).
1
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu hubungan kelamin
antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup keluarga yang diliputi
rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT. Dasar hukum
pernikahan banyak tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits, dan pernikahan
merupakan Sunnah Rasulullah. Hikmah dalam pernikahan yaitu : Mampu menjaga
kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan, mampu
menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat
seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan, mampu menenangkan dan
menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya,
mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang
diciptakan.
3.2 Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik
disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki
segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.