Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

FIKIH

MUNAKAHAT

Disusun Oleh:
Kelompok 6

Parida fitriana
Febry Rama Sari
Widya Arianti
Zam-zam Hayati
UIN Sumatera Utara
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan Rahmat taufik dan hidayah Nya sehingga
Penulisan Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah kami ini berjudul MUNAKAHAT , didalam Makalah kami ini
terdapat beberapa pembahasan diantaranya, Pengertian Pernikahan,
Hukum Pernikahan, Rukun dan Syarat Sah Nikah, Hikmah Pernikahan atau
Perkawinan dan sebagainya.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,
itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat
bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Dosen Pembimbing serta
berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya
serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan
prestasi dimasa yang akan datang.

Wassalam,

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...........................................................................


Daftar Isi .....................................................................................
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang ..................................................................
BAB II
Pembahasan
1. Pengertian Pernikahan ...........................................................
2. Khitbah(meminang)................................................................
3. Rukun dan Syarat Sah Nikah ..................................................
4. Batalnya Perkawinan .............................................................
5. Larangan Pernikahan..............................................................
6. Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Islam

BAB III
Penutup
A. Kesimpulan ...............................................................................
B. Saran ......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................


BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar
pernikahan adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nikah
berarti berkumpul atau bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga
kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan
suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang
wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dlan mendapatkan
keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan
pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Tujuan pernikahan
adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam
Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal
konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang
kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan
syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan
fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan
diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama
atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau
rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya
perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam,
menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut,
pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga
dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN PERNIKAHAN
Dasar sebuah keluarga dalam islam adalah ikatan darah dan
pernikahan. 1
Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan bergaulan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan
kewajiban antara keduanya.2
Dalam pengertain yang luas, pernikahan adalah merupakan suatu ikatan
lahir antara dua orang laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama
dalam satu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut
ketentuan-ketentuan syariat islam.
A. Pentingnya pernikahan
Islam menganjurkan kepada umatnya untuk menikah dengan berbagai
alasan sebagai bentuk motivasi. Terkadang menyebutkan bahwa nikah
adalah termasuk sunnah para nabi, petunjuk para rasul, yang mana
mereka adalah teladan yang wajib diikuti petunjuknya sebagai mana
firman Allah dalam surat Ar-Radu ayat 38 yang artinya:
Dan sungguh kami telah mengutus beberapa rasul sebelum
engkau(muhammad) dan kami berikan kepada mereka istri-istri dan
keturunan.
Terkadang juga menyebutkan pernikahan sebagi bentuk nikmat, Dan
Allah menjadikan passangan bagimu(suami atau istri)dari jenis kamu
sendri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta
memberimu rezeki yang baik.(An-Nahl:72)

B. Hikmah pernikahan

1 Syaikh sulaiman ahmad yahya al-faifi, ringkasan fikih sunnah sayyid sabiq,
(jakarka:pustaka al-kausar,2014)hal:403

2
Pernikahan merupakan jalan terbaik untuk memenuhi tabiat manusiawi,
menyalurkan hasrat, dan melampiskan gairah seksualnya. Pernikahan
juga merupakan jalan terbaik untuk melahirkan keturunan,
memperbanyak generasi, dan melanjutkan kelangsungan kehidupan
dengan menjaga nasab yang diatur oleh islam dengan perhatian yang
besar.
Tersebut dalam sabda rasulullah,
menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang dan subur (banyak
keturunan), sesungguhnya aku membanggakan kalian dihadapan para
nabi yang lain pada hari kiamat.
Adapun hikmah pernikahan yg lainnya sebagai berikut:
Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
Memelihara kesucian diri
Melaksanakan tuntutan syariat
Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan
lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang
dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak
terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi
kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta
sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak
Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
Dapat mengeratkan silaturahim.
Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar seorang muslim
dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar dalam
dirinya terhadap orang yang paling berhak mendapat pendidikan dan
pemeliharaan. Pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap
kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah
memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga
keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat
membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.
Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk
suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: "Perkawinan
merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang
pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
C. Larangan membujang bagi yang mampu menikah.
Sad bin abu waqqas berkata, Rasulullah menolak utsman bin mazhun
membujang dan sekiranya beliau mengizinkannya, tentu kami akan
melakukan kebiri. (H.R. Al-Bukhari).
Maksud dari hadist tersebut ialah jika rasulullah mengizinkan kepadanya
untuk membujang tentu dia akan menyampaikan kepada kami tentang
membujang, sehingga kami akan melakukan kebiri.
Dalam hal ini juga dianjurkan untuk mendahulukan menikah dari pada
haji. Jika seseorang ingin menikah dan takut terjerumus dalam perbuatan
keji(zina) jika tidak segera menikah, maka mendahulukan menikah
hukumnya wajib dari pada haji. Tetapi, jika kekhawatiran terjerumus
kedalam perbuatan zina tidak ada, maka hendaknya mendahulukan haji.
Begitu pula dalam amal ibadah yang hukumnya fardhu kifayah, seperti
menuntut ilmu dan jihad, keduanya didahulukan dari pada menikah jika
tidak khawatir akan terjerimus kedalam perbuatan keji.

2. KHITBAH (MEMINANG)
Khitbah adalah pendahuluan (langkah awal) dalam proses menuju
pernikahan yang telah disyariatkan dalam agama, sebelum disatukan
dengan akad pernikahan, agar masing-masing calon mempelai
mengetahui calon pendampingnya.
Seorang wanita tidak boleh dikhitbah kecuali terpenuhi dua syarat:
1. Tidak ada halangan secara syariat yang mencegahnya untuk dinikahi
pada saat itu.
2. Tidak ada orang lain yang menghitbahnya secara syariat.

A. Hukum melihat pinangan.


Melihat wanita yang dipinang adalah sesuatu yang dianjurkan oleh
syariat. Diriwayatkan dari jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah bersabda,
jika salah seorang dari kalian meminang wanita, apabila ia mampu untuk
melihat kepadanya hingga membuatnya tertarik untuk menikahinya,
maka lakukanlah. Jabir berkata, maka aku meminang wanita dari bani
salimah, aku bersembunyi hingga aku dapat melihat darinya sebagian apa
yang mendorongku untuk menikahinya.( H.R. Abu Dawud).
B. Membatalkan pinangan dan pengaruhnya.
Sesungguhnya khitbah hanyalah sekedar janji untuk melakukan
pernikahan, bukan akad yang mengikat dan membatalkan pinangan
adalah hak dari kedua belah pihak yang saling berjanji, dan Allah tidak
akan menghukum bagi yang menyalahi janji dengan hukuman materi,
sebagai balasan untuk menebus sumpahnya, meskipun hal tersebut
dianggap sebagai akhlak yang buruk dan dianggap sebagai ciri-ciri orang
yang munafik. Kecuali jika ada hal yang darurat yang mengharuskan
terjadi memutuskan pinangan. Dalam riwayat shahih dari Rasulullah
bahwa beliau bersabda, tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika
berbiara ia bohong, jika berjanji ingkar, dan jika diberi amanah ia
berkhiyatan.(mutafaq alaih).

3. RUKUN DAN SYARAT SAH PERNIKAHAN


A. Rukun nikah
Dalam pelaksanaan harus terpenuhi unsur-unsur penting yang disebut
rukun.
Rukun nikah ada lima:
1. Calon suami:
seseorang yang punya kebebasan memilih, tidak dalam keterpaksaan,
tidak sedang berada dalam ihram, haji atau umroh.
2. Calon isteri:
seorang wanita yang tidak sedang dalam masa iddah, tidak dalam kontrak
ikatan perkawinan dengan orang lain. Kedua calon tidak muhrim. Tidak
sedang menunaikan ihrah haiji atau umrah. Bukan perempuan kafir atau
musyrik.
3. Wali:
yaitu laki-laki yang muslim, baliq, berakal, merdeka dan adil.
4. Saksi:
orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau orang
yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk melihat, menyaksikan,
atau mengetahui agar suatu ketika diperlukan ia dapat memberikan
keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu benar terjadi.
Perlunya saksi dalam pernikahan untuk menjaga apabila ada tuduhan
atau kecurigaan pihak berwajib tehadap pergaulan mereka. Dan untuk
menguatkan janji mereka, dan kelangsungan keturunan mereka kelak.
Adapun syarat untuk menjadi saksi adalah sebagai berikut:
a. Seorang laki-laki
b. Beragama islam
c. Baliq dan berakal
d. Mendengar, melihat, dan mapu berbicara
e. Adil

B. Syarat Sah Pernikahan


Syarat ialah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut
Islam alon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam.
Sedangkan sah ialah sesuatu pekerjaan (ibadah), yang memenuhi rukun
dan syarat.Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah
syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu;
1. Syarat-syarat bagi suami
Bukan mahram dari calon istri
Tidak terpaksa atas kemauan sendiri
Orangnya tertentu, jelas orangnya
Tidak sedang ihram

2. Syarat-syarat istri
Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
sedang dalam keadaan iddah
Merdeka, atas kemauan sendiri
Jelas orangnya
Tidak sedang berikhram.

3. Syarat sighat (ijab qabul)


a. Ada lafal ( mengawinkan) atau ( menikahka), dan dan derivasi

dari kedua lafal tersebut, seperti
, , atau
.

disyariatkannya lafal mengawinkan dan menikahkan serta
derivasinya karena dua lafal tersebut digunakan dalam bahasa Arab dan
syariat Islam untuk menunjuk pada ucapan akad nikah. Keduanya
digunakan dalam nash al-Quran dan Sunnah. Dalam al-Quran Allah Swt
berfirman:

Artinya: Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga, atau
empat.









.

Artinya: Maka tatkala Zaid mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia (setelah habis iddah)
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri
anak-anak angkat mereka.

b. Mengucapkan lafal zawwaj atau nikah dengan jelas ketika melakukan


ijab dan qabul.
Apabila wali mengatakaan
Aku nikahkan engkau dengan
anak perempuanku, lalu calon suami menjawab saya terima, maka
nikahnya belum terlaksana. Apabila calon suami mengataka nikahkanlah
aku dengan anak perempuanmu, lalu wali hanya menjawab saya
terima, maka nikahnya belum terlaksana karena dalam keduanya tidak
jelas lafal nikah atau zawaj (pada sighat qabul).
Sighat (akad) hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat
dimengerti oleh orang yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan
akad, penerima akad dan saksi.
c. Kesadaran dua orang yang berakad tidak hilang hingga sempurnanya
ucapan qabul
Apabila wali calon istri mengatakan, aku nikahkan engkau dengan
anak perempuanku. Namun, sebelum ucapan qabul terlontar, wali
tersebut tiba-tiba gila atau tidak tersadarkan diri, sementara sang calon
suami meneruskan ucapan qabulnya, maka akad nikah itu tidak sah.
d. Sighat harus lengkap/berlaku seketika
Maksudnya nikah tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan
datang. Tidak sah menambahkan akad nikah dengan masa yang akan
datang dan tidak menggantungkannya dengan berbagai syarat. Apabila
wali calon istri berkata, Jika Ramadhan telah datang, aku akan
menikahkanmu dengan anak perempuanku, lalu calon suami menjawab,
Aku akan menikah dengannya, maka akadnya tidak sah.
e. Sighat bersifat tidak terikat
Menentukan waktu pernikahan dengan waktu yang sudah diketahui,
hukumnya tidak sah, seperti satu bulan atau satu tahun atau tidak
diketahui, seperti saat datang orang yang tidak ada. Misalnya, wali calon
istri mengatakan, Aku nikahkan anak perempuanku kepadamu selama
satu bulan atau satu tahun, atau hingga si fulan datang, lalu calon suami
menjawab, Aku terima nikahnya. Pernikahan yang seperti ini tidak sah
karena termasuk nikah mutah yang diharamkan.

f. Sighat dilaksanakan dalam satu majlis.


Pengertian satu majlis oleh jumhur ulama (mayoritas) difahamkan
dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Pendapat ini
dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, dan mereka
juga pendapat bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan
Hanafiyyah, beliau memahami satu majlis bukan dari segi fisik para pihak,
namun hanya ijab dan qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat
dan secara berkontiu.
Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan
surat tersebut dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam surat
segera dijawab oleh pihak-pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di
depan saksi dapat dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan harus
segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal
Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan dianggap sah hukumnya
dilakukan lewat media komunikasi seperti telepon, internet,dsb.
Sedangkan menurut pendapat yang shahih (ada yang mengatakan al-
Madzhab) dari Ulama syafiiyyah, ijab qabul tidak boleh dilakukan melalui
surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi muammalat lebih-lebih
dalam pernikahan.
Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk
menujukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi, dan
ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Solusi yang
ditawaran oleh Syafiiyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan
kepada seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad
pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat
bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri
pernah mewakilkanpernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu
Rafi.Syaikh Kamil Muhammad Syuwaidah menulis dalam bukunya bahwa
disyaratkan menyatukan tempat ijab qabul. Begitu juga Abdurrahman Al-
Jaziri dalam kitabnya menukil Al-fiqh ala Mazahib al-arbaah menukil
kesepakatan ulama mujtahid mensyaratkan bersatu majlelis bagi ijab
qabul. Dengan demikian apabila tidak bersatu antara majelis
mengucapkan ijab dengan majelis mengucapkan qabulnya, akad nikah
dianggap tidak sah.
4. Mahar
A. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut;
1. Harta berharga. Tidak sah jika mahar yang diberikan bukan sesuatu
yang berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak sedikitnya mahar,
dan mahar sedikit tapi bernilai itu tetap sah disebut sebagai mahar.
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidal sah mahar yang
diberikan berupa khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan
tidak berharga.
3. Barangnya bukan barang ghasab. Memberikan mahar dengan barang
hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
4. BATALNYA PERKAWINAN
Batalnya perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya perkawinan
karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau
sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Batalnya
perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. 3 Kata
fasakh (batalnya pernikahan) berarti merusakkan atau membatalkan. Jadi,
fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan
atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.4

Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika


berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal yang datang kemudian dan
membatalkan kelangsungan perkawinan.

1. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad


nikah.

a. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara


kandung atau saudara sesusuan pihak suami.

b. Suami isti masih kecil, kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan


ikatan pernikahannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar
baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut
fasakh baligh.

2. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad

a. Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau
kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan
yang terjadi belakangan.

b. Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap
dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal
(fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah

3 AbdulRahmanGhozali,FiqhMunakahat,(Jakarta:PrenataMediaGroup,2003),hlm.141
142.

4 AhmadAzharBasyir,HukumPerkawinanIslam,(Yogyakarta:UIIpress,2010),hlm.85.
sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula
dipandang sah.

Golongan Hanafiyah membuat rumusan umum guna membedakan


pengertian pisahnya suami istri sabab talak dan sebab fasakh. Kata
mereka: Pisahnya suami istri karena suami dan sama sekali tidak ada
pengaruh istri disebut talak, dan setiap perpisahan suami istri karena istri,
bukan karena suami atau karena suami, tapi dengan pengaruh dari istri
disebut fasakh.5

Selain hal-hal tersebut ada juga hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya
fasakh, yaitu sebagai berikut:

1. Karena ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini, Rasulullah
bersabda:













)





:


Dari Kaab Bin Zaid radhiallahu anh bahwasanya Rasulullah shalallahu


alaihi wa sallam pernah menikahi seorang perempuan bani Ghifar. Maka,
tatkala beliau masuk menemuinya dan perempuan itu telah meletakkan
kainnya dan ia duduk di atas tempat tidur terlihatlah putih (balak) di
lambungnya, lalu beliau berpaling seraya berkata: ambillah kainmu,
tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali
barang yang telah diberikan kepada perempuan itu. (HR. Ahmad dan
Baihaqi)

2. Karena gila

3. Karena penyakit kusta.

4. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, AIDS dan sebagainya.
Dijelaskan dalam suatu riwayat.
:







( )


Dari Said bin Musayyab radhiallahu anh ia berkata: Barangsiapa di


antara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-
laki itu terdapat tanda-tanda gila, atau tanda-tanda yang membahayakan,

5 SlametAbidindanAminudin,fiqihmunakahat2,(Bandung:Pustakasetia,1999),hlm.73
75.
sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap dalam
perkawinannya dan jika berkehendak cerai maka perempuan itu boleh
bercerai. (HR. Malik)

5. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang


menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).

6. Karena unnah, yaitu zakar laki-laki impoten sehingga tidak mencapai


apa yang dimaksudkan dengan nikah. Dalam suatu riwayat dari Said bin
Musayyab radhiallahu anh ia berkata. Umar bin Khathab telah
memutuskan bahwasanya laki-laki yang unnah diberi tenggat satu tahun
sebelum dijatuhkan fasakh. Seperti itu juga pendapat Ibnu Masud.
Diriwayatkan dari Utsman bahwa laki-laki yang unnah tidak diberi
tenggat, dari al-Harits bin Abdillah bahwa laki-laki yang unnah diberi
tenggat sepuluh bulan. Imam Ahmad, al-Hadi dan ulama lain menyatakan
bahwa pada keadaan seperti itu tidak terjadi fasakh.6

Disamping itu, fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab sebagai berikut :

a. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan


jodohnya.

b. Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan


belanja sedangkan istrinya itu tidak rela.

c. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi


yang dapat di percaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah,
baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupun maskawinnya belum
dibayarkannya sebelum campur.

Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan
dibenarkan syara, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan
putusan pengadilan. Misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara
kandung, atau saudara sesusuan.

Akan tetapi jika terdapat hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya


adalah:

1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya,


sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini
hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang,
seperti qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat
menyelesaikannya sebagaimana mestinya.

2. Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga


hari, mulai dari hari istri itu mengadu. Jika masa perjanjian itu telah habis,
sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim

6 AsShonani,Subulussalam,(Beirut:Darulkutubilmiyah/III),hlm.140.
memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka
hakim setelah diizinkan olehnya.
Mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan
perkawinan di Indonesia, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
70-76.7

5. LARANGAN PERNIKAHAN

Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam bahasan ini


adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Yang
dibicarakan disini adalah perempuan-perempuan mana saja yang tidak
boleh dikawini oleh seorang laki-laki, atau sebaliknya laki-laki mana saja
yang tidak boleh mengawini seorang perempuan.

Secara garis besar larangan kawin antara seorang pria dan wanita yang
diatur dalam Al-Quran dan Hadits, dibagi menjadi dua macam yaitu
mahram muabbad dan mahram ghairu muabbad

1. Mahram Muabbad

Mahram muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan


untuk selamanya. Diantara mahram muabbad ada yang telah disepakati
dan ada pula yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati yaitu :

a. Larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan (nasab)

Perempuan yang haram dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya


disebabkan oleh hubungan kekerabatan atau nasab yaitu ibu, anak,
saudara, saudara ayah, saudara ibu, anak dari saudara laki-laki, dan anak
dari saudara perempuan.

Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An-
Nisa ayat 23 :

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang


perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ....

b. Larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan

Perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki


untuk selamanya karena hubungan mushaharah itu adalah sebagai
berikut:

7 AbdulRahmanGhozali,FiqhMunakahat...,hlm.148154.
1. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri

2. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki atau menantu

3. Ibu istri atau mertua

4. Anak dari istri dengan ketentuan istri atau telah digauli.

Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surat An-Nisa' :

Dan (diharamkan) ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang


dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-
isteri anak kandungmu (menantu).8

c. Larangan perkawinan karena hubungan sesusuan

Hubungan sesusuan menjadikan orang menjadi mempunyai hubungan


kekeluargaan yang sedemikian dekatnya. Mereka yang sesusuan itu telah
menjadi saudara dalam pengertian hukum perkawinan ini, dan disebut
saudara sesusuan. Tetapi pendekatan ke dalam saudara sesusuan itu
tidak menjadikan hubungan persaudaraan sedarah untuk terjadinya saling
mewaris karena sedarah dalam hukum kewarisan.9
Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan
surat An-Nisa ayat 23 di atas :

(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu;


saudara perempuan sepersusuan...

Hadits yang terkait:






(
! ) : .

:
! :


) :
( " ) " :

" "

(



"

8 AmirSyarifuddin,HukumPerkawinanIslamdiIndonesia,(Jakarta:Kencana,2009),hlm.
109111.

9 SajutiThalib,HukumKekeluargaanIndonesia,(Jakarta:YayasanPenerbitUI,1974),hlm.
53.
pada suatu hari Rasulullah berada di kamar Aisyah dan Aisyah
mendengar suara seorang laki-laki meminta izin masuk di rumah Hafshah.
Aisyah berkata : Ya Rasulullah, saya pikir si fulan (seorang paman susuan
Hafshah). Kemudian Aisyah berkata: Ya Rasulullah, dia meminta izin
masuk kerumahmu. Kata Aisyah; maka Rasulullah menjawab: saya pikir
yang meminta izin itu si fulan (seorang paman susuan Hafshah). Aisyah
berkata: sekiranya si fulan itu masih hidup (seorang paman susuan
Aisyah, tentu juga dia boleh masuk ke tempatku)? Rasulullah menjawab:
benar, sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang di haramkan
lantaran hubungan keluarga. (Al Bukhory 52:7; Muslim 17;1; Al Lu-lu-u
wal Marjan 2:114).10

Sedangkan yang masih diperselisihkan oleh ulama tentang pemberlakuan


selamanya, yaitu :

a. Istri yang putus perkawinan karena lian


b. Perempuan yang di kawini waktu iddah

2. Mahram Ghairu Muabbad

Mahram ghairu muabbad, yaitu larangan kawin yang berlaku untuk


sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu; bila hal tersebut sudah
tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin
sementara itu berlaku dalam hal-hal seperti berikut :

a. Mengawini dua orang saudara dalam satu masa

Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan itu


disebutkan dalam lanjutan surat An-Nisa 23 :

(Dan diharamkan atas kamu)menghimpunkan (dalam perkawinan) dua


perempuan yang bersaudara...

Hadits yang terkait:




:


( . :







Dari Adh-Dhahhak bin Fairuz Ad-Dailani, dari ayahnya Radhiyallahu Anhu


berkata, Aku berkata, Wahai Rasulullah, aku telah masuk Islam sedang
aku mempunyai dua istri kakak beradik, maka Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, Ceraikanlah salah seorang dari keduanya
yang kamu kehendaki. (HR. Ahmad dan Al-Arbaah kecuali An-Nasai.

10 TeungkuMuhammadHasbiAshShiddieqy,MutiaraHadits5(NikahdanHukum
Keluarga,Perbudakan,JualBeli,NazardanSumpah,PidanadanPeradilan,Jihad),
(Semarang:PT.PUSTAKARIZKIPUTRA,2003),hlm.73.
Hadits Shahih menurut Ibnu Hibban, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi, dan
malul menurut Al-Bukhari)11

b. Poligami diluar batas

Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini


empat orang dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali bila salah seorang dari
istrinya yang berempat itu telah diceraikannya dan habis pula masa
iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dikawininya dalam
masa tertentu, yaitu selama salah seorang di antar istrinya yang empat
itu belum diceraikan.

c. Larangan karena ikatan perkawinan

Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan haram


dikawini oleh siapapun. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih
hidup atau belum dicerai oleh suaminya. Setelah suami mati atau ia
diceraikan oleh suaminya dan selesai masa iddahnya ia boleh dikawini
oleh siapa saja.

Keharaman mengawini perempuan bersuami itu terdapat dalam surat An-


Nisa ayat 24 :

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami,


kecuali budak-budak yang kamu miliki.....

d. Larangan karena talak tiga

Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya,
kecuali kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan
kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa
iddahnya.
Hadits yang terkait:

:





.






:
:
.

Ibnu Ruhm menambahkan dalam riwayatnya : apabila Abdullah di tanya


tentang hal itu (seorang suami yang menceraikan istrinya yang sedang
haidh), maka dia mengatakan kepada salah seorang dari mereka (yang
bertanya), jika kamu menceraikan istrimu denganb talak satu atau talak
dua, maka sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan hal ini
kepadaku. Tetapi jika kamu menceraikan istrimu denganb talak tiga, maka

11 MuhammadbinIsmailAlAmirAshShanani,SubulusSalamSyarahBulughulMaram,
(Jakarta:DarusSunnahPress,2013),hlm.992.
mantan istrimu itu telah haram bagimu sampai dia menikahi lelaki selain
kamu, dan engkau telah bermaksiat kepada Allah terkait dengan apa yang
di perintahkanNya kepadamu dalam hal menceraikan istrimu.

e. Larangan karena ihram


Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji,
tidak boleh dikawini. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Usman bin Affan :




:







( )


Saya mendengar Ustman bin Affan berkata:Rasulullah SAW bersabda:
Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan,
dan tidak boleh pula meminang. (Diriwayatkan Muslim dari Ustman bin
Affan).

f. Larangan karena beda agama

Yang dimaksud dengan beda agama disini ialah perempuan muslimah


dengan laki-laki non muslim dan sebaliknya. Dalam istilah fiqh disebut
kawin dengan orang kafir. Keharaman laki-laki muslim kawin dengan
perempuan musyrik atau perempuan muslimah kawin dnegan laki-laki
musyrik terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 221.12

Hadits Terkait :

,

:
)



,
,
,

(

Dari Abi Hurairah R.A. Berkata, Rasulullah S.A.W bersabda : "wanita itu
boleh dinikahi karena empat hal: 1. karena hartanya. 2. karena asal-
usul(keturunan)nya, 3. Karena kecantikannya, 4. Karena agamanya. Maka
hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk
agama Islam, (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu (hadits
riwayat Bukhari di dalam kitab Nikah)

6. Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Islam


Sebagai bahan referensi dan renungan bahkan tindakan, berikut,
garis besar hak dan kewajiban suami isteri dalam Islam yang di nukil dari
buku Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap karangan H.A.
Abdurrahman Ahmad.
Hak Bersama Suami Istri
Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah
dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-
masing pasangannya. (An-Nisa: 19 Al-Hujuraat: 10)
12 AmirSyarifuddin,HukumPerkawinan...,hlm.133.
Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa:
19)
Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam
agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan
pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah
fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai
makhluk Allah SWT.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat.
Hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan
boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum, nikah dapat berubah
menjadi sunah, wajib,makruh,atau haram.
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat
manusia (prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka
mewujudkan rumah tangga yang bahagia sesuai dengan ketentuan-
ketentuan agama Islam.

B. Saran
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan
laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia
dalam mendapatkan keturunan yang sah.
Maka dari itu, kita harus mengetahui segala sesuatu, mulai dari
hukum nikah, rukun nikah, kewajiban suami istri setelah menikah, hikmah
menikah, agar kita tidak sekali-kali bila ada kesalah pahaman di dalam
keluarga jangan terus membuat keputusan untuk bercerai, karena
bercerai itu tidak disukai oleh Allah SWT.
Daftar Pustaka
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenata Media Group,
2003)
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII press,
2010)
Slamet Abidin dan Aminudin, fiqih munakahat 2, (Bandung: Pustaka setia,
1999)
As-Shonani, Subulussalam, (Beirut: Darul kutub ilmiyah/III)
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2009)
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit
UI, 1974)
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 5 (Nikah dan
Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan
Peradilan, Jihad), (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2003)
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shanani, Subulus Salam Syarah
Bulughul Maram, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013)
Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta: PUSTAKA
AZZAM, 2011)
Maruf Muin dkk, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, ( Jakarta:
Erlangga,2011)

Anda mungkin juga menyukai