Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalat


Semester Genap Tahun Akademik 2018/2019
oleh:

KELOMPOK 9
Nur Amna Nazelina (10070318041)

Kintan Sevila (10070318…)

Muchammad Faridh Ridho (10070318075)

Belinda Cyrena Khairunnisa (10070318100)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUG
Kata Pengantar

Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat,hidayah dan

inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang membahas

mengenai pernikahan dalam Islam tepat pada waktunya.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai

sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami sampaikan ucapan

terimakasih kepada sumber yang telah membantu menyediakan materi hingga dapat terselesaikan

nya makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik

dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenaitu, dengan tangan terbuka kami

menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah mengenai Pernikahan dalam Islam ini dapat

memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca serta dapat membantu dalam proses

belajar mengajar agar bermakna bagi kita semua Aamiin.

Bandung, September 2019

Penyusun

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar............................................................................................................ii
Daftar Isi.....................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................2
PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A.Pengertian Pernikahan........................................................................................2
BTujuan Pernikahan dalam Islam.........................................................................3
C.Hukum-Hukum Pernikahan...............................................................................4
D.Prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam..........................................................5
BAB III.......................................................................................................................11
KESIMPULAN..........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki dan ada
perempuan. Salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk
generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh Allah swt. manusia diberikan karunia berupa
pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan
melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah
hubungan yang benar-benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran
pernikahan yang sesuai dengan syariat-Nya. Islam mejadikan lembaga pernikahan itu pulan akan
lahir keturunan secara terhormat, maka adalah satu hal yang wajar pernikahan dikatakan sebagai
suatu peristiwa dan sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari ketergantungan dengan orang
lain. Menurut Ibnu Khaldun, manusia itu (pasti) dilahirkan di tengah-tengah masyaratakat, dan
tidak mungkin hidup kecuali di tengah- tengah mereka pula. Manusia memiliki naluri untuk
hidup bersama dan melestarikan keturunannya. Ini diwujudkan dengan pernikahan. Pernikahan
yang menjadi anjuran Allah swt. dan Rasul-Nya ini merupakan akad yang sangat kuat atau
mitssqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Allah berfirman dalam Q.S. An-Nisa (4 : 3) :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

1
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Pernikahan

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti
majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.

Pernikahan atau Munahakat artinya dalam bahasa adalah terkumpul dan


menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti akad nikah (Ijab Qobul) yang
menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya yang diucapkan oleh
kata-kata , sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam.

Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam
penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t.
menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan
mengharamkan zina.
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan
dua kata, yaitu nikah ( ‫ ) ناكح‬dan zawaj ( ‫) زواج‬. Kedua kata ini yang terpakai dalam
kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur‟an dan hadist
Nabi. Kata na-ka-ha yang artinya kawin banyak terdapat dalam Al-Qur‟an,
seperti dalam Surah An-Nisa‟ ayat 3 :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat

2
3

berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Secara arti kata nikah berarti “bergabung” ( ‫) مض‬, “hubungan kelamin”
(‫ )وطء‬dan juga berarti “akad” ( ‫) ْعد‬. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti
berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan


hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya
keluarga bahagia yang di ridhoi oleh Allah swt.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai
makhluk Allah swt. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan
rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya.
Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan
dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk
mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah
tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda :
Dari Anas bin Malik ra., bahwasanya Nabi saw. memuji Allah swt. dan menyanjung-
Nya.
“Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan dan menikahi wanita, barang siapa
yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah


ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
4

B. Tujuan Pernikahan dalam Islam


Tujuan pernikahan ditinjau dari berbagai sisi, yaitu :
1. Tujuan Fisiologis, yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik
dan nyaman.
b. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan konsumsi makan, minum dan
pakaian yang memadai.
c. Tempat suami isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
2. Tujuan Psikologis, yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar dan
apa adanya.
b. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan
nyaman.
c. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi
perkembangan jiwanya.
d. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
3. Tujuan Sosiologis, yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
b. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu
anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang
lebih besar.
4. Tujuan Da‟wah, yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Menjadi obyek wajib da‟wah pertama bagi sang da‟i.
b. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona Islam) bagi
masyarakat muslim dan nonmuslim.
c. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da‟wah.
d. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan
kemaksiatan.
5

C. Hukum-Hukum Pernikahan

Hukum – Hukum Pernikahan Dalam Islam Berkaitan dengan hal diatas, maka disini perlu
dijelaskan beberapa hukum dilakukannya Pernikahan, yaitu :

1. Wajib: NIkah wajib adalah pernikahan bagi mereka yang telah mempunyai


kemauan dan kemampuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah dan
apabila dia tidak melkukannya dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan
zina.

2. Sunnat: Nikah sunat menurut pendapat jumhur ulama’.Yaitu pernikahan bagi


orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk membangun rumah
tangga tetapi jika tidak melaksanakannya juga tidak dikhawatirkan akan berbuat
zina.

3. Haram: Nikah yang haram adalah pernikaha bagi mereka yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan untuk membangun rumah tangga
dan melaksanakan kewajiban-kewajiban selama berumah tangga , sehingga
apabila dia menikah akan menelantarkan istrinya dan istrinya atau bahkan hanya
menyakiti istrinya.

4. Makruh: Nikah makruh adalah pernikahan seorang laki – laki yang mempunyai


kemauan untuk melakukanNya juga mempunyai kemampuan untuk menahan diri
dari perbuatan zina sehingga tidak memungkinkan tergelincir untuk berbuat zina
jika sekiranya tidak nikah. Namun orang ini tidak mempunyai keinginan ntuk
dapat memenuhi kewajiban sebagai suami istri yang baik.

5. Mubah: Nikah mubah adalah pernikahan bagi mereka yang punya kemampuan


dan kemauan untuk melakukannya, tetapi jika tidak melakukannya tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan
menelantarkan istri.

D. Prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam


Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa :
Dari Ibnu Abbas ra dia berkata: “ seorang gadismenghadap Rasulullah saw, ia
menuturkan bahwa ayahnya mengawinkannya (dengan paksa), sedangkan dia tidak
menyukai pria pilihan ayahnya. Maka Nabi saw menyerahkan urusan itu kepada si gadis
untuk memilih. “(HR. Abu Daud)
Namun sebaliknya, anak pun perlu meminta pertimbangan kepada orang tua
tentang pilihannya, karena keserasian dengan orang tua atau mertua setelah memasuki
hidup berumah tangga merupakan salah satu factor yang ikut menentramkan kehidupan
rumah tangga. Dengan demikian, terjadi suka sama suka dan rela antara berbagai pihak.
(A. Zuhdi Muhdlar:20-21)
6

1. Memilih Jodoh Yang Tepat


Islam mengajarkan agar perkawinan dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah
digariskan oleh agama. Oleh karena itu, Islam memberi pedoman jodoh yang tepat agar
tujuan perkawinan dapat dicapai.
Rasulullah saw mengajarkan kepada kita bahwa pada umumnya wanita dinikahi karena
beberapa faktor sebagaimana dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah:
Dari Abu Hurairah ra berkata: “ wanita itu dinikahi pada (umumnya) atas dasar
pertimbangan empat faktor: karena kekayaannya, kedudukan/pangkatnya (status sosial),
kecantikannya, dan kekuatan agamanya; pilihlah wanita yang kuat agamanya, pasti kamu
beruntung”. HR. Bukhari dan Muslim. (KH. Azhar Basyir: 17)
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa Islam bukannya tidak memberi tempat sama
sekali kepada pertimbangan faktor-faktor lain. Islam hanya menekankan agar
pertimbangan faktor agama dan akhlak memperoleh prioritas utama, kemudian baru
faktor-faktor lain. Sudah barang tentu akan sangat ideal apabila seseorang menemukan
jodohnya dengan yang agamanya kuat, cantik, kaya, serta dari ketentuan yang baik.

2. Melihat Calon Istri


Sebelum seorang laki-laki meminang dan melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita pilihannya, Islam membolehkan dia melihat calon istrinya. Hal ini
mengandung rahasia agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari terhadap istrinya.
Demikian pula sebaliknya, calon istri boleh melihat calon suaminya.
Dari Jabir bin Abdullah ra, dia berkata: “ apabila seorang di antara kamu meminang
seorang wanita, sekiranya dia dapat melihat apa-apa yang menarik dari wanita itu untuk
dikawini, hendaklah dia melihatnya”.

3. Meminang
Sebelum perkawinan dilaksanakan di dalam syariat Islam dianjurkan untuk
melakukan khitbah (meminang), yaitu menyatakan permintaan untuk perkawinan atau
perjodohan dari seorang pria kepada seorang wanita atau sebaliknya; secara langsung
atau dengan perantaraan seseorang yang dipercaya. Meminang dengan cara seperti itu
dalam syariat Islam dibolehkan terhadap gadis, atau terhadap janda yang telah habis masa
idahnya, dan yang tidak dalam lamaran orang lain.

Setelah seorang dipinang, hendaklah dia dapat menjaga diri dan membatasi
pergaulan dengan lawan jenisnya, hal ini penting untuk menghindari timbulnya saling
curiga atau cemburu di antara mereka.

4. Wanita-wanita yang boleh di pinang


Tidak semua wanta boleh dipinang dan dikawini oleh seorag pria. Ada yang
dilarang selama-lamanya, seperti ibu kandung, saudara kandung, dan mertua, dan ada
yang dilarang sementara, seperti saudara ipar, wanita yang sedang dalam ikatan
perkawinan dengan pria lain, dan wanita yang sedang menjalani iddah.
7

Wanita yang boleh dipinang :


a. Tidak terdapat halangan-halangan syara’ untuk dikawin seketika oleh seorang pria
yang meminang karena tidak ada hubungan mahram, tidak dalam hubungan
perkawinan dengan pria lain atau tidak sedang menjalani iddah dari talak raj’i.
b. Tidak sedang dalam pinangan orang lain.
1) Orang yang ada dalam pinangan orang lain, sebelum jelas dilepas atau ditolak
pinangannya. (HR. Muslim dan Ahmad)
2) Perempuan janda yang masih dalam masa idah raj’yah; adapun meminang
terhadap perempuan yang masih dalam masa iddah ba’in, diperkenankan dengan
cara sindiran, tetapi dengan cara terang-terangan tetap dilarang. (A.Zuhdi
Muhdlar:39)

Bapak atau ayah disebut juga sebagai wali mujbir, artinya bapak atau ayah
memiliki otoritas untuk mengawinkan anaknya yang masih gadis tanpa meminta
persetujuan dari anak gadisnya itu terlebih dahulu, dengan syarat :
a. Tidak terjadi pertentangan atau perselisihan antara bapak dan anak
b. Suami dari gadis itu, sanggup membayar mahar yang layak
c. Suani tidak mempunyai cacat, baik jasmani maupun rohani
d. Perjodohan ini dengan yang sekufu (setingkat)

5. Akad Nikah dan Unsur-unsurnya


Akad nikah adalah perikatan hubungan antara mempelai pria dan mempelai
wanita yang di lakukan di depan petugas pencatat nikah (dari KUA) dan dua orang saksi
pria dengan menggunakan kata-kata ijab dan kabul. Ijab diucapkan pihak wanita melalui
wali nikah dan kabul sebagai pernyataan menerima dari pihak pria atau yang
mewakilinya. Mas kawin tidak harus asa pada saat akad nikah berlangsung, meskipun
biasanya disebutkan dalam akad nikah dan disertakan pula barangnya.
a. Rukun Nikah
Perkawinan dipandang sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun nikah
ada 4 yaitu:
1) Calon suami dan calon istri
2) Wali nikah
3) Saksi nikah
4) Akad nikah atau ijab Kabul

B. Calon suami isteri


Salah satu unsur (rukun) yang harus ada dalam peristiwa akad nikah adalah calon
pengantin itu sendiri yaitu calon suami dan calon isteri, akad nikah yang tidak ada
calon suami atai calon isteri, maka akad itu tidak akan terjadi.
C. Syarat calon suami
8

1) Beragama Islam
2) Laki-laki (bukan banci)
3) Tertentu (jelas orangnya)
4) Tidak terkena halangan perkawinan, cakap bertindak hokum untuk hidup berumah
tangga/akil baligh
5) Tidak sedang melaksanakan ihram haji atau umrah, belum mempunyai empat
orang istri

D. Syarat calon istri


1) Beragama Islam
2) Wanita (bukan banci)
3) Tertentu (jelas orangnya)
4) Dapat dimintai persetujuan
5) Tidak terkena halangan perkawinan
6) Tidak sedang menjalani iddah
7) Tidak sedang melaksanakan ihran haji atau umrah

6. Ijab Kabul
Ijab artinya kata-kata penyerahan dari pihak wali pengantin perempuan, sedang kabul
artinya kata-kata penerimaan dari pihak pengantin laki-laki.
a. Syarat-syarat Ijab Kabul
1) Harus terang dan tegas
2) Tidak terhalang oleh kata-kata lain artinya antara ijab dan kabul itu bersambung.
Boleh diucapkan dengan menggunakan Bahasa daerah atau Bahasa Indonesia,
namun pengucapan dan pemilihan kata-katanya perlu dilakukan dengan hati-hati
agar tidak menyimpang dari makna “tazwij’ atau “nikah”

7. Wali dan Saksi Nikah


Perkawinan tidak sah apabila dilangsungkan tanpa wali dan tidak dihadiri oleh dua orang
saksi. Syarat-syarat wali dan dua orang saksi:
a. Islam, orang yang tidak beragama Islam tidak sah jadi wali dan saksi
b. Balig, orang yang belum dewasa tidak sah jadi wali dan saksi
c. Berakal, orang gila tidak sah jadi wali dan saksi
d. Laki-laki, perempuan tidak sah jadi wali dan saksi
e. Merdeka, hamba sahaya tidak sah menajdi wali
f. Adil, artinya tidak pernah melakukan dosa besar, tidak biasa melakukan dosa kecil

8. Susunan Wali Nikah


Susunan wali nikah ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim, dan wali
muhakkam, wali nasab adalah wali nikah yang mempunyai hubungan darah dengan
wanita yang akan dinikahinya.
9

Susunan wali nasab:


a. Bapak atau ayah
b. Bapak ayah (kakek dari ayah)
c. Saudara laki-laki yang seibu,seayah dengan dia (saudara kandung)
d. Saudara laki-laki yang seayah dengan dia
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu seayah
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah
g. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari ayah)
h. Anak laki-laki paman dari ayah

Wali hakim, mereka adalah pegawai negeri sipil yang diangkat oleh pemerintah
Kementrian Agama Republik Indonesia yang menjabat selaku Petugas Pencatat Nikah
atau kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan.
Untuk dapat menggunakan wali hakim, diperlukan alasan-alasan kuat bagi calon
pengantin wanita, yakni tidak mempunyai wali nasab samasekali (karena meninggal
dunia)
a. Anak zina
b. Wali tidak diketahui tempatnya
c. Walinya sendiri yang akan menjadi pengantin pria, sedang wali yang sederajat
dengan dia tidak ada
d. Wali berada dalam tahanan dan tidak diizinkan keluar
e. Walinya tidak mau menikahkan
f. Wali gila atau fisik

Wali Muhakkam yaitu mereka yang diangkat oleh kedua calon mempelai untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka
Mahram artinya wanita-wanita yang tidak boleh dikawin atau pria yang tidak boleh
mengawininya, mahram ini ada 2 macam:
1) Mahram muabad
Sifatnya abadi, selamanya tetap menjadi mahram. Mahram muabad ini disebabkan:
a. Pertalian darah, jumlahnya tujuh orang yaitu: ibu, dan seterusnya keatas, anak wanita
dan seterusnya kebawah, saudara wanita sekandung, seayah atau seibu, bibi dari
bapak, bibi dari ibu, anak wanita saudara laki-laki; anak wanita saudara wanita
b. Susuan, jumlahnya tujuh orang
c. Perkawinan, jumlahnya empat yaitu: mertua, menantu, ibu tiri dan anak tiri, apabila
telah bercampur dengan ibunya. Jadi mahram muabad seleuruhny ada 18 orang, 7
nasab, 7 karena susuan, 4 karena perkawinan

2) Mahram Muaqqat
10

Mahram sementara, yaitu sewaktu-waktu jadi mahram, sewaktu-waktu tidak menjadi


mahram, jadi sifatnya beubah-ubah. Mahram ini disebabkan:
a. Perpoligamian (tidak boleh mengumpulkan dua istri yang terdiri atas dua orang
bersaudara, atau antara bibi dengan keponakannya)
b. Jumlah bilangan tidak boleh lebih dari empat
c. Kemusyrikan – karena beda Agama
d. Thalaq tiga kali : thalaq bain
BAB III

KESIMPULAN
Setelah diuraikan pada bab terdahulu, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah
sebagai berikut:
1. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
2. Tujuan dilakukannya perikahan adalah agar terpenuhinya kebutuhan fisiologis dan
memperoleh ketenangan secara psikologis juga social dengan jalan halal yang diridhai
Allah Subhanahu Wata’ala.
3. Selain melihan calon suami/istri dari agamanya, perlu sekali meminta pertimbangan dari
orang tua. Sebab pernikahan tidak hanya tentang bersatunya dua insan yang saling
mencintai atas nama Allah, tapi juga berbaurnya 2 keluarga dengan kultur dan kebiasaan
yang mungkin sangat berbeda.
4. Di lihat dari segi hukumnya pernikahan dalam islam terbagi menjadi:
a. Pernikahan wajib (az-zawaj al-wajib)
b. Pernikahan yang dianjurkan (az-zawaj al-mustahab)
c. Pernikahan yang kurang atau tidak disukai (az-zawaj al-makruh)
d. Pernikahan yang dibolehkan (az-zawaj al-mubah)

5. Sebuah pernikahan baru dikatakan sah saat memenuhi seluruh rukun nikah dan semua
syarat nikah yang telah ditentukan.
6. Adapun besaran mas kawin bukanlah hal yang mutlak. “Pernikahan yang paling besar
keberkahannya ialah yang palingmudah maharnya” HR. Ahmad.

Dari uraian tentang pernikahan di atas semoga dijadikan pembelajaran bagi kita agar dapat
melakukan pernikahan yang sesuai dengan islam dan menjauhi pernikahan-pernikahan yang di
larang dalam islam seperti dalam uraian di atas.

11
DAFTAR PUSTAKA

Wibisana, W. (2016). Pernikahan dalam islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam-


Ta'lim, 2016.

Atabik, A., & Mudhiiah, K. (2016). Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum
Islam. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam, 5(2).

Shomad, A. (2017). Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia.


Kencana.

PULHEHE, S. (2001). TINJAUAN PP NOMOR 10 TAHUN 1983 MENURUT HUKUM


ISLAM (PERKAWINAN-PERCERAIAN) (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

Erwinsyahbana, T. (2012). Sistem hukum perkawinan pada Negara hukum berdasarkan


pancasila. Jurnal Ilmu Hukum Riau, 3(01).

Anda mungkin juga menyukai