Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum,
ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan
hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul
fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya
bertentangan dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah Ijtihad, taklid dan ittiba’. Ketiganya
memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat
jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43
yang artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1. Apa yang dimaksud dengan taqlid, ittiba’ dan ijtihad ?
2. Bagaimanakah hukum-hukum dalam bertaqlid, berittiba’ maupun ijtihad ?
3. Bagaimanakah pendapat ulama mengenai taqlid, ittiba, dan ijtihad?
C. Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan antara
lain :
1. Memberi pemahaman tentang Pengertian Taqlid dan ijtihad, Perbedaan antara
keduanya dengan Ittiba’ dan Hukm pembagiannya.
2. Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Ushul Fiqih dan juga untuk memenuhi tugas
mata kuliah yang diberikan dosen pembimbimg.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ijtihad
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,
kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan,
kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-
wus’ wa al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala
daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan
sukar”.1 ( DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73)
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu
kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-
Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : “mengerahkan segenap
kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang praktis dengan menggunakan
metode istinbath”. Atau dengan rumusan yang lebih sempit : “upaya seseorang ahli
fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan
suatu hukum syariat yang bersifat zhanni”.2
Dasar Hukum Ijtihad
Ada beberapa dasar hukum diharuskannya ijtihad, diantaranya :
1. Al-Qur’an

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-
nisa:59)

1 DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 75


2 DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73

2
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
(QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada
Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan
Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan
kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada
firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan
diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan
mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama
yang harus melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm
163).
firman-Nya yang lain :
“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.(
Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105) (Alhumaydy, Dasar Hukum
Ijtihad, Online), (http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-
ijtihad, diakses 05 Januari 2012)
2. Al-Hadits
- Kata – kata Nabi s.a.w. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan
mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat,
Dasar Hukum Islam, hlm 163)
-
ِ ‫ان َوا ِِن جْ تَ َه َد َفا َ ْخ َطأ َ َفلَهُ اَجْ ٌر َو‬
)‫ (بخارى و مسلم‬.‫اح ٌد‬ ِ ‫َاب َفلَهُ اَجْ َر‬
َ ‫ا َ ْلحَا ِك ُم اِذَا اجْ ت َ َه َد فَاَص‬
“Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia
mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran
hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka
ia mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim)

3
- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin
Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
‫ث ُمعَاذًا ا ِل َي ا ْليَ َم ِن‬َ َ‫س ْو ُل للاِ لَ َّما أ َ َرا َد أ َ ْن يَ ْبع‬
ُ ‫ب ُمعَاذ ب ِْن َجبَ ِل إِنَّ َر‬
ِ ‫صحَا‬ ْ َ ‫ع َْن أُنا َ ٍس ِم ْن ا َ ْه ِل َح َمص ِم ْن أ‬
:َ‫ب للا؟ قَال‬ ِ ‫ فَ ِإ ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِي ِكتَا‬:َ‫ قَال‬.ِ‫ب للا‬ ِ ‫ أَ ْق ِضى بِ ِكتَا‬:َ‫ض إِذَاع ََرضَ لَكَ َقضَا ٌء؟ قَال‬ َ ‫ َكي‬:َ‫قَال‬
ِ ‫ْف ت َ ْق‬
ِ ‫ اَجْ تَ ِه ُد َراي‬:َ‫ب للاِ؟ قَال‬
.‫ْئ َو ََلآلُ ْو‬ ُ ‫ َف ِإ ْن لَ ْم ت َ ِج ْد فِي‬:َ‫ َقال‬.ِ‫س ْو ِل للا‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬
ِ ‫س ْو ِل للاِ َو ََل فِي ِكتَا‬ ُ ‫فَ ِب‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬
ُ ‫س ْو ِل للاِ لَ َّما يَ ْرضَي َر‬
‫س ْو ُل للاِ (رواه‬ ُ ‫س ْو َل َر‬ َ ‫ِي َو َّف‬
ُ ‫ق َر‬ ْ ‫ اَ ْلح َْمد ِ َُّّلِلِ الَّذ‬:َ‫صد َْرهُ َوقَال‬
َ ِ‫س ْو ُل للا‬ َ ‫فَض ََر‬
ُ ‫ب َر‬
.)‫ابوداود‬
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa
Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau
bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana
kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan
berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu
temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya
berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika
kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz
menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah
menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala
puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah
terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)
3. Ijmak
Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas dianjurkannya
ijtihad, dan sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan benar. Di antara buah dan
hasil ijtihad ini adalah hukum-hukum fiqh yang cukup kaya yang ditelorkan
para mujtahid sejak dulu sampai sekarang.
Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena sebagian
besar dalil-dalil hukum syara’ praktis adalah bersifat dzanni yang menerima
beberapa interpretasi pendapat sehingga memerlukan adanya ijtihad guna
menentukan pendapatnya yang kuat atau yang terkuat. Demikian juga perkara-
perkara yang tidak ada nashnya menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan
hukum syara’nya dengan menggunakan salah satu cara istidlal. Oleh karena
Syariat Islam harus menetapkan semua hukum perbuatan hamba-hamba Allah
SWT maka tidak ada jalan lain selain ijtihad. (Dr. Yusuf Al Qardlawy, Ijtihad
Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad
Kontemporer, hlm 100)

4
Fungsi Ijtihad
Imam syafi’I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika menggambarkan
kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa
pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat
petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang
terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus
digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, Allah mewajibkan hamba-Nya
untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Allah
menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah
menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Selanjutnya ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya :
1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti
Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak
tegas pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.
2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam
Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah.
Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas
jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang
dan bertambah denga tidak terbatas jumlahnya. (Zairif, Fungsi Ijtihad, Online),
(http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/fungsi-ijtihad.html , diakses 05 Januari
2012)
B. Taqlid )ُ‫(اَلتَّ ْق ِل ْيد‬
1. Pengertian Taqlid
Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’,
“taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :
. ُ‫قَب ُْو ُل قَ ْو ِل اْلقَائِ ِل َوأَ ْنتَ الَ تَ ْعلَ ُم ِم ْن أَيْنَ قَالَه‬
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui
alasan perkataannya itu.”3
Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :
. ‫قَب ُْو ُل قَ ْو ِل اْلقَائِ ِل الغَي ِْر د ُْونَ ُح َّجتِ ِه‬

3 Jumantoro, totok dan samsul M A. Kamus ilmu ushul fikih. Amzah:Semarang.hlm:152

5
“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”
Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para
ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu
dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang
lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
2. Hukum Taqlid
para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:
a) Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-
Qur’an dan As-Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui
kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia
mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.
b) Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang
bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang
diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya
sementara.
c) Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan
ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah saw.4
3. Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid
Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan
yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat
orang yang diianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam
tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya
pendapat tersebut.
Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini:
1. Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan Hadist. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam,
dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal
perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surah Al-Ahzab
[33] :64 yang artinya:
Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api
yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan
dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam appi neraka,

4 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, PT Raja Grafindo persadaa, Jaakarta, 2004, Hlm:
129-130

6
mereka berkata: “alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan Rasul. Dan
mereka berkata; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-
pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
2. Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahuui kemampuan dan keahliannya
dan menggandrungi daerahnnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal
ini disinggung oleh Allah dalam surah Al-Baqarah [2]: 165-166 yang artinya:
Di antara manusia ada yang mengikuti banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman amatmencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang
berbuat zhalim itu-ketika mereka melihat azab (di hari akhirat)- bahwa sesungguhnya
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah sangat pedih siksanya. (yaitu)
ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari mereka ketika melihat azab
tersebut dan memutuskan segala hubungan.
3. Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah.
Firman Allah dalam surah Al-Taubah 5: 31 yang artinya:
Mereka menjadika para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah,
dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh
menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa
yang mereka sekutukan.
Sehubungan dengan ayat di atas, ‘Adi bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang
kepada Rasulullah, padahal di lehernya tergantung salib. L alu Rasulullah berkata
kepadanya: “Hai Adi, lemparkanlah salib itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi.”
‘Ya Rasul kami tidak menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan.” Lalu Rasul berkata
lagi ‘Bukankah kammu tahu bahwa mereka menghalalkan bagimu apa yang diharamkan
Allah dan mereka mengharamkan atasmu apa yang dihalalkan Allah, dan kamu ikut
pula mengharamkannya?
Ayat dan hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang
sudah jelas salah, tapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik terhadap suatu
golongan ataujuga karena mode, lalu diikuti juga. Hal ini sangat dicela oleh Allah.
Akan halnya orang awam yang memang tidak punya kesanggupan berijtihad sama
sekali maka jumhur ulama ushuliyyin berpendapat wajibnya bagi setiap orang awam
bertanya pada mujtahid. Hal ini didasarkan pada firman Allah surah Al-Nahl [16]:

5 Khairul Umam dan A. Ahyar Aminudin, Usul Fiqih II, Pustakaa Setia, Bandung, 2001 Hlm:
165

7
43 “maka berrtanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak
mengetahuinya”.
Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam
artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul
berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid tersebut harus
terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang
bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlidinya selama ini bertentangan
dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang ditaqlidinya tadi.
C. Ittiba’ )ُ‫(ا َ َِلتِبَاع‬
1. Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau
fi’il“Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
. ُ‫قَب ُْو ُل قَ ْو ِل اْلقَائِ ِل َوأ َ ْنتَ ت َ ْعلَ ُم ِم ْن أَيْنَ قَالَه‬
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui
alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
ِ ‫قَب ُْو ُل قَ ْو ِل اْلقَائِ ِل ِبدَ ِل ْي ٍل َر‬
. ٍ‫اجح‬
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’
adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil
suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
2. Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’
bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang
mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”[5]
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah
oleh Allah, sebagaimana firmannya:
)۳ : ‫ (األعرف‬. َ‫اِت َّ ِبعُ ْوا َما أ ُ ْن ِز َل ِإلَ ْي ُك ْم ِم ْن َر ِب ُك ْم َوالَ تَتَّ ِبعُ ْوا ِم ْن د ُْونِ ِه أ َ ْو ِل َيا َء قَ ِل ْيالً َما تَذَ َّك ُر ْون‬
Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia
sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf:3)

8
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita
telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang
merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
)‫الر ِش ِديْنَ ِم ْن بَ ْعدِى ـ (رواه ابو داود‬ ِ َ‫سنَّةُ ْال ُخلَف‬
َّ ‫اء‬ ُ ِ‫َعلَ ْي ُك ْم ب‬
ُ ‫سنَّتِى َو‬
Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin
sesudahku. (HR.Abu Daud)
3. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima
semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi
lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi
pendapat yang diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b. Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3
)۳ : ‫ (األعرف‬. َ‫اِت َّ ِبعُ ْوا َما أ ُ ْن ِز َل ِإلَ ْي ُك ْم ِم ْن َر ِب ُك ْم َوالَ تَتَّ ِبعُ ْوا ِم ْن د ُْونِ ِه أ َ ْو ِليَا َء قَ ِل ْيالً َما تَذَ َّك ُر ْون‬
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain
Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya)
terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’
kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada
ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah
Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri)
dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan
pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut
terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam
Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’
kepadanya.

9
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan
keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada
orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar
setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan
penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan
dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan
keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama
diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada
mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan
keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada
beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A
dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.6

6 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Hlm : 132

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-
majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan
kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”.
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu kepada
upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-Syaukani
memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih)
mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat
yang bersifat zhanni. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’)
melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara tertentu.

Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid,
dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam
mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan
membanding.
Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih
atau dapat dikatakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan
oleh suatu mazhab dengan mazhab lainnya.Contohnya seperti seperti dalam masalah
wudhu.Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy.Tapi dalam
hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti
mazhab Maliki misalnya.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan pembaca dapat
menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.

11
DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Nasrun. 1999.Konsep Ijtihad Al-Syaukani. PT. Logos Wacana Ilmu : Jakarta

Al Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan


Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. PT.Bulan Bintang : Jakarta

Ash Siddieqy, Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. PT Bulan Bintang : Jakarta

Jalaluddin Rahmat.Sumber Hukum Islam

http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad

http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/fungsi-ijtihad.html

12

Anda mungkin juga menyukai