Anda di halaman 1dari 6

PRO DAN KONTRA SEBUTAN PANCASILA SEBAGAI SALAH SATU PILAR

KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA SERTA STRATEGI


INOVATIF PENYEBARANNYA

Diskusi tentang Pancasila mungkin dianggap membosankan bagi sebagian besar


kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya kekuasaan rezim otoriter
padapertengahan Mei 1998, Pancasila tidak lagi populer dalam kehidupan masyarakat.
Istilah pilar kebangsaan muncul setelah pengesahan UUNomor2Tahun2011 tentang
Partai Politik.Pada akhir tahun 2011, dan sepanjang tahun 2012, sosialisasi mengenai
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara mulai dilakukan.Pada bulan Maret 2013,
diskusi mengenai Pancasila semakin marak terdengar. Salah satu penyebabnya adalah
pengukuhan gelar kehormatan doctor honoris causadari Universitas Trisakti
kepadaMantan Ketua MPR RI, Alm. Taufiq Kiemas atas jasanya telah melahirkan
gagasan sosialisasi 4 pilar kebangsaan Indonesia, yakni: 1) Pancasila, 2) Bhineka
Tunggal Ika, 3) UUD 1945, dan 4) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Lebih
lanjut, Taufiq Kiemas berpendapat bahwa 4 pilar bangsa harus dijabarkan dan menjiwai
semua peraturan perundangan, institusi pendidikan, pertahanan serta semua sendi
kehidupan bernegara.Namun, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata istilah empat pilar
kebangsaan dan kenegaraan tersebut kurang tepat jika ditinjau secara mandalam, baik
dari sisi historis, yuridis, maupun ilmiah.

A. Awal Kemunculan
Landasan hukum dipakainya istilah “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara”
adalah disahkannya UUNomor2Tahun 2011 tentang Partai Politik.Pada
Pasal34ayat(3b)dicantumkan bahwa Pancasila merupakan
pilarberbangsadanbernegara.Sebutan itu berangkat dari makna harfiah pilar sebagai
tiang penguat atau penyangga.Apabila pilar ini tidak kokoh atau rapuh, maka
akanberakibat robohnya bangunan yang disangganya. Demikian pula halnya dengan
bangunan negara-bangsa, membutuhkan pilar yang merupakan tiang penyangga yang
kokoh, agar rakyat yang mendiami akan merasa nyaman, aman, tenteram, dan sejahtera,
terhindar dari segala macam gangguan dan bencana.Jadi “Empat Pilar Kebangsaan”
dimaknai MPR sebagaiempat tiang penguat atau penyangga untuk menjaga keutuhan
berkehidupan kebangsaan Indonesia. Gagasan ini lalu gencar disosialisasikan sejak
tahun 2011oleh MPR. MPR menilai bahwa sosialisasi ini sangat efektif guna
menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi
setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun dalam perjalanannya, sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar
berkehidupan, berbangsa, dan bernegara ternyata menuai pro dan kontra baik dari
masyarakat, maupun dari kalangan akademisi.Banyak pemberitaan di media cetak
maupun elektronik yang mengulas mengenai pendapat masyarakat dan akademisi
mengenai sosialisasi 4 pilar berbangsa dan bernegara yang dilakukan oleh MPR.
B. Pendapat Pro
MPR adalah pendukung terbesar dari kampanye “Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara”.Hal ini dikarenakan paska reformasi, Pancasila menjadi tidak populer
bahkan dilupakan urgensinya dalam kehidupan masyarakat.Terjadinya krisis multi-
dimensi di berbagai wilayah Indonesia juga menuntut dilakukannyarevitalisasi nilai-
nilai Pancasila.MPR memandang perlunya kampanye dan pengenalan kembali Pancasila
kepada generasi muda, supaya mereka dapat mengetahui kedudukan Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.Ditinjau dari aspek yuridis, sosialisasi empat pilar
kebangsaan ini merupakan tindak lanjut dari Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000
tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dan kondisi bangsa Indonesia
pada saat itu, yaitu: a) Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa tidak lagi
dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat. Hal
itu kemudian melahirkan krisis akhlak dan moral yang berupa ketidakadilan,
pelanggaran hukum, dan pelanggaran HAM, b) Konflik sosial budaya telah terjadi
karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan agama yang tidak dikelola dengan baik
dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat, c) Penegakan hukum tidak berjalan
dengan baik dan pelaksanaannya telah diselewengkan sedemikian rupa, sehingga
bertentangan dengan prinsip keadilan, yaitu persamaan hak warga negara di hadapan
hukum, d) Perilaku ekonomi yang berlangsung diwarnai dengan praktek KKN (kolusi,
korupsi, nepotisme), serta kurangnya keberpihakanpada kelompok usaha kecil dan
menengah, e) Sistem politik tidak berjalan dengan baik, sehingga belum dapat
melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah, mampu memberikan teladan, dan
memperjuangkan kepentingan masyarakat, f) Peralihan kekuasaan yang sering
menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antara kelompok masyarakat
karena proses demokrasi yang tidak berjalan dengan baik, g)Aparat pemerintah sering
mengabaikan proses demokrasi sehingga rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi
politiknya. Hal ini menimbulkangejolak politik lalu bermuara pada gerakan masyarakat
yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan, h) Penyalahgunaan kekuasaan
sebagai akibat dari lemahnya fungsi pengawasan oleh internal pemerintah dan lembaga
perwakilan rakyat, serta terbatasnya pengawasan oleh masyarakat dan media massa
pada masa lampau, telah menjadikan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab tidak
terlaksana. Akibatnya, kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara negara menjadi
berkurang, i) Globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat
memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat
memberi dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa, j) Kurangnya pemahaman,
penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap
sila Pancasila dan keterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara
konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
C. Pendapat Kontra
Pendapat Kontra akan sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar berkehidupan
berbangsa dan bernegara datang terutama dari kalangan akademisi.Prof. Sujito, yang
merupakan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM menolak pendapat tersebut dengan 4
alasanyaitu: 1) Pancasila seharusnya dipandang sebagaiway of life atau pandangan
hidup bangsa Indonesia bukan sebagai tiang penyangga negara. 2) Pancasila
dimaknaisebagai dasar negara yang kemudian oleh Bung Karno disebut
sebagaiphilosofischegrondslagbagiNegaraIndonesia, 3) Pancasila
merupakanideologinegara,bukan merupakanpilar kebangsaan, dan4) Pancasila
dipandang sebagai paradigma ilmu.Dalam berbagai kedudukan fungsi dan maknanya
itu, Pancasila harusdiamalkan sebagai satu kesatuan secara simultan, tidak boleh
dipecah-pecah, apalagi diganti istilah dan kedudukanmaknanya menjadi pilar.Prof.
Sujito juga mengutippendapat pakar politik Edward Silen bahwa syarat pertama dan
utama agar kehidupan bernegara mantap, stabil, dan dinamis yaitubilasuatu bangsa
sudah memiliki pemahamandan kesepakatan tentang sistem nilainya.Sistem nilai yang
dianut Indonesia adalah Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila tidak bisa digoyang-
goyang denganberbagaimacamcarabaik dari sisi
istilah,predikat,kedudukan,fungsi,danmaknanya.Apabila pemahaman Pancasila masih
rancu, kacau, chaos, dasarnegaradisamakan dengan pilar, dan penggunaan istilah pilar
dikatakantidakbermasalah, maka bangsa ini berada di ambang kehancuran.
Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Kaelan, menolak sebutan Pancasila sebagai
salah satu pilar berkehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan 4 alasan yaitu: 1)
PadaUU No. 2 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (1) ditegaskan Pancasila sebagai dasar negara,
adapun pada Pasal34ayat(3b),Pancasiladicantumkansebagaipilarberbangsadanbernegara.
Hal ini mengandung arti bahwa UU No.22 Tahun 2011 tersebut cacat secara hukum
(memiliki ketidakonsistenan dan ketidakkoherenan).Jika Pancasila diletakkan sebagai
pilar negara, maka akan memiliki konsekuensi yaitumengacaukansistem
penormaanhukumdiIndonesia, 2) Pasca reformasi, nilai-nilai Pancasilasebagai dasar
filsafat negara dihilangkan dari kancahkehidupan kenegaraan dan Kebangsaan sehingga
bangsaIndonesiakehilanganideologidan pandanganfilosofisdalamkehidupanberbangsa
dan bernegara.Oleh karena itu, munculnya istilah Pancasila sebagai pilar akanmerusak
sistem pengetahuan tentang Pancasila, 3)
ketidaktahuantentangPancasilasebagaidasarfilsafat negara dengan kehadiran terminologi
Pancasila sebagai pilar kebangsaan akan mengacaukan pengetahuan tentang Pancasila.
4) ProgramMPRtentangpemasyarakatandanpembudayaanPancasilasangat muliadan
masyarakat harusmendukungnya.Namun, istilah Pancasila sebagai pilar kebangsaan
tidaklah tepat dan perlu dikoreksi.
Prof. Jawahir Thontowi, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Islam
Indonesia juga menolak sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar berkehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan 3 alasan yaitu: 1) Penggunaan empat
pilarkebangsaanyangsaatinisedangdiupayakanuntukdisosialisasikan dengan merujuk
pada Pasal 34 ayat (3b) UU No. 2 Tahun 2011 merupakan suatu keputusanpolitik yang
tidak memiliki sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan,baik secara historis, yuridis,
maupun ilmiah.Sehingga,prokontrayangtimbuldalammasyarakatdanbangsa Indonesia
terkait dengan 4 pilar kebangsaan yang mensejajarkanataumenempatkan Pancasila
sebagai salah satu pilar kebangsaan tidakmenemukan kebenaran secara de facto dan de
jure, 2) Secara kualitatif keberadaan Pasal 34 ayat (3b) telah melanggar konstitusi,
mengingat secara
faktualpelanggaranyangterjadijustrukarenabertentangandenganalineakeempatPembukaa
n UUD 1945. Mengacu padaargumentasisejarahhukumperjanjiandanhukumkebiasaan
internasional, khususnya terkait dengan pacta sunt servanda dan asasgood faithdalam
hukum kebiasaan,termasuk juga keberadaan
UUD,menunjukkanbuktibahwanormahukum4pilarkebangsaantidakmemiliki derajat dan
kualitas sebanding. Jika ditinjau secara filosofis, kedudukan Pancasila sebagai pilar
kebangsaan sangatlemahuntukdipertahankan dan jelas menimbulkan ketidakpastian
hukum baik dalamarti kognitif, afektif,dan juga psikomotorikbagi keberadaan
Pancasilasebagai dasar negara di Indonesia, 3) Ketidakpastian hukum sebagai akibat
pertentangan seriusantara Pasal 34 ayat (3b) dengan Pembukaan UUD 1945 khususnya
alinea keempat, kerugian konstitusional, potensial, danmaterial tanpa ada keraguan
sedikit pun (beyond reasonable doubt) telahterlihat gamblang dan jelas,sehingga dengan
asas iktikad baik Pemerintah, MPR, DPR, DPD, sertapihak-pihak
pendukungtidakselayaknyamempertahankanmetodependidikan politik melalui 4 pilar
kebangsaan tanpa dukungan dan kajianakademismendalamdankomprehensif.
Selain maraknya pemberitaan di media cetak maupun elektronik, protes dan
unjuk rasa juga beberapa kali terjadi mengenai perlunya koreksi akansebutan Pancasila
sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara. Di berbagai daerah terjadi gejolak
protes terhadap MPR, salah satunya di Lampung pada November 2012, di PBNU pusat
pada bulan Agustus 2013, di Semarang oleh BEM IAINWali Songo, di UNDIP
Semarang.Lalu juga di Riau, Surakarta, Surabaya, Malang, Bali, dan Yogyakarta.
Beberapa seminar terkait juga diselenggarakan sebagai respon dari sosialisasi MPR
mengenai 4 pilar kebangsaan, diantaranya Kongres Pancasila IV, 1 Juni 2012, Kongres
Pancasila V di UGM, 1 Juni 2013, dan Sarasehan Nasional dalam rangka Dies Natalis
ke-50 Fakultas Geografi UGM, 31 Agustus 2013 di Fakultas Geografi UGM
Yogyakarta. Lebih lanjut diajukanlah Perkara No. 100/PUU-XI/2013 Perihal Pengujian
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik terhadap UUD 1945 melalui MK.

D. Kelanjutan Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Berbangsa dan


Bernegara
Setelah masyarakat melakukan gugatan Perkara No. 100/PUU-XI/2013 Perihal
Pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik terhadap UUD 1945 melalui MK, maka MKpada tanggal 3 April 2014,
mengeluarkan putusan untuk membatalkan istilah Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara.Namun dalam prakteknya, MPR ternyata tidak dapat meninggalkan warisan
dari pimpinan MPR sebelumnya, Taufik Kiemas, mengenai penggunaan istilah “empat
pilar”.Frase tersebut dianggap sudah cukup menjadi merk dalam rangka sosialisasi
Pancasila, UUD Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Untuk itu, pada pertengahan Februari 2015, Pimpinan MPR melakukan
konsultasi dengan pimpinan MK untuk menegaskan kembali aspek legalitasdari
kegiatan sosialisasi empat pilar yang diselenggarakan oleh MPR. Kemudian, MPR
menempuh jalan tengah. MPR akan tetap menghormati putusan MK mengenai
pelarangan penggunaan istilah "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara".Sebagai
konsekuensinya, Badan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI tidak diperkenankan lagi
mempergunakan istilah "Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara",namun
menggantinya dengan istilah "Sosialisasi Empat Pilar MPR RI".

E. Pendapat Penulis
Dalam hal ini penulis tidak setuju mengenai sebutan Pancasila sebagai salah satu
pilar berbangsa dan bernegara.Jika ditinjau dari aspek yuridis, penulis sepakat dengan
teori yang ditulis oleh Maria FaridaIndratidalam Sistem Norma Hukum di Indonesia
dimana, “Keseluruhan sistemnorma hukum Negara Republik Indonesia merupakan
suatu sistem yangberjenjang, dimulai dari
staatfundamentalnorm(Pancasila),kemudiandisusul dengan verfassungsnorm (UUD
1945), lalu grundgesetz norm(ketetapan MPR), sertagesetz norm(Undang-
Undang).Konsekuensinya, Pancasila merupakan sumber dan dasar bagi pembentukkan
pasal-pasaldalam verfassungsnorm. Sedangkan aturanyang ada dalamverfassungsnorm
merupakan sumberdandasarbagipembentukanaturan-aturangrundgesetz norm, dan juga
sekaligus merupakan sumberdan dasar bagi pembentukan gesetz norm. Dalam
kedudukandan fungsi Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia,
padahakikatnya merupakan sumber dan asas kerohanian bagi sistem
peraturanperundang-undangan di Indonesia. Apabila menganalisis UU
No.2Tahun2011Pasal1 ayat (1), disana disebutkan bahwa Pancasila merupakan dasar
negara.Namun pada Pasal 34 ayat (3b) disebutkan
kedudukanPancasilasebagaipilarberbangsadanbernegara.Berdasarkanteorisistem norma
hukum, bisa disimpulkan bahwa ada kekacauan penormaan hukum didalamUU No.
2Tahun2011yaitudiantarastaatfundamental norm dengan gesetz norm. Manakala di
dalamperaturanperundang-
undanganterdapatketidakserasianatauketidakkonsistenan,apalagi dengan Pancasila
sebagai sumbernya, makahal ini akanmenyebabkan inkonstitusionalitas dan
ketidaklegalan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jikanorma hukum tersebut batal demi
hukum.
Adapun jika ditinjau dari sisi historis, konsensus mengenai Pancasila sebagai
staatfundamental normterjadi tatkala Pancasila disepakati pada tanggal 22 Juni 1945.
Jikakesepakatan itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negaradan juga tidak
ditutup kemungkinan akan terjadi suatu chaos, perang sipil, atau bahkan suatu revolusi.
Hal ini pernahterjadi 1789 di Perancis, kemudian di Amerika 1776, di Rusia pada
tahun1917, demikian pula di Uni Soviet, dan Yugoslavia.
Jika ditinjau dari segi filosofis, dalam
rangkamenjaminkebersamaandalamkerangka kehidupan berbangsa dan bernegara,
diperlukan perumusan tentang tujuan,cita-
citabersamayangterumuskandidalamfilsafatdasarnegara, yaitu Pancasila.Kedudukan
Pancasila sebagai philosofischegrondslagmerupakan harga mati.Oleh karena itu,
perubahan Pancasila, baik dari sisi istilah,predikat,kedudukan,fungsi,danmaknanyatidak
diperbolehkan.

F. Strategi Inovatif Penyebarluasan Empat Pilar MPR RI


Ada beberapa pendekatan yang saat ini digunakan untuk menyebarluaskan
empat pilar MPR RI. Keempat pendekatan tersebut yaitu: 1) Pendekatan kultural,
dengan memperkenalkan tentang budaya dan kearifan lokal kepada generasi muda. Hal
ini dibutuhkan agar pembangunan oleh generasi muda di masa depan tetap
mengedepankan norma dan budaya bangsa. Pembangunan dilakukan
denganmemperhatikan potensi dan kekayaan budaya daerah tanpamenghilangkan adat
istiadat yang berlaku; 2) Pendekatan edukatif, dengan mendidik generasi muda melalui
wadah-wadah yang tepat seperti kegiatan Pramuka; 3) Pendekatan hukum,dengan
menindak tegas tindakan kekerasan atau pelanggaran norma; 4) Pendekatan struktural,
dengan mengajak berbagai lapisan struktur sekolah, masyarakat, dan pemerintah untuk
bekerjasama mengurai benang kusut budaya korupsi,kerusuhan sosial dan konflik
horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses akan pendidikan dan
kesehatan, juga berbagai belitan persoalan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai