Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

DALIL HUKUM IJTIHADI (U’RUF)

DOSEN PEMBIMBING
Mujiburrahman,S.Pd.I., M.A.

DISUSUN OLEH
Agus Putra Mustafa
210702067

PRODI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini kami susun
sebagai tugas dari mata kuliah Mekanika Tanah dengan judul “ Batas-Batas Atterberg”.
Demikianlah tugas ini kami susun semoga bermanfaat dan dapat memenuhi tugas mata kuliah
Mekanika Tanah dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri kami dan
khususnya untuk pembaca. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan
segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif dan membangun sangat kami
harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan
pada waktu mendatang.

Banda Aceh, 1 November 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebenarnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-
dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Dengan kata lain ijtihad
merupakan sebuah media yang sangat besar peranannya dalam hukum-hukum Islam (Fiqh).
Tanpa ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti
sekarang ini serta ajaran Islam tidak akan bertahan dan tidak akan mampu menjawab
tantangan zaman saat ini.

Yang dapat melakukan ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Adapun mujtahid itu ialah
ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk
memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Dalam menentukan atau
menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada
sumber-sumber ajaran Islam.

Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah mengorbankan
tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang
dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-masalah yang sudah lama terjadi di zaman
Rasullullah maupun masalah –masalah yang baru terjadi di masa ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penyusun mencoba
mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan materi makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian Ijtihad?
2. Apa dasar hukum dari ijtihad?
3. Apa fungsi dari ijtihad?
4. Bagaimana lapangan ijtihad?
5. Apa saja syarat-syarat ijtihad?
C. Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2.Untuk mengetahui dasar huykum ijtihad.
3.Untuk memahami fungsi dari ijtihad.
4.Untuk mengetahui lapangan ijtihad.
5.Untuk mengetahui syarat-syarat untuk melakukan ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan,
kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu,
ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud”
(pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”. ( DR.Nasrun Rusli, Konsep
Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73)
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu kepada
upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-Syaukani
memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : “mengerahkan segenap kemampuan dalam
mendapatkan hukum syarak yang praktis dengan menggunakan metode istinbath”. Atau
dengan rumusan yang lebih sempit : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan
kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat
zhanni”. ( DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 75)
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah mencurahkan tenaga
(memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’) melalui salah satu dalil Syara’,
dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut,
maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah
barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm
162)

B. DASAR HUKUM IJTIHAD


Ada beberapa dasar hukum diharuskannya ijtihad, diantaranya :
1. Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59)

dan firman-Nya yang lain :

“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.Al-


Hasyr : 2)

Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah dan
Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan Hadits supaya
meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-
peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang
yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal
ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu
ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum
Islam, hlm 163).

firman-Nya yang lain :

“Dan orang-orang yang  berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan  kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-
benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits

- Kata – kata Nabi s.a.w. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah
mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum
Islam, hlm 163)
-

ِ ‫اب فَلَهُ اَ ْج َرا ِن َواِ ِن ْجتَ َه َد فَا َ ْخطََأ فَلَهُ اَ ْج ٌر َو‬


)‫ (بخارى و مسلم‬.ٌ‫احد‬ َ ‫ص‬ ْ ‫اَ ْل َحا ِك ُم اِ َذا‬
َ َ ‫اجتَ َه َد فَا‬
“Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat
dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia
berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala
(pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika
Muadz diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:

َ‫ َكيْف‬:‫س ْو ُل هللاِ لَ َّما َأ َرا َد َأنْ َي ْب َع َث ُم َعا ًذا الِ َي ا ْليَ َم ِن قَا َل‬
ُ ‫ب ُم َعاذ ْب ِن َجبَ ِل ِإنَّ َر‬
ِ ‫ص َحا‬ ْ ‫س ِّمنْ اَ ْه ِل َح َمص ِمنْ َأ‬ٍ َ ‫عَنْ ُأنا‬
:‫ قَا َل‬.ِ‫س ْو ِل هللا‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬ُ ِ‫ فَب‬:‫ب هللا؟ قَا َل‬ ِ ‫ َفِإنْ لَ ْم تَ ِج ْد ِفي ِكتَا‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ضى بِ ِكتَا‬ِ ‫ َأ ْق‬:‫ضا ٌء؟ قَا َل‬ َ ‫ض ِإ َذا َع َر‬
َ َ‫ض لَ َك ق‬ ِ ‫تَ ْق‬
:‫ص ْد َرهُ َوقَا َل‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ َ‫ ف‬.‫ اَ ْجتَ ِه ُد َرا ْيِئ َواَل آلُ ْو‬:‫ب هللاِ؟ قَا َل‬
ُ ‫ض َر َب َر‬ ِ ‫س ْو ِل هللاِ َواَل فِي ِكتَا‬ ُ ‫فَِإنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬
.)‫ (رواه ابوداود‬ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ضي َر‬ َ ‫س ْو ِل هللاِ لَ َّما يَ ْر‬
ُ ‫س ْو َل َر‬
ُ ‫ق َر‬ َ َّ‫ي َوف‬
ْ ‫اَ ْل َح ْم ُدهَّلِل ِ الَّ ِذ‬

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah
saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila
dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?,
Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya
lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya
akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:,
Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz
menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-
nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah
yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang
diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)
Ijmak
Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas dianjurkannya ijtihad, dan
sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan benar. Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah
hukum-hukum fiqh yang cukup kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai
sekarang.
Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena sebagian besar
dalil-dalil hukum syara’ praktis adalah bersifat dzanni yang menerima beberapa
interpretasi pendapat sehingga memerlukan adanya ijtihad guna menentukan
pendapatnya yang kuat atau yang terkuat. Demikian juga perkara-perkara yang tidak ada
nashnya menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum syara’nya dengan
menggunakan salah satu cara istidlal. Oleh karena Syariat Islam harus menetapkan
semua hukum perbuatan hamba-hamba Allah SWT maka tidak ada jalan lain selain
ijtihad.

C. FUNGSI IJTIHAD
Imam syafi’I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika menggambarkan
kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada
seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang
hukumnya”.
Pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang terkandung
oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan
ijtihad. Oleh karena itu, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya
menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Allah menguji ketaatan seseorang untuk
melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal
yang diwajibkan lainnya.
Selanjutnya ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya :
1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis
Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas
pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.
2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran
dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini penting,
karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak
terbatas jumlahnya.

D. LAPANGAN IJTIHAD
Tidak semua lapangan hukum Islam bisa menjadi pokok ijthad, melainkan hanya
beberapa lapangan tertentu. Lapangan yang tidak boleh menjadi objek ijtihad ialah :
1. Hukum yang dibawa oleh nas qat’I baik kedudukannya maupun pengertiannya, atau
dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan
sebagainya, haramnya riba dan makan harta orang. Demikian pula penentuan bilangan-
bilangan tertentu syara’ yang dibawa oleh Hadits mutawir juga tidak menjadi obyek
ijtihad, seperti bilangan raka’at shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji,
dan sebagainya.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula diketahui dengan
pasti dari agama, melainkan telah disepakati (diijma’kan) oleh para mujtahidin dari
sesuatu masa, seperti pemberian warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya
perkawinan yang dilakukan antara wanita Islam dengan orang lelaki bukan muslim.

Adapun lapangan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah :


1. Lapangan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi pengertiannya, dan nas
seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini ditujukan kepada segi sanad dan pen-
sahinannya, juga dari pertalian pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
2. Lapangan yang dibawa oleh nas yang qat’I kedudukannya, tetapi dhanni pengertiannya,
dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an dan Hadits juga : Obyek ijtihad disini ialah
segi pengertiannya saja.
3. Lapangan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi qat’I pengertiannya,
dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad,
sahihnya hadits, dan pertaliannya dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga lapangan hukum
tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana seseorang mujtahid
tidak bisa melampaui kemungkinan-kemungkinan pengertian nas.
4. Lapangan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak pula diketahui dari
agama dengan pasti. Di sini seseorang yang berijtihad memakai qiyas, atau istihsan atau
‘urf atau jalan-jalan lain. Di sini daerha ijtihad lebih luas daripada lapangan-lapangan
lain.

Sudah barang tentu pandangan orang-orang yang berijtihad dapat berbeda-beda, terutama
dalam lapangan yang ke-empat tersebut. Oleh karena itu dalam sesuatu persoalan bisa
terdapat bermacam-macam pendapat, sesuai dengan perbedaan tinjauan dan jalan
pengambilan hukum yang dipakai. Perbedaan-perbedaan pendapat yang kita dapati dalam
lapangan hukum Islam mencerminkan bermacam-macamnya hasil ijtihad. Keadaan ini tidak
perlu melemahkan kedudukan syri’at Islam, bahkan menunjukkan sifat flexibilitasnya dan
menjadi sumber kekayaan dan kepadatan pembicaraan-pembicaraannya.
Ringkasnya lapangan ijtihad ada dua, yaitu perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama
sekali, dan perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’I wurud dan dalalahnya. Pembatasan
lapangan ijtihad seperti ini sama dengan apa yang diikuti oleh sistem hukum positif, karena
selama undang-undang menyatakan dengan jelas, maka tidak boleh ada pena’wilan dan
perubahan terhadap nas-nasnya dengan dalih bahwa jiwa undang-undangnya menghendaki
adanya perubahan tersebut, meskipun andaikata hakim sendiri berpendapat bahwa undang-
undang tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan, karena sumber undang-undang tersebut
adalah majelis perundang-undangan sendiri, sedang wewenang hakim hanya terbatas pada
pemberian keputusan berdasarkan undang-undang tersebut, bahkan untuk mengadili undang-
undang itu sendiri. ( Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 174)

E. SYARAT- SYARAT BERIJTIHAD


Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan mudah,
tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Jadi,
tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para
pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu , dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak
melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras
yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat
melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia
kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak
semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter.
Sebab, jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep,
akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua
orang melakukan ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan
membahayakan kehidupan ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu
bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk dapat melakukan
ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima persyafatan itu akan
dilihat di bawah ini:
- Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Persyaratan pertamaini
disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih
Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan syarat
mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup bagi
seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat
hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat
itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya , apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakansyarat bagi
seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah hukum.
Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah
tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang
menyangkut tersebut secara mendalam.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini,
seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip beberapa
pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat
menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus hadits. Pendapat
lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan bahwa
seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.
Akan tetapi, hadits –hadits itu tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia
mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.
Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib
mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal
(periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits sampai
kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga ia dapat
memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah). Sekalipun demikian, hal itu
tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya mengetahui yang demikian dengan
baik melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan
ta’dil (keadilan periwayat hadits).
- Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang
bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar
hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan
ijtihad.
Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan pengetahuan tentang
ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang
berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka ia wajib mengetahui ijmak
tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu kekeliruan
dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan persyaratan ini pada mujtihad
yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.
- Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari
al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang
mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia
mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan
sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang
jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki
keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk kebahasan itu
diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma’ani dan bayan. Akan tetapi,
menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar kepala,
cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku yang
ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan,
maka dengan mudah diketahui tempat pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah
menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits
adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari dua
sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian, sementara
ulama- antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang bahasa
Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.
- Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih
penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang
dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu
masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan
menggunakan metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas
di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi menyangkut
penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad :
 Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu
bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.
 Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad, tetapi
menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.
 Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul
fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul
fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya.
Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-kan hukum
dari sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-kan hukum, tidak
mungkin hukum akan ditemukan.
- Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuab tenteng nasikh dan mansukh penting
agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat
dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik.
Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan itu
secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka hanya berbeda hanya
dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai
pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-Syaukani di sini ialah bahwa ia
telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara jelas, ringkas, dan dapat diterapkan
secara praktis, karena dibarengi dengan dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis
untuk dapat mencapai persyaratan-persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting untuk
dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad hukum itu—
menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al-Syaukani, mujtajhid
yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah mendapat semacam wewenang
dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat. Kendati
demikian – menurutnya—wewenang itu hanya diberikan kepada mujtahid yang berijtihad
atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan dilakukan atas kehendak hawa nafsu.
Dari kajian di atas terlihat bahw a al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih yang
lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah memiliki
syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang belum
memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga melakukakan melakukan ijtihad,
tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang tertentu, yang diketahuinya secara luas dan
mendalam.
BAB III
PENUTUP

Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat
menyimpulkan:
1. Ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud”
(pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”.
2. Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu kepada upaya
maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan
defenisi ijtihad dengan rumusan : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan
kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat
zhanni. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah mencurahkan
tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’) melalui salah satu dalil
Syara’, dan dengan cara-cara tertentu.
3. Dasar hukum ijtihad:
- Firman Allah surat An-nisa' :59 dan 105, Al-Hasyr : 2, Al-‘Ankabut:69.
- Banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan tentang dasar-dasar
ijtihad
- Ijmak
4. Fungsi ijtihad :
- Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah
seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah
- Menguji kebenaran hadits yang tidak sampai ke tingkat hadits mutawattir.
5. Lapangan ijtihad secara umum terbagi menjadi dua :
- Perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama sekali
- Perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’I wurud dan dalalahnya.
6. Syarat-syarat seseorang dapat berijtihad menurut Al-Syaukani antara lain :
- Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah
- Mengetahui ijmak
- Mengetahui bahasa Arab
- Mengetahui ilmu usul fikih
- Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan)
DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Nasrun. 1999.Konsep Ijtihad Al-Syaukani. PT. Logos Wacana Ilmu : Jakarta

Al Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan Analitis tentang
Ijtihad Kontemporer. PT.Bulan Bintang : Jakarta

Ash Siddieqy, Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. PT Bulan Bintang : Jakarta

Jalaluddin Rahmat.Sumber Hukum Islam

http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad

http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/fungsi-ijtihad.html

Anda mungkin juga menyukai