KAIDAH ASSASIYAH
Dosen Pendidik
MOH. DAPIET S.HI., M.HI
Penyusuna
RAHMAT FADLI (622018023)
TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
Assalamualaikum Wahrohmatullahi Wabarokaatu.
Puji syukur atas kehadiran allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan rahmat
dan karunia kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa pula sholawat dan salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai
pelopor pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi umat manusia.
Makalah ini dibuat guna melengkapi tugas mata kuliah ushul fiqh, tentang Kaidah
Asasiyah, dan makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasiswa, dan bermanfaat
untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.aamiin
yarobbal alamin.
PENDAHULUAN
Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang tidak terdapat
penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga para pakar hokum Islam harus
berijtihad untuk memecahkannya. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mereka itu dalam
berijtihad tidaklah secara acak, tetapi selalu berpegang kepada dasar-dasar umum yang terdapat
dalam kitab suci itu sehingga hukum-hukum yang mereka rumuskan melalui ijtihad itu tidak
boleh menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut.
Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah yamg disebut dengan al-
qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak
terdapat macam-macam kaidah salah satunya tentang kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid al-
Khamsah). Dalam kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam kaidah, sehingga untuk lebih
mengetahui macam-macam kaidah dalam al-Qawaid al-Khamsah akan dibahas dalam bab
selan jutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Niat dalam ibadah mempunyai posisi yang sangat dominan demikian juga dalam
hubungannya dengan berbagai ragam aktifitas, diantaranya ialah:
a. Mahdhah (aktifitas ritual keagamaan murni) seperti shalat, puasa, haji dan
sebagainya.
b. Perbuatan yang mengandung aspek aktivitas sosial berkaitan dengan kegiatan
keseharian, seperti belanja, berdagang, mencari nafkah dalam berbagai bentuknya.
c. Perbuatankeseharian manusia yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai individu
atau sebagai makhluk sosial, seperti makan, minum, tidur dan sebagainya.
الزكَاة َ ۚ َو َٰذَلِكَ ِدينُ ْالقَيِ َم ِة صينَ لَهُ الدِينَ ُحنَفَا َء َويُ ِقي ُموا ال ا
ص ََلة َ َويُؤْ تُوا ا َو َما أ ُ ِم ُروا إِ اَّل ِليَ ْعبُد ُوا ا
ِ َّللاَ ُم ْخ ِل
َ قُ ْل ُك ٌّل يَ ْع َم ُل َعلَ َٰى شَا ِكلَتِ ِه فَ َربُّ ُك ْم أ َ ْعلَ ُم بِ َم ْن ھ َُو أ َ ْھدَ َٰى
ً ِسب
يَل
َ َّللاُ َو ْعدَهُ إِذْ ت َ ُحسُّونَ ُه ْم بِإِذْنِ ِه ۖ َحت ا َٰى إِذَا فَش ِْلت ُ ْم َوتَنَازَ ْعت ُ ْم فِي ْاأل َ ْم ِر َو َع
ص ْيت ُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َما أَ َرا ُك ْم َما صدَقَ ُك ُم ا َ َْولَقَد
ْ ََّللاُ ذُو ف
ض ٍل َ ت ُ ِحبُّونَ ۚ ِم ْن ُك ْم َم ْن ي ُِريد ُ الدُّ ْنيَا َو ِم ْن ُك ْم َم ْن ي ُِريد ُ ْاْل ِخ َرةَ ۚ ث ُ ام
ص َرفَ ُك ْم َع ْن ُه ْم ِليَ ْبت َ ِل َي ُك ْم ۖ َولَقَدْ َعفَا َع ْن ُك ْم ۗ َو ا
ََعلَى ْال ُمؤْ ِمنِين
Artinya: “Dan sungguh, Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kamu
membunuh mereka dengan izinNya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih
dalam urusan itu dan mengabaikan perintah Rasul setelah Allah memperlihatkan
kepadamu apa yang kamu sukai. Diantara kamu ada yang menghendaki dunia dan
diantara kamu ada (pula) orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah
memalingkan kamu dari mereka untuk mengujimu, tetapi dia telahbenar-benar
memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang diberikan) kepada orang-
orang beriman”.
6. QS. al-Kahfi (18): 110
َ َّللاُ َو ْعدَهُ ِإذْ ت َ ُحسُّونَ ُه ْم ِبإِذْ ِن ِه ۖ َحت ا َٰى ِإذَا فَش ِْلت ُ ْم َوتَنَازَ ْعت ُ ْم فِي ْاأل َ ْم ِر َو َع
ص ْيت ُ ْم ِم ْن َب ْع ِد َما أَ َرا ُك ْم َما صدَقَ ُك ُم ا َ َْولَقَد
ْ ََّللاُ ذُو ف
ض ٍل َ ت ُ ِحبُّونَ ۚ ِم ْن ُك ْم َم ْن ي ُِريد ُ الدُّ ْنيَا َو ِم ْن ُك ْم َم ْن ي ُِريد ُ ْاْل ِخ َرة َ ۚ ث ُ ام
ص َرفَ ُك ْم َع ْن ُه ْم ِليَ ْبت َ ِل َي ُك ْم ۖ َولَقَدْ َعفَا َع ْن ُك ْم ۗ َو ا
ََعلَى ْال ُمؤْ ِمنِين
َت أ ُ ُكلَ َها َ ََّللاِ َوتَثْبِيتًا ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ِه ْم َك َمث َ ِل َجنا ٍة بِ َرب َْوةٍ أ
ْ صابَ َها َوابِ ٌل فَآت ت ا ِ ضا َ َو َمث َ ُل الاذِينَ يُ ْن ِفقُونَ أ َ ْم َوالَ ُه ُم ا ْبتِغَا َء َم ْر
ير
ٌ ص ِ َّللاُ ِب َما تَ ْع َملُونَ َب َ َُص ْب َها َوا ِب ٌل ف
ط ٌّل ۗ َو ا ِ ض ْعفَي ِْن فَإ ِ ْن لَ ْم ي ِ
َ إِناكَ لَ ْن ت ُ ْنفِقَ نَ َفقَةً ت َ ْبت َ ِغي ِب َها َوجْ َه هللاِ إَِّلا أ ُ ِج ْر تَ َعلَ ْي َها َحتاى َما تَجْ َع ُل فِي
َف ِم ا ْم َرأ َتِك
Artinya: “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud
mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekadar sesuap ke dalam
mulut isterimu”. (HR. Bukhari).
Dasar-dasar Kaidah
Kaidah tentang keyakinan dan keraguan berdasarkan kepada beberapa buah
hadits. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Artinya: “Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya,
lalu timbul keraguan apakah sesuatu itu keluar dari perut atau tidak, maka janganlah
keluar dari mesjid, sehingga ia mendengar suaranya atau mencium baunya.”
Hadits di atas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang sahalat atau
menunggu (duduk di masjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah. Secara logika,
orang tersebut dalam keadaan suci (sudah berwudhu). Dan orang tersebut ragu-ragu
apakah ia telah mengeluarkan angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih dalam
keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesuciannya sejak
semula, sedang keraguanya baru timbul kemudian. Oleh karena itu, orang tersebut tidak
perlu berwudhu lagi sebelum mendapatkan bukti berupa bunyi atau baunya.
Dan sabda Rasulullah di lain tempat berbunyi:
Kaidah-kaidah Lanjutan
Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin la yazalu
bi al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam kitab Ta’sis al-
Nazhar menyatakan bahwa:
اَّلصل عند ابي حنيفة انه متى عرف ثبوت الشيء من طريق اَّل حا طة وتيقن َّل ي معنى كان فهو على ذلك مالم
يتيقن بخَلفه
“Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara penelitian dari segala segi
dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan penelitian
tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya.”
Berikut ini merupakan kaidah lanjutan dari kaidah induk di atas:
1. Kaidah pertama:
ْ َ ا َ ْأل
. َص ُل بَقَآ ُء َما كاَنَ َعلى َما َكان
“Menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada
sekarang.”
Penjelasan:
Sesuatu yang hukumnya ditetapkan pada masa lalu –dibolehkan atau dilarang–
tetap pada ketetapan tersebut dan tidak berubah sebelum ada dalil yang
merubahnya.Contohnya:Orang yang yakin telah bersuci dan ragu tentag hadas
yang menimpanya, maka dia masih dalam keadaan suci.Orang yang yakin bahwa
ia berhadas, dan ragu tentang keabsahan bersuci yang telah ia lakukan, maka ia
masih berhadas.Seseorang yang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa
ragu-ragu, jangan-janga waktu fajar sudah tiba. Maka puasa orang tadi tetap sah,
sebab menurut dasar yang asli diberlakukan keadaan waktunya masih malam, dan
bukan waktu fajar.
2. Kaidah kedua:
ْ َ ا َ ْأل
ص ُل بَ َرا َءةُال ِذ َم ِة
“Pada dasarnya, orang bebas beban.”
Contohnya:
Jika ada dua orang bertengkar tentang harga barang yang dirusakkan, maka
dimenangkan oleh orang yang merasa dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak
dibebani tanggungan tambahan.Terdakwa yang menolak angkat sumpah tidak
dapat diterapkan hukuman. Karena menurut asalnya ia bebas dari tanggungan dan
yang harus angkat sumpah ialah si pendakwa.
3. Kaidah Ketiga:
ص ُل ْال َعدَ َم
ْ َ اَ ْأل
“Dasar sesuatu adalah ketidak adaan.”
Contohnya:
Seseorang mengaku telah berhutang kepada orang lain berdasarkan atas
pengakuannya sendiri atau suatu bukti yang otentik. Tiba-tiba orang yang
berhutang mengaku telah membayarnya hingga ia merasa bebas dari pembayaran.
Sedang orang yang menghutangkan mengingkari atas pengakuan tersebut.Dalam
perselisihan ini sesuai dengan kaidah yang telah lalu dimenangkan oleh
pengingkaran orang yang menghutangi. Sebab menurut asalnya belum adanya
pembayaran hutang dan ini merupakan hal yang sudah meyakinkan, sedaang
pengakuan telah membayar merupakan hal yang masih diragukan.
4. Kaidah Keempat:
اء ا َ ْ ِْلبَا َحةُ َحتاى يَد ُ ال الدا ِل ْي ُل َعلَى التاحْ ِري ِْم
ِ َص ُل فِى ْاأل َ ْشي
ْ َ اَ ْأل
“Asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Kaidah ini bersumber dari sabda Rasulullah yang artinya sebagai berikut:
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa-apa yang diharamkan Allah
adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan dimaafkan. Maka terimalah dari Allah
pemaafan-Nya. Sungguh Allah tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan
at-Thabrani).
Kandungan hadits ini ini ialah bahwa segala sesuatu yang belum ditunjuk oleh dalil
yang tegas tentang halal dan haramnya, maka hendaklah dikembalikan kepada
ketentuan aslinya, yaitu mubah.
Contohnya:
Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak
didapatkan sifat-sifatnya ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan kepada haram, maka
halal dimakan. Seperti binatang Jerapah merupakan binatang yang halal dimakan,
karena tidak memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang mengharamkannya (bertaring
lagi buas).
5. Kaidah Kelima:
شقَّة
َ الت َّ ْي ِسي َْر تَجْ ِلب ال َم
Adanya Kesulitan Akan Memunculkan Adanya Kemudahan
Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena,
seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan wujud dari kaidah
ini.
Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
َّ ْالعس َْر بِكم ي ِريد َو َل ْاليس َْر ِبكم
ّللا ي ِريد
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
[al-Baqarah/2:185].
ّللا يك َِلف َل ً و ْسعَ َها ِإ َّل نَ ْف
َّ سا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. [al-
Baqarah/2:286].
ِين فِي َعلَ ْيك ْم َج َع َل َو َما
ِ َح َرج ِم ْن الد
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. [al-
Hajj/22:78].
ّللاَ فَاتَّقوا َ َا ْست
َّ ط ْعت ْم َما
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. [at-Taghâbun/64:16].
Ayat-ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini. Dikarenakan
seluruh syari’at dalam agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus tauhidnya, terbangun
atas dasar perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak
menyekutukannya dengan sesuatu pun.
Demikian pula, syariat ini penuh toleransi dalam hukum-hukum dan amalan-
amalannya. Sebagai contoh, ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun Islam. Salah
satunya dalam ibadah shalat. Jika kita lihat ibadah ini merupakan amaliah yang mudah dan
hanya membutuhkan sedikit waktu. Demikian pula zakat, hanya memerlukan sebagian
kecil dari harta orang yang terkena kewajiban zakat. Itu pun diambil dari harta yang
dikembangkan, bukan harta tetap. Dan zakat ini dilaksanakan hanya sekali dalam setahun.
Juga ibadah puasa Ramadhan yang hanya dilaksanakan selama satu bulan setiap tahun.
Ibadah haji yang wajib dilaksanakan sekali saja seumur hidup bagi orang yang mempunyai
kemampuan. Adapun kewajiban-kewajiban lainnya, maka datang secara insidental sesuai
dengan sebab yang melatarbelakanginya.
Seluruh ibadah-ibadah tersebut sangat mudah dan ringan. Allah Subanahu wa Ta’ala
juga mensyariatkan beberapa hal yang bisa membantu dan memberikan semangat dalam
melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya dengan disyariatkannya berjama’ah
dalam shalat lima waktu, shalat Jum’at, dan shalat hari raya. Demikian pula pelaksanaan
puasa yang dilaksanakan secara bersama-sama pada bulan Ramadhan. Juga ibadah haji
yang dilaksanakan bersama-sama pada bulan Dzulhijjah.
Tidak diragukan lagi, pelaksanaan ibadah secara berjama’ah akan lebih meringankan
pelaksanaan berbagai ibadah, lebih memberi semangat, serta lebih mendorong untuk saling
berlomba meraih kebaikan. Sebagaimana juga Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menyediakan pahala bagi orang yang mau menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan
ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya, baik pahala di dunia maupun di akhirat. Pahala yang
tidak bisa diukur besarnya. Janji Allah k merupakan pendorong terbesar dalam
melaksanakan amal kebaikaan dan meninggalkan kejelekan.
Disamping kemudahan-kemudahan ini, masih ditambah lagi, jika ada yang mempunyai
udzur sehingga menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan melaksanakan hukum-
hukum syari’at, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keringanan sesuai
dengan kedaaan dan kondisi orang bersangkutan. Hal ini nampak jelas dalam beberapa
contoh berikut.
1. Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu melaksanakan shalat
dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika tidak mampu dengan duduk,
maka shalat dengan berbaring, dan cukup berisyarat ketika ruku’ dan sujud.
2. Seseorang diwajibkan bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun, jika tidak
bisa menggunakan air karena sakit atau tidak ada air, maka diperbolehkan
melaksanakan tayammum.
3. Seorang musafir yang sedang menanggung beratnya perjalanan diperbolehkan untuk
tidak berpuasa, diperbolehkan untuk menjama’ dan mengqashar shalat, serta
diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari, sebagai ganti dari mencuci kaki dalam
wudhu`.
4. Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat mendapatkan pahala
dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika dalam keadaan sehat dan tidak
bepergian.
Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam syari’at
agama Islam yang mulia ini. Adapun perwujudan kaidah ini secara nyata dapat diketahui
dari contoh-contoh berikut ini.
1. Jika pakaian atau badan seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan tidak
harus mencucinya.
2. Boleh beristijmar (membersihkan najis dengan batu atau semisalnya) sebagai
pengganti dari istinja’ (membersihkan najis dengan air), meskipun dijumpai
adanya air.
3. Sucinya mulut anak kecil yang terkadang memakan najis dikarenakan belum bisa
membedakaan benda-benda di sekelilingnya.
4. Sucinya kucing. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ت إَنَّ َها
ْ س َّ ت َعلَيْك ْم ال
َ ط َوافِيْنَ ِمنَ ِإ َّن َها ِبنَ َجس لَ ْي َّ َوال
ِ ط َّوافَا
Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang yang
selalu menyertai kalian. HR Ahmad (5/296, 303)
5. Termaafkan, jika terkena cipratan tanah jalanan yang diperkirakan bercampur
dengan najis. Jika memang benar ada najisnya, maka dimaafkan dari najis yang
sedikit.
6. Jika pakaian seseorang terkena kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan
tambahan selain ASI, maka cukup membasahi pakaian tersebut dengan air dan
tidak perlu mencucinya. Demikian pula jika terkena muntahan bayi tersebut.
7. Penjelasan para ahli ilmu, bahwa hukum asal sesuatu dzat adalah suci, kecuali jika
diketahui secara pasti tentang kenajisannya. Dan hukum asal segala makanan
adalah halal dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang keharamannya.
8. Dalam membersihkan badan, pakaian, atau bejana dari najis cukup menggunakan
perkiraan. Jika tidak bisa atau kesulitan menentukan kesuciannya secara pasti,
maka cukup dengan dikira-kira, jika dianggap sudah suci, maka cukup.
9. Dalam menentukan telah datangnya waktu shalat, cukup dengan perkiraan kuat
bahwa waktunya telah datang. Yaitu, jika sulit mengetahui datangnya waktu
tersebut secara pasti.
10. Orang yang melaksanakan haji secara tamattu’ dan qiran, mereka bisa
melaksanakan haji sekaligus umrah dalam sekali perjalanan saja.
11. Diperbolehkan memakan makanan haram, seperti bangkai dan semisalnya, bagi
orang yang terpaksa untuk memakannya.
12. Bolehnya jual beli ‘ariyah [2] jika ada hajat untuk mendapatkan kurma ruthab
(kurma basah).
13. Boleh mengambil upah dari perlombaan pacu kuda, mengendarai onta, dan
perlombaan memanah.
14. Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita jika laki-laki tersebut
tidak bisa menunda pernikahan dan khawatir akan terjatuh dalam perzinaan.
15. Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka karib
kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menanggung pembayaran
diyat (denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban). Hal ini dikarenakan
pelaku pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan pembunuhan, sehingga ia
mempunyai udzur. Maka, merupakan hal yang layak jika karib kerabat si
pembunuh tersebut menanggung pembayaran diyat tersebut tanpa memberatkan
mereka, yaitu dengan membagi diyat tersebut sesuai kadar kekayaan masing-
masing. Dan pembayaran tersebut diberi tenggang waktu selama tiga tahun.
Adapun jika pembunuh tersebut termasuk orang yang berkecukupan dalam harta,
apakah ia turut menanggung pembayaran diyat tersebut ataukah tidak? Maka dalam
hal ini terdapat perselisihan di kalangan para ulama
Pengembalian sesuatu barang yang telah dibeli karena terdapat cacat, diadakan khiyar
dalam jual beli karena adanya perbedaan sifat-sifat yang telah disepakatinya, adanya
perwalian bagi orang-orang yang tidak cakap mentransaksikan harta milik, adanya hak
syuf”ah (jual beli utama) bagi seorang tetangga dan lain sebagainya adanya sekian contoh-
contoh untuk menghindarkan kemudharatan para pihak yang mengadakan muamalat
bersama.
Syara mengadakan hukum qishas, hudud, kafarat, ganti rugi, menghalalkan kepada
pengusaha untuk mengerangi kaum pemberontak dan lain sebagainya untuk membuat
kemaslahatan bersama dan menghindari kemudharatan.
Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat diperlukan dan
ketentraman rumah tangga yang sudah begitu kacau dan memberikan kuasa kepada hakim
untuk menfasakhkan nikah seseorang lantaran suami sudah tidak dapat menunaikan tugas
berumah tangga dengan baik, demi untuk menghilangkan kemudharatan bagi mereka yang
tersiksa. Kaidah tersebut erat hubungannya dan saling isi mengisi dengan kaidah-kaidah
sebelumnya.
1. Kaidah Pertama :
“Kemudlaratan-kemudlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman” (Wahbah
az-Zuhaili, 1982 : 225 )
ْص َل َوقَد ُ ض
ط ِر ْرت ُ ْم َما ِإ اَّل َعلَ ْي ُك ْم َح ار َم َما لَ ُك ْم فَ ا ْ ِإلَ ْي ِه ا
Artinya:
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram,
namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan
lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat
diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali
kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu
boleh dimakan sebatas keperluannya. Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang
mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara
kehormatan atau harta benda. Dengan demikian darurat itu terkait dengan Dharuriah,
bukan hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah dan
tahsiniah. Karena itu terdapat kaidah: “Tiada keharaman bagi darurat dan tiada
kemakruhan bagi kebutuhan.” (Abdul Hamid Hakim, 1956 :81) “Apa yang
diperbolehkan karena darurat maka diukur menurut kadar kemudlaratannya.”(as-
Suyuthi, TT:60). Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal
dari Ikhwan al-Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat
yang membolehkan orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada empat,
ialah :
1. Dirinya atau orang lain dalam keadaan gawat yang dikhawatirkan dapat
membahayakan nyawanya atau anggota-anggota tubuhnya.
2. Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda penangannya.
Misalnya orang kelaparan belum boleh makan bangkai, kecuali ia telah berada
dalam keadaan bahaya lapar yang gawat akibatnya.
3. Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali melakukan perbuatan
pelanggaran / kejahatan. Jika masih bisa diatasi darurat itu dengan menempuh
perbuatan yang mubah. Misalnya orang yang kelaparan yang masih bisa membeli
makanan yang halal, maka tidak benarkan makan makanan yang tidak halal
(haram) tersebut, karena hasil curian.
4. Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil seperlunya saja
(seminimal mungkin untuk sekedar mempertahankan hidupnya). Kebolehan
berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Menurut Wahbah az-Zuhaili
membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu:
a. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan
sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak
kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka
mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala
yang diharamkan atau dilarang, seprti memakai sutra bagi laki-laki yang
telanjang, dan sebagainya.
b. Hajah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi
mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini
tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak mampu
berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan
makanan haram.
c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang
layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya
hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya, makan makanan pokok
seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk pauk, dan sebagainya.
d. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih-lebihan,
yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman.
Kondisi semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup
segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan
e.
2. Kaidah Kedua :
“Kemudharatan yang terjadi tidak dapat dianggap telah lama
terjadinya”.Kaidah ini adalah membatasi kaidah : “Yang telah ada dari Tuhan tidak
ditinggalkan atas kedahuluannya” Yakni bahwa manfaat dan kegunaan yang dihargai
adalah yang tidak terdapat kemudharatan yang dilarang oleh syara’ yang apabila
demikian halnya, haruslah kemudharatan itu dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan,
berdasarkan telah ada sejak dulu.Dari kaidah ini dapat diambil contoh, bahwa
dibolehkan seorang guru yang berpenyakit darah tinggi untuk tidak mengajar, sebab
meskipun dengan mengajar itu ada manfaat, namun disitu terdapat kemudharatan,
baik terhadap murid maupun terhadap guru itu sendiri, seperti: apabila guru itu baru
naik darah kemudian memukul muridnya, demikian pula dapat menimbulkan bahaya
yang lebih besar gi si guru, misalnya karena mengajar itu, kambuh penyakitnya yang
mengakibatkan kematian. Lantaran ini tidak bisa dibantah dengan alasan, bahwa sejak
semula guru itu telah mengajar dan memberi manfaat kepada murid-muridnya.
3. Kaidah Ketiga:
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar
kedaruratannya”. Dimana kebolehan tersebut hanya sekedar untuk menghilangkan
kemudharatan yang sedang menimpa. Maka apabila kemudharatan atau suatu keadaan
yang memaksa telah hilang, maka kebolehan terhadap yang didasarkan atas
kemudharatan ini menjadi hilang pula, artinya perbuatan itu kembali ke-asal mulanya
yakni telah dilarang. Ringkasnya, bahwa darurat itu merupakan suatu keadaan yang
dikecualikan. Maka kebolehan yang diberikan itu tentulah tidak mutlak, tetapi harus
diukur dengan kadar yang diperlukan saja.
Umpamanya bila boleh mencuri sepotong roti karena lapar, maka tidaklah boleh
dia mencuri sekarung tepung. Maka karenanyalah orang yang makan bangkai karena
lapar dibolehkan sekedar untuk perlu mempertahankan jiwa. Sedangkan Imam Malik
membolehkan si yang lapar itu makan sampai kenyang bahkan boleh dijadikan
bekalnya sampai dia menemukan yang lain.
4. Kaidah Ke-Empat:
“Sesuatu yang diperbolehkan karena ‘udzur, batal lantaran hilangnya ‘udzur.
Kaidah ini memberika pengertian bahwa apabila kita melaksanakan suatui perbuatan
tetapi perbuiatan itu akhirnya tidak bisa dilaksanakan disebabkan adanya ‘udzur yang
menghalanginya. Maka pada saat itu kita diperbolehkan untuk melaksanakan
perbuatan yang lain sebagai pengganti perbuatan yang tidak dapat kita laksanakan
tersebut. Tetapi setelah ‘udzur (penghalang) itu hilang maka perbuatan pengganti
tersebut juga dianggap hilang. Misalnya: seseorang yang ingin berwudhu ia tidak bisa
menemukan air untuk menjalankan shalat. Maka orang ini diperbolehkan untuk
tayamum. Tetapi sebelum masuk shalat ia diberi tahu oleh temannya bahwa ditempat
tertentu ada air, maka dalam keadaan seperti ini tayamum orang tersebut dianggap
batal, lantaran diketemukan air sebelum masuk waktu sembahyang.
5. Kaidah Kelima:
“Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”
Redaksi kaidah ini menjelaskan apabila dalam suatu perkara terlihat adanya manfaat
atau maslahat, namun disitu juga terdapat kemafsadatan (kerusakan), haruslah
didahulukan menghilangkan mafsadatnya ini dulu, sebab kemafsadatan dapat meluas
dan menjalar kemana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih
besar. Oleh karena itu diharamkan judi, minum-minuman yang memabukkan
(Khamar). Meskipun pada keduanya terdapat kemanfaatan, namun bahaya
kerusakannya lebih besar. Sebagaimana firman Allah SWT: “Mereka bertanya
kepadamu tentang khamar dan judi, katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar
dan beberapa manfaat (yang sedikit) bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari pada manfaatnya”. Untuk itulah menyangatkan berkumur-kumur dan beristinyaq
di waktu wudhu adalah sunnah, tetapi bagi orang yang sedang berpuasa adalah
makruh, sebab dapat merasakan atau membatalkan puasa. Begitu pula apabila terjadi
perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan pada perbuatan, dengan kata lain jika
suatu perbuatan ditinjau dari satu segi terlarang karena mengandung kemaslahatan,
maka segi larangannya harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah
meninggalkan larangan lebih kuat dari pada perintah menjalankan kebaikan, sesuai
dengan sabda Nabi Saw:
“Apabila akau memerintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakanlah
semampumu dan apabila aku melarang kamu sesuatu perbuatan tinggalkanlah.”(HR.
Bukhari Muslim).
Demikianlah disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah,
sedang dalam meninggalkan larangan di-isyaratkan demikian, ini menunjukkan
bahwa tuntutan meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan
menjalankan perintah. Berdasarkan kaidah ini pulalah, Syeikh Muhammad Abduh
berpendapat, bahwa poligami dapat dilarang. Manakala dengan poligami itu akan
menimbulkan kerusakan. Seperti kehancuran dan berantakan nya rumah tangga
apabila seorang suami tidak mampu bersifat adil kepada istri-istrinya, yang akhirnya
dapat menelantarkan anak-anaknya.
6. Kaidah Keenam:
“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada Madhatan. Maksud kaidah
ini, manakala pada suatu ketika datang bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka
harus diseleksi, manakala antara mafsadat itu yang lebih kecil atau lebih ringan.
Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus
ditinggalkan dan kerjakan yang lebih kecil atau lebih ringan mudharatnya. Biarpun
sebenarnya kemudharatan itu ringan maupun berat harus dihindarkan. Sesuai dengan
firman Tuhan dalam surat Al-A’raf :56, sebagai berikut:
ِ ْاأل َ ْر
ض فِي ت ُ ْف ِسد ُوا َو ََّل
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.(QS. Al-A’raf : 56).
7. Kaidah Ketujuh:
“Apabila saling bertentangan ketentuan hukum, maka didahulukanlah yang akan
dilakukan waktunnya sempit dari pada yang longgar dan dilakukan yang
mengehendaki segera daripada yang boleh ditunda”. Kaidah ini terletak pada waktu
pelaksanaannya terbatas (sempit) dan mana pula yang waktu pelaksanaannya luas,
sehingga denga dipilihnya waktu yang sesuai tersebut tidak akan membawa mudharat
kepada kita. Contoh: Apabila ada seseorang yang diwaktu bulan ramadhan bernadzar
akan puasa, haruslah puasa bulan ramadhan dikerjakan bulan ramadhan tersebut.
8. Kaidah Kedelapan:
“Apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan, maka harus
diperhatikan mana yang lebih kuat diantara keduanya” Contoh, Bahwa bohong itu
adalah sifat tercela lagi berdosa. Tetapi apabila bohong tersebut dilakukan bertujuan
untuk mendamaikan pertengkaran antara seseorang dengan kawan-kawannya atau
antara suami dan istri, maka diperbolehkannya.
9. Kaidah Kesembilan:
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” Misalnya, seseorang yang
dalam kelaparan, dan dia akan mati jika ia tidak makan, maka jalan satu-satunya dalah
mencuri . karena tindakannya ini maka ia wajib mengembalikan atau mengganti
makanan orang lain yang telah dimakannya.
1. ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus
dilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi
pelakunya.
2. ‘adah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok,
serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan persamaannya, ‘urf dan ‘adah merupakan sebuah pekerjaan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta
sesuai dengan karakter pelakunya.
Maka, dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika
ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya
menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat
pelakunya. Di samping itu. adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok,
sementara al-’Urf harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya
melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek
pelakunya. Persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan
karakter pelakunya. Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-
‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf yang sering disebut dalam al-Qur’an.
Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat
(kepantasan).
“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-
orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
ِ ش ُروهُنََ ِبا ْل َم ْع ُر
َوف ِ َوعَا
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan
apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan
sebagai perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari
Ibnu Mas'ud).[4]