Anda di halaman 1dari 4

Bab 1.

Terminologi
a. Pengertian Hadis, sunnah, khabar, dan atsar, secara bahasa dan istilah menurut
Muhaddis, Ushuuliy, dan Fuqaha.
b. Struktur Hadis: sanad, matan, dan mukharrij

a. Pengertian Hadis dan Klasifikasinya


1. Menurut Bahasa “Lughah”

Kata Hadis berasal dari bahasa Arab yaitu ‫ﺣﺪث‬ hadasa, yahdushu, hudûsan wa
haddasa, yang berarti jadid “baru” lawan kata qadim “kekal”, ia diartikan juga dengan khabr
“warta”, dan arti ketiganya adalah qarib “yang dekat; yang belum lama terjadi, seperti dalam
perkataan hadisun ahdi al-Islam “orang yang baru saja masuk Islam”.1 Dalam Mu’jam
Maqayis al-Lugah ditulis bahwa kata hadasa merupakan akar kata dari “hadis” yang diartikan
dengan ucapan yang menceritakan kejadian yang berlangsung, atau segala sesuatu yang
menceritakan tentang suatu perkataan ataupun pemberitaan.2
Adapun jama’ dari hadis yaitu ahâdis, atau hudusan dan hiddasan, akan tetapi kata
ahâdis-lah yang populer digunakan oleh orang-orang, walaupun sebagian ulama berkata;
lafadz ahâdis bukan jama’ dari hadis yang bermakna Khabar, tetapi isim jama’ baginya.
Mufrad ahâdis yang sebenarnya ialah uhdusah, yang bermakna “sesuatu berita yang
diperkatakan dan dipindahkan dari seseorang ke seseorang”.
Sebagian ulama menetapkan, bahwa lafadz ahâdis jama’ dari hadis yang tidak
menurut qiyas, atau jama’ yang syaz.

2. Menurut Istilah
Hadis menurut istilah ahli hadis (Muhaddis), ialah :

‫أﻗﻮاﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻼم وأﻓﻌﺎﻟﻪ وأﺣﻮاﻟﻪ‬


Artinya:
“segala ucapan nabi, perbuatan dan keadaannya”.3
Demikian kata al-Hafidh dalam syarah al-Bukhariy. Dan al-Hafid dalam Shakhawi.4
Masuk ke dalam “keadaannya”, segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah,
seperti hal kelahirannya, tempatnya dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum
diangkat maupun sesudah kenabian. Defenisi yang diberikan oleh ahli hadis ini sama dengan
pengertian dari al-sunnah yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan nabi baik itu
sebelum maupun sesudah kenabiannya.
Sedangkan Ibnu Taimiyah dalam defenisinya mengatakan bahwa jika kata hadis
dimutlakkan maka yang dimaksud adalah segala yang terjadi pada diri nabi sesudah
kenabiannya. Karena itu, perbuatan menyendiri (tahannus) yang pernah dilakukan nabi
sebelum diangkat menjadi nabi, menurut Ibnu Taimiyah bukanlah perbuatan sunnah5
Defenisi di atas hampir sama dengan defenisi yang diberikan oleh ahli ushul hadis
yang mengatakan hadis itu hanya terbatas pada sesuatu yang bersangkut paut dengan

1Lihat pada Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadist ‘Ulûmuhu wa Mushthalahahu (Cet.

III; Beirut: Dâr al-Fikr, 1975), h. 26., Ahmad al-‘Ayid et al., al-Mu’jam al-‘Arabiy al-Asâsiy (Lârus:
Tunis, 1988) h. 295 dan Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 11; Bulan
Bintang: Jakarta, 1993), h. 20.
2Abual-Husain Ahmad Ibn Fâris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, Juz IV (Cet. I;
Beirut: Dâr al-Jail, 1991), h. 253.
3Terjemahan Penulis.
4Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit.,h. 22.
5Ibnu Taimiyah,‘Ulum al-Hadist (Cet.I: Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmi, 1985), h. 5-9.

1
hukum, urusan pakaian nabi tidak termasuk di dalamnya.6 Bahkan jika hadis itu dimutlakkan
menurut ahli ushul hadis maka yang dimaksud hanyalah sunnah qauliyah saja (yang
berkenaan dengan perkataan).
Hadis dinamakan juga sunnah, khabar dan atsar. Ketiga sebutan tersebut
selanjutnya akan dibahas pada poin di bawah ini.

Sunnah dan hadis


Jika dicermati pendapat yang dominan pada ulama hadis baik yang klasik maupun
modern maka akan ditemukan dalam defenisi mereka yang menyamakan makna antara
sunnah dan hadis, padahal jika diteliti lebih seksama dari awal penggunaan kedua kata ini
maka sebenarnya antara sunnah dan hadis memiliki perbedaan pada penggunaanya.
Sunnah menurut bahasa jalan yang dijalani, baik jalan itu terpuji maupun tidak.
Sesuatu tradisi yang dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.7 Setiap sesuatu yang
ditradisikan kemudian menjadi amalan atau tradisi kaum sesudahnya maka mereka akan
dianggap sebagai yang meng-sunnah-kannya atau mentradisikannya.8
Adapun jamaknya yaitu; sunan. nabi bersabda :

‫ َﻋﻠَْﻴِﻪ َوَﺳﻠﱠَﻢ ﻟَﺘَـﺘﱠﺒِﻌُﱠﻦ َﺳﻨََﻦ اﻟﱠِﺬﻳَﻦ ِﻣْﻦ ﻗَـْﺒﻠُِﻜْﻢ‬D‫ﺻﻠﱠﻰ اﱠ‬ ِ ٍِ


ِّ ‫َﻋْﻦ أَِﰊ َﺳﻌﻴﺪ اْﳋُْﺪِر‬
َ D‫ي ﻗَﺎَل ﻗَﺎَل َرُﺳﻮُل اﱠ‬
ٍ َ ‫ِﺷْﱪا ﺑِِﺸ ٍْﱪ وِذراًﻋﺎ ﺑِِﺬراٍع َﺣﱠﱴ ﻟَْﻮ َدَﺧﻠُﻮا ِﰲ ُﺟْﺤِﺮ‬
‫ﺐ َﻻﺗﱠـﺒَـْﻌﺘُُﻤﻮُﻫْﻢ‬
ّ‫ﺿ‬ َ ََ ً

Artinya:

Dari Abu Said al-Khudri r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda “Kamu telah
mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta
demi sehasta, hingga mereka masuk ke dalam lubang biawak dan kamu tetap
mengikuti mereka juga.9

Dalam hadis lain dinyatakan;

‫ َﻋﻠَْﻴِﻪ َوَﺳﻠﱠَﻢ َﻋﻠَْﻴِﻬُﻢ‬D‫ﺻﻠﱠﻰ اﱠ‬ ِ ِ ِ ِ dَ ‫ ﻗَﺎَل ﺟﺎء‬D ِ‫ﻋﻦ ﺟِﺮﻳِﺮ ﺑِﻦ ﻋﺒِﺪ ا ﱠ‬
َ D‫س ﻣَﻦ اْﻷَْﻋَﺮاب إَِﱃ َرُﺳﻮل اﱠ‬ ٌ ََ َْ ْ َ ْ َ
ِ ِِ
‫ﻚ ِﰲ‬ َ ‫ﺼَﺪﻗَِﺔ ﻓَﺄَﺑْﻄَﺌُﻮا َﻋْﻨﻪُ َﺣﱠﱴ ُرﺋَِﻲ َذﻟ‬
‫س َﻋﻠَﻰ اﻟ ﱠ‬َ ‫ﺚ اﻟﻨﱠﺎ‬ َ َ‫ف ﻓَـَﺮأَى ُﺳﻮءَ َﺣﺎﳍْﻢ ﻗَْﺪ أ‬
‫ﺻﺎﺑـَْﺘـُﻬْﻢ َﺣﺎَﺟﺔٌ ﻓََﺤ ﱠ‬ ُ ‫ﺼﻮ‬‫اﻟ ﱡ‬
‫ف اﻟﱡﺴُﺮوُر ِﰲ‬ َ ‫ﺼﱠﺮٍة ِﻣْﻦ َوِرٍق ُﰒﱠ َﺟﺎءَ آَﺧُﺮ ُﰒﱠ ﺗَـﺘَﺎﺑـَﻌُﻮا َﺣﱠﱴ ﻋُِﺮ‬ُ ِ‫ﺼﺎِر َﺟﺎءَ ﺑ‬
ِ ِ
َ ْ‫َوْﺟِﻬﻪ ﻗَﺎَل ُﰒﱠ إِﱠن َرُﺟًﻼ ﻣَﻦ اْﻷَﻧ‬
‫ﺐ ﻟَﻪُ ِﻣﺜُْﻞ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َﺎ ﺑـَْﻌَﺪﻩُ ُﻛﺘ‬ƒ ‫ َﻋﻠَْﻴﻪ َوَﺳﻠﱠَﻢ َﻣْﻦ َﺳﱠﻦ ﰲ اْﻹْﺳَﻼم ُﺳﻨﱠﺔً َﺣَﺴﻨَﺔً ﻓَـﻌُﻤَﻞ‬D‫ﺻﻠﱠﻰ اﱠ‬ َ D‫َوْﺟِﻬﻪ ﻓَـَﻘﺎَل َرُﺳﻮُل اﱠ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ‫ﺎ وَﻻ ﻳـْﻨـُﻘ‬ƒِ ‫أَﺟِﺮ ﻣﻦ ﻋِﻤﻞ‬
‫ﺐ‬َ ‫َﺎ ﺑـَْﻌَﺪﻩُ ُﻛﺘ‬ƒ ‫ﺺ ﻣْﻦ أُُﺟﻮرﻫْﻢ َﺷْﻲءٌ َوَﻣْﻦ َﺳﱠﻦ ﰲ اْﻹْﺳَﻼم ُﺳﻨﱠﺔً َﺳﻴّﺌَﺔً ﻓَـﻌُﻤَﻞ‬ ُ َ َ َ َ َ َْ ْ
ِ ِ ‫ﺎ وَﻻ ﻳـْﻨـُﻘ‬ƒِ ‫ﻋﻠَﻴِﻪ ِﻣﺜْﻞ ِوْزِر ﻣﻦ ﻋِﻤﻞ‬
ٌ‫ﺺ ﻣْﻦ أَْوَزاِرﻫْﻢ َﺷْﻲء‬ُ َ َ َ َ َ َْ ُ َْ
10

Artinya:

6Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 23.


7Ibid, 24.
8Muhammad ‘Ajjâj al-Khathib, op.cit., h. 17.
9Terjemahan Penulis.
10Ibid., h. 2059.

2
Dari Jarir bni ‘Abdullah berkata; telah datang seseorang pada Rasulullah
dengan hanya mengenakan selimut, nabi kasihan dengan keadaanya maka
Rasul memerintahkan sahabatnya untuk membantu hanya saja mereka
lambat melakukannya nabi pun nampak sedih lalu datang seseorang dari
Ansar menyumbangkan sekantong perak kemudian langkah ini diikuti oleh
yang lainnya dan akhirnya nabi pun nampak gembira lalu ia bersabda; Barang
siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, kemudian hal ini diikuti
oleh sesudahnya maka ia akan diberi pahala sama seperti orang yang
mengerjakannya tanpa mengurangi pahalanya. Dan barang siapa
mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, lalu ini diikuti orang sesudahnya
maka baginya dosa seperti orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa
yang melakukannya.11
Hadis ini memberi pengertian bahwa: perkataan “Sunnah” diartikan “jalan,”
sebagaimana yang dikehendaki oleh ilmu bahasa sendiri. Dari pengertian bahasa dapat
disimpulkan antara hadis dan sunnah memiliki perbedaan, jika sunnah identik dengan
perbuatan saja sedangkan hadis identik dengan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad
saw.12 Karena itu, dalam konteks ini sering kali kita dengarkan ulama mengatakan hadis ini,
kontradiksi dengan qiyas, sunnah dan ijma’. Atau ucapan ulama yang memberikan
penilaiannya pada seorang ulama bahwa ia adalah imam pada hadis, ia imam pada sunnah,
atau ia adalah imam pada hadis dan sunnah.
Setelah diketahui perbedaan antara kedua kata itu dalam konteks bahasa, maka
selanjutnya dalam pengistilahan maka perbedaan makna bahasa ini menjadi hilang. Kedua
kata itu diartikan sama menurut ulama-ulama. Adapun pengertian sunnah menurut istilah,
terdapat perbedaan ulama antara satu disiplin ilmu dengan ilmu lainnya, sesuai dengan
tinjauan pembahasan mereka. Jika ulama hadis membahas sesuatu yang yang berasal dari
rasul sesuai dengan kapasitas rasul sebagai seorang pembimbing, pemberi petunjuk, yang
mana Allah swt. telah memberitakan diri rasul sebagai uswatun hasanah maka otamatis apa-
apa saja yang yang berasal dari rasul baik itu yang berkenaan dengan sirah, pribadi, sifat
jasmani, rohani, perkataan, perbuatan, dan yang lainnya maka itu semua dianggap sebagai
sunnah. Berbeda dengan ulama ushul maka yang akan dibahas pada diri rasul sesuai
dengan kapasitasnya sebagai pembuat/pelaksana perundang-undangan karena itu, sunnah
menurut mereka adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir nabi yang memiliki
kandungan hukum dan menetapkannya. Sedangkan menurut ulama fiqh yang dibahas pada
diri rasul adalah segala perbuatan rasul yang memiliki hukum syar’i baik sebagai perbuatan
wajib, haram, mubah dan sebagainya.13
Dari istilah ulama di atas nampak bahwa ulama hadislah yang memiliki pengertian
yang sangat luas di mana pengertian mereka mencakup segala sesuatu yang berasal dari
rasul baik itu sesudah maupun sesudah kenabian dan baik itu berkenaan dengan hukum
syar’i maupun yang tidak berkenaan dengan hukum syar’i.

Khabar dan Atsar


Hadis biasa dinamakan juga dengan khabar. Khabar menurut bahasa: “warta berita
yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang”. Jamaknya; akhbar.
Menurut istilah sumber ahli hadis: berita, baik itu yang berasal dari nabi, sahabat,
maupun tabi’in dinamakan khabar. Hal ini sama dengan defenisi hadis yang diberikan al-°ibi.
Karena itu, hadis baik itu marfu, mauquf, dan maqtu14 semuanya dinamakan khabar.

11Terjemahan Penulis.
12Shubhi Shâleh, ‘Ulum al-Hadist wa Mushthalahahu (Cet. 17; Dâr al-‘Ilmi lil malâyin: Beirut,
1988), h. 6.
13Muhammad ‘Ajjâj al-Khathib, op. cit., h. 18.
14Marfu adalah hadis yang disandarkan sampai kepada Nabi, mauquf hadis yang

penyandarannya hanya sampai pada sahabat dan maqtu adalah yang penyandarannya hanya pada
tabi’in. lihat al-Hâfi§ Ibnu Kastir, al-Bâist al-Hastist Syarh Ikhtishâr al-Hadist (Dâr al-Kutub: Beirut,
1994), h. 64-65.

3
Ada pula yang berpendapat bahwa khabar adalah sebutan bagi segala berita yang
berasal selain dari Nabi Muhammad saw. Dari hal ini akhirnya mereka yang meriwayatkan
hadis dinamai dengan muhaddis sedangkan yang meriwayatkan sejarah dinamakan akhbariy
atau khabariy.
Dan ada pula yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari hadis, karena masuk
dalam perkataan khabar segala yang diriwayatkan baik dari nabi maupun dari selainnya,
sedangkan hadis khusus bagi yang diriwayatkan dari nabi Saja.15
Ada juga yang mengatakan khabar dan hadis dimutlakkan kepada yang sampai pada
nabi saja sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai atsar.
Atsar menurut bahasa: “bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu”. Dan berarti nukilan
(yang dinukilkan). Dari itu sesuatu doa umpamanya yang dinukilkan dari nabi dinamai: doa
ma’tsur. Jamaknya utsur.16
Menurut jumhur ulama, atsar sama dengan hadis dan khabar, karena ketiganya
sama-sama dinukilkan. Walaupun ulama Kharasan mengistilahkan hadis yang mauquf
dengan atsar dan marfu’ dengan khabar.17

b. Struktur Hadis: sanad, matan, dan mukharrij.


Sanad menurut bahasa: sandaran, tempat kita bersandar. Menurut ahli hadis, sanad
adalah, jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis,18 terhadap sanad yang
bermakna “Jalan yang menyampaikan kita pada hadis”.
Sanad disebut juga dengan Thariq dan wajah, jadi apabila seorang ulama
mengatakan, bahwa hadis kami ketahui dari wajah ini, maka hal itu juga bermakna dari jalan
ini. Ringkasnya, sanad hadis, ialah: yang disebut sebelum hadis (matan).19
Sedangkan matan menurut bahasa ialah: tengah jalan, punggung bumi, atau bumi
yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah matan bermakna; lafadz-lafadz hadis yang
dengan lafadz-lafadz itulah terbentuk makna.20
Contohnya; diriwayatkan Ahmad dalam Musnad al-Syamiin, yang berbunyi;

‫ب اﻟِْﻜْﻨِﺪيِّ( ﻗَﺎَل ﻗَﺎَل َرُﺳﻮُل‬ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ


َ ‫َﻋْﻦ َﻋْﺒﺪ اﻟﱠﺮْﲪَِﻦ ﺑِْﻦ أَِﰊ َﻋْﻮف اْﳉَُﺮﺷِّﻲ َﻋِﻦ اﻟْﻤْﻘَﺪام ﺑِْﻦ َﻣْﻌﺪي َﻛِﺮ‬1)
(ُ‫ب َوِﻣﺜْـﻠَﻪُ َﻣَﻌﻪ‬ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫أََﻻ إِِّﱐ أُوﺗﻴ‬2) ‫ َﻋﻠَْﻴﻪ َوَﺳﻠﱠَﻢ‬D‫ﺻﻠﱠﻰ اﱠ‬
َ ‫ﺖ اﻟْﻜﺘَﺎ‬ َ D‫اﱠ‬
Artinya:

Dari ‘Abdu al-Rahman bin Abi ‘Auf al-Jurassyi dari al-Muqd±m bin Ma’diy
berkata; Rasulullah saw. Telah bersabda: ketahuilah bahwa saya telah
membawa Alquran dan yang sama dengannya, yaitu hadis.
Dalam kurung pertama merupakan sanad dan kurung kedua adalah matan.
Sedangkan Mukharrij adalah mereka yang mengumpulkan hadis dalam kitab
kumpulannya, seperti yang dilakukan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Imam Tirmizi, Nasa’i, dan
Ibnu Majah, mereka inilah yang juga diistilahkan dengan kutub al-sittah (enam kitab hadis).

15Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 33.


16Ibid.
17Shubhi
Shâleh, op.cit., h. 11.
18Baca
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadis (Ed.II; Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997.), h. 168.
19T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid I (Cet. VII; Jakarta: PT.

Bulan Bintang, 1987), h. 42.


20Ibid, h. 44.

Anda mungkin juga menyukai