Anda di halaman 1dari 15

PASCASARJANA

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

NAMA : LUTFI MUNADI


JURUSAN : HUKUM KELUARGA S-2
MATA KULIAH : KAIDAH PEMAHAMAN HADIST AHKAM
DOSEN : Dr.MUJIYO, M.Ag
JUDUL MAKALAH : DILALAH HADIST FI'LI DAN HADIST TAQRIRI

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis
Kata hadis atau al-hadist menurut bahasa berarti ‫الجديد من اﻵشياء‬
(sesuatu yang baru, lawan kata dari ‫( القديم‬sesuatu yang lama). Di samping
itu, kata ini juga mengandung arti dekat (‫)القريب‬, yaitu sesuatu yang dekat,
yang belum lama terjadi dan juga berarti berita (‫)الخبر‬, yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Jadi
Hadis bermakna berita atau kabar.
Menurut Manna’ Khalil Qathan, hadis menurut bahasa artinya baru.
Dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang sedikit dan banyak. Bentuk
jamaknya adalah ahadist.[3] Firman Allah swt:

           

6. Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena


bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman
kepada keterangan ini (Al-Quran).
Juga firman Allah swt:

    

11. dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.


Hadis mempunyai beberapa sinonim/muradif menurut para pakar ilmu
hadis, yaitu Sunnah, Khabar, dan Atsar. Menurut Ibnu Faris hadis berasal
dari akar kata: ‫ حدث يحدث حدوثا وحداثة‬yang memiliki beberapa makna, yaitu:
1. ‫( الجدة‬al-jiddah = baru), dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada
atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kata al-qadim =
terdahulu, misalnya: ‫ حادث‬/ ‫ = العالم حديث‬alam baru. Alam maksudnya
segala sesuatu selain Allah, baru berarti diciptakan setelah tidak ada.
Makna etimologi ini mempunyai konteks teologis, bahwa segala
kalam selain kalam Allah bersifat hadist (baru) sedangkan kalam
Allah bersifat qadim (terdahulu).
2. ‫( الطري‬ath-thari = lunak, lembut dan baru). Misalnya: ‫= االرجل الحدث‬
pemuda laki-laki. Ibnu Faris mengatakan bahwa dari kata ini karena
berita atau kalam itu datang secara silih berganti bagaikan
perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.
3. ‫( الخبر و الكﻼم‬al-khabaru wa al-kalamu = berita, pembicaraan, dan
perkataan), oleh karena itu ungkapan pemberitaan hadis yang
diungkapkan oleh para perawi yang mengumpulkan periwayatan jika
bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan ‫= حدثﻨا‬
memberitakan kepada kami, atau sesamanya seperti mengkhabarkan
kepada kami, dan menceritakan kepada kami. Hadis di sini diartikan
sama dengan al-khabar dan an-naba’.
Menurut Abu Al-Baqa’ hadis adalah kata benda (isim) dari kata at-
tahdits yang diartikan al-ikhbar = pemberitaan, kemudian menjadi termin
nama suatu perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw. Pemberitaan, yang merupakan makna dari kata hadis
sudah dikenal orang Arab sejak Jahiliyah yaitu untuk menunjuk “hari-hari
yang populer” dengan nama al-ahadits.
Hadis menurut istilah ahli hadis adalah apa yang disandarkan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan,
penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau
sesudahnya.[5] Sedangkan menurut ahli ushul fiqih, hadis adalah perkataan,
perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah saw. setelah
kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadis karena
yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang menjadi
konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang
terjadi setelah kenabian.
B. Pengertian Sunnah
Menurut bahasa, sunnah berarti jalan, aturan, cara berbuat. Al-Jurjani
mengartikan sunnah secara bahasa sebagai jalan yang diridhai, dan berarti
pula kebiasaan. Pengertian sunnah secara bahasa ini sejalan dengan hadis
Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah sebagai berikut:
‫سﻨَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن َع ِم َل ِب َها َب ْعدَهُ ِم ْن َغي ِْر‬
َ ‫سﻨﱠةً َح‬
ُ ‫اﻹ ْسﻼَ ِم‬ِ ‫س ﱠن فِى‬َ ‫َم ْن‬
‫س ِّيئَةً َكانَ َع َل ْي ِه‬
َ ً‫س ﱠﻨة‬
ُ ‫اﻹ ْسﻼَ ِم‬
ِ ‫س ﱠن ِفى‬ َ ‫ش ْى ٌء َو َم ْن‬ ِ ‫ص ِم ْن أ ُ ُج‬
َ ‫ور ِه ْم‬ َ ُ‫أَ ْن َي ْﻨق‬
‫ص ِم ْن أ َ ْوزَ ِار ِه ْم َش ْى ٌء‬
َ ُ‫ِو ْز ُرهَا َو ِو ْز ُر َم ْن َع ِم َل بِ َها ِم ْن َب ْع ِد ِه ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْﻨق‬

Artinya: “Barang siapa yang mencontohkan jalan yang baik di dalam Islam,
maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya
setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa
yang mencontohkan jalan yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa
orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka
sedikit pun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun sunnah menurut syara’ adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan
Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam dan termasuk juga sifat-sifat fisik dan
prilaku beliau.
Dari makna ini berarti bahwa sunnah mencangkup yang wajib, mandub dan
mubah; baik dalam perbuatan, perkataan maupun keyakinan (aqidah).
Artinya sunnah itu:
1. Ada yang dikerjakan sebagai sebuah kewajiban, seperti penjelasan
Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam dalam masalah ibadah dan aqidah.
2. Ada yang ditunaikan sebagai sesuatu yang mandub hukumnya, seperti
puasa sunnah, shalat tahajjud, shalat dhuha, shalat tarawih, shalat Idul
Fitri dan Idul Adha dan ketaatan-ketaatan lain yang tidak termasuk
perkara wajib, yang dikerjakan sebagai penambah pahala.
3. Ada pula yang besifat mubah. Seperti perbuatan beliau Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang berhubungan dengan tabiat kemanusian pada
umumnya, seperti makan, minum, duduk, tidur, dudukuntuk makan,
bagaimana cara makan, bagaimana mengendarai kendaraan. Dan
semua itu serta perbuatan-perbuatan yang lain yang semacamnya
adalah perkara mubah bagi Rasulullah Sshallallahu Alaihi wa Sallam
dan bagi umat beliau.
C. Pengertian Khabar
Al-Khabar (‫ )اَ ْلخَــ َب ُر‬dalam bahasa artinya “warta” atau “berita”.
Maksudnya, “sesuatu yang diberitakan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain” sehingga al-khabar memiliki makna
yang sama dengan kata “Hidditsah”. Dari arti kata inilah, kata “al-
khabar ( ‫ ”) اَ ْلخَــبَ ُر‬yang diambil dari kata dasar “al-ikhbar (‫ ”)اﻷخبار‬ini
berasal. Sehingga makna yang timbul jika kata itu dihubungkan
dengan istilah “haddatsana bihaditsin” adalah makna “akbarana
bihaditsin” artinya dia mengkhabarkan suatu berita kepada kami)”.
Sebagaimana firman Allah dan sabda Nabi Saw sbb: “Maka
hendaklah mereka mendatangkan berita yang sepertinya, jika kamu
sekalian orang-orang yang benar.”
Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat:[9]
1. Ada yang mengatakan bahwa khabar itu sama dengan
hadits,sehingga maknanya menjadi sama secara istilah.
2. Ada pula yang berpendapat bahwa hadits adalah segala yang
datang dari nabi ,sedangkan khabar adalah yang datang dari
selain nabi seperti sahabat dan tabi’in.
3. Ada juga yang berpendapat bahwa khabar lebih umum dari pada
hadits. Kalau hadits segala apa yang datang dari nabi, sedang
khabar adalah yang datang dari nabi atau selain beliau.
D. Pengertian Atsar
Atsar menurut bahasa adala sisa dari sesuatu. Sedangkan
menurut istila ada dua pendapat:
1. Ada yang mengatakan bahwa atsar sama dengan hadits, makna
keduanya adalah sama.
2. Ada yang berpendapat bahwa atsar berbeda dengan hadits, yaitu
apa yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in, baik berupa
ucapan dan perbuatan mereka.
3. Jumhur ulma berpendapat, atsar sama dengan khabar, yaitu
sesuatu yag disandarkan kepada Nabi Saw, sahabat dan
tabi’in.[11]
4. Ahli hadis lain mengatakan, khabar berasal dari nabi, sedang
atsar adalah sesuatu yang disandarkan hanya kepada sahabat dan
tabi’in baik perbuatan maupun perkatan.
E. Bentuk-bentuk Hadis
Berdasarkan pengertian istilah yang dikemukakan oleh ulama,
secara lebih mendetail bentuk – bentuk (cara-cara) yang termasuk
kedalam kategori hadis menurut Muhammad Abdul Rauf, seperti
dikutip Syuhudi Ismail, ialah:
1. Sifat-siat Nabi SAW. yang dikemukakan sahabat;
2. Perbuatan dan akhlak Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh para
sahabat;
3. Sikap dan perbuatan para sahabat yang didiamkan/dibiarkan
Nabi SAW. (disebut juga dengan taqrir an-nabiy);
4. Timbulnya beragam pendapat sahabat di hadapan Nabi SAW.
lalu beliau mengemukakan pendapatnya sendiri atau mengakui
salah satu pendapat sahabat itu.
5. Sabda Nabi SAW. yang keluar dari lisan beliau sendiri;
6. Firman Allah selain al-Qur’an yang disampaikan oleh Nabi
SAW. yang biasa disebut dengan hadis qudsy;
7. Surat-surat Nabi SAW. yang dikirimkan kepada para sahabat
yang bertugas di daerah-daerah atau kepada pihak di luar Islam.
Sebagaimana dalam uraian di atas telah disebutkan bahwa
Hadits mencakup segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW.
Oleh karena itu, pada bahasan ini akan diuraikan tentang bentuk
Hadits, Fi’li dan Taqriri.
1. Hadis Fi’li
Hadis Fi’li adalah segala sesuatu perbuatan yang sampai
kepada kepada kita yang disandarkan kepada Nabi Saw, seperti
tata cara berwudhu, pelaksanaan shalat, kewajiban haji dan
lainnya. Dengan kata lain, hadis fi’li ialah semua perbuatan Nabi
Saw yang menjadi contoh prktis trhadap peraturan-peraturan
syari’at yang belum jelas tata caranya.
Contoh:
‫صلوا كما رأيتموني أصلي‬
Artinya: “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
sholat”. (HR. Bukhari)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
َ‫ َو ْال ِق َرا َءة‬, ‫ير‬ ‫سو ُل َ ﱠ ِ – ﷺ – يَ ْستَ ْفتِ ُح اَل ﱠ‬
ِ ‫ص َﻼةَ بِالت ﱠ ْك ِب‬ ُ ‫ َكانَ َر‬:
َ ُ‫ َولَ ْم ي‬, ُ‫ص َرأْ َسه‬
َ‫ َولَ ِك ْن بَيْن‬, ُ‫ص ّ ِو ْبه‬ ْ ‫بِـ )اَ ْل َح ْمدُ ِ ﱠ ِ َربّ ِ اَ ْلعَالَ ِمينَ ( َو َكانَ إِذَا َر َك َع لَ ْم يُ ْش ِخ‬
‫ َو ِإذَا َرفَ َع ِم ْن اَل ﱡس ُجو ِد لَ ْم‬. ‫ي قَائِ ًما‬ َ ‫لر ُكوعِ َل ْم يَ ْس ُجدْ َحتﱠى يَ ْستَ ِو‬ ‫ َو َكانَ إِذَا َرفَ َع ِم ْن اَ ﱡ‬. َ‫ذَلِك‬
ُ‫ش ِرجْ لَه‬ ُ ‫ َو َكانَ َي ْف ِر‬. َ‫ َو َكانَ َيقُو ُل فِي ُك ِّل َر ْك َعتَي ِْن اَلت ﱠ ِحيﱠة‬. ‫سا‬ ً ‫ي َجا ِل‬ َ ‫َي ْس ُجدْ َحتﱠى َي ْستَ ِو‬
‫لر ُج ُل‬ َ ‫ َو َي ْﻨ َهى أ َ ْن َي ْفت َِر‬, ‫ان‬
‫ش اَ ﱠ‬ ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ ‫ َو َكانَ َي ْﻨ َهى َع ْن ُع ْق َب ِة اَل ﱠ‬. ‫صبُ ا َ ْليُ ْمﻨَى‬ ِ ‫اَ ْليُس َْرى َو َي ْﻨ‬
‫ص َﻼة َ بِالتﱠ ْس ِل ِيم‬
‫ َو َكانَ ي ُْختَ ُم اَل ﱠ‬. ِ‫سبُع‬ َ ‫ِز َرا َع ْي ِه اِ ْفتِ َر‬
‫اش اَل ﱠ‬
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuka
shalat dengan takbir (yaitu takbiratul ihram) dan bacaan Surat
Al-Fatihah. Dan ketika ruku’, tidak terlalu mendongakkan dan
tidak terlalu menundukkan kepalanya, tetapi di antaranya. Dan
ketika bangkit dari ruku’, tidak sujud sampai betul-betul berdiri.
Ketika bangkit dari sujud, tidak sujud sampai betul-betul duduk
dengan baik (ketika bangkit sujud, tidak sujud lagi sebelum
betul-betul duduk). Dan ketika setiap dua raka’at, membaca at-
tahiyat. Dan ketika saat duduk setiap dua rakaat,
menghamparkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang duduknya
setan. Rasulullah juga melarang kita menghamparkan tangan
kita seperti binatang buas (menempelkan lengan di bumi). Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhiri shalat
dengan salam.” (H.R. As-Sab’ah [7 perawi], dan lafadz ini dari
Al-Bukhari).
Hadis fi‘li merupakan segala perbuatan Nabi yang
diriwayatkan oleh para sahabatnya, yang merupakan amalan
praktis beliau yang berkaitan dengan peraturan-peraturan syara’
yang masih global sifatnya. Sedangkan menurut ulama lain
Hadits fi’li ialah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi
Muhammad saw yang sampai kepada kita. Perbuatan Nabi
Muhammad saw. merupakan penjelasan praktis dari peraturan-
peraturan yg belum jelas cara pelaksanaannya. Misalnya cara
cara bersalat dan cara menghadap kiblat dalam salat sunah di
atas kendaraan yg sedang berjalan telah dipraktikkan oleh Nabi
dgn perbuatannya di hadapan para sahabat. Perbuatan beliau
tentang hal itu kita ketahui berdasarkan berita dari sahabat Jabir
r.a. katanya Konon Rasulullah saw. bersalat di atas kendaraan
menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak salat
fardu beliau turun sebentar terus menghadap kiblat.
Tetapi tidak semua perbuatan Nabi saw. itu merupakan
syariat yg harus dilaksanakan oleh semua umatnya. Ada
perbuatan-perbuatan Nabi saw. yg hanya spesifik utk dirinya
bukan utk ditaati oleh umatnya. Hal itu krn adanya suatu dalil yg
menunjukkan bahwa perbuatan itu memang hanya spesifik utk
Nabi saw. Adapun perbuatan-perbuatan Nabi saw. yg hanya
khusus utk dirinya atau tidak termasuk syariat yg harus ditaati
antara lain ialah sebagai berikut.
a. Rasulullah saw. diperbolehkan menikahi perempuan lbh
dari empat orang dan menikahi perempuan tanpa mahar.
Sebagai dalil adanya dispensasi menikahi perempuan
tanpa mahar ialah firman Allah sebagai berikut. dan Kami
halalkan seorang wanita mukminah menyerahkan dirinya
kepada Nabi bila Nabi menghendaki menikahinya sebagai
suatu kelonggaran utk engkau bukan utk kaum beriman
umumnya.
b. Sebagian tindakan Rasulullah saw. yg berdasarkan suatu
kebijaksanaan semata-mata yg bertalian dgn soal-soal
keduniaan perdagangan pertanian dan mengatur taktik
perang. Misalnya pada suatu hari Rasulullah saw. pernah
kedatangan seorang sahabat yg tidak berhasil dalam
penyerbukan putik kurma lalu menanyakannya kepada
beliau maka Rasulullah menjawab bahwa kamu adl lbh
tahu mengenai urusan keduiaan . Dan pada waktu Perang
Badar Rasulullah menempatkan divisi tentara di suatu
tempat yg kemudian ada seorang sahabat yg
menanyakannya apakah penempatan itu atas petunjuk dari
Allah atau semata-mata pendapat dan siasat beliau.
Rasulullah kemudian menjelaskannya bahwa tindakannya
itu semata-mata menurut pendapat dan siasat beliau.
Akhirnya atas usul salah seorang sahabat tempat tersebut
dipindahkan ke tempat lain yg lbh strategis.
c. Sebagian perbuatan beliau pribadi sebagai manusia.
Seperti makan minum berpakaian dan lain sebagainya.
Tetapi kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk
tentang tata cara makan minum berpakaian dan lain
sebagainya menurut pendapat yg lbh baik sebagaimana
dikemukakan oleh Abu Ishaq dan kebanyakan para ahli
hadis hukumnya sunah. Misalnya Konon Nabi saw.
mengenakan jubah sampai di atas mata kaki. .
Misalnya hadits riwayat al-Bukhari dari Jabir ibn ‘Abd Allah:
َ‫ت فَإِذَا أ َ َراد‬ ِ ‫ص ِلّي َعلَى َر‬
ُ ‫احلَتِ ِه َحي‬
ْ ‫ْث ت ََو ﱠج َه‬ َ ُ‫سلﱠ َم ي‬
َ ‫صلﱠى ﱠ ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سو ُل ﱠ‬ ُ ‫َكانَ َر‬
‫ضةَ نَزَ َل فَا ْستَ ْق َب َل ْال ِق ْبلَة‬َ ‫ْالفَ ِري‬
Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya,
ke mana pun tunggangannya menghadap. Apabila ia mau
melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu
menghadap ke kiblat ”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)
Contoh lainnya yang berbunyi
‫كان الﻨبى صلعم يسوى صفوفﻨا اذا قمﻨا الى الصﻼة فاذا استويﻨا كبر)رواه مسلم‬
Artinya: ” Nabi SAW menyamakan (meluruskan) shaf-shaf
kami ketika kami melaksanakan shalat, apabila shaf-shaf kami
telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir “. (HR. Muslim)
2. Hadis Taqriri
Taqriri adalah mashdar (kata benda jadian) dari kata kerja
“qarrara”, yang secara bahasa berarti “penetapan” atau
“pengakuan” atau “persetujuan”. Sedangkan menurut istilah
berarti “perbuatan sahabat yang kemudian diakui dan
dibenarkan atau tidak dikoreksi oleh Nabi Saw. Nabi
membiarkan perbuatan itu setelah syarat-syaratnya terpenuhi,
baik syarat yang terkait pelakunya maupun perbuatannya.
Contoh:
َ ‫ظة‬ ْ َ‫ص ِلّيَ ﱠن أ َ َحدٌ ْالع‬
َ ‫ص َر إِ ﱠﻻ فِي بَﻨِي قُ َر ْي‬ َ ُ‫َﻻ ي‬
Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan
shalat Ashar, kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani
Quraizhah”. (H.R Bukhari).
Hadis ini ditanggapi para sahabat berbeda-beda, diantaranya:
a. Sebagian sahabat berpendapat bahwa “larangan” itu
berdasarkan pada hakikat dari arti larangan itu sendiri,
atau dengan kata lain, dipahami secara tekstual.
Akibatnya, pelaksanaan shalat ashar tidak tepat pada
waktunya, bahkan mundur samai menjelang maghrib.
b. Sebagian lagi berpendapat, “larangan” tersebut justru
mengandung pengertian untuk segera sampai ke bani
Quraizhah, dan tidak boleh berleha-leha dalam perjalanan.
Hingga ketika ditengah jalan waktu ashar tiba, merekapun
melaksanakan ashar tepat pada waktunya.
Hadis taqriri adalah segala apa saja yang menjadi
ketetapan Nabi terhadap berbagai perbuatan sebagian
sahabatnya, baik berupa perkataan maupun perbuatannya, yaitu
dengan cara Nabi membiarkan atau mendiamkan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya disertai kerelaan
atau dengan memperlihatkan pujian dan juga dukungan.
Sedangkan menurut ulama lain Maksud hadits taqriri ialah
Penetapan (Taqririyyah) yaitu perkataan atau perbuatan tertentu
yang dilakukan oleh sahabat di hadapan Nabi Muhammad atau
sepengetahuan beliau, namun beliau diam dan tidak
menyanggahnya dan tidak pula menampakkan persetujuannya
atau malahan menyokongnya. Hal semacam ini dianggap
sebagai penetapan dari Nabi Muhammad walaupun beliau dalam
hal ini hanya bersifat pasif atau diam.
Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan tidak
mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yg telah dilakukan
atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
Contohnya dalam suatu jamuan makan sahabat Khalid bin
Walid menyajikan makanan daging biawak dan mempersilakan
kepada Nabi utk meni’matinya bersama para undangan.
Rasulullah saw menjawab Tidak. Berhubung binatang ini
tidak terdapat di kampung kaumku aku jijik padanya! Kata
Khalid Segera aku memotongnya dan memakannya sedang
Rasulullah saw.
Contoh lain adalah diamnya Nabi terhadap perempuan yg
keluar rumah berjalan di jalanan pergi ke masjid dan
mendengarkan ceramah-ceramah yg memang diundang utk
kepentingan suatu pertemuan.
Adapun yg termasuk taqrir qauliyah yaitu apabila
seseorang sahabat berkata aku berbuat demikian atau sahabat
berbuat berbuat begitu di hadapan Rasul dan beliau tidak
mencegahnya. Tetapi ada syaratnya yaituperkataan atau
perbuatan yg dilakukan oleh seorang sahabat itutidak mendapat
sanggahan dan disandarkan sewaktu Rasulullah masih hidup dan
orang yg melakukan itu orang yg taat kepada agama Islam.
Sebab diamnya Nabi terhadap apa yg dilakukan atau diucapkan
oleh orang non muslim atau munafik bukan berarti
menyetujuinya. Memang sering nabi mendiamkan apa-apa yg
diakukan oleh orang munafik lantaran beliau tahu bahwa banyak
petunjuk yg tidak memberi manfaat kepadanya.
Sebagai contoh, pengakuan Nabi Muhammad terhadap
ijtihad para sahabat berkenaan dengan shalat Ashar di
perkampungan Bani Quraizhah, sebagaimana diriwayatkan dari
‘Abd Allah Ibn Umar:
‫ق فَقَا َل‬ ِ ‫ط ِري‬ ‫ص ُر ِفي ال ﱠ‬ ْ ‫ض ُه ْم ْال َع‬
َ ‫ظةَ َفأَد َْركَ َب ْع‬َ ‫ص َر ِإ ﱠﻻ ِفي َبﻨِي قُ َر ْي‬ ْ ‫ص ِّل َي ﱠن أَ َحد ٌ ْال َع‬
َ ُ‫َﻻ ي‬
‫صلﱠى‬
َ ِ‫ي‬ّ ِ‫ص ِلّي لَ ْم ي َُردْ ِمﻨﱠا ذَلِكَ فَذُ ِك َر ِللﻨﱠب‬ ُ ‫ص ِلّي َحتﱠى نَأْ ِتيَ َها َوقَا َل بَ ْع‬
َ ُ‫ض ُه ْم بَ ْل ن‬ َ ُ‫ض ُه ْم َﻻ ن‬ ُ ‫بَ ْع‬
‫احدًا ِم ْﻨ ُه ْم‬ ْ ِّ‫ﱠ ُ َعلَ ْي ِه َو َسلﱠ َم فَلَ ْم يُعَﻨ‬
ِ ‫ف َو‬
Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan
shalat Ashar, kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani
Quraizhah. Lalu sebagian mereka mendapati (waktu) ‘Ashar di
perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita tidak boleh shalat
sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya
mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di
antara kami yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan
kepada Nabi saw, ternyata beliau tidak menyalahkan seorang
pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari)
Sebagian sahabat memahami larangan tersebut, sehingga
mereka tidak melaksanakan shalat ashar pada waktunya.
Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan
segera menuju bani Quraidhah sehingga mereka dapat
melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat
ini dibiarkan oleh Nabi SAW tanpa menyalahkan atau
mengingkarinya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadis adalah apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau,
baik sebelum kenabian atau sesudahnya. Sunnah adalah perkataan,
perbuatan dan ketetapan Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam dan termasuk
juga sifat-sifat fisik dan prilaku beliau.
Khabar adalah segala berita yang disamaikan oleh seseorang kepada
orang lain. Atsar adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dan
boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi Muhammad.
Dari keempat pengertian tentang hadis, sunnah, khabar, dan atsar
sebagaimana diuraikan diatas, dapat ditarik satu pengertian bahwa keempat
istilah tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan maksud, yaitu segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrirnya. Bentuk-bentuk hadis ada lima yaitu: 1) hadis Qauli, 2)
hadis Fi’li, 3) hadis Taqriri, 4) hadis Hammi, 5) hadis Ahwali.
1. Yang dimaksud dgn perkataan Nabi Muhammad saw. ialah perkataan
yg pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang syariat akidah akhlak
pendidikan dan sebagainya. Contoh perkataan beliau yg mengandung
hukum syariat seperti berikut. Nabi Muhammad saw. bersabda Hanya
amal-amal perbuatan itu dgn niat dan hanya bagi tiap orang itu
memperoleh apa yg ia niatkan. Hukum yg terkandung dalam sabda
Nabi tersebut ialah kewajiban niat dalam seala amal perbuatan utk
mendapatkan pengakuan sah dari syara’
2. Perbuatan Nabi Muhammad saw. merupakan penjelasan praktis dari
peraturan-peraturan yg belum jelas cara pelaksanaannya. Misalnya
cara cara bersalat dan cara menghadap kiblat dalam salat sunah di atas
kendaraan yg sedang berjalan telah dipraktikkan oleh Nabi dgn
perbuatannya di hadapan para sahabat. Perbuatan beliau tentang hal
itu kita ketahui berdasarkan berita dari sahabat Jabir r.a. katanya
Konon Rasulullah saw.
3. Arti taqrir Nabi ialah keadaan beliau mendiamkan tidak mengadakan
sanggahan atau menyetujui apa yg telah dilakukan atau diperkatakan
oleh para sahabat di hadapan beliau. Contohnya dalam suatu jamuan
makan sahabat Khalid bin Walid menyajikan makanan daging biawak
dan mempersilakan kepada Nabi utk meni’matinya bersama para
undangan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka
Al-kautsar.
Aziz, Syaikh Sa’ad Yusuf Abu. 2008. Buku Pintar Sunnah & Bid’ah. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Dzulmani. 2008. Mengenal kitab-kitab Hadis. Yogyakarta: Insan Madani.
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Suparta, Munzier. 2003. ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suryadilaga, M. Alfatih . 2010. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras.
.18 Maret 2016. https://awildannul.wordpress.com/2014/10/11/ pengertian-hadits-
khabar-dan-atsar/.
.21 Maret 2016. https://muslim.or.id/21514-penjelasan-hadits-jibril-1-makna-
syahadat-dan-iman.html.
.21 Maret 2016. http://www.radiorodja.com/2013/12/18/sifat-shalat-nabi-bagian-
ke-2-cara-shalat-nabi-muhammad-hadits-267-268-kitab-bulughul-maram-ustadz-
zainal-abidin-syamsudin-lc/#ixzz43c8SgPZa.
Zarkasih. 2012. Pengantar Studi Hadist. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Zein, M. Ma’Shum. 2014. Ilmu Memahami Hadist Nabi: Cara Praktis Menguasai
Ulumul Hadist dan Musthalah Hadist. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Anda mungkin juga menyukai