REVIEW MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadist yang diampu oleh
Bapak Dr. Mohammad Subhan Zamzami,Lc., M. Th.I
Oleh:
MOH. AINUL YAKIN
NIM. 20380031011
1
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2009), 3.
2
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2012), 1.
3
Endang Soetari, Ulum Al-Hadis, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2010), 63.
4
Ririn Fauziah, “Urgensi Sunah dalam Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Keislaman, Vol.7 No.1 (2018), 38.
5
Ibid, 39.
6
Ibid, 40.
7
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, 6.
sesudahnya.8 Menurut ulama hadis sunah lebih bersifat umum, yaitu
meliputi segala sesuatu yang datang dari Nabi dalam bentuk apapun, baik
berkaitan dengan hukum atau tidak.9
Perbedaan hadis dan sunah yaitu jika penyandaran sesuatu kepada
Nabi walaupun baru sekali dikerjakan atau bahkan masih berupa azam
(hadis hammi) menurut sebagian ulama disebut hadis bukan sunah. Sunah
harus sudah berulang kali atau menjadi kebiasaan yang telah dilakukan
Rasul.10 Sifat sunah lebih umum dibandingkan hadis. Karena hadis sudah
pasti termasuk sunah sedangkan sunah belum tentu termasuk hadis. Hal itu
disebabkan karena terdapat aktifitas terpuji Nabi yang dilakukan lebih dari
satu kali atau secara teratur sebelum Nabi menerima tugas kerasulan.
3. Pengertian Khabar
Khabar secara etimoligis berasal dari kata: khabar yang berarti
berita.11Secara bahasa Khabar adalah sesuatu yang datang dari Nabi dan
dari yang lain seperti dari para sahabat tab’in dan pengikut tabi’in atau
orang orang setelahnya.12 Menurut terminologi jumhur ahli hadis, khabar
merupakan sinonim hadis, yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. 13 Hadis pada hakikatnya
adalah khabar dan kisah, baik yang baru ataupun yang lama.
Dapat dikatakan bahwa setiap hadis adalah khabar dan tidak
sebaliknya, khabar belum tentu merupakan hadis.
4. Pengertian Atsar
Atsar menurut bahasa berarti sesuatu yang tertinggal atau tersisa.14
Sedangkan atsar menurut ahli hadis adalah sesuatu yang di sadarkan
kepada Nabi (marfu’), para sahabat (mawquf), dan ulama salaf.15 Menurut
sebagian ulama, atsar khusus untuk hadis yang berasal dari sahabat
8
Idri, 3.
9
Abdul Majid Khon, 9.
10
Abdul Majid Khon, 9.
11
Endang Soetari, 67.
12
Ibid, 10.
13
Idri, 7.
14
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN Maliki Press (Anggota IKAPI), 2010),
10.
15
Abdul Majid Khon, 11.
(mawquf) dan tabi’in (maqthu’).16 Kata atshar akan lebih jelas
pengertiannya apabila diberi keterangan di belakangnya, misalnya: atsar
Nabi, atsar sahabat dan sebagainya.17 Jadi cakupan atsar lebih umum dari
pada khabar.
Jika berita atau riwayat itu berasal dari Nabi maka disebut sebagai
hadis atau sunah. Jika riwayat atau berita itu berasal dari sahabat atau
tabi’in maka disebut atsar. Jika riwayat atau suatu berita dibawa oleh siapa
saja, maka bisa disebut sebagai khabar.18 Meskipun demikian, semuanya
tetap dinukilkan kepada satu sumber yaitu Nabi Muhammad SAW.
21
Umi Sumbulah, 26.
22
Ibid, 27.
23
Umi Sumbulah, 27.
24
Umi Sumbulah, 28.
25
Umi Sumbulah, 29.
26
Umi Sumbulah, 31.
2. Sanad
Sanad secara etimologi Al-mu‘tamad dengan arti Yang dipedomani
atau sesuatu yang bisa dijadikan pegangan.27 Sedangkan secara terminologi
sanad adalah jalan yang menghubungkan kepada matan hadis, yaitu nama-
nama perawinya secara berurutan.28 Dengan artian bahwa sanad adalah mata
rantai orang yang membawa atau meriwatkan hadis tanpa pembukuannnya.
Seorang perawi yang hendak menukilkan sebuah hadis, biasanya akan
menyandarkan sanad pada perawi yang berada di atasnya(gurunya), demikian
seterusnya sampai kepada akhir (puncak) sanad dari hadis terbut.
3. Rawi
Rawi adalah orang yang meriwayatkan hadis Nabi. diantara rawi dan
sanad di dalam ilmu hadis hampir sama pemaknaannya, dan tidak bisa
dipisahkan keduah istilah tersebut. Sanad dapat dikatan rawi dalam
tingkatannya, namun apabila yang dimaksud rawi dalam tingkatannya adalah
orang yang meriwayatkan atau mengumpulkan sekaligus membukukan hadis
kedalam kitab hadis. Sedangkan para rawi dalam setiap tingkatan menjadi
sanad bagi tingkatan berikutnya.
Jika dilihat lebih lanjut dua istilah, rawi dan sanad terdapat perbedaan
dalam dua hal, yaitu; pertama soal pembukuan hadis. Orang yang menerima
hadis lalu membukukan menjadi sebuah kitab hadis dikatan perawi.
Sedangkan orang yang menerima lalu menyampaikan kepada orang lain tanpa
menghimpun hadis ke dalam sebuah kitab hadis maka dikatakan sanad.
Sehubung dengan ini maka setiap sanad dikatan rawi dalam tingkatannya,
akan tetapi setiap rawi tidak bisa dikatan sanad dalam tingkatannya karena
ada rawi yang membukukan hadis menjadi kitab hadis.
Kedua soal penyeburan silsilah dalam hadis untuk sanad, sanad adalah
orang yang menyampaikan hadis secara langsung kepada penerima.
Sedangkan rawi, disebut rawi pertama adalah para sahabat Nabi. dengan
demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya.
27
Muḥammad bin Abī Bakr bin Abd al-Qādir al-Rāzī, Mukhtār Al-Ṣiḥḥāḥ (Beirūt: Dār al-Fikr, 2003). 297
28
Yuslem, Ulumul, 149. Al-Ṭaḥānawī, Qawā‘id fī ‘Ulūm al-Ḥadīṣ, 26
Artinya rawi pertama adalah sanad terahir, dan sanad pertama adalah rawi
terakhir Menjadi seorang perawi hadis harus memenuhi beberapa syarat29;
a. Adil
b. Muslim.
c. Balgh
d. Berakal sehat
e. Tidak pernah melakukan perbuatan dosa besar dan tidak sering
melakukan dosa kecil
f. Dhabit/kuat hafalannya
E. Kedudukan sanad pada hadis
Sanad adalah sesuatu yang bersifat eksternal atau di luar matan hadis.
Namun setiap kali ada matan hadis pasti ada sanadnya, karena dengan sanad
akan diketahui status matan tersebut. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
sanad adalah sebagian dari agama. Berikut ini ada beberapa pendapat ulama’
terkait kedudukan sanad dalam hadis beberapa pandangan ulama terkait sanad
dalam hadis menunjukkan betapa pentingnya sanad dalam suatu hadis. Hadis
Nabi merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam yang harus dijaga
periwayatannya dan dipertanggung jawabkan. Karena pentingnya peranan
sanad dalam hadis, maka para ulama ulumul hadis mengklasifikasikan hadis,
baik dari segi shahih dan maudhu’nya, maqbul dan mardudnya maupun
tingkat dan kualitas hadis lebih banyak didasarkan pada kualitas sanadnya.
ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat perawi yang
diriwayatkannya.
Secara garis besar ilmu hadits dibagi mejnadi dua pokok pembahasan
yaitu: hadits Riwayah dan hadits Dirayah.30
1. Hadits Riwayah
Menurut bahasa riwayah berasal dari akar kata rawa, yarwi,
riwayatan. Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita31. Ilmu Hadits
riwayah berarti ilmu hadits yang berupa periwayatan. Hadits riwayah adalah
29
Panduan buku belajar tingkat MAK, Kitab Ulumul hadis as sunnah al auwal nim madrasah aliah ad
diniyah. 1423 H/2002 M.
30
Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013) 55
31
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia,2008) 106
disiplin ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan
pendiwanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir maupun yang lainnya.
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah bagaimana cara menerima
dan menyampaikan hadits kepada orang yang mempelajari. Hadits dari segi
periwayatan dan pemeliharaannya mencakup cara periwayatan hadits baik
dari segi penerimaan maupun penyampain hadits dari seorang perowi kepada
perowi yang lain, serta cara pemeliharaan hadits dalam bentuk penghafalan,
penulisan dan pembukuannya. Ilmu ini tidak membicarakan hadits dari sudut
kualitasnya, seperti tentang ‘adalah (keadilan) sanad, syad (kejanggalan), dan
‘illat (kecacatan) matan.
2. Hadits Dirayah
Dirayah bermakna ilmu atau ma’rifah yang diperoleh dari usaha
manusia (pengetahuan). Maksdunya ilmu dirayah adalah ilmu untuk
mengetahui hakikat riwayat, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-
hukumnya, mengetahui perowi, syarat-syarat dan jenis-jenis yang
diriwayatkan serta hal-hal lain yang berhubungan. hadits dirayah adalah ilmu
yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan,
cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat rawi dan lain-lain.
sasaran dari ilmu hadits dirayah adalah sanad dan matan dengan
segala persoalan yang terkandung didalamnya yang juga mempengaruhi
kualitas hadits tersebut32. Kajian yang bersangkutan dengan sanad disebut
naqd as-sanad atau kritik sanad karena yang dibahas adalah akurasi
(kebenaran) alur periwayatan, mulai dari sahabat sampai pada periwayat
terakhir yang menulis dan membukukan hadits tersebut. Dan Kajian terhadap
masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matan (kritik matan) kajian
yang dibahas adalah materi hadits itu sendiri.
F. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau
dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara
mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits
32
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, 109
mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua,
yakni hadits mutawatir dan hadits ahad..33
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa
jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadis yang diriwayatkan
oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka
akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus
berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
ِ س أَ ْخبَ َر بِ ِه َجمــَا َعةً بَلـ َ ُغوْ ا فِى ْالكـ َ ْث َر ِة َم ْبلَغـًا تُ ِح ْي ُل ْال َعا َدةَ تَ َواطُ ُؤهُ ْم عَلـَى ْالكـَـ ِذ
ب ٍ ْمـَا َكانَ ع َْن َمحْ سُو
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang
diberitakan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong.34
b. Syarat Hadits Mutawatir
1. Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi,
dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk
berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi.
Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah
Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-
Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan
awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang
menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan
thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap
thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3. Berdasarkan tanggapan pancaindra
4. Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan
pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran
atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu
33
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
34
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu
peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak
dapat dikatakan hadits mutawatir.35
c. Macam-macam mutawatir
1. Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan
lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama,
2. Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal
dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-
beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi
lafaznya tidak.
3. Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang
dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh
para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya,
diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi
tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan
sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di
kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid
berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu
sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan
oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup
syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits
ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir.36
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan
ghairu aziz.
1. Hadits Masyhur
35
Ibid, hlm. 88
36
Ibid. Hlm. 90
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan
popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits
masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits
shahih baik sanad maupun matannya. Sedangkan hadits masyhur yang
berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits
hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Adapun hadits masyhur yang
dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan
hasan, baik pada sanad maupun pada matannya.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara
istilah, Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya
bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari
orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan
tidak ber’illat”. Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak
syaz, dan tidak ber’illat.” Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-
syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat
adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5) matannya
tidak mengandung ‘illat.
Para ulama membagi hadits shahih menjadi dua yaitu shahih lidzatihi
dan shahih lighairihi.37 Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang dirinya
sendiri telah memenuhi kriteria ke-shahih-an sebagiamana kriteria yang ada di
atas, serta tidak memerlukan penguat dari yang lainnya. Sedangkan Hadits
dapat dinamakan shahih ligairihi karena ke-shahih-annya tidak berdasarkan
pada sanadnya sendiri, tetapi berdasarkan pada dukungan sanad yang lain
yang sama kedudukannya dengan sanadnya atau lebih kuat daripadanya
37
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, 227
kriteria yang dipedomani oleh para mukharrij (perawinya yang
terakhir yang membukukan) hadits shahih tersebut terbagi menjadi tujuh
tingkatan, yaitu sebagai berikut :
2. Hadits Hasan
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu ( )الحسنbermakna al-jamal (
)الجمـــالyang berarti “keindahan”. Hadits hasana adalah hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit
kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat. Kriteria hadits
hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada
sisi kedhabitannya. Hadits shahih kedhabitannya seluruh perawinya harus
zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit
38
Ibid, 224
sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi. Dari
dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan
lighairih dengan dua syarat yaitu :
39
Ibid. hlm. 164
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif yaitu : Hadits
dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal
(Fadhail al a’mal) atau dalam hukum. Pendapat lainnya hadits dhaif dapat
diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah
hukum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka
berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama. Pendapat
ketiga, Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah,
targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang
menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu tidak terlalu dhaif, seperti
diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits
matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq
dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar). Masuk
kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam
(hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh
(hadits yang membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits
yang lebih unggul dibandingkan oposisinya). dan tidak diyakinkan secara
yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau
ikhtiyath.
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas
adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang
terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-
a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah
mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.40
macam –macam hadis dha’if dan sesuai juga dengan pendapat syaikh
Muhammad bin shalih adalah sebagai berikut: 41
40
Ibid. hlm. 167.
41
Syaikh Muhammad bin shalih al- usaimin, terjemah ilmu musthalah hadits, (t.k. t.p .t.t ),h.30
Dari segi persambungan sanad, para ulama menemukan beberapa bukti
bahwa banyak hadis yang jika dilihat dari sudut sanadnya, ternyata tidak
bersambung.
a. Hadis mu’allaq
Hadits mu’allaqadalah hadis yang dari permulaan sanadnya gugur
seorang rowi atau lebih, dan berturut-turut.
Adapun hukum hadis mu’allaq adalah mardud ( tertolak), karena
tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad,
yang dalam hal ini dihapuskanya satu orang perawi atau lebih dari
sanadnya, sementara keadaan perawi yang dihapuskan tersebut tidak
diketahui. Hukum hadis diatas adalah hukum hadits mu’allaq secara
umum. Akan tetapi, hadis mu’allaq yang terdapat didalam kitab shahih
bukhari dan muslim, mempunyai ketentuan khusus. Hal tersebut
dikarenakan pada dasarnya sanad dari hadits-hadits tersebut adalah
bersambung, namun karena untuk meringkas dan mengulangi terjadinya
pengulangan maka sebagian perawinya dihapus. Para ulama secara khusus
telah melakukan penelitian terhadap hadis-hadis mu’allaq yang terdapat
pada kitab shahih bukhari, dan mereka telah membuktikan bahwa
keseluruhan sanadnya adalah bersambung.
b. Hadits mu’dhal
Hadis mu’dhaladalah hadis yang ditengah sanad-nya gugur dua
orang rawi atau lebih dengan berturut-turut.42
c. Munqathi’
Hadits munqothi’ adalah Hadîts yang dalam sanadnya gugur satu
orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan
seorang perawi yang setatunya samar-samar.43 Dari segi gugurnya seorang
42
Muhammad bin Ismâ’îl al-Amîr al-Hasaniy al-Shan’aniy, Taudhih al-Afkâr, juz I, al-Maktabat al-Salafiyah, al-Madînat
al-Munawwarah, tt., hlm. 327.
43
Ajjāj, Al-Khaṭīb,Uṣūl al-Ḥadīṡ ‘Ulūmuh wa Muṣṭalaḥuh, (Beirūt : Dār al-Fikr, 1989),h.338
perawi, ia sama dengan Hadîts mursal, hanya saja kalau Hadîts mursal
gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat. Sementara Hadîts
munqathi’ tidak ada batasan gugurnya perawi pada tingkatan keberapa,
baik gugurnya di awal, di tengah atau di akhir.
Sedangkan hukum dari Hadits munqoti menurut para ulama adalah
dho’if , karena tidak diketahuinya keadaan perawi yang digugurka44
d. Mursal
Beragam pendapat muncul dikalangan para ‘ulama’ dalam
mendefinisikan hadits mursal secara etemologi . menurut Dr. Mahmud At-
Tahan kata mursal merupakan isimmaf’ul yang terambil dari akar kata
Arsaladengan makna athlaqa berarti melepaskan.45 Hadis yang pada sanad
akhirnya ada rawi yang gugur, tepatnya (rawi) setelah tabi’in (yakni
sahabat).
44
Ibrâhîm al-Lâhim, Syarh Ikhtishâr ´Ulûm al-Hadîts: 54-55. Selanjutnya disebut al- Lâhim. Cf. Abû ‘Abdillah
Muhammad ibn ‘Abdillah al-Hâkim al-Naysâbûriy, Ma´rifat ´Ulûm al-Hadîts, hlm. 28-29. Selanjutnya disebut al-Hâkim.
Juga al-Khathîb, Ushûl..., h. 340.
45
Mahmud ath-thahan, taisiru mushtalah al-hadis, maktabah ma’rif Nasr wa Tauri; riyad, 1996 h. 56
46
Ibnu al-Shalâh,op.cit.,h.212
47
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Cet. I; Jakarta : Amzah, 2008), h. 164
3 Macam-macam hadis dhaif yang hilang syarat kuat hafalan yaitu:
a. Mudraj
Mudraj adalah hadis yang padanya terdapat tambahan yang
sebenarnya bukan asli dari hadis itu, baik di awal, di tengah, maupun di
akahir matan, dan terjadinya idrāj (sisipan) itu bisa pula pada sanad.
b. Hadis Maqlub
Hadis yang padanya ada seorang rāwiy yang diganti dengan rāwiy
lainya atau terbalik dalam satu ṭabaqah, atau terbalik susunan kalimatnya
sehingga berbeda dengan aslinya.
c. Mudhtharib
adalah bahwa hadis tersebut diriwayatkan pada beberapa segi,
tetapi sama dalam segi kualitas dan tidak dapat dikompromikan dan tidak
pula dapat di-tarjīh. Mudhtharib menurut Jamāl al-Dīn al-Qāsimiy
mewajibkan ke-ḍa’īf-an hadis kerena diketahuinya secara umum ketidak-
ḍabiṭ-an para periwayat-nya yang menjadi syarat kesahihan dan ke-hasan-
an suatu hadis.
d. Musahhaf
Hadis yang padanya terjadi perubahan pada lafal atau makna
aslinya. Taṣḥīf dapat terjadi pada sanad dan dapat pula terjadi pada matn.
Adapun.
e. Muharraf
Hadis yang berbeda dengan hadis lain karena perubahan titik atau
baris suatu kata, sementara tulisannya tidak berubah. Taḥrīf dapat terjadi
pada sanad maupun matan.48
f. Syadz
adalah bila diantara sekian perawi tsîqah ada diantara mereka yang
menyimpang dari lainnya. Atau hadis yang diriwayatkan oleh seorang
perawi kepercayaan (tsiqah) namun menyalahi (mukhtalafah) riwayat
orang ramai yang juga kepercayaan.49
48
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 2008), h.166
49
Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad Abû al-Wasît fî Ulûm wa Musthalah al-Hadîts,(Beirut : Dar al-Fikr al-’Arabi.
1984),h. 300
4 Hilang Syarat Terpelihara Dari pada Illat Yaitu Hadis
g. Muallal
Hadis Mu´allal artinya, hadis yang terungkap mengandung sebab-
sebab yang tersebunyi (ghâmid) setelah dilakukan analisis yang mendalam
yang menodai keshahihannya, sedangkan pada lahirnya bebas dari cacat
(mu´allal). Selain mu´allal, hadis ini disebut juga ma´lûl oleh al-Bukhârî,
al-Turmidzî dan al-Hâkim. Bahkan ada juga yang menyebutnya mu´al.
Untuk menemukan cacat hadis ini membutuhkan pengetahuan yang luas,
ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab, ‘illat-nya sangat
samar lagi tersembunyi (ghâmidh). Ibn Hajar berkomentar, bahwa orang
yang bisa melaksanakannya hanyalah orang yang diberi oleh Allah
pemahaman yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap urutan-
urutan perawi dan kemampuan yang kuat terhadap sanad dan matan.
samar lagi tersembunyi (ghâmidh). Ibn Hajar berkomentar, bahwa orang
yang bisa melaksanakannya hanyalah orang yang diberi oleh Allah
pemahaman yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap urutan-
urutan perawi dan kemampuan yang kuat terhadap sanad dan matan. Cara
mengenal hadis mu´allal adalah dengan mengumpulkan jalur-jalur hadis
dan meneliti perbedaan para perawinya, kekuatan ingatan dan kepintaran
mereka. Sanad yang menurut lahiriahnya shahih, tetapi di dalamnya ada
orang yang tidak diketahui pernah mendengar dari orang yang menjadi
sumber.