PENDAHULUAN
Umat Islam telah sepakat bahwa Hadis merupakan salah satu sumber ajaran
bagi umat islam baik berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan
terhadap Al-Qur’an, yang seharusnya siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an
tanpa dengan memahami dan menguasai Hadis. Begitu pula halnya, menggunakan
Hadis tanpa Al-Qur’an, karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang di
dalamnya berisi garis besar syariat. Dengan demikian, antara Hadis dengan al-qur’an
memiliki kaitan sangat erat, sehingga untuk memahami dan mengamalkannya tidak
Oleh karena itu maka perlu diketahui teknik periwayatan Hadis dari Nabi
terhadap sahabat, serta cara sahabat meriwayatkan Hadis, sehingga kita dapat
Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai nabi dan rasul Allah, telah
berhasil membimbing umat kepada ajaran agama yang dibawanya. Walaupun beliau
tidak jarang beliau terlihat menjahit sendiri pakaiannya yang sobek, ini tentu tak lepas
dari status beliau sebagai kepala rumah tangga yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
1
Sulaemang, Jurnal At-Ta’dib, IAIN Kendari, 2008
Apabila kedudukan Nabi tersebut dilihat dan dihubungkan dengan bentuk-bentuk
Hadis yang terdiri dari sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwalnya, maka dapatlah
dinyatakan bahwa Hadis Nabi telah disampaikan oleh Nabi dalam berbagai cara.
Pertama, Nabi menyampaikan Hadisnya secara lisan dan perbuatan dihadapan orang
banyak di masjid pada waktu malam dan subuh. Kedua, terkadang Nabi menyampaikan
Hadisnya berupa teguran terhadap orang yang melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan syariat. Ketiga, Nabi menyampaikan Hadisnya berupa jawaban atas pertanyaan
dari sahabatnya. Keempat, dengan cara berupa permintaan penjelasan, berupa taqrir
yang harus dicontohkan perbuatan Nabi yang menyangkut ibadah dan sebagainya.
Kata al-riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql
(penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan). Dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan dengan periwayatan, dalam ilmu Hadis ketika ada ungkapan al-riwayat
yang dimaksud adalah periwayatan Hadis.2 Berbicara tentang periwayatan Hadis
tentulah isinya mencakup penerimaan serta penyampaian Hadis (tahammul wal ada’).
Bagaimana cara seorang rawi mendapatkan Hadis dari sumber lain, dan bagaimana ia
meriwayatkannya. Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab Hadis, Hadis Nabi terlebih
dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul Hadis atau al-
riwayah, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan periwayatan. Sementara
sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
ََ ت َ َح َّم
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala (-ل
َتَ َحمال-َ )يََتَ َح َّملyang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan
menerima. Berarti tahammul al-Hadis menurut bahasa adalah menerima Hadis atau
menanggung Hadis. Sedangkan tahammul al-Hadis menurut istilah ulama ahli Hadis,
2
Ismail, Syuhudi. Kaidah keshahihan sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 2005. h 23
sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah Hadis adalah:
“ Tahammul artinya menerima Hadis dan mengambilnya dari para syekh atau guru.
Sedangkan pengertian ada’ al-Hadis menurut bahasa, ada’ ( )األداءadalah masdar dariََ:
َ ََأَد-ي َؤدٍّى-أَدَّى
اء
َأوصله:َتأديةَالشيئ-“َأدىMenyampaikannya”.
Bararti ada’ al-Hadis menurut bahasa adalah menyampaikan Hadis. Sedangkan ada’
al-Hadisََmenurutَistilahََadalah:
murid”.3
apabila dia telah melakukan pada apa yang disebut dengan tahammul wa ada’ al-Hadis
dan Hadis yang disampaikannya tersebut lengkap berisi sanad dan matan.4
Secara istilah ilmu Hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan
Hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang
yang telah menerima Hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan
Hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah
diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan Hadis itu tidak
3
Utsaimin, Muhammad Ibn Sholih, Mustholah Hadits, h 36
4
Ismail, Syuhudi. Kaidah keshahihan sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 2005. h 23
menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa istilah penting yang harus ada dalam
1. Orang yang melakukan periwayatan Hadis yang kemudian dikenal dengan ar-
rawiy (periwayat).
2. Apa yang diriwayatkan (al-marwiy)
4. kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
5. kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian Hadis
(at-tahamul wa ada al- Hadis).6
Dilihat dari redaksi atau matan Hadis, ada dua cara periwayatan suatu Hadis,
yaitu secara lafadz dan secara maknawi. Dengan adanya dua bentuk periwayatan maka
dijumpailah perbedaan matan atau redaksi dari suatu Hadis.
kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Riwayat
Hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima
langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, pada saat itu sahabat
5
Ismail, Syuhudi. Kaidah keshahihan sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 2005. h 23
6
Kusroni, Riwayah, Jurnal Studi Hadis, IAIN Kudus, 2016
langsung menulis atau menghafalnya. Sahabat-sahabat yang terkenal ketat dalam
menjaga otentisitas redaksi Hadis adalah ‘Umar bin Khatthab, Abdullah bin Umar dan
Zaid bin Arqam. Ibnu Umar tidak memperkenankan adanya pengurangan atau
penambahan satu huruf pun dari redaksi Hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah
menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam lima prinsip Islam pada
urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor empat.
Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas Hadis ini tergambar
jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan Hadis sebelum mereka yakin
betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka
menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah Hadis, mereka memilih diam. Hal
Nabi yang tentang golongan pendusta Hadis. Sikap demikian tidak hanya terjadi di
tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh,
ulama ushul dan ulama Hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada
periwayatan Hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan Hadis dengan lafal
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan Hadis dengan lafal ini sangat
sedikit jumlahnya. Ciri-ciri Hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini
َ،َوأناَعلىَعهدكَووعدكَماَاستطعت،َخلقتنيَوأناَعبدك،َالَإلهَإالَأنت،َاللهمَأنتَربي:سيدَاالستغفار
َ.َأعوذَبكَمنَشرَماَصنعت،َفإنهَالَيغفرَالذنوبَإالَأنت،َوأبوءَلكَبذنبيَفاغفرَلي،أبوءَلكَبنعمتكَعلي
َوإذاَقالَحينَيصبحَفماتَمنَيومهَمثله،َأوَكانَمنَأهلَالجنة،إذاَقالَحينَيمسيَفماتَدخلَالجنة
Artinya: “Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah
Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah
hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui
segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah
aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku
berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada
waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk
dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi.”
2. Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena
Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang
lainnya.Bisa diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari
Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah bersabda:
َوالمهاجرَمنَهجرَماَنهىَهللاَعنه.َالمسلمَمنَسلمَالمسلمونَمنَلسانهَويده
artinya: “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat
dari lidah dan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah yang hijrah dari
larangan Allah”
3. Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah,
rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya
Akan tetapi ketika dihadapkan pada persoalan bahwa Hadis bukan hanya
berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw,
para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat Hadis secara lafal, seperti
Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin
Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan
redaksi Hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada
tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa
Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat
Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan
perbuatan Nabi saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh Hadis bisa
dilaksanakan mengingat pengertian Hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu
yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad
dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga
keharusan periwayatan Hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya
hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di
atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah Hadis yang berbau aqidah, ibadah dan
yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.
Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan Hadisnya
dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:
1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu
malam dan subuh.
2. Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap sahabat yang melakukan
kekeliruan
3. Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak,
berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa
tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
4. Cara Nabi juga menyampaikan Hadisnya selain cara lisan juga secara
permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah
sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.
5. Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan Hadisnya tidak dalam bentuk
kegiatan melainkan berupa keadaan.
Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan Hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik
melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
Periwayatan Hadis dengan makna adalah suatu cara dimana Hadis diriwayatkan
dengan menggunakan redaksi periwayat sendiri atau berbeda dengan redaksi yag
diterima dari perawi, namun kandungan dan maksud Hadis tersebut tetap sama.7
Dalam sejarah perjalanan Hadis diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW.
periwayatan Hadis itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari
Nabi SAW tetapi disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, Hadis harus dilakukan apa
adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi Hadis tidak
mengalami perubahan.
Tetapi dalam kenyataan, banyak dijumpai Hadis yang dimaksudkannya sama
diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar
Hadis “muttafaq ‘alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya
peluang riwayat Hadis dengan makna itu memang ada. Bukankah Hadis itu tidak hanya
berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan
tingkah laku nabi yang diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi
yang berbeda meski maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap
masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda.
Ada sebuah Hadis yang menggambarkan bahwa riwayat dengan redaksi yang berbeda
itu ditolerir. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan
kemampuannya menerima Hadis secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu
menangkap Hadis persis seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah,
terkadang juga berkurang. Meskipun terjadi perbedaan dikalangan para fuqaha tentang
boleh atau tidaknya meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu
riwayah Hadis yang penting. Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan
7
Sayuthi, Ali. Jurnal Al-Qalam, Periwayatan Hadis dengan lafadz dan Makna. 1996
cara tahammul dengan shiyag tahammul (pola penerimaan) yang dengan cara itu dia
menerima Hadis yang diriwayatkan. Sebahagian ahli Hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul
mengharuskan para rawi meriwayatkan Hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak
boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan
oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirin, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka
berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia
dengar.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtišar Ulum Al-
Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna, bahwa seorang perawi yang
tidak mengetahui makna Hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan Hadis
dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa:
boleh bagi perawi Hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan Hadis
dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna
dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, ditambah dia sangat
mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merubah makna
dan yang tidak merubahnya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal
Hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara
riwayatnya dari perubahan makna tersebut. Imam Asy Syafi’i telah menerangkan
tentang sifat-sifat perawi yaitu:
Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui
hal-hal yang merisaukan makna Hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh
meriwayakan Hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal
yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama
membolehkan dia meriwayatkannya Hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-
syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama
maka untuk lebih hati-hati dan menghindari kesalahan dalam meriwayatkan Hadis,
maka meriwayatkan Hadis dengan lafal lebih utama dari pada meriwayatkannya
dengan makna.
Ulama yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan makna memberikan
persyaratan tertentu secara ketat. Syarat-syarat tersebut adalah:
Para rawi telah menerima sebuah Hadis dari seseorang dan menyampaikannya
kepada seseorang yang lain, penyampaian tersebut baik secara maknawy maupun
(tahammul) Hadis, maupun syarat saat menyampaikan (ada’) kannya kepada orang
lain9.
8
Muhammad ibnu Muhammad, Difa’ an asl-sunnah, Kairo 1989, h. 32-33
9
Burhanuddin Abd. Gani: Periwayatan Hadis dengan Makna menurut Muhadditsin, Jurnal
UIN Ar-Raniry, Aceh
Pendapat para ulama berkaitan dengan muhammil atau penerima Hadis adalah,
dikatakan bahwa seseorang layak menerima Hadis jika ia paling tidak sudah mumayyiz.
2. Bisa membedakan antara berita dan perintah. Dia bisa memahami perintah dan
Adapun dalam proses ada’ atau penerimaaan Hadis, seorang muaddi atau perawi Hadis
1. Muslim
2. Baligh
3. Adil
Adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang
yang mempunyai sifat tersebut, tetap takwa, menjaga kepribadian dan percaya
pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan
sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah yang
4. Dhabit
Yaitu tepat menangkap apa yang di dengarnya, dan dihafalkannya dengan baik,
Adapun cara-cara yang digunakan dalam proses tahmmul wal adaa’ adalah
sebagai berikut:
1. Sima’ (mendengar)
Yaitu seorang guru membaca Hadis yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu
dihafal saja.. Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada
menurut para ulama Hadis. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya
2. Qira’ah (membaca)
Yaitu bacaan oleh murid kepada guru. Dalam hal ini para murid atau seorang
tertentu yang disebut Qari’, membacakan catatan Hadis di hadapan gurunya, dan
10
Suyuthi, Jalaluddin, Tadribur rawiy, h 352
11
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Bandung, Mutiara Sumber Widya, 2001 .h 157
Shigohnya adalah : َحدثناَقراءةَعليه,َق ِرأَعلىَفالنَوَأناَأسمع,علَيه
َ َقرأت
3. Ijazah (ijazah/ izin)
Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada
4. Munawalah (memberi)
Yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan
Seorang guru memberi kitab pada muridnya, lalu berkata “riwayatkanlah ini
dari saya”
Seorang guru meberikan kitab hadisnya dengan hanya mengatakan “ini adalah
5. Kitabah (menulis)
Yaitu seorang guru menulis Hadis untuk seseorang.misalnya tulisan seorang ulama
6. I’lam (pemberitahuan)
yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa Hadis-Hadis yang ada dalam
kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa
7. Washiyyat (wasiat)
yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku Hadis kepada muridnya sebelum pergi
atau meninggal.
8. Al-Wijadah (penemuan)
yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku Hadis yang ditulis oleh orang
lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan Hadis di bawah bimbingan dan
kewenangan seseorang.12
PENUTUP
Dari sekelumit pemaparan terkait periwayatan Hadis, bentuk, syarat dan metode
tahmmul wa ada’ , berikut beberapa hal yang bisa disimpulkan:
12
Subhi Al-Salih, ‘Ulumul Hadis wa Musthalahuhu, Dar Al-Ilmi, Al Malayin, Beirut, 1977, hal.
88.
DAFTAR PUSTAKA
http://zuniaervin.blogspot.com/2014/11/proses-al-adawa-tahammul-al-hadits.html
diakses 28 Nov 03.20 am