Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehadiran hadits atau as-sunnah dalam kehidupan masyarakat menjadi


penting tatkala dalam al-Qur’an tidak didapatkan penjelasan yang rinci terhadap
suatu persoalan. Hadits atau as-sunnah yang menjadi penjelas atau bayan al-
Qur’an sangatlah dibutuhkan dalam memahami tekstual al-Qur’an. Meskipun ada
beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian hadits dan as-sunnah. Pendapat
yang populer dikalangan ulama hadits menyebutkan bahwa hadits dan as-sunnah
adalah dua istilah yang semakna.
Dalam ajaran Islam, hadits atau sunnah memiliki posisi yang sangat
penting, yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Jika didiskusikan
lebih spesifik lagi, dari sudut pandang periwayatan, setidaknya ada dua cara
periwayatan hadits. Pertama, periwayatan dengan lafadz, yaitu hadits
diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan redaksi atau lafadz hadits yang
diterimanya dari orang yang menyampaikan hadits tersebut kepadanya. Kedua,
periwayatan dengan makna, yaitu periwayatan hadits dengan redaksi yang
berbeda dari redaksi hadits yang diterima oleh para perawi, namun isi, maksut dan
maknanya sama.1
Salah satu persoalan di bidang hadis yang menjadi topik perdebatan sejak
masa sahabat hingga sekarang adalah tentang periwayatan hadis secara makna (ar
riwayah bi al-makna). Perdebatan ini muncul terkait dengan kebolehan atau
tidaknya periwayatan dengan cara tersebut karena adanya perkataan yang
melarang dan membolehkan juga adanya kekhawatiran bahwa kebolehan tersebut
berpeluang pada berubahnya makna hadis sebagai konsekuensi dari perubahan
teks.
Terkait dengan hal tersebut tulisan ini akan mencoba membahas lebih jauh
tentang periwayatan hadits dengan makna. Periwayatan hadits dengan makna
sangat terkait dengan hadits qouliyah. Hal ini disebabkan hadits fi’liyah dan
taqririyah redaksinya bukan berasal dari Rasulullah, melainkan dari sahabat yang
membuat reportasi kehidupan beliau.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana redaksi matan hadis yang diriwayatkan ?
2. Bagaimana konsep ar-riwayah bil makna ?
3. Bagaimana latar belakang munculnya ar-riwayah bil makna?
4. Bagaimana perkembangan ar-riwayah bil makna sebelum dan sesudah
tadwin ?
5. Bagaimana implikasi ar-riwayah bil makna?

1
Salamah noorhidayati, Kritik Teks Hadis, Analisis tentang ar-riwayah bi al-ma’na dan implikasi
bagi kualitas hadis, ( Yokyakarta: TERAS,2009), Cet. I, hlm 39.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. REDAKSI MATAN HADIS YANG DIRIWAYATKAN

a. Periwayatan Hadist
Sebagai sebuah laporan atau kesaksian yang merekam segala sesuatu yang
berkenaan dengan diri Nabi saw, sebuah hadis harus melalui proses kegiatan yang
disebut periwayatan, yang merupakan kata serapan dari al-riwayah atau riwayat
al-hadis. Al-riwayah adalah masdar dari kata rawa yang berarti penukilan,
penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas. Sedangkan dalam
Bahasa Indonesia berarti cerita. kisah dan berita.2
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan periwayatan hadis
adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu
kepada rangkaian periwayatnya dengan menggunakan istilah atau lambang
tertentu.3
Berdasarkan definisi ini, maka ada tiga unsur yang harus dipenuhi agar
dapat disebut periwayatan hadis, yaitu :

a). Rawi
Rawi menurut istilah  adalah seorang yang menyampaikan atau
menuliskan dalam sebuah kitab apa yang diterimanya dari seorang guru. Atau
lebih singkatnya adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan Hadits. 4
Jadi Seseorang bisa dikatakan sebagai rawi apabila ia telah menuliskan atau
menyampaikannya dalam sebuah kitab atau ia mendengar langsung dari gurunya.
Contoh Imam bukhari bisa disebut sebagai rawi terakhir karena beliau telah
menuliskan hadist yang diperolehnya ke sebuah tulisan atau karya, karyanya antar
lain yaitu Shohih bukhari.

b). Sanad
Menurut bahasa sanad adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan
sandaran. Dikatakan demikian karena Hadits bersandar kepadanya. 5 menurut
istilah al-Badr bin Jamaah dan At-Tibby, menyatakan bahwa sanad adalah
pemberitaan tentang munculnya suatu matan Hadits6.

c). Matan
Matan berasal dari bahasa Arab, matn. Secara etimologi, matan berarti
punggung jalan atau tanah yang keras dan tinggi. Yang dimaksud matan dalam

2
Salamah noorhidayati, Kritik Teks.., hlm 13.
3
M. Ismail Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Tela’ah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm 21.
4
M. Alfatih suryadilaga dkk, ulumul hadist, (Jogjakarta: teras,2010), hlm 36.
5
Ibid..,hlm 34.
6
ibid

2
ilmu hadist adalah sabda Rosulallah Saw. Yang disebut sesudah sanad atau
disebut juga sebagai materi hadits atau penghubung sanad.7

Contoh : 
‫ول اَللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم‬ ِ ‫ عن جد‬,‫ عن َأبِ ِيه‬,‫ب‬
ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬
َ َ‫ِّه ق‬ َ َْ ْ َ ٍ ‫َو َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي‬
ٍ ِ ٍ
ْ   ) ‫ َواَل خَم يلَة‬,‫َّق يِف َغرْيِ َسَرف‬
,‫َأخَر َجهُ َأبُو َد ُاو َد‬ ْ ‫صد‬َ َ‫ َوت‬,‫س‬
ْ َ‫ َوالْب‬,‫ب‬ ْ ‫ َوا ْشَر‬,‫( ُك ْل‬
ُّ ‫ َو َعلَّ َقهُ اَلْبُ َخا ِر‬,‫َوَأمْح َ ُد‬
‫ي‬

Yang tercetak berwarna hijau disebut sanad dan yang tercetak hitam termasuk
matan sedangkan yang tercetak warna biru adalah rowi.

B. KONSEP AR-RIWAYAH BIL MAKNA

Periwayatan dengan makna adalah suatu bentuk periwayatan hadis yang


dilakukan oleh seorang perawi dengan menggunakan lafal dari dirinya sendiri,
baik keseluruhan maupun sebagiannya saja dengan tetap menjaga artinya tanpa
menghilangkan apapun apabila dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan
menurut lafal atau teks aslinya.8 Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh
Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat
dengan lafal atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para
sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di
samping itu kemungkinan masanya sudah lama. Sehingga yang masih ingat
hanya maksudnya, sementara apa yang di ucapkan Nabi sudah tidak diingatnya
lagi.
Sedangkan periwayatan hadits dengan makna menurut Luwis Ma’luf
adalah proses penyampaian hadits-hadits Rasulullah saw. dengan mengemukakan
makna atau maksud yang dikandung oleh lafal, karena kata makna mengandung
arti maksud dari sesuatu.9
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadits secara
makna, seperti: Abdullah bin Mas’ud, Annas bin Malik, Aisyah istri Rasulullah,
Umar bin Dinar, Amir asy- Sa’bi, Ibrahim asy- Sa’bi, Ibnu abi Najih, Ja’far bin
Muhammad bin Ali dan Fufian bin Uyainah.10
Sedangkan hukum periwayatan hadits dengan makna telah terjadi
perselisihan pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadits secara makna.
Sebagian ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi

7
Rusydie Anwar, Pengantar Ulumur Qur’an dan Ulumul Hadist, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2015), hlm. 244.
8
Salamah noorhidayati, Kritik Teks.., hlm 39.
9
Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), hlm. 289.
10
Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Darul Fikr, 1993), hlm.
132.

3
meriwayatkan hadits dengan lafalnya yang di dengar, tidak boleh ia
meriwayatkan hadits dengan maknanya saja.
Kemudian Imam Nawawi dalam Taqrib Nawawi berkata: “Jika seorang
perawi tidak mengetahui dengan lafal-lafal (sebuah hadits) dan maksudnya, tidak
teliti terhadap apa yang dibawa oleh makna dari lafal itu, tidak diperbolehkan
meriwayatkan hadits dengan makna tanpa ada perselisihan pendapat, akan tetapi
wajib baginya meriwayatkan dengan lafal yang ia dengar.11
Sedangkan jumhur ulama’, yaitu imam yang empat memperbolehkan
periwayatan hadits secara makna, dengan catatan bukan hadits yang berhubungan
dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah. Ulama-ulama lain perbendapat
membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadits dengan
pengertiannya saja tidak dengan lafal aslinya.
Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya
orang yang menyampaikan hadits itu seorang yang kepercayaan tentang
agamanya baik dan terkenal bersifat jujur, memahami apa yang diriwayatkan,
mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari
orang yang menyampaikan hadits persis sebagaimana yang di dengar, bukan
diriwayatkan dengan makna.12
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sulaiman, ia bertanya
kepada Rasulullah,”Hai Rasulullah, sesungguhnya saya mendengar hadits darimu
tetapi saya tidak sanggup meriwayatkannya menurut apa yang saya dengar yang
bisa menambah atau menguranginya barang sehuruf. Maka Nabi bersabda:
“Apabila engkau tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak sampai
mengharamkan yang halal serta maknanya tepat, maka hal itu tidak masalah”.13
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang yang mengetahui
hal-hal yang memalingkan makna dari lafal, ia boleh meriwayatkan dengan
makna apabila dia tidak ingat makna yang asli, karena dia telah menerima hadits,
baik lafal maupun maknanya.
Sedangkan syarat periwayatan hadits secara makna banyak memunculkan
kontraversi di antara ulama. Abu Bakar ibn al-Arabi berpendapat bahwa selain
sahabat Rasulullah tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits hanya dengan makna.
Beliau mengemukakan alasan untuk mendukung pendapatnya tersebut. Yaitu,
sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan sahabat menyaksikan
langsung tentang keadaan perbuatan Rasulullah saw. Namun pendapat yang
populer dikalangan ulama hadits menyatakan selain sahabat diperkenankan
meriwayatkan hadits secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi, yaitu:
1. Mengetahui pengetahuan bahasa Arab, agar terhindar dari kekeliruan.
2. Periwayatannya terpaksa karena lupa susunan secara lafal ataupun harfiyah.
3. Yang diriwayatkan tersebut bukan bacaan yang sifatnya ta’abidi. Seperti
zikir, doa, azan, takbir dan syahadah serta berbentuk jawani al-kalim.
11
As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, (Kairo: Daarul Hadits, 2004), hlm. 381.
12
Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah..,hlm. 133.
13
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1995), hlm. 22-23.

4
4. Periwayatan hadits secara makna atau mengalami keraguan terhadap
susunan matan hadits yang diriwayatkan supaya menambah kata ‫ اوكما قل‬dan
‫ او نحو هدا‬setelah menyatakan matan hadits yang bersangkutan.
6. Diperbolehkan hanya pada saat hadits belum dibukukan secara resmi.
C. Latar Belakang Munculnya Riwayah bil-Makna

Untuk menjawab pertanyaan tentang latar munculnya periwayatan bil


makna, agaknya kita harus memahami hakekat dari hadis itu sendiri. Seperti
dimaklumi bahwa hadis diartikan sebagai ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi. Jika
demikian, maka dapat dikatakan bahwa tidak mungkin seluruh hadis
diriwayatkan secara lafaz dari Nabi. Sebab dari ketiga unsur itu, hanya ucapan
beliau yang dapat diriwayatkan secara teks murni. Adapun hadis-hadis yang
menerangkan perbuatan dan taqrir beliau, jelas redaksinya disusun oleh para
shahabat yang menyaksikan perbuatan Nabi dan kemudian menyampaikan atau
meriwayatkannya kepada sesama mereka ataupun generasi di bawahnya (tabi’in).
Hanya saja, sebagai bentuk kehati-hatian, periwayatan bil lafzi tetap diutamakan
sebagai bentuk upaya memelihara hadis Nabi.
Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:
ِ ‫ يارس @و َل‬:‫جاَئت اِمرَأةٌ اِىَل النَّيِب صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم واَراد اَ ْن هَتِب نَ ْفسهالَه َفَت َقدَّم رجل فَقاَ َل‬
‫اهلل‬ ُْ ََ ٌُ ََ ُ ََ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ِّ َْ ْ َ
ِ
‫صلَّى اهللُ َعلَْي@@ه َو َس@لَّ َم اَنْ َك ْحتُ َك َ@ه@ا‬ ِ ِ ‫اَنْ ِك ْحنِْي َها َومَلْ يَ ُك ْن َم َعهُ م َن الْ َم ْه ِر َغْيَر َب ْع‬
ِ
َ ُّ ‫ض الْ ُق ْرآن فَقاَ َل لَهُ النَّيِب‬
‫@ك‬
َ @‫ َز َّو ْجتُ َك َ@ه@ا َعلَى َم َع‬,‫آن وفىرواي@@ة‬ ِ ‫@ك ِمن الْ ُق@@ر‬ ‫مِب‬ ِ ِ َ @‫مِب َ@@ا مع‬
ْ َ َ @‫ قَ@ ْد َز َّو ْجتُ َك َ@ه@ا َ@@ا َم َع‬,‫@ك م َن الْ ُق@ ْ@رآن وفىرواي@@ة‬ ََ
ِ
)‫ك م َن الْ ُقرآن (احلديث‬ ِ َ ‫ َملَكْتُ َك َها َا َم َع‬,‫ِم َن الْ ُقرآن وفىرواية‬
‫مِب‬ ِ

Artinya:
Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud
menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-
laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan
laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain
dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki
tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin)
berupa mengajarkan ayat Alquran.
Dalam satu riwayat disebutkan:
“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”

Dalam riwayat lain disebutkan:


“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”

Dan dalam riwayat lain disebutkan:


“Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Alquran.” (Al-Hadis).

5
Apalagi mengingat Rasulullah sendiri dalam sebuah riwayat pernah
melarang penggantian lafaz nabi dengan rasul seperti yang dilakukan oleh al-
Barra’, walaupun kedua lafaz ini adalah sinonim (muradif). Hadis ini pula yang
kemudian dijadikan dasar oleh kelompok yang melarang periwayatan secara
makna.Mengutip penjelasan Noorhidayati (2008: 46), paling tidak ada 4 faktor
yang mendukung terjadinya periwayatan hadis bil makna, yaitu:
(1) Tidak seluruh hadis Nabi diriwayatkan secara mutawatir,
(2) Pada masa Nabi hingga shahabat, hadis belum dibukukan sehingga
periwayatan lebih banyak dilakukan secara lisan. Walaupun ada beberapa
shahabat yang mencatat hadis, tetapi hal itu bersifat individual.
(3) Adanya perbedaan kemampuan para perawi dalam menghafal dan
meriwayatkan hadis, dan
(4) Hanya hadis qawliy saja yang mungkin diriwayatkan secara tekstual.
Padahal hadis mungkin berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal.
Dari sini dapat dipahami bahwa baik periwayatan bil lafzi ataupun bil makna,
keduanya telah terjadi sejak masa Nabi. Kedua bentuk periwayatan ini
dimungkinkan karena adanya faktor pendukung seperti penjelasan di atas.

D. Ar-Riwayah bil-Ma’na Sebelum dan Sesudah Tadwin

Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan


ketika hadits-hadits belum termodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah
terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak
diperbolehkan merubahnya dengan lafal atau matan yang lain meskipun
maknanya tetap.
Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadits
dengan makna itu terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan
hadits. Setelah hadits dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat
itu telah hilang dan periwayatan hadits harus mengikuti lafadz yang tertulis dalam
kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadits dengan makna.14
Ulama berbeda pendapat dalam hal hukum kebolehan hadits secara makna
bagi orang yang cukup mampu menjaga lafal hadits. Dalam hal ini pembahasan
berkisar antara dua hal, yakni hukum riwayah bil-makna sebelum dan sesudah
tadwin.

1. Riwayah sebelum tadwin

Tentang hukum riwayah bil-makna sebelum tadwin hadits secara resmi,


ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama membolehkan periwayatan secara
makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, di antaranya harus mempunyai
kemampuan bahasa yang mendalam, sedangkan bagi periwayat yang tidak
memenuhi syarat yang ditentukan, mereka sepakat akan keharusannya untuk
meriwayatkan hadits sesuai dengan lafal yang diterima. Yang menganut pendapat
14
Endang Soetari, Ulumul Hadis, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 213.

6
ini bertujuan untuk meringankan beban dan kesulitan para periwayat dalam
meriwayatkan hadits. Jika periwayat dituntut untuk meriwayatkan hadits sesuai
dengan lafal asli seperti ketika hadits itu diterima, sedangkan catatan hadits tidak
ada pada mereka. Alasan lain secara ijma’, ulama memperbolehkan penerjemahan
hadits dari bahasa Arab ke dalam bahasa Asing bagi orang yang mengetahui
bahasa tersebut. Logikanya, jika penerjemahan kebahasa Asing saja
diperbolehkan, maka penerjemahan ke dalam bahasa Arab sendiri dengan lafal
yang semakna berarti lebih baik.

2. Riwayah sesudah tadwin

Para ulama sepakat bahwa periwayatan hadits dengan makna tidak


diperbolehkan setelah hadits-hadits itu tertulis dalam kitab-kitab hadits. Ketika
hadis itu telah tertulis dalam kitab-kitab, maka lafal dan hurufnya telah jelas. Oleh
karenanya, periwayatan tidak diperbolehkan, mengingat makna asal periwayatan
adalah memindahkan hadits sesuai dengan lafal yang diterima dan di dengar dari
Rasulullah. Sedangkan riwayah bil-makna menyimpang dari makna asal ini.

Sementara asal diperbolehkannya riwayah bil-makna adalah karena adanya


darurat dalam pelaksanaannya dan kondisi khusus misalnya lupa lafalnya. Namun
setelah dibukukannya dalam kitab-kitab, alasan yang menyebabkan adanya
rikhsah telah hilang, sehingga tetap wajib untuk meriwayatkan hadits secara lafal.
Pandangan para ulama tentang periwayatan bil-makna, secara garis besar
dapat dikategorikan pada tiga macam, yaitu tidak boleh secara mutlak, boleh
secara mutlak dan boleh dengan syarat.

a. Tidak membolehkan secara mutlak


Pendapat ini berpegang ketat pada keharusan periwayatan hadits secara
lafal, dan melarang sama sekali periwayatan secara makna. Mereka ini
termasuk golongan mutasyaddid dalam periwayatan. Ulama yang melarang
secara keras periwayatan hadits secara makna ini beragumentasi bahwa:
1) Perkataan Nabi mengandung fasahah dan balaghah yang tinggi.
2) Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadits “nabiyyika”
dengan “rasullika”.
Ulama yang termasuk golongan ini adalah Umar bin Khatab, Abdullah bin
Umar, al-Qosim, Muhammad bin Sirrin, Malik bin Annas, dan Ahmad bin
Hambal.

b. Membolehkan secara mutlak


Pendapat yang kedua ini termasuk golongan mutasahil dalam periwayatan.
Pendapat ini merupakan bentuk yang terlarang, karena dengan ketidak hati-
hatian dalam periwayatan akan menimbulkan perubahan-perubahan lafal yang
menyebabkan perubahan makna.
Periwayat yang termasuk kelompok ini adalah Hasal al-Basri, as-Sya’bi dan
Ibrahim an-Nakha’iy.

7
c. Membolehkan dengan syarat
Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah dengan
menentukan persyaratan-persyaratan, mereka menghendaki periwayatan tidak
terlalu sembrono dan lengah yang disebabkan kelonggaran ketentuan yang ada.
Mereka menganggap periwayatan bil-makna merupakan rukhsoh bagi
periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa lafal aslinya. Pendapat ini
banyak dianut oleh para sahabat dan tabi’in, diantaranya Aisyah ra., Abu Sa’id
al-Khudri, Amr bin Dinar, dll.

Penganut pendapat ini mengajukan beberapa argumentasi, yaitu15 :


1) Perbedaan lafal hadits asal tidak merubah arti diperbolehkan, yang tidak
diperbolehkan adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal.
2) Mengganti lafal hadits dengan bahasa lain selain bahasa Arab saja
diperbolehkan, maka mengganti lafal hadits dengan bahasa Arab yang
muradis tentunya lebih baik.
3) Yang dilarang oleh agama adalah dusta kepada Nabi dan merubah hadits-
haditsnya. Sedangkan meriwayatkan secara makna dengan tetap menjaga
maksud hadits berarti boleh.

E. Implikasi periwayatan hadits bi al-makna


Sebagaimana yang dikutip dalam bukunya al Jazairiy Abu rayah
mengatakan bahwa riwayah bil makna mengandung bahaya yang besar dan
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab parbedaan umat.
1)    Riwayah bil makna yang menyebabkan perbedaan redaksi akan
menimbulkan kesalahan arti atau maksud hadits. Bahkan menyebabkan
kedustaan walaupun tanpa sengaja, dengan menyandarkan perkataan
kepada nabi yang sebenarnya nabi tidak mengatakannya.
2)     riwayah bil makna bisa merusak kesempurnaan makna hadits. Dengan
menghilangkan salah satu lafal, maka suatu hadits menjadi tidak
sempurna maknanya.
Ada beberapa hal yang menjadi implikasi dari adanya ar-riwayah bi al-makna:
1)      Al-ikhtisar dan at-Taqti
al ikhtisar artinya meringkas sedangkan at Taqti’ adalah memenggal
matan hadits, maksudnya meriwayatkan sebagian hadits dan
meninggalkan sebagian yang lain.
2)      At-Taqdim dan at-Ta’khir
Salah satu bentuk dari ar-riwayah bi al-ma’na adalah periwayatan hadits
dengan mendahulukan lafal yang tidak semestinya didahulukan (al-
taqdim) dan mengakhirkan lafal yang semestinya didahulukan (al-
ta’khir).
3)      Az-Ziyadah dan an-Nuqsan

15
Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits..,hlm. 133-134.

8
Az-Ziyadah berarti menambah dan an-Nuqsan berarti mengurangi.
Maksudnya adalah menambah atau mengurangi lafal (matan) hadits
yang sebenarnya.
4)      Al Ibdal
Yaitu penggantian huruf, kata atau kalimat. Ulama’ ahli hadits melarang
al ibdal karena akan menyebabkan perubahan arti dan kandungan hadits.
Terutama yang berkaitan dengan penyebutan nama Allah dan sifat Nya.16

16
Salamah noorhidayati, Kritik Teks Hadis, Analisis tentang ar-riwayah bi al-ma’na dan
implikasi bagi kualitas hadis, ( Yokyakarta: TERAS,2009), Cet. I, hlm 83

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Riwayat hadits bil-makna adalah periwayatan hadits yang isi dan matanya
berbeda secara bahasa dari yang disampaikan oleh Rasulullah, namun subtansi
hadits tersebut tetap sama. Meskipun dalam sejarah hadits riwayah bil-makna
telah diakui terjadi secara besar-besaran, di antara para ulama masih terjadi
perbedaan boleh atau tidaknya riwayah bil-makna dilakukan. Bagi sebagian ulama
yang menolaknya adalah seperti ulama fiqh dan ushul fiqh serta Abu
Rayyah.Sedangkan ulama yang membolehkan seperti Ibn Mas’ud, ia
membolehkan apabila dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti
yang diwurudkan oleh Rasulullah, dan harus dengan hati-hati.

Pada zaman Rasulullah hadits tidak boleh ditulis karena takut akan
tercampur dengan ayat al-Qur’an. Rasulullah hanya memperbolehkan penulis
hadits yang hafalannya lemah. Lamanya masa pelarangan tersebut menjadikan
perbedaan para sahabat dalam meriwayatkan hadits. Ada yang meriwayatkan
hadits dengan lafal persis, tapi tidak sedikit pula yang hanya bisa meriwayatkan
maknanya saja.

Periwayatan sebelum tadwin banyak ulama berbeda pendapat. Mayoritas


ulama membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang telah memenuhi
syarat, yaitu salah satunya mempunyai kemampuan bahasa yang mendalam.
Sedangkan periwayatan sesudah tadwin para ulama sepakat bahwa periwayatan
hadits dengan makna tidak diperbolehkan setelah hadits-hadits itu tertulis daalam
kitab-kitab hadits. Implikasi dari adanya ar-riwayah bi al-makna:
1)      Al-ikhtisar dan at-Taqti
al ikhtisar artinya meringkas sedangkan at Taqti’ adalah memenggal
matan
2)      At-Taqdim dan at-Ta’khir
Salah satu bentuk dari ar-riwayah bi al-ma’na adalah periwayatan hadits
dengan mendahulukan lafal yang tidak semestinya didahulukan (al-
taqdim) dan mengakhirkan lafal yang semestinya didahulukan (al-
ta’khir)
3)      Az-Ziyadah dan an-Nuqsan
Az-Ziyadah berarti menambah dan an-Nuqsan berarti mengurangi.
4)      Al Ibdal
Yaitu penggantian huruf, kata atau kalimat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan


Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika

Ajjaj, Muhammad al-Khatib. 1993. as-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut: Darul


Fikr

--------------------------. 1989. Ushul al-Hadits ‘Ulumuhwa Mustalahuh. Beirut:


Dar al-Fikr

Alfatih, M. suryadilaga dkk. 2010.Ulumul Hadist. Jogjakarta: Teras

Anwar, Rusydie, 2015, Pengantar Ulumur Qur’an dan Ulumul Hadist,


Yogyakarta: IRCiSoD

As-Suyuti. 2004. Tadrib ar-Rawi. Kairo: Daarul Hadits

Ma’luf, Luis. 1973. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar al-Masyriq

Noorhidayati, Salamah, 2009. Kritik Teks Hadis, Analisis tentang ar-riwayah bi


al-ma’na dan implikasi bagi kualitas hadis. Yokyakarta: Teras

Soetari, Endang. 1997. Ulumul Hadis. Bandung: Amal Bakti Press

Syuhudi Ismail, M. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Tela’ah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang

11

Anda mungkin juga menyukai