PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana redaksi matan hadis yang diriwayatkan ?
2. Bagaimana konsep ar-riwayah bil makna ?
3. Bagaimana latar belakang munculnya ar-riwayah bil makna?
4. Bagaimana perkembangan ar-riwayah bil makna sebelum dan sesudah
tadwin ?
5. Bagaimana implikasi ar-riwayah bil makna?
1
Salamah noorhidayati, Kritik Teks Hadis, Analisis tentang ar-riwayah bi al-ma’na dan implikasi
bagi kualitas hadis, ( Yokyakarta: TERAS,2009), Cet. I, hlm 39.
1
BAB II
PEMBAHASAN
a. Periwayatan Hadist
Sebagai sebuah laporan atau kesaksian yang merekam segala sesuatu yang
berkenaan dengan diri Nabi saw, sebuah hadis harus melalui proses kegiatan yang
disebut periwayatan, yang merupakan kata serapan dari al-riwayah atau riwayat
al-hadis. Al-riwayah adalah masdar dari kata rawa yang berarti penukilan,
penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas. Sedangkan dalam
Bahasa Indonesia berarti cerita. kisah dan berita.2
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan periwayatan hadis
adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu
kepada rangkaian periwayatnya dengan menggunakan istilah atau lambang
tertentu.3
Berdasarkan definisi ini, maka ada tiga unsur yang harus dipenuhi agar
dapat disebut periwayatan hadis, yaitu :
a). Rawi
Rawi menurut istilah adalah seorang yang menyampaikan atau
menuliskan dalam sebuah kitab apa yang diterimanya dari seorang guru. Atau
lebih singkatnya adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan Hadits. 4
Jadi Seseorang bisa dikatakan sebagai rawi apabila ia telah menuliskan atau
menyampaikannya dalam sebuah kitab atau ia mendengar langsung dari gurunya.
Contoh Imam bukhari bisa disebut sebagai rawi terakhir karena beliau telah
menuliskan hadist yang diperolehnya ke sebuah tulisan atau karya, karyanya antar
lain yaitu Shohih bukhari.
b). Sanad
Menurut bahasa sanad adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan
sandaran. Dikatakan demikian karena Hadits bersandar kepadanya. 5 menurut
istilah al-Badr bin Jamaah dan At-Tibby, menyatakan bahwa sanad adalah
pemberitaan tentang munculnya suatu matan Hadits6.
c). Matan
Matan berasal dari bahasa Arab, matn. Secara etimologi, matan berarti
punggung jalan atau tanah yang keras dan tinggi. Yang dimaksud matan dalam
2
Salamah noorhidayati, Kritik Teks.., hlm 13.
3
M. Ismail Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Tela’ah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm 21.
4
M. Alfatih suryadilaga dkk, ulumul hadist, (Jogjakarta: teras,2010), hlm 36.
5
Ibid..,hlm 34.
6
ibid
2
ilmu hadist adalah sabda Rosulallah Saw. Yang disebut sesudah sanad atau
disebut juga sebagai materi hadits atau penghubung sanad.7
Contoh :
ول اَللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم ِ عن جد, عن َأبِ ِيه,ب
ُ ال َر ُس َ َ ق: ال
َ َِّه ق َ َْ ْ َ ٍ َو َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي
ٍ ِ ٍ
ْ ) َواَل خَم يلَة,َّق يِف َغرْيِ َسَرف
,َأخَر َجهُ َأبُو َد ُاو َد ْ صدَ َ َوت,س
ْ َ َوالْب,ب ْ َوا ْشَر,( ُك ْل
ُّ َو َعلَّ َقهُ اَلْبُ َخا ِر,َوَأمْح َ ُد
ي
Yang tercetak berwarna hijau disebut sanad dan yang tercetak hitam termasuk
matan sedangkan yang tercetak warna biru adalah rowi.
7
Rusydie Anwar, Pengantar Ulumur Qur’an dan Ulumul Hadist, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2015), hlm. 244.
8
Salamah noorhidayati, Kritik Teks.., hlm 39.
9
Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), hlm. 289.
10
Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Darul Fikr, 1993), hlm.
132.
3
meriwayatkan hadits dengan lafalnya yang di dengar, tidak boleh ia
meriwayatkan hadits dengan maknanya saja.
Kemudian Imam Nawawi dalam Taqrib Nawawi berkata: “Jika seorang
perawi tidak mengetahui dengan lafal-lafal (sebuah hadits) dan maksudnya, tidak
teliti terhadap apa yang dibawa oleh makna dari lafal itu, tidak diperbolehkan
meriwayatkan hadits dengan makna tanpa ada perselisihan pendapat, akan tetapi
wajib baginya meriwayatkan dengan lafal yang ia dengar.11
Sedangkan jumhur ulama’, yaitu imam yang empat memperbolehkan
periwayatan hadits secara makna, dengan catatan bukan hadits yang berhubungan
dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah. Ulama-ulama lain perbendapat
membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadits dengan
pengertiannya saja tidak dengan lafal aslinya.
Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya
orang yang menyampaikan hadits itu seorang yang kepercayaan tentang
agamanya baik dan terkenal bersifat jujur, memahami apa yang diriwayatkan,
mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari
orang yang menyampaikan hadits persis sebagaimana yang di dengar, bukan
diriwayatkan dengan makna.12
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sulaiman, ia bertanya
kepada Rasulullah,”Hai Rasulullah, sesungguhnya saya mendengar hadits darimu
tetapi saya tidak sanggup meriwayatkannya menurut apa yang saya dengar yang
bisa menambah atau menguranginya barang sehuruf. Maka Nabi bersabda:
“Apabila engkau tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak sampai
mengharamkan yang halal serta maknanya tepat, maka hal itu tidak masalah”.13
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang yang mengetahui
hal-hal yang memalingkan makna dari lafal, ia boleh meriwayatkan dengan
makna apabila dia tidak ingat makna yang asli, karena dia telah menerima hadits,
baik lafal maupun maknanya.
Sedangkan syarat periwayatan hadits secara makna banyak memunculkan
kontraversi di antara ulama. Abu Bakar ibn al-Arabi berpendapat bahwa selain
sahabat Rasulullah tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits hanya dengan makna.
Beliau mengemukakan alasan untuk mendukung pendapatnya tersebut. Yaitu,
sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan sahabat menyaksikan
langsung tentang keadaan perbuatan Rasulullah saw. Namun pendapat yang
populer dikalangan ulama hadits menyatakan selain sahabat diperkenankan
meriwayatkan hadits secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi, yaitu:
1. Mengetahui pengetahuan bahasa Arab, agar terhindar dari kekeliruan.
2. Periwayatannya terpaksa karena lupa susunan secara lafal ataupun harfiyah.
3. Yang diriwayatkan tersebut bukan bacaan yang sifatnya ta’abidi. Seperti
zikir, doa, azan, takbir dan syahadah serta berbentuk jawani al-kalim.
11
As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, (Kairo: Daarul Hadits, 2004), hlm. 381.
12
Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah..,hlm. 133.
13
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1995), hlm. 22-23.
4
4. Periwayatan hadits secara makna atau mengalami keraguan terhadap
susunan matan hadits yang diriwayatkan supaya menambah kata اوكما قلdan
او نحو هداsetelah menyatakan matan hadits yang bersangkutan.
6. Diperbolehkan hanya pada saat hadits belum dibukukan secara resmi.
C. Latar Belakang Munculnya Riwayah bil-Makna
Artinya:
Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud
menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-
laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan
laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain
dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki
tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin)
berupa mengajarkan ayat Alquran.
Dalam satu riwayat disebutkan:
“Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”
5
Apalagi mengingat Rasulullah sendiri dalam sebuah riwayat pernah
melarang penggantian lafaz nabi dengan rasul seperti yang dilakukan oleh al-
Barra’, walaupun kedua lafaz ini adalah sinonim (muradif). Hadis ini pula yang
kemudian dijadikan dasar oleh kelompok yang melarang periwayatan secara
makna.Mengutip penjelasan Noorhidayati (2008: 46), paling tidak ada 4 faktor
yang mendukung terjadinya periwayatan hadis bil makna, yaitu:
(1) Tidak seluruh hadis Nabi diriwayatkan secara mutawatir,
(2) Pada masa Nabi hingga shahabat, hadis belum dibukukan sehingga
periwayatan lebih banyak dilakukan secara lisan. Walaupun ada beberapa
shahabat yang mencatat hadis, tetapi hal itu bersifat individual.
(3) Adanya perbedaan kemampuan para perawi dalam menghafal dan
meriwayatkan hadis, dan
(4) Hanya hadis qawliy saja yang mungkin diriwayatkan secara tekstual.
Padahal hadis mungkin berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal.
Dari sini dapat dipahami bahwa baik periwayatan bil lafzi ataupun bil makna,
keduanya telah terjadi sejak masa Nabi. Kedua bentuk periwayatan ini
dimungkinkan karena adanya faktor pendukung seperti penjelasan di atas.
6
ini bertujuan untuk meringankan beban dan kesulitan para periwayat dalam
meriwayatkan hadits. Jika periwayat dituntut untuk meriwayatkan hadits sesuai
dengan lafal asli seperti ketika hadits itu diterima, sedangkan catatan hadits tidak
ada pada mereka. Alasan lain secara ijma’, ulama memperbolehkan penerjemahan
hadits dari bahasa Arab ke dalam bahasa Asing bagi orang yang mengetahui
bahasa tersebut. Logikanya, jika penerjemahan kebahasa Asing saja
diperbolehkan, maka penerjemahan ke dalam bahasa Arab sendiri dengan lafal
yang semakna berarti lebih baik.
7
c. Membolehkan dengan syarat
Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah dengan
menentukan persyaratan-persyaratan, mereka menghendaki periwayatan tidak
terlalu sembrono dan lengah yang disebabkan kelonggaran ketentuan yang ada.
Mereka menganggap periwayatan bil-makna merupakan rukhsoh bagi
periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa lafal aslinya. Pendapat ini
banyak dianut oleh para sahabat dan tabi’in, diantaranya Aisyah ra., Abu Sa’id
al-Khudri, Amr bin Dinar, dll.
15
Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits..,hlm. 133-134.
8
Az-Ziyadah berarti menambah dan an-Nuqsan berarti mengurangi.
Maksudnya adalah menambah atau mengurangi lafal (matan) hadits
yang sebenarnya.
4) Al Ibdal
Yaitu penggantian huruf, kata atau kalimat. Ulama’ ahli hadits melarang
al ibdal karena akan menyebabkan perubahan arti dan kandungan hadits.
Terutama yang berkaitan dengan penyebutan nama Allah dan sifat Nya.16
16
Salamah noorhidayati, Kritik Teks Hadis, Analisis tentang ar-riwayah bi al-ma’na dan
implikasi bagi kualitas hadis, ( Yokyakarta: TERAS,2009), Cet. I, hlm 83
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Riwayat hadits bil-makna adalah periwayatan hadits yang isi dan matanya
berbeda secara bahasa dari yang disampaikan oleh Rasulullah, namun subtansi
hadits tersebut tetap sama. Meskipun dalam sejarah hadits riwayah bil-makna
telah diakui terjadi secara besar-besaran, di antara para ulama masih terjadi
perbedaan boleh atau tidaknya riwayah bil-makna dilakukan. Bagi sebagian ulama
yang menolaknya adalah seperti ulama fiqh dan ushul fiqh serta Abu
Rayyah.Sedangkan ulama yang membolehkan seperti Ibn Mas’ud, ia
membolehkan apabila dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti
yang diwurudkan oleh Rasulullah, dan harus dengan hati-hati.
Pada zaman Rasulullah hadits tidak boleh ditulis karena takut akan
tercampur dengan ayat al-Qur’an. Rasulullah hanya memperbolehkan penulis
hadits yang hafalannya lemah. Lamanya masa pelarangan tersebut menjadikan
perbedaan para sahabat dalam meriwayatkan hadits. Ada yang meriwayatkan
hadits dengan lafal persis, tapi tidak sedikit pula yang hanya bisa meriwayatkan
maknanya saja.
10
DAFTAR PUSTAKA
Syuhudi Ismail, M. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Tela’ah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang
11