Anda di halaman 1dari 17

HADIST

AR-RIWAYAH BIL MAKNA

OLEH :
Ronna Vindy Rosshita
Latar Belakang

Dalam ajaran Islam, hadits atau sunnah memiliki posisi yang sangat penting,
yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Jika didiskusikan lebih
spesifik lagi, dari sudut pandang periwayatan, setidaknya ada dua cara
periwayatan hadits. Pertama, periwayatan dengan lafadz, yaitu hadits
diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan redaksi atau lafadz hadits yang
diterimanya dari orang yang menyampaikan hadits tersebut kepadanya. Kedua,
periwayatan dengan makna, yaitu periwayatan hadits dengan redaksi yang
berbeda dari redaksi hadits yang diterima oleh para perawi, namun isi, maksut dan
maknanya sama.
Salah satu persoalan di bidang hadis yang menjadi topik perdebatan sejak
masa sahabat hingga sekarang adalah tentang periwayatan hadis secara makna (ar
riwayah bi al-makna). Perdebatan ini muncul terkait dengan kebolehan atau
tidaknya periwayatan dengan cara tersebut karena adanya perkataan yang
melarang dan membolehkan juga adanya kekhawatiran bahwa kebolehan tersebut
berpeluang pada berubahnya makna hadis sebagai konsekuensi dari perubahan
teks.
REDAKSI MATAN HADIS YANG DIRIWAYATKAN

•Periwayatan Hadist
periwayatan hadis adalah kegiatan penerimaan dan
penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada
rangkaian periwayatnya dengan menggunakan istilah atau
lambang tertentu
Berdasarkan definisi ini, maka ada tiga unsur yang harus
dipenuhi agar dapat disebut periwayatan hadis, yaitu :

• Rawi
Rawi menurut istilah  adalah seorang yang
menyampaikan atau menuliskan dalam
sebuah kitab apa yang diterimanya dari
seorang guru. Atau lebih singkatnya adalah
orang yang meriwayatkan atau memberitakan
Hadits
• Sanad
Menurut bahasa sanad adalah sandaran atau sesuatu yang
dijadikan sandaran. Dikatakan demikian karena Hadits
bersandar kepadanya
• Matan
Matan berasal dari bahasa Arab, matn. Secara etimologi,
matan berarti punggung jalan atau tanah yang keras dan
tinggi. Yang dimaksud matan dalam ilmu hadist adalah
sabda Rosulallah Saw. Yang disebut sesudah sanad atau
disebut juga sebagai materi hadits atau penghubung sanad
‫‪Contoh‬‬
‫ب‪َ ,‬ع ْن َأبِي ِه‪َ ,‬ع ْن َج ِّد ِه قَا َل ‪ :‬قَا َل َرسُو ُل هَّللَا ِ‬ ‫• َو َع ْن َع ْم ِرو ْب ِن ُش َع ْي ٍ‬
‫ص َّد ْق فِي َغ ْي ِر‬ ‫س‪َ ,‬وتَ َ‬ ‫ب‪َ ,‬و ْالبَ ْ‬ ‫صلى هللا عليه وسلم ( ُك ْل‪َ ,‬وا ْش َر‪ْ M‬‬
‫اريُّ‬‫ِ‬ ‫َ‬
‫خ‬ ‫ُ‬ ‫ب‬‫ل‬‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ا‬ ‫ُ‬ ‫ه‬‫َ‬ ‫ق‬‫َّ‬ ‫ل‬‫ع‬ ‫َ‬ ‫و‬
‫َ‬ ‫‪,‬‬ ‫ُ‬
‫د‬ ‫م‬
‫َ‬ ‫حْ‬‫َأ‬‫و‬‫َ‬ ‫‪,‬‬ ‫د‬
‫َ‬ ‫و‬
‫ُ‬ ‫ا‬‫د‬‫َ‬ ‫ُو‬ ‫ب‬‫َأ‬ ‫ُ‬ ‫ه‬‫ج‬‫َ‬ ‫ر‬
‫َ‬ ‫ْ‬
‫خ‬ ‫َأ‬ ‫ف‪َ ,‬واَل َم ِخيلَ ٍة ) ‪ ‬‬
‫َس َر ٍ‬

‫‪yang tercetak coklat disebut sanad yang tercetak‬‬


‫‪hitam disebut matan yang tercetak merah‬‬
‫‪disebut rowi.‬‬
KONSEP AR-RIWAYAH BIL MAKNA
 

• Periwayatan dengan makna adalah suatu


bentuk periwayatan hadis yang dilakukan oleh
seorang perawi dengan menggunakan lafal
dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun
sebagiannya saja dengan tetap menjaga
artinya tanpa menghilangkan apapun apabila
dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan
menurut lafal atau teks aslinya
hukum periwayatan hadits dengan makna
telah terjadi perselisihan pendapat tentang
kebolehan meriwayatkan hadits secara makna.
Sebagian ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh
mengharuskan para perawi meriwayatkan
hadits dengan lafalnya yang di dengar, tidak
boleh ia meriwayatkan hadits dengan
maknanya saja.
Namun pendapat yang populer dikalangan ulama hadits menyatakan selain
sahabat diperkenankan meriwayatkan hadits secara makna dengan
beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Mengetahui pengetahuan bahasa Arab, agar terhindar dari kekeliruan.


2. Periwayatannya terpaksa karena lupa susunan secara lafal ataupun
harfiyah.
3. Yang diriwayatkan tersebut bukan bacaan yang sifatnya ta’abidi. Seperti
zikir, doa, azan, takbir dan syahadah serta berbentuk jawani al-kalim.
4. Periwayatan hadits secara makna atau mengalami keraguan terhadap
susunan matan hadits yang diriwayatkan supaya menambah kata‫ل‬MM‫اوكما ق‬
dan ‫حو هدا‬MM‫ او ن‬setelah menyatakan matan hadits yang bersangkutan.
Diperbolehkan hanya pada saat hadits belum dibukukan secara resmi.
Latar Belakang Munculnya Riwayah bil-Makna

Untuk menjawab pertanyaan tentang latar


munculnya periwayatan bil makna, agaknya kita
harus memahami hakekat dari hadis itu sendiri.
Seperti dimaklumi bahwa hadis diartikan sebagai
ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi. Jika demikian,
maka dapat dikatakan bahwa tidak mungkin
seluruh hadis diriwayatkan secara lafaz dari Nabi.
Sebab dari ketiga unsur itu, hanya ucapan beliau
yang dapat diriwayatkan secara teks murni
Contoh hadis maknawi
BISA LIHAT DI MAKALAH YANG SUDAH
DI BAGIKAN
faktor yang mendukung terjadinya
periwayatan hadis bil makna, yaitu:

(1) Tidak seluruh hadis Nabi diriwayatkan secara mutawatir,


(2) Pada masa Nabi hingga shahabat, hadis belum dibukukan
sehingga periwayatan lebih banyak dilakukan secara lisan.
Walaupun ada beberapa shahabat yang mencatat hadis,
tetapi hal itu bersifat individual.
(3) Adanya perbedaan kemampuan para perawi dalam
menghafal dan meriwayatkan hadis, dan
(4) Hanya hadis qawliy saja yang mungkin diriwayatkan
secara tekstual.
Ar-Riwayah bil-Ma’na Sebelum dan Sesudah Tadwin

• Riwayah sebelum tadwin


Tentang hukum riwayah bil-makna sebelum tadwin
hadits secara resmi, ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama membolehkan periwayatan secara
makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, di
antaranya harus mempunyai kemampuan bahasa
yang mendalam, sedangkan bagi periwayat yang
tidak memenuhi syarat yang ditentukan, mereka
sepakat akan keharusannya untuk meriwayatkan
hadits sesuai dengan lafal yang diterima.
Riwayah sesudah tadwin
• Para ulama sepakat bahwa periwayatan hadits
dengan makna tidak diperbolehkan setelah
hadits-hadits itu tertulis dalam kitab-kitab
hadits
Pandangan para ulama tentang periwayatan bil-makna,
secara garis besar dapat dikategorikan pada tiga macam,
yaitu :

• Tidak membolehkan secara mutlak


• Membolehkan secara mutlak
• Membolehkan dengan syarat
Implikasi periwayatan hadits bi al-makna

• 1)      Al-ikhtisar dan at-Taqti


• al ikhtisar artinya meringkas sedangkan at Taqti’ adalah
memenggal matan hadits, maksudnya meriwayatkan
sebagian hadits dan meninggalkan sebagian yang lain.
• 2)      At-Taqdim dan at-Ta’khir
• Salah satu bentuk dari ar-riwayah bi al-ma’na adalah
periwayatan hadits dengan mendahulukan lafal yang
tidak semestinya didahulukan (al-taqdim) dan
mengakhirkan lafal yang semestinya didahulukan (al-
ta’khir).
• 3)      Az-Ziyadah dan an-Nuqsan
Az-Ziyadah berarti menambah dan an-Nuqsan
berarti mengurangi. Maksudnya adalah
menambah atau mengurangi lafal (matan)
hadits yang sebenarnya.
• 4)      Al Ibdal
Yaitu penggantian huruf, kata atau kalimat.

Anda mungkin juga menyukai