Anda di halaman 1dari 9

KLASIFIKASI HADIS BERDASARKAN KUALITAS

PERIWAYATAN

A. Pengantar Pembahasan

Hadis ahad dari aspek wurud (kedatangan nya) bersifat dhanni.Maksud nya bahwa
lafazh atau informasi yang dikandung hadis tersebut bersifat dugaan yakni diduga kuat
berasal dari nabi saw. Kepastian sumber informasi ini menyebabkan kekufurannya Berbeda
dengan hadis ahad. Hadis ini karena ke;dhanniannya , tidak bisa langsung dijadikan sebagai
landasan normative bagi aktifitas umat islam, apalagi sebagai landasan normative bagi
aktifitas umat islam, apalagi sebagai landasan dalam berakidah.

Untuk menetapkan dapat atau tidak nya hadis ahad, dijadikan sebagai landasan normatif
di perlukan adanya pengujian atau verifikasi. Untuk tujuan inilah maka para ulama hadis
dengan segala kemampuan nya melakukan pengkajian mendalam terhadap hadis-hadis
ahad. Dari kegiatan ini mereka berhasil merummuskan sejumlah persyaratan untuk
menerapkan kwalitas sebuah hadis ahad, para ulama hadis membagi kwalitas hadis ahad
dalam 3 kategori

1. Hadis shahih
2. Hadis hasan
3. Hadis dha if

Urutan tersebut tidak bisa diubah atau di tukar karna secara hirarkis, menunjukan
tingkatan kwalitas atau kekuatan hadis ahad dari yang tertinggi hingga yang terendah.

B. Hadis Shahih

Secara bahasa kata shahih berarti sehat, lawan dari sakit. Sedangkan secata istilah,
Ibn al-Shalah sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib
mengartikan hadis sebagai berikut

‫صحيْح ه َو اْلـم ْسنَد الّذي يَتّصل ا ْسنَد ه ينَ ْقل اْل َعدْ ل الضَّا بط‬
ّ ‫ْل َحد يْث ال‬
‫شاَذًّا َو َل معَلّال‬
َ ‫عن اْلعَدْ ل الضَّا بط الَي م ْنت َ َها ه َو َل يَك ْون‬
َ

Artinya : Hadis shahih adalah musnad (hadis yang beritanya bersumber dari Nabi
Saw. ) yang sanadnya bersambung diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhabith
(kuat hafalan) dari orang yang adil dan dhabith pula hingga akhir, serta tidak syahdz
(tidak janggal) dan tidak berillat (tidak cacat)

Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu hadis akan disebut shahih jika
memenuhi lima persyaratan, yaitu :

1. Sanadnya bersambung, yakni bahwa mata rantai periwayatan hadis tersebut tidak
terputus.
2. Para periwayat yang mewirayatkan harus bersifat adil dari mulai periwayatan
pertama yang menerima hadis langsung dari Nabi Muhammad Saw. hingga
periwayatan terakhir yang menulis hadis dalam kitabnya.
3. Para periwayat hadis harus orang-orang yang dhabith (mempunyai hafalan yang
kuat)
4. Informasi yang terkandung dalam hadis tidak syahdz (isi hadis tersebut tidak
bertentangan dengan isi hadis lain atau al-Quran atau hadis mutawatir)
5. Hadis itu tidak mengandung illat atau cacat,

Para ulama sependapat bahwa hadis shahih harus memenuhi lima persyaratan
diatas. Tetapi penerapan terhadap masing-masing persyaratan tersebut tidak sama. Dalam
hal persambungan sanad misalnya, sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa suatu
sanad dikatakan bersambung jika periwayat yang satu dengan yang lainnya yang terdapat
pada thabaqat (level) berikutnya harus betul-betul serah terima hadis. Artinya belum tentu
para periwayat hadis yang ada dalam rangkaian sanad satu sama lain bebar-benar saling
bertemu.

Sementara itu sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa periwayatan hadis
yang bersifat mu’an’an dapat dinilai memiliki sanad yang berlangsung apabila antara
perawi penyampai dan penerima hadis hidup dalam satu masa.

Perbedaan pandangan dikalangan ulama di atas mengakibatkan munculnya


perbedaan penilaian tentang bersambung atau tidaknya sebuah hadis. Hadis yang
dinyatakan bersambung sanadnya oleh seorang ulama belum tentu dinilai bersambung
menurut ulama yang lain. Karena itu boleh jadi hadis yang dinilai shahih oleh seorang
ulama akan dinilai tidak shahih karena adanya perbedaan kriteria, baik yang menyangkut
persambungan sanad maupun penilaian tentang keadilan dan kedhabitan periwayat hadis
tersebut.
Keshahihan sebuah hadis tidak hanya ditentukan oleh keshahihan sanad semata,
tetapi juga ditentukan oleh matan hadis tersebut. Untuk mendapatkan keshahihan sebuah
hadis, terlebih dahulu seseorang harus menentukan keshahihan sanad dari keshahihan
matannya. Jika keshahihan sanad dinilai dari ketersambungan, keadilan, dan kedhabitan
para periwayat hadis yang terdapat di dalamnya, maka keshahihan matan dinilai dari segi
janggal (syahdz) atau tidaknya informasi yang dimuat oleh hadis terebut.

C. Hadis Hasan

Secara bahasa kata hasan artinya bagus, ada yg menyebutkan kata hasan adalah isim
fa’il dari kata hasuna, ada juga yang menyebutkan bahwa kata hasan adalah sifat
musyabbahah dari wazan. Sedangkan menurut istilah, para ‘ulama ahli hadits berbeda
pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan. Pendapat yg paling popular yaitu pendapat
Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani. Beliau menyebutkan bahwa, “Hadits yang diriwayatkan
oleh periwayat yang adil, sempurna ke-dlabitannya, bersambung sanadnya, tidak ada cacat,
dan syad (janggal) adalah Hadits Shahih Li Dzatihi. Jika ringan ke-dlabittan perawi
haditsnya maka hadits tersebut adalah Hadits Hasan Li Dzatihi

Dapat disimpulkan bahwa hadits hasan adalah sebuah hadits yang berada pada
pertengahan antara hadits shahih dan hadits dlo”if. Mengapa demikian?. Awal mula istilah
hadits hasan dipopulerkan oleh Imam Ath-Thurmuzi. pada saat itu beliau melihat ada
beberapa hadits yang tidak dapat di masukan kedalam kategori hadits dlo’if, namun kurang
tepat apabila dimasukan kedalam kriteria hadits shahih. Dalam kitabnya, beliau memberi
nama untuk kategori hadits tersebut dengan istilah Hadits Hasan Shahih. Maksudnya
adalah “Jika suatu hadits dilihat dari jalur periwayatan tertentu, ia berpredikat shahih.
Tapi pada jalur periwayatan lain, ia berpredikat hasan”. Namun, apabila hadits tersebut
hanya memiliki satu jalur periwayatan, maka “Jika hadits tersebut dinilai berdasarkan
kriteria ‘ulama tertentu, ia berpredikat shahih. Tapi apabila hadits tersebut dinilai
berdasarkan kriteria ‘ulama yang lain, ia berpredikat hasan.

Kemudian, para ‘ulama ahli hadits berpendapat bahwa hadits hasan dapat naik
derajatnya menjadi hadits shahih, apabila ada hadits lain yang memiliki isi (redaksi) yang
sama, dengan kualitas yang lebih tinggi, hadits ini disebut dengan Hadits Shahih Li
Ghairihi. Namun apabila tidak ada pedukung dari hadits lain, maka disebut dengan Hadits
Hasan Li Dzatihi (dalam ilmu musthalah hadits).
D. Hadis Dhaif

Kata dha’if menurut bahasa berasal dari kata dhuifun yang berarti lemah lawan dari
kata qawiy yang berarti kuat. Sedangkan dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi hadits
hasan. Hadits dhaif disebut juga hadits mardud (ditolak). Contoh hadits dhaif ialah hadits
yang berbunyi:

‫لى ا ْل َج ْو َر بَي ِْن‬


َ ‫ع‬ َ ‫ضأ َ َو َم‬
َ ‫س َح‬ َ ‫ي صلى هللا علىه وسلم ت ََو‬
َ ‫اِنَ النَ ِب‬

Artinya: “Bahwasanya Nabi SAW wudhu dan beliau mengudap kedua kaos kakinya”.

Hadits tersebut dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi.
Seorang perawi yang masih dipersoalkan.

• Kriteria hadits dhaif

Para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif yaitu:

ِ ‫ت ا ْل َح ِد ْي‬
‫ث‬ َ َ‫ْح َوال‬
ِ ‫صفَا‬ ِ ‫صحِ ي‬ ِ ‫صفَا تُ ا ْل َح ِد ْي‬
َ ‫ث ال‬ ِ ‫ى لَ ْم يُ ْج َم ْع‬ ُ ‫ض ِعيْفِ ه َُو ا ْل َح ِدي‬
ْ ‫ْث الَ ِذ‬ ُ ‫ا َ ْل َح ِدي‬
َ ‫ْث ال‬

Artinya: “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat shahih, dan
juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai
hadits shahih dan hasan. Dengan demikian, hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi syarat-
syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits hasan. Tetapi, dugaan
untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW. Kehati-hatian dari
para ahli hadits dalam menerima hadits, sehingga mereka menjadikan tidak adanya
petunjuk keaslian hadits itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadits dan
menghukuminya sebagai hadits dhaif. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits
itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan
hadits, seperti kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau
kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits. Padahal sebetulnya ia jujur
dan dapat dipercaya.

Jadi, ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya


kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk
menolaknya.
Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. Hadits
yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak
diketahui, sehingga bisa jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif,
maka bisa jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya.

Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu
kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang
dalam diterimanya suatu hadits. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan
ilmiah.

Berikut ini adalah jenis-jenis hadits dhaif:

1. Hadits mu’allaq: ialah hadits yang salah satu atau lebih dari para perawinya dihilangkan
(dihapus) dari awal sanad. Misalnya hadits yang langsung disandarkan kepada
Rasulullah SAW, atau hanya menyebutkan sahabat lalu Rasulullah SAW, atau hanya
menyebutkan tabi’i, lalu sahabat, lalu Rasulullah SAW.
2. Hadits mursal: ialah hadits yang salah satu atau lebih dari para perawinya dihilangkan
(dihapus) dari akhir sanad. Yakni ketika seorang tabi’i langsung menyandarkan
riwayatnya kepada Rasulullah SAW tanpa menyebutkan seorang sahabat.
3. Hadits munqathi’: ialah hadits yang salah satu atau lebih dari para perawinya
dihilangkan (dihapus) dari tengah sanad. Yakni ketika seorang perawi menyandarkan
hadits kepada sahabat tanpa melalui seorang tabi’i. Ini adalah definisi hadits munqathi’
yang paling sering dipakai, meskipun ada juga yang mendefinisikan hadits munqathi
secara lebih luas, mencakup pula hadits mu’allaq dan hadits mursal.
4. Hadits mu’dhal: ialah hadits yang dua tingkatan perawinya secara berurutan terputus
atau tidak disebutkan. Misalnya, Malik berkata, Rasulullah SAW berkata. Atau Al-
Syafi’i berkata, Ibnu Umar berkata.

5. Hadits mudallas: yaitu hadits yang didalamnya terdapat ‘aib yang berusaha
disembunyikan oleh perawinya.Hadits mudraj: ialah hadits yang didalamnya terdapat
bagian (tambahan) yang merupakan ucapan salah satu perawinya namun dianggap
sebagai bagian dari hadits.
6. Hadits munkar: memiliki dua pengertian. Pengertian pertama ialah hadits yang
didalamnya terdapat perawi yang jelas-jelas fasiq atau sangat lemah hafalannya atau
suka salah dalam meriwayatkan, dan tidak ada jalur sanad lainnya yang meriwayatkan
matan hadits tersebut. Artinya sanad hadits tersebut munfarid. Pengertian kedua ialah
hadits yang para perawinya dhaif dan bertentangan dengan hadits-hadits lain yang para
perawinya terpercaya. Dalam pengertian yang kedua ini, hadits lain yang para
perawinya terpercaya biasa disebut sebagai hadits ma’ruf.
7. Hadits syaadz: ialah hadits yang para perawinya tsiqah namun bertentangan dengan
hadits-hadits lainnya yang riwayatnya lebih kuat. Syudzudz bisa dalam sanadnya dan
bisa pula dalam matannya. Hadits-hadits lain yang lebih kuat dari hadits yang syadz
biasa disebut sebagai hadits mahfuzh.
8. Hadits mu’allal: ialah hadits yang mengandung ‘illat qaadihah (cacat yang
tersembunyi). Ini hanya bisa diketahui oleh para ahli hadits.
9. Hadits mudhtharib: ialah hadits yang periwayatannya lebih dari satu namun
bertentangan satu dengan yang lainnya, dan semua periwayatan tersebut sama-sama
kuatnya (tidak ada yang lebih kuat).Hadits mudraj: ialah hadits yang didalamnya
terdapat bagian (tambahan) yang merupakan ucapan salah satu perawinya namun
dianggap sebagai bagian dari hadits.
10. Hadits munkar: memiliki dua pengertian. Pengertian pertama ialah hadits yang
didalamnya terdapat perawi yang jelas-jelas fasiq atau sangat lemah hafalannya atau
suka salah dalam meriwayatkan, dan tidak ada jalur sanad lainnya yang meriwayatkan
matan hadits tersebut. Artinya sanad hadits tersebut munfarid. Pengertian kedua ialah
hadits yang para perawinya dhaif dan bertentangan dengan hadits-hadits lain yang para
perawinya terpercaya. Dalam pengertian yang kedua ini, hadits lain yang para
perawinya terpercaya biasa disebut sebagai hadits ma’ruf.

11. Hadits syaadz: ialah hadits yang para perawinya tsiqah namun bertentangan dengan
hadits-hadits lainnya yang riwayatnya lebih kuat. Syudzudz bisa dalam sanadnya dan
bisa pula dalam matannya. Hadits-hadits lain yang lebih kuat dari hadits yang syadz
biasa disebut sebagai hadits mahfuzh.
12. Hadits mu’allal: ialah hadits yang mengandung ‘illat qaadihah (cacat yang
tersembunyi). Ini hanya bisa diketahui oleh para ahli hadits.
13. Hadits mudhtharib: ialah hadits yang periwayatannya lebih dari satu namun
bertentangan satu dengan yang lainnya, dan semua periwayatan tersebut sama-sama
kuatnya (tidak ada yang lebih kuat).
A. SEBAB-SEBAB KEDHAIFAN SUATU HADIS

Dalam hadits dhaif, ada dua pembagian besar yang dilakukan oleh para ulama.
Pembagian ini didasarkan pada sebab-sebab suatu hadits dihukumi dhaif (lemah), yaitu:
pertama, karena terputusnya sanad (al-mardûd bi sabab saqtun fi al-isnad) dan kedua,
karena cacatnya rawi (al-mardûd bi sabab ṭaʽn fi ar-rawi).

Kategori sebab yang pertama yakni terputusnya sanad, memunculkan berbagai


pembagian dalam hadits dhaif, seperti: Muallaq, Mursal, Muʽdhal, Munqathi, Mudallas,
Muʽanʽan dan Mursal Khafi.

Sedangkan kategori kedua, yaitu karena cacatnya perawi yang meriwayatkan hadits
tersebut, juga memunculkan berbagai pembagian, yaitu Maudhu (palsu), Mungkar, Ma’ruf,
Syadz, Muallal, Mukhalafah li as-Siqqah, Mudraj, Muththarrib, Maqlub, dan beberapa jenis
yang lain.

Ada beberapa sebab terjadinya daif dalam kategori kedua ini:


• Pertama, sering berbohong (muttaham bi al-kadzab): yakni rawi tersebut diketahui
sering berbohong dalam ucapannya sehari-hari tetapi tidak diketahui apakah ia
berbohong atau tidak dalam meriwayatkan hadits. Konsekuensi dari sebab ini
adalah menjadikan hadits yang diriwayatkan menjadi hadits matruk.
• Kedua, fasiq: perawi tersebut pernah melakukan suatu dosa besar atau terus-
menerus melakukan dosa kecil.
• Ketiga, pelaku bid’ah: rawi melakukan bid'ah, baik dalam keyakinan maupun
perbuatan.
• Keempat, tidak dikenali (jahâlah al-ʽain): perawi tidak dikenal atau tidak diketahui
perilakunya.

Empat sebab yang telah disebutkan di atas merupakan sebab kecacatan rawi dalam segi
adalah (keadilan). Sedangkan sebab berikut adalah sebab kecacatan rawi dalam segi
kedhabitan:

• Pertama, sering melakukan kesalahan (fahsy al-ghalaṭ): Hafalan sangat buruk,


lebih banyak salah daripada benarnya dalam meriwayatkan hadits
• Kedua, sering lupa(ghaflah)
• Ketiga, jelek hafalannya (sû’ al-ḥifdz): Jeleknya hafalan rawi sehingga ia sering
salah dalam dalam meriwayatkan hadits.
• Keempat, ragu-ragu (wahm): Rawi sering salah sangka dalam periwayatan,
semisal mengira atsar yang mauquf menjadi hadits marfu', mengira hadits
munqathi' adalah muttasil.

Kelima, berbeda dengan riwayat orang-orang yang terpercaya (mukhalafah al-tsiqqah).


(Lihat: Mahmûd al-Ṭaḥḥān, Taysîr Muṣṭalah al-Ḥadîts, [Riyadh: Maktabah Maarif, 2010],
h. 76-155.)

Oleh karena itu, karena hadits menjadi landasan hukum setelah Al-Qur’an maka ia
harus dipastikan kesahihannya, terlebih harus dipastikan siapa yang meriwayatkan hadits
tersebut, apakah periwayat tersebut memiliki sifat yang sama sebagaimana sebab-sebab
dalam kategori di atas. Jika benar, maka hadits yang diriwayatkan bisa termasuk dalam
kategori dhaif atau bahkan maudhu' (palsu).

Sebab dan kriteria di atas juga bisa kita gunakan untuk menilai suatu berita yang
dibawa oleh seseorang. Jika pembawa berita tersebut ternyata memiliki sifat atau kriteria
yang sesuai dengan kecacatan rawi di atas, maka perlu juga kita pertanyakan keabsahan
berita yang dibawanya. Wallahu A’lam.

B. TINGKATAN-TINGKATAN HADIS DHAIF


a. Hadis Dha'if yang ringan kedhaifannya

Hadits yang ringan kedhaifannya adalah setiap hadits dhaif yang tidak masuk
kategori hadits palsu dan hadits yang sangat dhaif.

b. Hadis Dha'if yang berat kedhaifannya

Hadits yang sangat dhaif adalah hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi
yang sangat buruk hifzh-nya, atau yang tertuduh berdusta, dan yang matruk, atau dhaif
karena menyelisihi riwayat orang-orang yang maqbul, dan ia adalah hadits munkar,
atau riwayat orang yang maqbul yang menyelisihi riwayat orang-orang yang lebih rajih
darinya, dan ia adalah hadits syadz.

c. Hadis Palsu

Hadits palsu adalah hadits yang di dalam sanadnya terdapat seorang pendusta,
bersama dengan diingkarinya matan, atau yang di dalamnya terdapat tanda-tanda
kepalsuan hadits.
C. SIKAP YANG DITUNTUT KETIKA MENGHADAPI HADIS DHAIF
• Pertama, Imam Nawawi dalam Fatawa-nya menyebutkan adanya konsensus
(ijmak) di kalangan ulama terkait kebolehan mengamalkan hadits dhaif untuk
hal-hal yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum halal dan haram.
• Kedua, boleh mengamalkannya secara mutlak dalam persoalan hukum ketika
tidak ditemukan lagi hadits sahih yang bisa dijadikan sebagai sandaran.
Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan Abu Daud. Selain itu Imam
Abu Hanifah dan Ibnul Qayyimil Jauziyyah juga mengutip pendapat tersebut.
• Ketiga, hadits dhaif boleh diamalkan jika ia tersebar secara luas dan masyarakat
menerimanya secara umum tanpa adanya tolakan yang berarti (talaqqathul
ummah bil qabul). Keempat, boleh mengamalkannya ketika hadits dhaif
tersebut didukung oleh jalur periwayatan lain yang sama atau lebih kuat secara
kualitas darinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At-Tirmidzi dalam
karyanya. Wallahu a‘lam.

Anda mungkin juga menyukai