Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH TAFSIR HADIST HADIST

DILIHAT DARI SEGI KUALITASNYA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir dan Hadist Dosen

Pengampu: Bapak Ahmad Hanany Naseh


Disusun oleh: Winda

Sulistyarini 16410057/

II.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS

ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA


YOGYAKARTA

2016/2017
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah
serta inayahNya sehingga kita dapat menikmati nikmat iman dan islam. Sholawat
serta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Selanjutnya, kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Hanany Naseh
sebagai dosen mata kuliah tafsir dan hadis yang telah memberikan tugas makalah
kepada kami tentang kualifikasi hadis berdasarkan kualitass. Kami menyadari
masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Dengan kerendahan
hati, kami menerima kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki dan
meningkatkan kinerja kami. Semoga makalah ini dapat menambah ilmu dan
bermanfaat di semua kalangan. Terima kasih.

Yogyakarta, 01 Juni 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Cover

HYPERLINK \l "_TOC_250011" Kata Pengantar........................................i

Daftar Isi...............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................................iii

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................iii

1.3 Tujuan..............................................................................................................iii

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kualifikasi Hadist Ditinjau dari Segi Kualitasnya...........................................1

a. Hadist Maqbul.............................................................................................2

b. Hadist Mardud............................................................................................9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan......................................................................................................21

3.2 Saran................................................................................................................21

Daftar Pustaka.....................................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian


tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam hadis banyak sekali bahasan dalam
ilmu hadis yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari,
terutama masalah ilmu hadis. Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian
hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang
setelah melihat pembagian hadis ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan
berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadis
ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadis ditanjau dari segi kualitas
sanad dan matan.

Oleh karena itu, makalah ini akan membahas pembagian hadis ditinjau dari
kualitasnya secara rinci.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah Kualifikasi Dan Pembahasan Mengenai Hadist Ditinjau
Dari Segi Kualitasnya?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami kualifikasi dan pembahasan mengenai hadist
ditinjau dari segi kualitas-Nya.

iii
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembagian Hadis Ditinjau dari Kualitasnya

Pembicaraan tentang pembagian hadis dilihat dari segi kualitasnya ini


tidak lepas dari pembahasan tentang pembagian hadis ditinjau dari segi
kuatintasnya, yang dibagi menjadi hadis mutawatir dan hadis ahad sebagian
telah dibicarakan pada bab sebelumnya. Hadis mutawatir memberikan
pengertian yakin bi al-qath’i bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar
bersabda, berbuat, atau menyatakan iqrar (persetujuan)nya di hadapan para
sahabat, berdasarkan sumbe-sumber yang banyak dan mustahil mereka
bersama-sama sepakat untuk berbuat dusta kepada Rasulullah SAW. Karena
kebenaran sumber-sumbernya telah menyakinkan, maka hadis mutawatir ini
harus diterima dan diamalkan tanpa perlu lagi mengadakan penelitian atau
penyelidikan, baik terhadap sanat maupun matan-nya. Berbeda dengan hadis
ahad, yang hanya memberikan pengertian (prasangka yang kuat akan
kebenarannya) mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan,
baik terhadap sanat maupun matan-nya, sehingga status hadis ahad tersebut
menjadi jelas, apakah dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak.1
Dari persoalan inilah, para ulama ahli hadis membagi hadits, ditinjau dari
segi kualitasnya, menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.2
a. Hadist Maqbul, artinya hadist yang mempunyai sifat-sifat yang dapat
diterima sebagai hujjah. Hukumnya dapat diterima sebagai hujjah.
b. Hadist Mardud, artinya hadist yang tidak mempunyai sifat-sifat yang
dapat diterima sebagai hujjah. Hukumnya tidak dapat diterima sebagi
hujjah.3

Masing-masing baik hadist maqbul maupun mardud mempunyai penjelasan


sendiri sebagai berikut:

A. HADIST MAQBUL

1
Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan
mushaddaq (yang dibenarkan atau yang diterima), sedangkan menurut
istilah adalah:

ْ ُ ‫ِ َقب‬
‫و ِل‬ ُ ‫َ ما ت ْ ت َ ج‬
Artinya; ‫ط‬ ‫ش‬ ‫ف ِ ي ْ ه ِم ي‬ ‫وافَ َر‬
َ َ
‫ال‬ ‫رو‬
ْ ُ ‫ْع‬
“Hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya.”4
1) Macam-macam Hadist Maqbul5
Hadist Maqbul bila ditinjau dari segi tingkatan kualitasnya dibagi
menjadi 2 bagian pokok, yaitu hadist shahih dan hadist hasan,dan masing-
masing terdiri dari 2 bagian, yaitu shahih lidzatihi.
a) Hadist Shahih
Kata shahih berasal dari bahasa Arab as-shahih bentuk pluralnya
ashiha’ dan berakar kata pada shahha. Dari segi bahasa, kata ini memiliki
beberapa arti, diantaranya: (1) selamat dari penyakit, (2) bebas dari
aib/cacat.6 Kata shahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia
dengan arti sah, benar, sempurna (tiada celanya); pasti.7
Para ulama telah memberikan definisi hadis shahih sebagai hadis
yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli hadis.

‫َ سن َُدُه‬ َ ‫ُث‬ َ ‫ال ُ ث ِ ُ ح‬


ِ ّ‫ال‬
‫ذ ى ا ِت ص‬ ِ ‫الص ح هُوَ ال‬
‫حد‬ ‫َحدِي‬
‫ي‬ ‫ي‬
‫َل‬
‫ُ من ْت‬ ‫ِط‬ ‫ِل‬ ‫ِن‬ ِ ‫ِل‬ ‫ِل‬ َ ‫ب ِن‬
‫اه‬
ُ ‫ه‬َ َ ‫ا ِلَ ى‬ ‫الضاب‬ ‫الضاب ط‬ ‫اَلعد‬ ‫ْق‬
‫العد‬
َ
‫ع‬
ً ‫معلّل‬
َ ُ ‫َ شاذّا‬ ‫َول َ ي َك ُْو‬
‫َول‬ ‫ُن‬
“Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dari rawi lain yang (juga)
adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta
tidak mengandung cacat (illat).”

2
a. syarat-Syarat Hadist Shahih

Sebagaimana pengertian di atas, syarat-syarat hadist shahih yang harus


dipenuhi ada 5 macam:
2) Sanadnya harus bersambung, artinya masing-masing perawi betul-
betul pernah menerima hadist secara langsung dari perawi di atasnya.
Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad.
3) Perawinya bersifat adil, artinya perawinya harus beragama Islam,
mukallaf (baligh dan berakal), melaksanakan ketentuan agama (tidak
fasiq), dan tidak cacat muru’ahnya (berperilaku baik).
4) Perawinya bersifat dlabith, artinya sempurna hafalannya baik dhabith
al-shadr atau dhabith al-kitab.
5) Tidak terdapat syadz (kejanggalan), artinya hadist yang
diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah tidak bertentangan dengan
hadist yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang juga bersifat
tsiqah.
6) Tidak terdapat illat (cacat), artinya tidak terdapat sebab yang
tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadist yang tampak lahirnya
shahih.

Para ulama ahli hadis membagi hadis shahih menjadi dua bagian,
yaitu shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi. Perbedaan antara kedua
bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada hadis
shahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna. 10

Yang dimaksud dengan hadis shahih li dzatihi adalah hadis shahih


yang mencapai tingkat keshahihannya dengan sendirinya tanpa dukungan
hadis lain yang menguatkannya.11 Contoh hadis shahih li dzatihi, antara
lain:

َ‫َ َ رة‬ ‫َ حدّث َن َا قُت َي ُ ة‬


ْ ُ ‫َ حدّ َ ج‬ ‫سع‬
ِ َ
‫ث َن ِري ر ن م‬ ‫ي ٍْد‬ ْ ‫ْب َ ب‬
‫ع ع ا‬ ‫َا‬ ‫ُن‬
,‫رة َ ل‬
َ َ َ ‫ي‬ ْ ‫ه ا َب‬ َ ُ ‫ْ ن ا ْر‬
‫َقا‬ ‫ر‬ ‫ِى ن‬ ‫َ ب ِى ع ز ة‬
‫ع‬ َ
‫ِع ع‬ ‫َقا‬ َ ْ‫قع‬ ‫ب‬ ‫ِن ال‬
ّ َ ‫َ صلّى ُ ه عَلَ ي‬
‫سل َم‬ ‫ٌل ا ُ ِل‬ َ ‫َ جا‬
‫هو‬ ِ ْ ‫الل‬ ‫ِلَ ى َر س اللّ ه‬ ‫َء ر‬
ْ‫و‬ ‫ُج‬
10 Ibid, 148.
11 Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 270.

3
‫َص‬
ْ ّ‫ ُ ُ ل َ م َ حق‬:‫ف َقا َ ل‬ َ
‫َحاب َت‬ ‫ي َا َر س اللّ ه ْن ا ب ِ ُح س‬
‫ِى؟‬
ْ‫و‬
‫ِن‬
‫ َ م ْن؟‬:‫َ َ ل‬ َ ‫َم‬ :‫َ ك َ ل‬ َ ‫َقا‬
‫قَ ث ُ ّم‬.‫ك‬ ‫ن؟ قَا ل‬ ‫ قَا ث ُ ّم‬. ‫ا‬:‫ل‬
ْ
‫ا‬ ُ‫ا‬ ‫ُ ّم‬
‫ّم‬
ْ ُ ‫َ م َ ّ م ا َب‬
‫و َك‬ :‫َ ك َ ل‬ َ ‫قَا‬.
‫ْن؟ قَا ل‬ ‫ َقا ث ُ ّم‬. ‫ل‬
‫ث‬ ُ‫ا‬
‫ّم‬
Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said, ia berkata:
“Meriwayatkan kepada kami Jarir dari ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ dari Abu
Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata: ‘Datang seorang laki-laki kepada
Rasulullah SAW., lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, siapakah orang yang
paling berhak mendapatkan perlakuanku yang baik?’ Rasulullah
menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya: ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah
menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi: ‘Kemudian siapa?’
Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’ Orang itu kembali bertanya: ‘Kemudian
siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Kemudian bapakmu.’” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)12

Sedangkan yang dimaksud dengan hadis shahih li ghairihi adalah


hadis hasan li dzatihi yang diriwayatkan melalui jalur lain yang semisal
atau yang lebih kuat, baik dengan redaksi yang sama maupun hanya
maknanya saja yang sama, maka kedudukan hadis tersebut menjadi kuat
dan meningkat kualitasnya dari tingkatan hasan kepada tingkatan shahih. 13
Dengan kata lain, hadis ini keshahihannya tidak berasal dari sanadnya
sendiri melainkan dibantu oleh adanya matan atau sanad yang lainnya. 14
Contoh hadis shahih li ghairihi, antara lain hadis riwayat Turmudzi
melalui jalur Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

‫س ِ عن َْد‬ ‫علَى ّ مت ِ َ َ م ْ م‬
ّ َ ّ‫لَْول َ ا ْ ُ شق‬
‫َوا‬ ‫ا ْى ل ْرت ب ِال‬ ‫ن‬
‫ِك‬ ‫ُه‬ ‫ا‬
‫ك ُ َ صل ٍَة‬.
‫ّل‬
12 Ibid, 243-244.
13 Ibid, 270.
14 Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 148.

4
Artinya: “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan
bersiwak setiap kali hendak melaksanakan salat.”

Ibnu Umar Ash-Shalah menyatakan bahwa Muhammad bin Amr


terkenal sebagai orang yang jujur, tetapi ke-dhabit-annya kurang sempurna
sehingga hadis riwayatnya hanya mencapai tingkat hasan. Hadis ini juga
diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur Al-A’raj Abu Hurairah yang
hadisnya dinilai shahih. Oleh karena itu hadis riwayat Turmudzi tersebut
naik menjadi shahih li ghairihi.15

Para ulama hadis membagi tingkatan hadis shahih menjadi tujuh,


yang secara berurutan adalah sebagai berikut:

1. Hadis yang disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim,


yang lazim disebut dengan istilah “Muttafaqun ‘alaihi.”

2. Hadis yang dishahihkan oleh Al-Bukhari saja.

3. Hadis yang dishahihkan oleh Muslim saja.

4. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim,


tetapi mengikuti syarat-syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim.

5. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim,


tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Al-Bukhari.

6. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim,


tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Muslim.

7. Hadis shahih yang diriwayatkan oleh ahli hadis yang terkenal selain
Al-Bukhari dan Muslim, tetapi tidak mengikuti syarat-syarat
keshahihan Al-Bukhari dan Muslim dan tidak pula mengikuti syarat-
syarat keshahihan salah satu dari Al-Bukhari dan Muslim.16

15 Ibid, 149-150.
16 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), 57.

5
Para ulama telah menyusun sejumlah kitab yang khusus
menghimpun hadis-hadis shahih. Yang paling masyhur diantaranya adalah
shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim. Berikut ini adalah nama-nama kitab
yang memuat hadis shahih.

1. Al-Muwaththa’, disusun oleh Imam Malik (93-173 H/712-798 M).

2. Al-Jami’ as-Shahih al-Bukhari, disusun oleh Imam Abu Abdullah


Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim al-Mughirah ibn Birdizbah al-
Ja’fari al-Bukhari.

3. Shahih Muslim, disusun oleh Imam Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairy


an-Naisabury.

4. Shahih ibn Huzaimah, disusun oleh Abu Abdullah ibn Abu Bakar al-
Huzaimah.

5. Shahih ibn Hibban, disusun oleh Abu Hatim Muhammad ibn Hibban.17

a) Hadist Hasan

“Al-hasan” berbentuk sifat musyabbahat yang berati baik.18 Hasan


menurut bahasa ialah “sesuatu yang baik dan cantik.” Sedangkan menurut
terminologi, hadis hasan ialah hadis yang muttasil sanadnya, diriwayatkan
oleh rawi yang adil dan dhabit, tetapi kadar kedhabitannya di bawah
kedhabitan hadis shahih, dan hadis itu tidak syadz dan tidak pula terdapat
illat (cacat).19 Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa hadis hasan sama
dengan hadis shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan
perawi. Pada hadis shahih, ingatan atau daya hafalannya harus sempurna,
sedangkan pada hadis hasan, ingatan atau daya hafalannya kurang

17 Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010), 248.
18 Dr. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist .,hlm.73.
19 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), 59.

6
sempurna. Dengan kata lain bahwa syarat-syarat hadis hasan dapat dirinci
sebagai berikut:

1. Sanadnya bersambung

2. Perawinya adil

3. Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya di bawah kedhabitan hadis


shahih

4. Tidak terdapat syadz

5. Tidak ada illat.

Para ulama membagi hadis hasan menjadi dua bagian, yaitu hasan li
dzatihi dan hasan li ghairihi. Yang dimaksud dengan hadis hasan li dzatihi
ialah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan diatas. Dengan
demikian, maka pengertian hadis hasan li dzatihi sama dengan pengertian
hadis hasan sebagaimana telah diuraikan diatas. 20 Selain itu, hadis hasan li
dzatihi juga sederajat dengan hadis shahih li ghairihi.

Sedangkan yang dimaksud dengan hadis hasan li ghairi adalah suatu


hadis yang meningkat kualitasnya menjadi hadist hasan karena diperkuat
oleh hadis lain.21 Contoh dari hadis hasan li ghairihi antara lain hadis At-
Turmudzi.

ِ‫معة‬
َ ُ ‫وا ي ُ ج‬ ُ ِ
‫سل‬ ‫سل ِ مي ْ ن‬ِ ْ ‫علَى الم‬
َ ‫حق‬
ّ َ
ْ
‫َم ال‬ ‫َْو‬ ‫َن ا ي َْغت‬

‫ِ ب ا ْ ن ل ِ جدْ َ ماُء‬ ‫ِم‬ ‫َولي َ ِم َ ح‬


ْ‫فَال‬ ‫ه فَإ ْم ي‬ ْ َ
ِ ‫هِل‬ ‫ُدُه ْن طَ ي‬ ‫ّس ا‬
‫ْم‬
‫ل ُ ه طَ ي ّ ٌب‬.
َ
Artinya: “Hak bagi orang-orang muslim ialah mandi di hari jum’at,
hendaklah salat seorang mereka mengusap dari wangi-wangian
keluarganya. Jika ia tidak memperolehnya, air pun cukup menjadi wangi-
wangian.”
20 Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 154.
21 Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 271.

7
Hadis tersebut bersanadkan Abu Yahya Ismail bin Ibrahim At-Taimi,
Yazid bin Abi Ziad, Abdurrahman bin Abi Laila, dan Al-Barra’ bin Aziz.
Karena itu, hadis tersebut adalah dhaif.

Di samping itu, ada pula hadis yang semakna dengan hadis At-
Turmudzi tadi, yakni hadis Bukhari yang bersanadkan Harami bin Umrah
Syu’bah, Abu Bakar bin Al-Munkadir, Amru bin Sulaim Al-Anshari, dan
Abu Sa’id r.a. Kata Abu Sa’id, aku menyaksikan Rasulullah SAW.,
bersabda:

‫ة وا ج ٌب ُ م ْحت َِل م ٍ َو‬ ‫ا َْلُغ ْ س‬


ِ َ ِ ‫َ م ُ م َع‬
‫عَلَ ى ك ُ ّل‬ ْ‫ال‬ ‫ُل ي‬
‫ُج‬ ‫َْو‬
‫ّ س ْ َ جدَ – الحديث‬ ْ ‫–ا‬
‫ط ي ْب ًا ن‬
ِ ‫ن‬
‫إ و‬ َ‫ي‬
‫َم‬
Artinya: “Mandi pada hari jum’at wajib bagi setiap orang yang bermimpi
sampai mengeluarkan mani, dan hendaklah membersihkan gigi dan
memakai wangi-wangian, jika ada.”

Dengan demikian, hadis At-Turmudzi yang bersanad Abu Yahya


Ismail bin Ibrahim At-Tamimi yang dhaif itu, naik menjadi hasan li
ghairihi, karena dibantu oleh muttabi’ dari riwayat lain yang semakna.22

Para ulama belum pernah ada yang membukukan hadis hasan secara
terpisah. Mereka menggabungkan hadis-hadis hasan dengan hadis shahih
dan mencampurnya dengan hadis dhaif, meskipun mereka tidak
memasukkan hadis dhaif ke dalam kitab susunan mereka kecuali sangat
sedikit dan amat jarang.23 Sumber-sumber hadis hasan dapat ditemukan di
beberapa kitab, diantaranya:

1. Al-Jami’, karya At-Turmudzi.

2. As-Sunan, karya Imam Abu Dawud (202-273 M).

3. Al-Mujtaba, karya Imam An-Nasa’i.


22 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Mustalahul Hadis (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), 31-32.
23 Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 279.

8
4. Sunan Al-Mushthafa, karya Ibn Majah.24

B. HADIST MARDUD

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak


diterima, sedangkan menurut istilah ialah:

‫ضها‬
َ ِ ‫ِط أ‬ ّ َ ْ‫ف ُْقد ت ِل‬
َ
Artinya: ‫َْو ب َع‬ ‫ك ش‬
ْ ُ ‫ال‬
‫رو‬
“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis
maqbul.”

Hadist mardud adalah hadist yang tidak memiliki poin penguat


kebenarannya. Keadaan tersebut karena tidak adanya salah satu atau lebih
dari syarat-syarat diterimanya suatu hadist yang terdapat dalam pembahasan
hadist shahih.

Adapun macam-macam dan sebab-sebab kemardudannya adalah sebagai


berikut:

Para ulama telah membagi hadist mardud menjadi beberapa bagian,


sebagian mereka ada yang memberikan nama masing-masing bagian tersebut,
sebagian tidak memberikan nama secara khusus. Yang jelas, secara umum ia
disebut dengan nama “hadist dla’if”.

Sebab-sebab kemardudannya juga banyak, namun semuanya bermuara


pada salah satu dari 2 sebab utama, yaitu:

1. Sebab terputusnya sanad;


2. Sebab cacatnya perawi;25

Dari 2 sebab tersebut terdapat berbagai jenis hadits yang akan diuraikan
dalam pembahasan berikut :

24 Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010), 266-267.
25 Dr. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist.,hlm.89.

9
a. Hadist Dla’if

Kata dha’if menurut bahasa berasal dari kata dhu’fun yang berarti
lemah.26 Menurut An-Nawawi, hadis dhaif secara istilah adalah hadis yang
di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat
hadis hasan.27 Dengan kata lain, hadis ini tidak memenuhi syarat-syarat
yang dimiliki oleh hadis shahih dan hasan.

Hukum meriwayatkan hadist Dla’if28


Para ulama di kalangan ahli hadist dan lainnya membolehkan
meriwayatkan hadist dla’if dengan tidak menyebutkan sanadnya serta
menjelaskan kedla’ifannya., Berbeda dengan meriwayatkan hadist
maudlu’, sebab meriwayatkan hadist maudlu’ harus disertai penjelasan
kemaudlu’annya. Dan meriwayatkan hadist dla’if masih terkait dengan 2
syarat, yaitu:
1) Hadist Dla’if yang diriwayatkan tidak berkenaan dengan masalah-masalah
aqidah, seperti tentang sifat-sifat Allah.
2) Hadist Dla’if yang diriwayatkan tidak berkenaan dengan masalah-masalah
hukum syara’ yakni tidak berhubungan dengan hukum halal dan haram.
Artinya, boleh meriwayatkan hadist dla’if yang hanya berkaitan
dengan masalah nasehat, targhib dan tarhib serta tentang kisah-kisah umat
terdahulu dan lain sebagainya. Di antara para perawi yang terlalu
mempermudah dan meriwayatkan hadist dla’if adalah Sufyan al-Tsuriy,
Abd. Rahman bin Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.
Kemudian yang perlu digarisbawahi adalah, jika kita meriwayatkan
tanpa menyebutkan sanad jangan sekali-kali menyatakan: “qala
Rasulullah SAW.,kadza” namun harus dinyatakan “ruwiya ‘an Rasulillahi
SAW.,kadza”, atau “ballaghana’anhu kadza”, dan lain sebagainya.

26 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), 63.
27 Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 156.
28 Dr. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadist.,hlm. 92.

10
Maksudnya agar tidak sepenuhnya menisbahkan hadist tersebut kepada
Rasulullah SAW, sebab jelas diketahui bahwa hadist tersebut dla’if.
Hukum mengamalkan hadist dla’if29
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum
mengamalkan hadist dla’if. Kebanyakan ulama berpendapat boleh
mengamalkannya dalam hal yang berhubungan dengan keutamaan amal
ibadah (fadlail-a’mal), tetapi harus disertai 3 syarat, sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh al-Hafidh Ibn Hajar, yaitu:
1) Dla’ifnya tidak keterlaluan;
2) Hadist dla’if tersebut harus pada pokok amalan yang riwayatkan juga
tercantum pada hadist shahih.
3) Ketika mengamalkannya tidak meng’itikadkan tetapnya hadist itu
benar-benar dari Rasulullah SAW, namun semata-mata untuk ikhtiyath
(hati-hati dalam pengamalan).

Contohnya adalah hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam


kitab Sunan-nya. Meriwayatkan kepada kami Abu Ahmad al-Marrar bin
Hammuyah, katanya: meriwayatkan kepada kami Muhammad bin
Mushaffa, katanya: meriwayatkan kepada kami Baqiyyah bin Al-Walid
dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu Umamah dari Nabi
SAW., bahwa beliau berkata:

‫ُ م ْت‬
ْ ‫ُب‬ َ ‫ْ لَت َى ِالعي َْدي ْ حت‬ ‫َ م ْن‬
ِ ّ‫ِل ل‬
‫هل م‬ ‫ِن ي َ َم لَي ِس‬ ‫َقا‬
‫ي‬
ṿ ُ ‫ُ ُقلُْو‬ ُ َ ‫َقلْب ُ ُه ي‬
‫ت‬ ‫َوْ م م‬
‫ال‬ ْ‫ت و‬
“Barang siapa berdiri mengerjakan salat pada malam dua hari raya
semata-mata karena Allah, maka tidak akan mati hatinya pada hari semua
hati mati.”

Para rawi diatas adalah stiqat. Hanya saja Tsaur bin Yazid dituduh
sebagai berpaham Qadariyah. Namun dalam kesempatan ini ia
29 Ibid.,hlm.93.

11
meriwayatkan hadis yang tidak berkaitan dengan perilaku bidahnya itu
sehingga tidak menghalangi kehujahannya.

Muhammad bin Mushaffa adalah shaduq dan banyak hadisnya


sehingga Ibnu Hajar menjulukinya sebagai seorang hafiz. Al-Dzahabi
berkata, “Ia adalah tsiqat dan masyhur. Akan tetapi, dalam beberapa
riwayatnya terdapat banyak kemungkaran.”

Dalam sanad hadis diatas terdapat Baqiyah bin al-Walid. Ia adalah


salah seorang imam yang hafiz. Ia adalah shaduq, tetapi banyak
melakukan tadlis dari para rawi yang dhaif dan Muslim meriwayatkan
hadis darinya hanya sebagai mutaba’ah. Dalam kesempatan ini ia tidak
menegaskan bahwa ia mendengarkan hadis tersebut secara langsung dari
Tsaur bin Yazid dan karenanya hadis ini menjadi dhaif.30

Hadis-hadis dhaif dapat ditemukan pada beberapa karya/kitab seperti


berikut:

1. Ketiga Mu’jam At-Thabarani: Al-Kabir, Al-Awsath, As-Shagir.

2. Kitab Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni. Di dalam hadis-hadis Al-Afrad


terdapat hadis-hadis Al-Fardu Al-Mutlaq, dan Al-Fardu An-Nisbi.

3. Kumpulan karya Al-Khatib Al-Baghdadi.

4. Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Asfiya’ karya Abu Nu’aim Al-


Ashba’hani.31

Macam-macam Hadist Dla’if32

30 Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 301-302.


31 Syaikh Mama’ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman
(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2010), 132.
32 Ramadio Darwoto , Makalah studi hadist
(https://www.academia.edu/11362711/MAKALAH_STUDI_HADIST_PEMBAGIAN_HADIST_MENUR
UT_KUALITASNYA_) diakses pada 01/06/2017 15:08 WIB.

12
Jenis Hadis Dha’if sangat banyak dan tidak cukup jika dijelaskan secara
keseluruhan dalam makalah ini, untuk itu penulis berusaha untuk memilah
menjadi tiga macam hadits dha’if berdasarkan:

1. Hadits Mursal

Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti
“Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara terminologi ialah
hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi Saw. Artinya, seorang
tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw
bersabda…..”

Maksud dari definisi diatas dapat dipahami bahwa seorang tabi’in


mengatakan Rasulullah saw berkata demikian, dan sebagainya, sementara
Tabi’in tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini
Tabi’in tersebut menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara antara
Rasulullahh saw dengan tabi’in.

Definisi seperti inilah yang banyak digunakan oleh ahli Hadits, hanya
mereka tidak memberikan batasan antara tabi’in kecil dan besar. Namun
ada juga sebagian ‘ulama hadits yang memberikan batasan Hadits Mursal
ini hanya dimarfu’kan kepada tabi’i besar saja karena periwayatan tabi’i
besar adalah sahabat dan Hadits yang dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil
termasuk Hadits Munqati’.

Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam
kitab Al-Muwqaththa’, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar,
bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

‫ان سدة الحر من فيح جهنم‬

“sesungguhnya cuaca yang sangat panas itu bagian dari uap neraka
Jahannam”

Contoh yang lain adalah, Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam
kitab Shahihnya pada bagian “jual beli” (kitab al-buyu’) dia berkata :

13
“telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu Rafi’, telah menceritakan
kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari Uqail
dari Ibnu Shihab dari Ibnu Ssaid ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah saw
melarang menjual kurma yang masih berada dipohon, dengan kurma yang
sudah dikeringkan.”

Said bin Musayyab adalah seorang tabi’i besar. Dia meriwayatkan Hadits
ini tanpa menyebutkan perawi (sahabat) yang menjadi perantara antara
dirinya dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu Musyayyab telah
menggugurkan akhir dari perawinya yaitu sahabat. Bisa saja selain dari
sahabat yang digugurkannya ada tabi’i lain yang juga digugurkannya.

Sebagaimana diterangkan bahwa Hadits mursal adalah hadits yang jalan


sanadnya menggugurkan perawi yang terakhir yaitu sahabat yang langsung
menerima hadis tersebut dari Rasulullah saw. Diitinjau dari segi siapa yang
menggugurkan dan dari sifat-sifatnya, maka hadis mursal ini terdiri dari
tiga bagian :

a. Mursal Shahabi

Mursal Shahabi yaitu Pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada


Rasulullah saw tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa
yang ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih hidup ia masih
kecil atau terbelakang masuk Islamnya. Hadis Mursal shahabi ini tidak
dipermasalahkan apabila seluruh perawi dalam sanadnya termasuk dalam
kategori adil, sehingga kemajhulannya tidak bersifat negatif.

b. Mursal Khafi'

Mursal Khafi' yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh tabi’i namun tabi’i
yang meriwayatkan hadits tersebut hidup sezaman dengan sahabat tetapi
tidak pernah mendengar ataupun menyaksikan hadits langsung dari
Rasulullah saw.

14
c. Mursal Jali

Mursal Jali yaitu apabila penggugurannya dilakukan oleh rawi (tabi’i)


dapat diketahui jelas sekali oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan
tersebut tidak pernah hidup sezaman dengan orang yang digugurkannya
atau yang menerima berita langsung dari Rasulullah saw.

2. Hadits Munqati

Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus. Menurut sebagian para


ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang mana di dalam sanadnya
terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi, misalnya
perkataan seorang rawi, “dari seorang laki-laki”. Sedang menurut para
‘ulama lain bahwa hadits muntaqi’ ialah hadits yang dalam sanadnya
terdapat seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan) dari rawi-rawi
sebelum sahabat, baik dalam satu atau beberapa tempat, namun rawi yang
gugur itu tetap satu dengan syarat bukan pada permulaan sanad.

Definisi lain menyebutkan hadis munqati’ adalah hadits yang dalam


sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih atau di
dalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya
perawi, ia sama dengan hadits mursal hanya saja jika hadits mursal
dibatasi dengan gugurnya sahabat, sementara dalam hadits munqati’ tidak
ada batasan seperti itu. Jadi bila terdapat gugurnya perawi baik diawal, di
tengah ataupun diakhir pada suatu hadits maka dia disebut dengan hadits
munqati’.

3. Hadits Mudallas

Hadits mudallas menurut bahasa, berarti hadits yang sulit dipahami. Kata
mudallas adalah isim maf’ul dari dallasa yang berarti gelap atau berbaur
dengan gelap. Menurut ilmu hadits, mudallas adalah hadits yang
diriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya, namun ia
tidak pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya tersebut dan
tidak mendengarnya darinya karena kesamaran mendengarkannya”.

15
Para ‘ulama memberi batasan hadits mudallas adalah hadits yang gugur
dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya,
contohnya: “telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
Saw bersabda:

‫)للمملك طعامه وكسوته بالمعروف )رواه مالك‬

“Budak itu harus diberi makanan dan pakayan secara baik”. (HR. Malik)

4. Hadits Muallaq

Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari segi
istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal
sanad. Contoh: Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu Salamah,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

‫لتقاضلوابين النبياء‬

“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR.
Bukhari)

5. Hadits mu’dhal

Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih
secara berturut-turut.

Menurut kesimpulan di atas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa hadits


dha’if karena gugurnya rawi artinya tidak adanya satu, dua, atau beberapa
rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan,
pertengahan, maupun diakhir sanad.

6. Hadits Maudhu

Hadits maudhu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah saw tapi
disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara
keliru tanpa sengaja. Contoh:

‫ليدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء‬

16
“Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.

7. Hadits Matruk

Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, yang
menurut penilaian seluruh ahli hadits terdapat catatan pribadinya sebagai
seorang rawi yang dha’if. Contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari
Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk orang yang
haditsnya ditinggalkan.

Hadis matruk adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan dan


diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam periwayatan hadits,
dalam hadits nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya atau
terlihat jelas kefasikannya, melalui perbuatan ataupun kata-kata, serta
sering kali salah atau lupa. Misalnya hadits Amr bin Samar dari jabir al-
Jafiy.

Yang dimaksud dengan rawi tertuduh dusta yaitu seorang rawi yang dalam
pembicaraan selalu berdusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia
berdusta dalam membuat hadits. Adapun orang yang berdusta di luar
pembuatan hadits ditolak periwayatannya.

8. Hadits Munkar

Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if yang
berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:

‫من اقام الصلة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة‬.

“Barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji,


berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.

Hadits munkar adalah hadits yang perawinya sangat cacat dalam kadar
sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para ‘ulama hadits memberikan
definisi yang berfariasi tentang hadits munkar ini. Di antaranya ada dua
definisi yang selalu digunakan, yaitu:

17
a. Hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru,
atau sering kali lupa dan terlihat kefasikannya secara nyata.

b. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang hadits tersebut
berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh.

9. Hadits Muallal

Muallal menurut istilah para ahli hadits ialah hadits yang di dalamnya
terdapat cacat yang tersembunyi, yang bisa mengakibatkan cacatnya hadits
itu, namun dari sisi lahirnya cacat tersebut tidak tampak. Contoh:

‫ البيعان بالخيار مالم يتفرقا‬: ‫قال رسول ال صلي ال عليه وسلم‬

“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama


mereka masih belum berpisah”

Hadits Muallal adalah hadits yang cacat karena perawinya al-Wahm, yaitu
hanya persangkaan atau dugaan yang tidak mempunyai landasan yang
kuat. Umpamanya, seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah
muttashil (bersambung) yang sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau
dia mengirsalkan yang mutthasil, dan memauqufkan yang maru’ dan
sebagainya.

10. Hadits Mudraj

Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya


bukan bagian hadits itu. Contoh:

‫ والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم‬،‫ انا زعيم‬:‫قال رسول ال صلي ال عليه وسلم‬
‫)وجاهدفي سبيل ال يبيت في ريض الجنة )رواه النسائ‬

“Rasulullah saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah
penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat dan berjuang di
jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surga.” (HR. Nasa’i)

18
Idraj berarti memasukkan Sesuatu kepada suatu yang lainnya dan
menggabungkannya kepada yang lain itu, dengan kata lain hadits mudraj
adalah hadits yang di dalamnya terdapat kata-kata tambahan yang bukan
dari bagian hadits tersebut. Hadits mudraj ada dua yaitu :

Mudraj Isnad: seorang perawi menambahkan kalimat-kalimat dari dirinya


sendiri saat mengemukakan sebuah hadits disebabkan oleh suatu perkara
sehingga orang yang meriwayatkan selanjutnya menganggap apa yang
diucapkannya adalah juga bagian dari hadits tersebut.

Mudraj Matan: sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan suatu hadits


yang bukan merupakan matan dari hadits tersebut, tanpa ada pemisahan di
antaranya (yaitu antara matan hadits dan sesuatu yang dimasukkan
tersebut). Atau memasukkan suatu perkataan dari perawi kedalam matan
suatu hadits, sehingga diduga perkataan tersebut berasalah dari perkataan
Rasulullah saw.

11. Hadits Maqlub

Hadits maqlub ialah hadits yang di dalamnya terdapat perubahan, baik


dalam sanad maupun matannya, baik yang disebabkan pergantian lafadz
lain atau disebabkan susunan kata yang terbalik, contoh:

‫إذا سجد احدكم فل يبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل وكبته‬

“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti


menderumnya seekor unta, melainkan hendaknya meletakkan kedua
tangannya sebelum meletakkan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan
mengatakannya hadits ini gharib).

Hadits maqlub yaitu hadits yang lafadz matannya tertukar pada salah
seorang perawi pada salah seorang perawi atau seseorang pada sanadnya.
Kemudian didahulukan dalam penyebutannya, yang seharusnya disebut
belakangan atau mengakhirkan penyebutannya, yang seharusnya
didahulukan atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.

19
12. Hadits Syadz

Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang
terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi
yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara
keduanya. Contoh: hadits syadz dalam matan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata,
Rasulullah bersabda:

‫ايام التشريق ايام اكل وشرب‬

“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”

13. Hadits Mudhtharib

Hadits Mudhtharib adalah Hadits yang diriwayatkan dalam bentuk yang


berbeda yang masing-masing sama kuat.

14. Hadits Mushahhaf

Hadis Mushahhaf yaitu hadits yang dirubah kalimatnya, yang tidak


diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafadz maupun
makna hadits ini ada yang berubah sanadnya dan adapula berubah
matannya.

Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan matan atau kedua-
duanya digolongkan hadits dha’if yang terbagi menjadi tujuh, yaitu: hadits
maudu’ (palsu), hadits matruk (yang ditinggalkan) atau hadits matruh
(yang dibuang), hadits munkar (yang diingkari), hadits muallal (terkena
‘illat), hadits mudraj (yang dimasuki sisipan), hadits maqlub (yang diputar
balik), dan hadits syadz (yang ganjil), hadits Mudhtharib, dan hadits
mushahhaf.33

33 Ibid.,

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hadis ditinjau dari kualitasnya dibagi menjadi dua, yaitu hadis maqbul
dan hadis mardud. Hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima. Hadis maqbul
digolongkan menjadi dua, yaitu hadis shahih dan hadis hasan. Perbedaan antara
hadis shahih dan hadis hasan terdapat pada hafalan perawinya. Sedangkan hadis
mardud ialah hadis yang ditolak (tidak dapat diterima). Hadis mardud
digolongkan menjadi hadis dhaif, yakni hadis yang tidak terdapat syarat-syarat
hadis shahih dan hadis hasan. Serta klasifikasinya.

3.2 Saran

Dengan selesainya penulisan makalah mengenai Makalah ini di harapkan


dapat bermanfaat, dan diperhatikan bagi penyusun maupun pembaca. Namun,
dalam penulisan makalah ini tentunya memiliki kesalahan baik itu dalam proses,
penulisan, maupun pemaparan. Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini kedepannya. Karena, sebaik-
baiknya manusia ialah yang mau memberikan manfaat terhadap orang lain, tetapi
kesempurnaan tetaplah milik Allah SWT dan penyusun hanya berusaha
menyempurnakan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010).


2. Thahhan,Mahmud., Intisari Ilmu Hadist (Malang: UIN-Malang Press, C.1
2007).
3. Alfatih,Suryadilaga dkk., Ulumul Hadits (Yogyakarta: Penebit Teras,
2010).
4. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012).
5. Al-Maliki ,Alawi, Muhammad., Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
6. Syaikh Mama’ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, terj. Mifdhol
Abdurrahman (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2010).
7. Ramadio Darwoto, Makalah studi hadist

(https://www.academia.edu/11362711/MAKALAH_STUDI_HADIST_PE
MBAGIAN_HADIST_MENURUT_KUALITASNYA_) diakses pada
01/06/2017 15:08 WIB.

8. Zahri, Mustafa., Kunci Memahami Mustalahul Hadis (Surabaya: PT Bina


Ilmu, 1995).

22

Anda mungkin juga menyukai